Sabtu, 28 Februari 2009

Kerangka Analisis Kebijakan Pertanian

Setiap orang yang terlibat dalam proses pembuatan maupun analisis kebijakan pertanian harus memiliki pemahaman atau pemikiran yang jelas dalam mengevaluasi sebuah keputusan. Apa dasarnya sebuah alternatif kebijakan dikatakan lebih baik dari alternatif kebijakan lainnya? Bagaimana sebuah kebijakan dikatakan memadai? Apakah efisiensi ekonomi merupakan satu-satunya hal yang harus dipertimbangkan? (Download dalam bentuk file, Click Here)Untuk menghasilkan sebuah kebijakan yang rasional kita
harus memiliki cara yang jelas dan logis dalam menilai berbagai pilihan alternatif kebijakan. Idealnya, setiap orang yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan memiliki pendekatan yang sama, sehingga kalaupun ada perbedaan, seyogyanya perbedaan tersebut terbatas pada perbedaan pandangan semata, bukan pada pendekatan dalam memecahkan masalah. Bab ini membahas kerangka umum proses analisis kebijakan pertanian. Uraian yang lebih spesifik tentang PAM-nya sendiri akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.

Pemahaman yang baik tentang kerangka analisis kebijakan pertanian amat dibutuhkan oleh para pembuat kebijakan dan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat, untuk memahami konsekuensi dari berbagai kebijakan. Kejelasan dari berbagai definisi yang digunakan amat penting dalam melakukan analisis kebijakan. Apa yang dimaksud dengan istilah “Kerangka Analisis (framework) Kebijakan Pertanian?”. Sebuah framework adalah pendekatan atau metode yang tersusun baik dan konsisten dalam rangka menghasilkan pemikiran-pemikiran yang jelas. Sebuah framework dirancang sedemikian rupa agar mampu menelaah berbagai hubungan yang terjadi dalam sebuah sistem perekonomian. Meskipun sebuah analisis ekonomi yang baik akan menarik bagi para ekonom, tapi dilain pihak bisa membuat bukan ekonom menjadi frustasi. Namun demikian, tetap relevan bagi semua orang karena hal itu menyangkut berbagai macam hubungan dan keterkaitan yang terjadi dalam sebuah perekonomian misalnya mengapa aktivitas yang dilakukan oleh satu kelompok masyarakat mempengaruhi kelompok lainnya. Masalah pertanian berhubungan dengan masalah produksi dan konsumsi dari berbagai komoditas, sebagai hasil dari sebuah usahatani atau usaha peternakan. Sebuah kebijakan adalah sebuah intervensi pemerintah, dimaksudkan untuk merubah perilaku produsen dan konsumen. Analisis merupakan evaluasi dari berbagai keputusan pemerintah yang merubah perekonomian. Oleh karena itu, sebuah framework analisis kebijakan pertanian dapat diartikan sebagai sebuah sistem untuk menganalisis kebijakan publik yang mempengaruhi produsen, pedagang, dan konsumen dari berbagai produk pertanian baik tanaman maupun ternak.

Empat Komponen Kerangka Kebijakan (Policy Framework)

Empat komponen utama dari framework kebijakan pertanian yang dibahas dalam buku ini adalah tujuan (objectives), kendala (constraints), kebijakan (policies), dan strategi (strategies). Yang dimaksudkan dengan objectives adalah tujuan yang diharapkan akan dicapai oleh sebuah kebijakan ekonomi yang dibuat oleh para pembuat kebijakan. Constraints adalah suatu keadaan (ekonomi) yang membuat apa yang bisa dicapai menjadi terbatas. Bila sebidang lahan digunakan untuk menanam padi, berarti hilangnya kemungkinan untuk menanam komoditas lainnya pada saat yang sama. Kebijakan terdiri atas berbagai instrumen yang bisa digunakan pemerintah untuk merubah outcome perekonomian. Sebuah kebijakan yang efektif akan merubah perilaku produsen, pedagang, dan konsumen dan menciptakan outcome baru dari sebuah perekonomian. Strategy adalah seperangkat instrumen kebijakan yang digunakan oleh pemerintah untuk mencapai objective yang telah ditetapkan. Setiap strategi dilaksanakan melalui penerapan berbagai kebijakan yang terkordinasi dengan baik.

Kerangka kebijakan, seperti disajikan pada Gambar 1.1., digambarkan seperti sebuah alur lingkar (mengikuti arah jarum jam) dari sejumlah hubungan kausal dari keempat komponen tersebut diatas. Strategi para pengambil kebijakan terdiri atas seperangkat kebijakan yang dimaksudkan untuk meningkatkan outcome ekonomi (yang telah ditetapkan oleh para pengambil kebijakan). Berbagai kebijakan tersebut pada pelaksanaannya akan menghadapi berbagai kendala ekonomi baik yang diakibatkan oleh aspek supply, demand, serta harga dunia yang bisa meningkatkan atau menghambat tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Penilaian dampak kebijakan terhadap pencapaian tujuan memungkinkan untuk melakukan penyesuaian strategi yang telah ditetapkan bila memang diperlukan. Singkatnya, pemerintah membuat strategi pembangunan pertanian dengan menentukan seperangkat kebijakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dengan mempertimbangkan berbagai kendala ekonomi pada sektor pertanian. Uraian lebih rinci tentang hubungan antar keempat komponen kerangka kerja tersebut disajikan pada bahasan selanjutnya.

Tujuan Dasar dari Analisis Kebijakan

Secara umum tujuan kebijakan pemerintah dapat dibagi kedalam tiga tujuan utama yaitu efisiensi (efficiency), pemerataan (equity), dan ketahanan (security). Efisiensi tercapai apabila alokasi sumberdaya ekonomi yang langka adanya mampu menghasilkan pendapatan maksimum, serta alokasi barang dan jasa yang menghasilkan tingkat kepuasan konsumen yang paling tinggi. Pemerataan diartikan sebagai distribusi pendapatan diantara kelompok masyarakat atau wilayah yang menjadi target pembuat kebijakan. Biasanya, pemerataan yang lebih baik akan dicapai melalui distribusi pendapatan yang lebih baik atau lebih merata. Namun, karena kebijakan adalah aktivitas pemerintah, maka para penentu kebijakanlah (secara tidak langsung juga voters dalam sebuah sistem demokrasi) yang menentukan definisi pemerataan itu. Ketahanan (pangan) akan meningkat apabila stabilitas politik maupun ekonomi memungkinkan produsen maupun konsumen meminimumkan adjustment costs. Ketahanan pangan diartikan sebagai ketersediaan pangan pada tingkat harga yang stabil dan terjangkau. Di dalam kerangka ini, setiap tujuan yang ingin dicapai oleh intervesi pemerintah akan terkait dengan paling tidak salah satu dari ketika tujuan dasar yang telah disebutkan di atas yaitu efisiensi, pemerataan, dan ketahanan.

Trade-offs akan terjadi ketika salah satu tujuan bisa dicapai hanya dengan mengorbankan tujuan lainnya. Yakni, mencapai tujuan yang satu, mengorbankan tujuan lainnya. Apabila terjadi trade-offs, maka pembuat kebijakan harus memberikan bobot atas setiap tujuan yang saling bertentangan itu, dengan menentukan berapa manfaat yang bisa diraih dari suatu tujuan dibandingkan dengan kerugian yang harus diderita oleh tujuan lainnya. Pembuat kebijakan, yang seringkali bukan seorang ekonom, berkewajiban untuk melakukan penilaian (value judgement) untuk menentukan bobot bagi setiap tujuan. Para pajabat pemerintah (pembuat kebijakan) inilah yang akhirnya akan bertanggungjawab atas akuntabilitas kebijakan yang dibuatnya. Segalanya akan menjadi mudah, baik bagi analis kebijakan maupun pembuat kebijakan, bila tidak terjadi trade-offs. Namun, keadaan ini umumnya jarang terjadi. Hasil yang diharapkan adalah tercapainya keadaan yang lebih baik sesuai dengan keterbatasan sumberdaya. Namun, biasanya trade-offs selalu saja terjadi. Singkatnya, para analis bertugas melakukan evaluasi atas kebijakan, sementara pembuat kebijakan mengambil keputusan dengan menentukan bobot atas setiap tujuan kebijakan. Seluruh bobot yang diberikan kepada setiap tujuan bila dijumlahkan harus sama dengan satu (misalnya, pengambil kebijakan memberikan bobot 0,6 untuk efisiensi, 0,3 untuk pemerataan, dan 0,1 untuk ketahanan).

Kendala-kendala yang Membatasi Kebijakan Pertanian


Ada tiga kendala utama yang membatasi gerak sebuah kebijakan yaitu penawaran, permintaan, dan harga dunia. Penawaran, produksi nasional, dibatasi oleh ketersediaan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, dan modal), teknologi, harga input, dan kemampuan manajemen. Parameter-paremeter ini merupakan komponen dari fungsi produksi sehingga membatasi kemampuan perekonomian dalam menghasilkan komoditas pertanian. Permintaan, konsumsi nasional, dibatasi atau dipengaruhi oleh jumlah penduduk, pendapatan, selera, dan harga output. Parameter-parameter ini merupakan komponen dari fungsi permintaan sehingga membatasi kemampuan perekonomian dalam mengkonsumsi produk-produk pertanian.

Harga dunia, untuk komoditas yang diperdagangkan secara internasional baik input maupun output, menentukan dan membatasi peluang untuk mengimpor dalam rangka meningkatkan supply domestik, dan mengekspor dalam rangka memperluas pasar bagi produk domestik. Ketiga parameter ekonomi ini menentukan pasar bagi sebuah komoditas pertanian dan merupakan kekuatan utama dalam mempengaruhi terbentuknya harga serta alokasi sumberdaya. Kendala-kendala ekonomi bisa mengarah kepada terjadinya trade-offs dalam pembuatan kebijakan.

Kategori Kebijakan yang Mempengaruhi Pertanian

Kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi sektor pertanian dapat digolongkan kepada tiga kategori yaitu kebijakan harga, kebijakan makroekonomi dan kebijakan investasi publik. Kebijakan harga komoditas pertanian merupakan kebijakan yag bersifat sepesifik komoditas. Setiap kebijakan diterapkan untuk satu komoditas (misalnya, beras). Kebijakan harga juga bisa mempengaruhi input pertanian. Kebijakan makroekonomi mencakup seluruh wilayah dalam satu negara, sehingga kebijakan makroekonomi akan mempengaruhi seluruh komoditas. Kebijakan investasi publik mengalokasikan pengeluaran investasi (modal) yang bersumber dari anggaran belanja negara. Kebijakan ini bisa mempengaruhi berbagai kelompok, produsen, pedagang, dan konsumen, dengan dampak yang berbeda karena dampak tersebut bersifat spesifik pada wilayah dimana investasi itu terjadi.

Instrumen Kebijakan Harga Pertanian


Setiap instrumen kebijakan harga pertanian akan menimbulkan transfer baik dari produsen kepada konsumen dari komoditas bersangkutan, maupun anggaran pemerintah, atau sebaliknya. Beberapa kebijakan harga hanya mempengaruhi dua dari ketiga kelompok tersebut, sementara instrumen yang lain mempengaruhi seluruh dari ketiga kelompok tersebut. Secara umum, paling tidak satu kelompok menderita kerugian atau menjadi korban, dan paling tidak satu kelompok lainnya menerima manfaat dari kebijakan. Ada tiga jenis instrumen kebijakan yang umum diterapkan pada sektor perberasan yaitu, pajak dan subsidi, hambatan perdagangan internasional, dan pengendalian langsung (direct controls).

Pajak dan subsidi atas komoditas pertanian menyebabkan terjadinya transfer antara anggaran negara (publik) dengan produsen dan konsumen. Dalam hal pajak, transfer sumberdaya mengalir kepada pemerintah sementara dalam hal subsidi transfer sumberdaya berasal dari pemerintah. Sebagai contoh, subsidi produksi merupakan transfer dari anggaran pemerintah kepada produsen.

Hambatan perdagangan internasional adalah pajak atau kuota yang sifatnya membatasi impor atau ekspor. Dengan melakukan hambatan perdagangan, instrumen kebijakan harga ini merubah tingkat harga dalam negeri. Hambatan impor menaikkan harga dalam negeri diatas rata-rata harga dunia, sementara hambatan ekspor menurunkan harga dalam negeri menjadi lebih rendah dibandingkan dengan harga dunia.

Pengendalian langsung adalah peraturan pemerintah atas harga, marjin pemasaran, atau pilihan tanaman. Biasanya, pengendalian langsung harus disertai dengan hambatan perdagangan atau pajak/subsidi agar kebijakan tersebut bisa efektif. Bila tidak, “pasar gelap” akan menyebabkan kebijakan pengandalian langsung menjadi tidak efektif. Bisa juga terjadi, sebuah pemerintahan mempunyai kemampuan yang cukup untuk melaksanakan pengandalian langsung secara efektif meskipun tanpa dilengkapi dengan hambatan perdagangan. Sebagai contoh, kebijakan pengendalian langsung dalam bentuk penentuan jenis komoditas yang harus ditanam bisa efektif apabila pemerintah menyediakan fasilitas atau kemudahan dalam hal penyediaan air irigasi atau input yang harus dibeli petani.

Kebijakan Makroekonomi yang Mempengaruhi Pertanian.

Produsen dan konsumen komoditas pertanian amat dipengaruhi oleh kebijakan makroekonomi meskipun seringkali mereka tidak terlibat dalam proses pembuatan kebijakan yang bersifat nasional ini. Ada tiga kategori kebijakan makroekonomi yang mempengaruhi sektor pertanian yaitu kebijakan fiskal dan moneter, kebijakan nilai tukar, dan kebijakan harga faktor domestik, sumberdaya alam, dan tataguna lahan.

Kebijakan fiskal dan moneter merupakan inti dari kebijakan makroekonomi, karena secara bersama-sama mereka mempengaruhi tingkat kegiatan ekonomi dan tingkat inflasi dalam perekonomian nasional, yang diukur melalui peningkatan indeks harga konsumen dan indeks harga produsen. Kebijakan moneter diartikan sebagai pengendalian pemerintah dalam pasokan (supply) uang dan kemudian permintaan aggregat. Bila supply uang meningkat lebih tinggi dari pertumbuhan agregat barang dan jasa, maka akan timbul tekanan inflasi. Kebijakan fiskal berhubungan dengan keseimbangan antara kebijakan pajak pemerintah yang meningkatkan pendapatan pemerintah dan kebijakan belanja publik yang menggunakan pendapatan tersebut. Apabila belanja pemerintah lebih besar dari pendapatannya, maka pemerintah mengalami fiskal defisit. Keadaan ini akan menimbulkan inflasi bila defisit tersebut ditutup dengan menambah supply uang.

Kebijakan nilai tukar secara langsung berpengaruh terhadap harga output dan biaya produksi pertanian. Nilai tukar adalah nilai konversi mata uang domestik terhadap mata uang asing. Sebagian besar komoditas pertanian diperdagangkan secara internasional dan sebagian besar negara mengimpor atau mengekspor sebagian dari kebutuhan atau hasil produk komoditas pertanian mereka. Untuk produk-produk yang diperdagangkan secara internasional, harga dunia akan sama dengan harga dalam negeri apabila tidak ada hambatan perdagangan. Dengan sendirinya, nilai tukar secara langsung mempengaruhi harga produk pertanian karena harga domestik (dinilai dalam mata uang dalam negeri) produk yang diperdagangkan sama dengan harga dunia (dinilai dalam mata uang asing) dikalikan dengan nilai tukarnya (rasio antara mata uang dalam negeri dengan mata uang asing).

Kebijakan harga faktor domestik secara langsung mempengaruhi biaya produksi pertanian. Faktor domestik utama terdiri atas lahan, tenaga kerja dan modal. Biaya lahan dan tenaga kerja biasanya merupakan porsi terbesar dari biaya produksi pertanian di negara berkembang. Pemerintah seringkali menerapkan kebijakan makroekonomi yang mempengaruhi nilai sewa lahan, upah tenaga kerja, atau tingkat bunga yang berlaku diseluruh wilayah negara tersebut. Kebijakan faktor dometik lainnya seperti upah minimum atau tingkat bunga maksimum, lebih mempengaruhi salah satu sektor dibanding sektor lainnya. Beberapa negara melaksanakan kebijakan khusus dalam upaya mengendalikan penggunaan lahan atau pengendalian ekploitasi sumberdaya alam, seperti air dan bahan mineral. Kebijakan makro tersebut bisa juga mempengaruhi biaya produksi pertanian.

Kebijakan Investasi Publik yang Mempengaruhi Pertanian

Kategori ketiga dari kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi sektor pertanian adalah investasi publik dalam bentuk barang-barang modal pada infrastruktur, sumberdaya manusia, dan penelitian dan pengembangan teknologi. Investasi publik dalam bentuk infrastruktur bisa meningkatkan pendapatan produsen pertanian atau menurunkan biaya produksi. Yang dimaksud dengan infrastruktur adalah barang modal penting, seperti jalan, pelabuhan, dan jaringan irigasi yang amat sulit dibangun oleh sektor swasta. Barang modal tersebut dikenal sebagai “barang-barang publik”, yang biayanya bersumber dari anggaran pemerintah. Investasi dalam bentuk infrastruktur sifatnya spesifik wilayah serta manfaatnya sebagian besar akan dinikmati oleh produsen dan konsumen diwilayah tersebut. Kebijakan investasi publik amat rumit karena infrastruktur tersebut harus dipelihara dan diperbaharui dari waktu ke waktu.

Investasi publik dalam sumberdaya manusia termasuk didalamnya berbagai jenis pengeluaran pemerintah untuk meningkatkan tingkat keakhlian atau keterampilan serta kondisi kesehatan produsen dan konsumen. Investasi dalam bentuk sekolah-sekolah formal, pusat-pusat pelatihan dan penyuluhan, fasilitas kesehatan masyarakat, pendidikan gizi masyarakat, klinik dan rumah sakit merupakan contoh-contoh investasi publik yang dapat meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia sektor pertanian. Investasi-investasi seperti ini amat menentukan dalam pembangunan jangka panjang, tetapi hasilnya memang baru akan terlihat dalam waktu yang lama.

Investasi publik dalam bentuk penelitian dan pengembangan teknologi merupakan contoh lain dari barang-barang publik yang secara langsung memberikan manfaat bagi produsen dan konsumen pertanian. Negara-negara yang mengalami pertumbuhan sektor pertanian yang tinggi biasanya melakukan investasi yang besar di bidang riset budidaya pertanian untuk mengdopsi teknologi yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga riset internasional, seperti penggunaan benih unggul baik untuk tanaman pangan maupun tanaman tahunan. Benih-benih unggul ini seringkali memerlukan penggunaan teknologi baru, pengaturan air yang lebih baik, dan penggunaan input yang lebih banyak. Untuk beberapa komoditas, terobosan teknologi yang dibiayai oleh dana publik, biasanya lebih pada teknologi pengolahan dibanding teknologi usahatani atau budi daya.

Kerangka Kebijakan Perberasan Indonesia Masa Lalu


Studi yang dilakukan the Food Research Institute, Stanford University pada akhir 1980-an memperjelas gambaran aplikasi kerangka kebijakan yang telah diuraikan di muka. Kerangka tersebut meliputi sasaran strategy perberasan (“strategy”), instrumen kebijakan perberasan (“kebijakan”), peubah-peubah ekonomi utama (“kendala”), dan tujuan utama kebijakan pangan (“tujuan”). Gambar 1.2. disarikan dari studi tersebut.

Sasaran kebijakan perberasan Indonesia, seperti tertera pada gambar diatas, terdiri atas tiga alternatif. Pertama, menjadi pengekspor beras dengan berupaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan produksi beras sebesar 4% per tahun. Kedua, tetap melakukan impor dengan mengupayakan tingkat pertumbuhan produksi sebesar 1% per tahun. Ketiga, pertumbuhan produksi 2,5% per tahun dengan sasaran mempertahankan swasembada on trend (mengimpor beras ketika produksi jelek dan mengekspor ketika produksi bagus). Studi tersebut mengkaji kemungkian dampak dari ketiga strategi tersebut.

Buku RPI menelaah faktor-faktor penyebab keberhasilan Indonesia dalam melakukan Revolusi Hijau (the Green Revolution) pada periode 1970-an dan 1980-an. Selama periode tersebut secara gradual Indonesia berubah, dari yang semula sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi negara yang mampu berswasembada (on trend) beras selama kurang lebih satu dekade, mulai tahun 1984. Diantara lima instrumen kebijakan perberasan yang tertera pada Gambar diatas, empat diantaranya amat berperanan dalam pencapaian keberhasilan tersebut.

Instrumen kebijakan harga merubah tingkat harga beras dalam negeri. Kebijakan stabilisasi harga mengurangi tingkat fluktuasi harga beras dalam negeri. Investasi publik, terutama dalam infrastruktur dan riset, mempengaruhi harga, biaya, dan produktivitas sistem produksi beras. Kebijakan makroekonomi, terutama yang mempengaruhi inflasi dan nilai tukar, mempengaruhi biaya dan nilai produksi padi. Namun, beberapa regulasi pedesaan saat itu menjadi faktor penghambat.

Kebijakan harga beras saat itu merupakan kebijakan yang bersifat netral. Pemerintah saat itu berkeinginan untuk memiliki sistem perberasan yang efisien. Searah dengan itu, pemerintah senantiasa menjaga agar harga beras dalam negeri tidak terlalu jauh dari trend harga beras dunia, sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan itu tidak mem-proteksi petani, tetapi juga tidak men-disproteksi-nya. Namun, untuk merangsang petani agar mampu mengadopsi penggunaan teknologi baru, termasuk di dalamnya pengunaan varitas ungggul, pemerintah memberikan subsidi harga pupuk kimia yang amat besar untuk menurunkan biaya produksi.

Kebijakan stabilisasi harga beras memiliki dampak yang amat positif. Badan Urusan Logistik Nasional (Bulog), menstabilkan harga dalam negeri sehingga fluktuasi harga beras di dalam negeri lebih kecil dibandingkan dengan fluktuasi harga yang terjadi di pasar internasional. Pada saat itu, Bulog memiliki hak monopoli dalam perdagangan beras internasional Indonesia, serta ekspor dan impor beberapa komoditas lainnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri. Badan tersebut memelihara stok penyangga (buffer stock) beras melalui pembelian padi dari petani pada tingkat harga dasar dan melepaskannya ke pasaran, ketika harga beras di pasar dalam negeri mengalami kenaikan sampai pada tingkat harga tertentu. Kebijakan stabilisasi harga ini memang amat mahal, namun secara umum dapat dikatakan berhasil.

Investasi publik di bidang infrastruktur pedesaan, fasilitas kesehatan dan pendidikan, penelitian dan pengembangan serta penyuluhan pertanian merupakan komponen kunci dari keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan produksi dan produktivitas padi sampai tiga kali lipat, dan dengan sendirinya berpengaruh terhadap pencapaian swasembada beras meskipun swasembada tersebut hanya berjalan selama kurang lebih sepuluh tahun. Pemerintah melakukan investasi yang amat besar dalam bentuk jalan di pedesaan, pelabuhan, jaringan irigasi, dan pada periode tertentu investasi untuk infrastruktur pedesaan dan penelitian pertanian mencapai 30 persen dari seluruh investasi.

Kebijakan makroekonomi pada periode 1970-an dan 1980-an secara tepat dirancang untuk bersifat relatif netral. Tingkat inflasi dijaga di bawah 10 persen per tahun, dan nilai tukar di devaluasi secara berkala untuk menghilangkan pengaruh perbedaan antara tingkat inflasi di Indonesia dengan tingkat inflasi di negara patner dagang utama. Dengan kebijakan itu, petani produsen padi secara implisit tidak diproteksi maupun disubsidi, dan dalam kondisi makroekonomi yang stabil mereka dapat melakukan perencanaan investasi dan input produksi.

Diantara lima instrumen kebijakan yang diterapkan pada saat itu, regulasi pemilihan tanaman merupakan satu-satunya kebijakan yang memiliki dampak negatif terhadap produksi padi di era 1970an dan 1980an. Di sebagian Jawa Timur dan Jawa Tengah, para petani “dipaksa” menanam tebu meskipun sebenarnya mereka lebih suka menanam padi. Kebijakan ini menyebabkan produksi menjadi turun, pendapatan yang lebih rendah, dan kesempatan kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan ketika petani diberikan kebebasan untuk memilih pola tanam yang mereka sukai.

Semua instrumen kebijakan diatas mempengaruhi tingkat produksi beras melalui pengaruhnya atas tiga peubah ekonomi, yaitu jumlah beras yang diproduksi di dalam negeri, tingkat pendapatan pedesaan yang secara langsung dihasilkan oleh peningkatan produksi beras ataupun secara tidak langsung melalui invesati ataupun konsumsi dari produk-produk yang ada hubungannya dengan beras, serta tingkat kesempatan kerja pedesaan yang baik secara langsung maupun tidak langsung diciptakan oleh proses produksi padi. Masing-masing dari ketiga peubah ekonomi ini pada gilirannya mempengaruhi ketiga tujuan utama kebijakan pangan. Peningkatan produksi padi dalam negeri berkontribusi terhadap ketahanan pangan dan stabilitas harga, dengan mengurangi dampak fluktuasi harga yang terjadi di pasar dunia. Penciptaan pendapatan dengan cara yang efisien melalui pengembangan usahatani padi mengarah kepada peningkatan pendapatan yang cepat, baik lokal maupun nasional. Penciptaan lapangan kerja di pedesaan, secara langsung dari proses produksi padi, maupun secara tidak langsung dari aktivitas yang berhubungan dengan produksi padi, meningkatkan distribusi pendapatan antara daerah pedesaan dan perkotaan.

Buku RPI menyimpulkan bahwa strategi kebijakan swasembada on trend merupakan kebijakan yang lebih sesuai di awal 1990an. Strategi kebijakan dengan sasaran menjadi negara pengekspor beras akan tidak efisien dan membutuhkan subsidi terus menerus, sementara strategi dengan sasaran menjadi pengimpor seperti diawal 1990-an akan membuat cita-cita menjadi produsen yang efisien tidak tercapai.


Analisis Kebijakan Perberasan Saat Ini

Kebijakan perberasan Indonesia saat ini berupaya menciptakan harga beras dalam negeri 30 persen lebih tinggi dibanding harga yang membebaskan impor. Strategi ini dimaksudkan untuk membantu produsen pada saat harga dunia sedang rendah, yaitu seperempat dari trend harga jangka panjang. Namun, strategi ini sama dengan menghalangi konsumen beras dalam negeri dari manfaat yang mungkin diterima dari rendahnya harga dunia, dan dengan sendirinya bisa berdampak buruk terhadap tingkat gizi serta pengentasan kemiskinan.

Instrumen kebijakan yang digunakan untuk menjalankan strategi ini adalah tarif impor (spesifik) sebesar Rp. 430/kilogram. Bila tarif bea masuk ini dapat diterapkan secara efektif harga beras dalam negeri akan 30 persen lebih tinggi dari tingkat harga tanpa kebijakan tersebut dan ternyata harga beras dalam negeri yang terjadi saat ini sekitar 25-30 persen lebih tinggi. Namun, ini tidak berarti bahwa kebijakan tarif bea masuk ini dapat diterapkan secara efektif, dan penyelundupan tidak terjadi. Tingginya ketidak-pastian, baik ekonomi maupun politik, menyebabkan para importir beras membebankan biaya tambahan sebesar 10-20 persen untuk menanggulangi resiko perubahan nilai tukar dan tambahan biaya perbankan.

Kebijakan memproteksi beras diterapkan dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, searah dengan tujuan pemerataan. Namun, kebijakan ini menimbulkan trade-off karena merugikan penduduk miskin di pedesaan maupun konsumen beras di perkotaan. Tarif bea masuk tidak meningkatkan efisiensi ekonomi karena kebijakan tersebut akan menyebabkan sumberdaya digunakan secara tidak efisien. Pada saat harga dunia sedang stabil pada tingkat harga yang rendah seperti saat ini, tarif impor hampir tidak memberikan kontribusi apapun pada ketahanan pangan. Meningkatkan harga beras juga mempunyai konsekuensi yang serius pada tingkat gizi penduduk miskin, serta akan menambah jumlah penduduk miskin.

Secara teoritis, pemerintah bisa membantu petani padi dengan instrumen kebijakan yang lain – subsidi produksi langsung, dimana petani akan menerima subsidi yang nilainya sesuai dengan jumlah produksi yang dipasarkan. Kebijakan ini tidak akan menyebabkan naiknya harga beras dalam negeri dan dengan sendirinya akan menghilangkan trade-off antara produsen dan konsumen. Namun, kebijakan ini akan sulit diterapkan dan akan memberikan beban yang amat besar kepada anggaran pemerintah, apalagi pada saat pemerintah sedang mengalami kesulitan keuangan seperti saat ini. Beberapa analis berpendapat bahwa anggaran pemerintah yang terbatas ini sebaiknya digunakan untuk membiayai upaya-upaya membantu petani beralih secara gradual kepada komoditas bernilai tinggi (high value commodities).

Dampak Kebijakan Perberasan Saat ini Terhadap Tujuan Kebijakan


Berbeda dengan kebijakan perberasan selama periode Revolusi Hijau di tahun 1970-an dan 1980-an, kebijakan perberasaan saat ini tidak terlalu berhasil. Kebijakan perberasan telah menjadi pembicaraan hangat sejak pertengan 1990an, dan terutama sejak krisis ekonomi terjadi di pertengahan tahun 1997.

Kebijakan untuk menaikkan harga beras telah menundang perdebatan. Tarif bea masuk sebesar Rp. 430/kg beras serta risk premium pedagang telah meningkatkan harga beras dalam negeri 25-30% diatas harga paritas impornya. Banyak pejabat pemerintah yang merasa bahwa manfaat yang diterima produsen lebih besar dari beban atau kerugian yang harus ditanggung oleh konsumen dan masyarakat miskin. Namun kebenaran pendapatan tersebut masih sering dipertanyakan.

Kebijakan stabilitas harga tidak memperlihatkan hasil yang diharapkan. Sejak 1997, Bulog, lembaga yang bertanggungjawab atas stabilitas harga, tidak mampu lagi menstabilkan harga beras dalam negeri. Pada tahun 1998, lembaga ini telah gagal menjaga kenaikan harga beras, dan harga beras dalam negeri meningkat dua kali lipat hanya dalam waktu empat bulan. Pada Desember 1998, pemerintah menetapkan harga dasar gabah yang tinggi dan tidak realistis, dan Bulog tidak pernah bisa mempertahankannya. Sebaliknya, lembaga tersebut hanya membeli beras dalam jumlah yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, dan gagal mempertahankan harga dasar (floor price) maupun harga tertinggi (ceiling price). Dengan pertimbangan bahwa kebijakan stabilisasi harga tidak dapat dijalankan secara efektif, maka pada tahun 1999 pemerintah telah mencabut hak monopoli impor beras yang dipegang oleh Bulog.

Kebijakan investasi publik untuk sektor perberasan masih tetap dijalankan seperti sebelumnya, namun dalam jumlah dan tingkat efektivitas yang jauh lebih rendah. Banyak jaringan irigasi dan sarana transportasi yang harus direhabilitasi dan dipelihara namun membutuhkan biaya yang amat besar. Kesulitan dana karena krisis ekonomi membuat pemerintah menemui kesulitan untuk mengembangkan infrastruktur pedesaan.
Kebijakan makroekonomi menjadi semakin tidak menentu karena krisis makroekonomi. Kecuali untuk 1998 (ketika tingkat inflasi mencapai 80 persen setahun), kebijakan fiskal dan moneter pemerintah telah mampu menjaga tingkat inflasi pada tingkat yang cukup baik (8-12% per tahun). Ketidakpastian perekonomian Indonesia bersumber dari nilai tukar yang amat berfluktuasi, terdepresiasi dari sekitar Rp. 2.500/US$ pada pertengahan 1997 menjadi lebih dari Rp. 16.000/US$ pada awal 1998, sebelum kemudian stabil pada kisaran Rp. 8.000 – Rp. 12,000/US$.

Regulasi pola tanam di pedesaan telah dihapuskan. Petani padi di Jawa Timur dan Jawa Tengah tidak lagi diharuskan menanam tebu untuk kemudian digiling oleh pabrik-pabrik milik pemerintah. Namun, beberapa petani di Jawa mengeluh bahwa beberapa pejabat pemerintah daerah masih mencoba untuk tetap meregulasi pilihan petani dalam menentukan pola tanamnya.

Kebijakan Perberasan Dalam Kerangka Analisis Kebijakan Pertanian
Pada prinsipnya, pemerintah membuat strategi pembangunan pertanian dengan memilih seperangkat kebijakan untuk mencapai berbagai tujuan yang ditetapkan, dengan memperhitungkan kendala-kendala ekonomi yang ada. Kerangka konseptual ini telah diuraikan dengan membandingkan dua periode kebijakan perberasan Indonesia, yaitu periode Revolusi Hijau 1970an dan 1980an dengan periode krisis ekonomi 1997 sampai sekarang. Kebijakan pada periode pertama telah dianalisis pada buku RPI, sementara kebijakan pada periode terakhir ini telah dikaji dalam berbabagai artikel yang ditulis oleh tim the Food Policy Support Activity (FPSA). Semua analisis tersebut disajikan pada bagian “Food Policy Agenda” pada situs (www.macrofoodpolicy.com).
Strategi pembangunan perberasan pada masa Revolusi Hijau adalah memperkenalkan teknologi baru dalam bentuk varitas unggul, perbaikan pengelolaan sistem pengairan, penggunaan pupuk kimia, sistem pemasaran yang lebih baik, serta pembangunan irigasi.

Subsidi pupuk, harga beras yang stabil, air irigasi tanpa bayar, jalan yang lebih baik, dan kondisi makroekonomi yang stabil melengkapi pengenalan teknologi baru, dan merangsang penyebaran teknologi tersebut secara cepat. Kebijakan-kebijakan tersebut telah memecahkan kendala-kendala ekonomi yang ada, dan memungkinkan terjadinya peningkatan produksi dan pendapatan dari sektor perberasan menjadi tiga kali lipat.
Kondisi diatas telah memungkinkan tercapainya ketiga tujuan kebijakan yaitu effisiensi, equity dan security. Peningkatan produksi beras ini terjadi berkat perbaikan teknologi, bukan policy transfer. Harga beras dijaga untuk tetap berada disekitar harga dunia, dan efisiensi telah meningkat. Manfaat dari teknologi telah memungkinkan terjadinya peningkatan keuntungan petani, sementara konsumen diuntungkan dengan menurunnya harga beras dunia dan dalam negeri secara gradual. Oleh karena itu trade-off dalam aspek pemerataan menjadi kecil. Ketahanan pangan meningkat sejalan dengan menurunnya impor, bahkan tidak ada lagi, melalui peningkatan produksi secara efisien dalam situasi harga beras dalam negeri yang relatif stabil. Dengan kata lain, strategi untuk meningkatkan penyebaran teknologi varitas unggul telah berhasil pada hampir segala segi.

Selama periode setelah krisis ekonomi baru-baru ini, strategi perberasan tidak lagi tersusun dengan baik. Strategi perberasan ditujukan untuk membantu meningkatkan pendapatan petani dalam situasi harga dunia yang luar biasa rendahnya. Berbeda dengan masa sebelumnya, strategi kali ini tidak ada teknologi baru yang disebarkan. Saat ini hampir seluruh petani padi Indonesia telah menggunakan varitas unggul. Beban berat yang dialami anggaran negara, yang berkibat pada ketatnya belanja negara, telah menghambat kemampuan pemerintah untuk meningkatkan kemampuan pembangunan sarana irigasi dan transportasi. Terganjal oleh keterbatasan fiskal, kebijakan yang kontradiktif, serta beban yang timbul dari korupsi dan “salah-urus”, Bulog tidak mampu menstabilkan harga beras. Turunnya nilai tukar rupiah yang besar dan dalam waktu yang singkat telah meningkatkan ketidakpastian produksi dan pemasaran beras.
Kebijakan perberasan saat ini mengahadapi trade-off yang amat sulit. Instrumen kebijakan utama yang dilakukan saat ini adalah bea masuk impor, yang telah meningkatkan harga beras dalam negeri sebesar 25-30 persen, serta subsidi konsumsi beras terbatas bagi kelompok miskin di pedesaan dan perkotaan melalui program “raskin” (beras untuk orang miskin). Kelompok miskin di pedesaan dan perkotaan hanya menerima kompensasi sebagian saja dari peningkatan harga beras yang diakibatkan oleh kebijakan perberasan tersebut.

Opini publik yang berpihak kepada petani beras berargumen untuk mempertahankan, atau bahkan meningkatkan, tarif bea masuk terutama untuk menghilangkan pengaruh dari menurunnya harga beras dunia yang amat luar biasa tersebut. Pendapat publik yang bersebrangan, berpihak kepada konsumen miskin, berargumentasi bahwa pemerintah harus mengambil manfaat dari menurunnya harga beras dunia tersebut demi perbaikan gizi masyarakat miskin dan pengentasan kemiskinan. Ke arah mana para pengambil kebijakan akan berpihak dalam tujuan yang amat bersebrangan ini telah menjadi perdebatan hangat dalam rangka Indonesia memilih strategi yang konsisten dan berhasil.



Refference: Scott Pearson, Carl Gotsch, Sjaiful Bahri dalam www.macrofoodpolicy.com



Read more.....

Senin, 23 Februari 2009

PROSPEK PENGEMBANGAN AGRIBISNIS WORTEL

Pendahuluan
Kebutuhan sayur sayuran wortel terus mengalami peningkatan yang ditandai dengan kenaikan jumlah produksinya. Pada tahun 1990 jumlah produksi wortel tercatat 172 ribu ton dan pada tahun 1991 meningkat menjadi 176 ribu ton. Jumlah tersebut akan terus bertambah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, pengetahuan dan kebutuhan masyarakat akan makanan yang bergizi.Adanya peluang usaha dibidang komoditi (Download dalam bentuk file, Click Here)tersebut ditangkap
oleh PT JORO (PMA Belanda) dan PTPN XII (Persero) untuk menjalain kerjasama mendirikan perusahaan yang bergerak dibidang hortikultura yang bernama PT ROLAS INDUSTRI AGRO NUSANTARA (RIAN) yang berlokasi di Bondowoso. Dengan kemampuan menejerial standart PMA, teknis pengendalian mutu, serta penguasaan hasil yang baik, sebenarnya bagaimanakah prospek budidaya wortel di PT ROLAS INDUSTRI AGRO NUSANTARA (RIAN)?
Umum

1.1Sejarah Singkat

Wortel (Daucus carrota) dikenal hampir di setiap negara termasuk Indonesia. Sayuran ini cukup popular di kalangan masyarakat. Di hampir setiap daerah terutama wortel banyak dijual di pasar sehingga mudah di peroleh. Tak heran jika di tanah air, wortel lebih dikenal masyarakat dibandingkan dengan sayuran umbi lainnya misalnya lobak.

Wortel/carrots (Daucus carota L.) bukan tanaman asli Indonesia, berasal dari negeri yang beriklim sedang (sub-tropis) yaitu berasal dari Asia Timur Dekat dan Asia Tengah. Ditemukan tumbuh liar sekitar 6.500 tahun yang lalu. Rintisan budidaya wortel pada mulanya terjadi di daerah sekitar Laut Tengah, menyebar luas ke kawasan Eropa, Afrika, Asia dan akhirnya ke seluruh bagian dunia yang telah terkenal daerah pertaniannya, selanjutnya berkembang ke Eropa, Afrika Utara, Amerika Selatan dan Amerika Utara. Kalangan Internasional menyebutnya Carrot.

Wortel merupakan tanaman sayuran umabi semusim berbentuk semak. Sayuran ini dapat tumbuh sepanjang tahun, penghujan maupun kemarau. Wortel memiliki batang pendek yang hampir tidak tampak. Akarnya berupa akar tunggang yang berubah bentuk dan fungsi menjadi bulat dan memanjang yang selanjutnya dinamakan umbi. Bagian umbi inilah yang dimanfaatkan untuk konsumsi makanan sehari-hari.

1.2Sentra Penanaman

Di Indonesia budidaya wortel pada mulanya hanya terkonsentrasi di Jawa Barat yaitu daerah Lembang dan Cipanas. Namun dalam perkembangannya menyebar luas ke daerah-daerah sentra sayuran di Jawa dan Luar Jawa. Berdasarkan hasil survei pertanian produksi tanaman sayuran di Indonesia (BPS, 1991) luas areal panen wortel nasional mencapai 13.398 hektar yang tersebar di 16 propinsi yaitu; Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bali, NTT, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian Jaya.

1.3Taksonomi Tanaman Wortel
Dalam dunia tumbuhan, klasifikasi tanaman wortel selengkapnya adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Klas : Angiosspermae
Subklas : Dycotyledoneae
Ordo : Umbelliferae/Apiaceae/Ammiaceae
Genus : Daucus
Spesies : Daucus carrota

1.4 Kandungan Gizi Wortel


Umbi wortel berwarna kuning kemerahan yang disebabkan oleh kandungan karoten yang tinggi, yakni suatu senyawa kimia pembentuk vitamin A atau provitamin A, kulitnya tipis, memiliki rasa manis dan renyah. Wortel memiliki kandungan gizi yang banyak diperlukan oleh tubuh terutama sebagai sumber vitamin A. Dibandingkan dengan sayuran lainnya, nilai vitamin A wortel 12.000 SI, nilai ini lebih rendah dari daun pepaya 18.250 SI, dan daun singkong 13.000 SI.
Selain vitamin A, wortel mempunyai kandungan gizi yang lain Tabel 1 mencantumkan komposisi gizi wortel yang disusun Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI.

1.5 Tipe dan varietas yang dibudidayakan

Wortel dapat dibedakan menurut panjang umbinya menjadi 3 macam, yakni wortel yang berumbi pendek, berumbi sedang, dan berumbi panjang.(Nur Berlian A.V. dan Estu R.,2000)Secara lebih spesifik wortel di Belanda di kelompokkan berdasarkan bentuk dan kegunaan sebagaimana table 2.

PT. RIAN Divisi Jampit sekarang membudidayakan 3 type yaitu type nantes dengan varietas Newton dan nevis, type berlikum dengan varietas Bradford dan type flakee dengan varietas kamaran.Selain type dan varietas tersebut, pernah pula dibudidayakan 4 type lainnya yaitu type chantenee dengan varietas Carson, type paris dengan varietas parmex, type amsterdamse bak dengan varietas mokum dan type baby dengan varietas mignon.

Varietas yang dibudidayakan tersebut merupakan varietas yang sesuai dengan kondisi iklim dan struktur tanah di Jampit karena sebelum diusahakan dalam skala besar di lahan telah dilakukan uji coba di lahan R&D. Kesesuaian tersebut dapat dibuktikan dengan resistannya varietas tersebut terhadap hama dan penyakit yang ada seerta hasil yang optimal.

Iklim Dan Kondisi Tanah Sebagai Syarat Tumbuh
Unsur-unsur yang berperan dalam pertumbuhan tanaman wortel meliputi curah hujan, temperatur, dan ketinggian tempat, kelembaban, sinar matahari dan angin.

a.Curah Hujan
Tanaman wortel membutuhkan air yang banyak dalam pertumbuhannya. Kebutuhan air secara alami dapat dipenuhi dari air hujan. Air yang berlebih menyebabkan tanaman mudah terserang penyakit dan sebaliknya kekurangan air menyebabkan tanaman kering dan akhirnya mati.

Berdasarkan penggolongan Schmid-Ferguson, iklim yang cocok untuk pertumbuhan tanaman wortel adalah iklim A (sangat basah), B (basah), dan C (agak basah). Curah hujan di afdeling Jampit rata-rata 1857 mm/tahun dengan bulan basah selama 10 bulan dan bulan kering selama 2 buln. Kondisi tersebut termasuk iklim B berdasarkan penggolongan Schmid-Ferguson. Curah hujan 6 tahun terakhir sebagai berikut:

b.Temperatur dan Ketinggian

Tanaman wortel akan tumbuh dengan optimal pada daerah bertempetatur rendah. Oleh karenanya lebih cocok di tanam di daerah dataran tinggi, yakni daerah yang mempunyai ketinggian lebih dari 700 m di atas permukaan air laut. Namun demikian wortel dapat ditanam di daerah yang lebih rendah misalnya 400 m di atas permukaan air laut tetapi hasil produksinya lebih sedikit. Tanaman wortel akan tumbuh dengan optimal pada ketinggian 1200-1500 m di atas permukaan air laut.

c.Kelembaban

Tanaman wortel memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kelembaban. Semakin tinggi letak tempat semakin tinggi pula kelembaban sehingga tanaman wortel tidak terlalu banyak penguapan. Begitupun sebaliknya, semakin rendah letak tempat semakin rendah pula kelembaban dan akan banyak sekali penguapan.

d.Sinar matahari

Pada pertumbuhannya, tanaman wortel membutuhkan sinar matahari secara penuh (tidak ternaungi) sebagai sumber energi untuk pembentukan gula melalui proses fotosintesis dan pembentukan umbi tanaman. Tanaman yang kurang sinar matahari pertumbuhannya akan terhambat dan memanjang.

e.Angin

Angin membantu tanaman dalam melakukan penyerbukan. Angin dengan kisaran kecepatan 19-35 km/ jam dapat menerbangkan serbuk sari. Angin menjadi sangat penting perannya bagi budidaya tanaman wortel yang diambil benihnya

f.Kondisi tanah

Menurut klasifikasinya, beberapa jenis tanah yang sesuai untuk budidaya tanaman wortel antara lain regosol, latosol, dan andosol dengan kisaran pH 5,5-6,5.
Berdasarkan data analisis tanah, jenis tanah di Jampit adalah regosol, struktur tanah remah, tekstur lempung berpasir dengan prosentase pasir lebih banyak dan sedikit debu. Tanah ini banyak mengandung kalium dengan pH tanah 5,5-6. Topografi lahan datar yang berada di lembah gunung dengan lapisan olah tanah 4 sampai 5 meter.
Keadaan iklim menurut klasifikasi Schmid-Ferguson termasuk type B (basah) dengan 10 bulan basah (Oktober-Juli) dan 2 bulan kering (Agustus-September). Rata-rata curah hujan untuk 6 tahun terakhir (1997-2002) adalah 1857,5 mm/tahun. Temperatur minimum 50C dan maksimiu 200C. Kelembaban udara berkisar antara 90%-95%.

Pedoman Teknis Budidaya

Proses Budidaya Wortel
3.1.1Benih

Tanaman wortel diperbanyak dengan bijinya, Biji untuk penanaman dikenal dengan istilah benih. Benih yang berkualitas tinggi merupakan langkah awal peningkatan produksi. Benih wortel dapat diperoleh dengan 2 jalan yakni membeli dari toko pertanian dan menyiapkan sendiri melalui proses penyerbukan, tanaman dipelihara hingga berbiji untuk diambil benihnya.

Pada budidaya wortel yang dilakukan PT. RIAN Divisi Jampit benih diperoleh dengan jalan membeli. Pembelian dilakukan secara import dari industri benih BEJO ZADEN B.V yang berlokasi di Warmenhuizen Holland. Benih yang diimport tersebut telah diujicoba oleh bagian Research and Development PT. RIAN Divisi Jampit dan terbukti bermutu tinggi. Hal ini terbukti dengan tingginya daya kecambah yang mencapai 98%, tahan terhadap hama dan penyakit serta memberikan hasil produksi yang tinggi.

Menurut Nur Berlian V.A dan Estu R (2000) kebutuhan benih wortel per hektar sebanyak 300.000-400.000 biji atau 1,5 kg-3 kg dengan benih local. Menurut Bejo Zaden B.V Guide Book (TK Tunas Harapan) kebutuhan benih wortel perhektar sebanyak 1 juta-1,5 juta biji untuk type nantes varietas Newton dan 500 ribu- 1 juta biji untuk type flakee varietas kamaran. Kebutuhan benih pada budidaya yang dilaksanakan di PT. RIAN Divisi Jampit setiap hektarnya menggunakan 19 kemasan benih atau sebanyak 0,25 kg.

Benih yang diimport tersebut dikemas dalam bentuk kemasan berukuran 11,5 cm x 17 cm. Terbuat dari kertas minyak di bagian luar dan aluminium foil di bagian dalam. Dalam satu kemasan terdapat 25.000 biji dengan berat rata-rata 10,08 g per 1000 biji. PT. RIAN Divisi Jampit tidak memproduksi benih sendiri dengan jalan membiarkan tanaman hingga berbiji untuk di ambil benihnya karena akan memakan waktu, biaya dan tenaga yang lebih besar. Sedangkan benih import dapat diperoleh dengan mudah dan cepat. Selain itu terdapat suatu keyakinan bahwa benih generasi kedua memiliki perbedaan yang signifikan dalam hasil produksi dan ketahanan terhadap penyakit.
Pengolahan Tanah

a.Penggemburan

Keadaan fisik dan struktur tanah sangat berpengaruh pada pembentukan umbi wortel. Tanaman wortel memerlukan tanah yang berstruktur gembur dan mengandung bahan organic. Tanah yang keras akan sulit ditembus oleh akar sehingga bentuk wortel tidak lurus namun berbelok atau dapat pula bercabang dan kecil.

Pengolahan tanah bertujuan untuk menciptakan kondisi yang sesuai dengan yang dibutuhkan tanaman. Pada pengolahan tanah, struktur tanah dapat di perbaiki, sirkulasi udara menjadi lebih baik, lapisan tanah yang kaya humus dapat dibalik sehingga dapat digunakan oleh tanaman, pupa ulat tanah dan mikroorganisme patogen di dalam tanah dapat mati oleh panas sinar matahari.

Penggemburan tanah dilakukan dengan menggunakan traktor dengan kedalaman 30-40 cm Setelah lahan di bajak selanjutnya dilakukan pengapuran secara manual yang bertujuan membersihkan lahan dari gulma dan menghancurkan bongkahan tanah yang masih tersisa menjadi butiran.

b.Pembuatan bedengan

Tanah yang sudah digemburkan dibuat alur atau bedengan. Arah bedengan sebaiknya dibuat membujur dari timur ke barat, agar tanaman menerima sinar matahari sebanyak-banyaknya. Bedengan dibuat dengan lebar 140 cm, tinggi 30 cm, dan panjang menyesuaikan dengan kondisi lahan, biasanya sepanjang 100 m. Pada kanan dan kiri bedengan dibuat parit selebar 40 cm dengan kedalaman +25 cm. Parit ini berfungsi untuk saluran drainase serta memudahkan penanaman dan pemeliharaan.

Setelah bedengan terbentuk, bagian atas bedengan diratakan dengan alat sederhana yang terbuat dari papan yang memiliki system kerja meratakan permukaan. Hal ini dilakukan agar alat tanam dapat bekerja dengan mudah dan bedengan terlihat lebih rapi. Dalam I ha terdapat 58 bedengan.

Penanaman
a.Waktu tanam
Di Jampit wortel dapat ditanam sepanjang tahun. Di musim penghujan air dapat terpenuhi dari air hujan dan di musim kemarau air dapat diperoleh melalui system irigasi tetes. Tanaman wortel dapat ditanam secara tumpangsari namun di Jampit di tanam secara monokultur.

b.Cara penanaman
Benih wortel ditanam secara langsung tanpa disemai terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar akar tunggang tidak terputus sehingga penampilan wortel tetap lurus. Pertimbangan lain, karena ukuran benih cukup besar (1,6 mm-1,8 mm) sehingga tingkat kerusakan dan hilangnya benih di lahan sangat kecil. Benih ditanam menggunakan alat tanam (earth way). Alat tersebut dilengkapi dengan disc yang telah disesuaikan untuk menyemaikan benih wortel.

Prinsip kerja alat tersebut adalah membuat larikan sebagai penunjuk penanaman. Larikan tersebut memanjang sepanjang bedengan, dengan jarak antar larikan 20 cm sehingga dalam satu bedengan terdapat 4 larikan. Setelah larikan terbentuk maka dibuat lubang tanam dengan kedalaman 1,5 cm. Setelah lubang tanam tertutup benih tertanam, ditutup tanah dan ditekan. Tahapan kerja tersebut dapat dilakukan dalam satu kali jalan.

Penggunaan alat tersebut diawali dengan meletakkan benih pada kotak benih yang ada pada earth way dan mendorongnya. Benih akan tertanam secara otomatis. Semakin cepat laju alat maka jarak semai akan semakin lebar. Satu kemasan benih berisi 25.000 biji, dapat disemai pada 2 bedengan atau 8 larikan. Benih akan berkecambah pada umur 7-10 hari setelah tanam.

3.1.2Pemeliharaan
Pemeliharaan merupakan salah satu hal terpenting dalam budidaya wortel dalam rangka memperoleh hasil yang optimal. Pemeliharaan tanaman meliputi pengairan, pemupukan, penjarangan, penyiangan, dan pengendalian hama dan penyakit.

1.Pengairan
Tanaman membutuhkan air dalam proses prtumbuhannya termasuk wortel . Secara alami kebutuhan air dapat dipenuhi dari air hujan, namun di musim kemarau dimana ketersediaan air sangat terbatas maka diperlukan irigasi. Ketersediaan air yang kurang dan tidak tersedia secara kontinyu menyebabkan kracking pada umbi wortel terutama type nantes varietas nevis. Menurut Larry G. James (TT) irigasi pertanian memiliki fungsi sebagai berikut:

a.Mendinginkan tanah dan tanaman
Pada saat panas terik, suhu lingkungan sekitar tanaman khususnya tanah meningkat begitu pula dengan suhu tanaman. Akhir dari peningkatan suhu adalah penguapan baik tanah maupun tanaman. Untuk menjaga suhu tanah maupun tanaman stabil diperlukan irigasi.

b.Perlindungan dari embun es/fross
Pada saat terjadi fross, daun tanaman tertutup embun es, apabila dibiarkan mencair akibat panas matahari berakibat tanaman mati. Hal ini terjadi karena pada saat fross sitoplasma sel membeku lalu terkena sinar matahari. Suhu sitoplasma meningkat secara drastic akibatnya dinding sel pecah dan tanaman mati. Dengan irigasi terutama system springkel, tanaman yang terkena fross disiram sebelum matahari terbit sehingga embun es mencair sebelum matahari terbit. Oleh karena itu peningkatan suhu dalam sel meningkat secara perlahan sampai matahari terbit.

c.Memacu pertumbuhan vegetatif menunda pembuahan
Pada tanaman sayur berbentuk buah misalnya paprika (Capsicum autuum) tersedianya air yang melimpah mengakibatkan pertumbuhan vegetatif, sebaliknya air yang tidak kontinyu mempercepat pertumbuhan generatif.

d.Mengendalikan erosi yang disebabkan oleh angin
Kecepatan angin mampu menerbangkan butiran-butiran tanah, dengan adanya irigasi tanah menjadi basah dan lebih berat serta solid sehingga tidak mudah terbawa angin.

e.Mempercepat perkecambahan benih
Benih akan berkecambah dengan cepat pada tanah yang lembab dan agak basah.
f.Media penerapan bahan kimia
Melalui irigasi dapat pula dilakukan pemberian fungisida maupun pemberian unsur hara.
g.Pengendalian limbah cair
Melalui irigasi air tidak langsung menuju ke lahan melainkan melalui filter-filter terlebih dahulu sehingga air terbebas dari limbah.

Sistem irigasi yang digunakan PT. RIAN Divisi Jampit dalam budidaya tanaman wortel adalah irigasi tetes dimana air melalui pipa berdiameter + 1,5 cm yang dipasang memanjang, sepanjang bedengan. Air akan keluar dari lubang-lubang yang terdapat pada pipa/selang dalam bentuk tetes-tetes air. Dalam satu bedengan terdapat 2 buah pipa/selang.Menurut Yos Van Der Knaap, lahan seluas 1 ha membutuhkan 35 m3 air per hari atau 3,5 liter air/m2 dalam 1 hari.

Penyiraman dilakukan mulai benih di semai sampai menjelang panen sedangkan waktunya dapat dilakukan pagi atau sore hari tergantung dari sebagian besar kondisi tanah. Larry G. James (TT), terdapat tiga indikasi perlunya dilakukan penyiraman yaitu indikator tanaman, indikator tanah, dan teknik persediaan air. Indikator tanaman dapat dilihat dengan mudah misalnya tanaman layu dan berwarna pucat. Indikator tanah dapat dilihat apabila tanah mulai mongering dan tidak solid.

2.Pemupukan
Selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman memerlukan unsur hara yang dapat diperoleh dari pupuk. Pemupukan pada tanaman wortel dapat dibedakan menjadi 2 berdasarkan waktu pemberiannya yaitu pupuk dasar dan pupuk lanjutan. Menurut Nur Berlian V.A dan Estu R. (2000) pupuk yang diberikan saat tanam adalah pupuk kandangsebanyk 15 ton/ha, SP-36 sebanyak 100 kg/ha, urea sebanyak 100 kg/ha dan KCl sebanyak 30 kg/ha. Untuk mendapatkan produksi umbi yang sempurna tanaman diberi pupuk susulan/lanjutan. Pupuk lanjutan pertama pada umur 2 minggu setelah tanam berupa 50 kg urea. Pupuk lanjutan kedua diberikan pada umur 1-1,5 bulan berupa urea sebanyak 50 kg/ha dan KCl sebanyak 20 kg/ha. Pupuk diberikan dengan jalan ditabur membentuk larikan sepanjang bedengan berjarak 5 cm dari tanaman dan ditutup dengan tanah. Dosis pemupukan dapat berubah sesuai dengan kondisi tanah.

Pemupukan yang dilakukan PT. RIAN Divisi Jampit secara garis besar sama, terdapat pupuk dasar dan pupuk lanjutan. Pupuk dasar diberikan saat tanam terdiri dari pupuk kandang sebanyak 6 m3/ha dan SP-36 sebanyak 500 kg/ha. Pemberian pupuk dilakukan dengan cara menyebarkannya di permukaan bedengan secara merata dan menutupnya dengan tanah. Pupuk lanjutan menggunakan pupuk daun Topsil-D dengan dosis 10-30 gr/10 l air. Intensitas pemberian 1-2 kali seminggu. Pemberian pupuk dapat dilakukan bersama dengan pemberian fungisida dan insektisida.

3.Penyiangan
Gulma adalah tanaman lain yang tumbuh liar di sekitar tanaman. Dalam pertumbuhannya gulma menjadi kompetitor tanaman wortel dalam memperoleh air, cahaya matahari, dan unsur hara.

Penyiangan pertama dilakukan saat tanaman wortel berumur + 15 hari karena pada umur tersebut mulai dapat dibedakan antara tanaman wortel dengan gulma. Penyiangan perlu sekali dilakukan karena pada umur tersebut pertumbuhan gulma lebih cepat di banding pertumbuhan tanaman wortel. Penyiangan kedua dilakukan seiring dengan pertumbuhan gulma. Di bagian tepi, penyiangan dilakukan menggunakan cangkul dan di bagian tengah bedengan digunakan alat sederhana berupa tabung berlapis spon yang terus menerus dibashi herbisida. Herbisida yang sering digunakan adalah Round Up dengan dosis 2 1/1000 liter air /ha. Tabung yang digunakan berdiameter 10 cm dengan panjang + 15 cm. Tabung tersebut mampu bergerak memutar akibat dorongan dan spon yang melapisi tabung yang dibashi dengan herbisida akan membasahi gulma yang tumbuh di antara tanaman wortel yang berbentuk larikan.

4.Penjarangan
Tanaman wortel yang berumur + 1 bulan dengan tinggi + 5 cm perlu dilakukan penjarangan yang bertujuan memberikan jarak antar tanaman sehingga umbi wortel dapat terbentuk dengan sempurna. Dalam penjarangan tanaman yang pertumbuhannya kurang baik dan tumbuhnya terlalu dekat dicabut. Menurut Nur Berlian V.A dan Estu R. (2000) jarak antar tanaman dalam baris menjadi 5-10 cm namun pada Divisi Jampit jarak antar tanaman + 5 cm.

5.Pengendalian Hama Dan Penyakit
Menurut Nur Berlian V.A dan Estu R. (2000) hama yang sering mengganggu tanaman wortel adalah kutu daun (Semiaphis dauci), manggot-manggot (Psila rosae), ulat tritip (Plutella maculipennis), kumbang Bothymus gibbosus, ulat Anagrapha falafera, kumbang Listronatus oregoneuses dan ulat Crocidolomia binotalis. Sedangkan penyakit yang biasa menyerang tanaman wortel adalah bercak daun Cescospora, hawar daun Altenaria dauci dan busuk umbi Altenaria radicina.

Menurut Yos Van Der Knaap penyakit yang menyerang tanaman wortel adalah Altenaria sedangkan hama yang menyerang adalah kutu daun (Aphid), ulat (Caterpillar) dan ulat tanah.Pada budidaya yang dilakukan di Jampit, penyakit yang menyerang tanaman wortel adalah hawar daun. Penyakit ini disebabkan jamur Altenaria dauci (Kuhn)Groves et Skolko. Gejala yang muncul yaitu pada daun terjadi bercak-bercak kecil berwarna coklat tua sampai hitam dengan tepi kuning. Bercak membesar dan bersatu hingga mematikan daun. Infeksi pada tangkai daun menyebabkan bercak memanjang yang berwarna seperti karat.

Pengendalian penyakit tersebut dapat digunakan fungisida dengan bahan aktif Thiram, Iprodion, dan Metalaxyl. Thiram tidak bisa diperoleh di Indonesia. Fungisida yang terbukti efektif adalah Rovral 50 WP dengan bahan aktif Iprodion. Dosis yang digunakan 0,5 gr/l atau 400-800 l/ha. Fungisida ini bersifat kuratif. Fungisida kedua adalah Ridomil Zeta MZ 8/64 WP dengan bahan aktif metalaxyl. Dosis yang digunakan 3-5 gr/l atau 400-800 l/ha. Fungisida ini bersifat kuratif dan untuk hasil optimal perlu dicampur dengan fungisida berbahan aktif mankozeb. Fungisida ketiga adalah Vondozep dengan bahan aktif mankozeb. Dosis yang digunakan 1-2 gr/l atau 400-800/ha. Fungisida ini bersifat preventif.

Hama yang dijumpai mengganggu adalah ulat Crocidolomia binotalis. Ulat kecil dengan panjang + 18 mm berwarna hijau. Menyerang daun bagian dalam dengan meninggalkan bekas gigitan sehingga daun berlubang. Gangguan yang ditimbulkan hama tersebut sangat kecil. Pengendalian hama ini menggunakan insektisida Meothrin 50 EC. Dosis yang digunakan 2-4 ml/liter atau 0,5-1 liter/ha. Insektisida ini bekerja sebagai racun kontak dan lambung.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pestisida adalah caranya sehingga tidak membahayakan jiwa. Selain itu penggunaan pestisida harus tepat waktu, tepat dosis, dan tepat sasaran. Tepat waktu berarti pemberian pestisida pada waktu yang tepat yaitu di pagi hari dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 10.00 WIB atau pada sore hari pukul 15.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Waktu antara pukul 10.00-15.00 WIB, suhu udara tinggi sehingga pestisida akan dengan mudah menguap atau tidak dapat terserap olehta secara sempurna karena stomata mengecil untuk mengurangi penguapan (untuk pestisida sistemik). Tepat waktu berati pula tepat dengan cara kerja pestisida kuratif atau preventif dan kontak atau sistemik. Tepat sasaran berarti pestisida tersebut harus efektif mengendalikan hama dan penyakit. Tepat dosis berarti sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Dosis yang terlalu tinggi dapat membahayakan keseimbangan ekosistem karena predator alami akan ikut mati sedangkan dosis yang terlalu rendah menyebabkan pestisida kurang efektif dan harus digunakan berulang kali. Keduanya merupakan suatu pemborosan biaya dan tenaga. Hal terakhir yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pestisida adalah 2 minggu menjelang panen pestisida tidak boleh digunakan lagi untuk menghindari keracunan pada konsumen. Pada musim penghujan penggunaan pestisida ditambahkan perekat dan perata. Perekat dan perata yang biasa digunakan adalah Agristick dengan dosis 0,25-0,5 ml/liter air.

Panen Dan Pasca Panen
1.Panen
Ciri-ciri tanaman wortel sudah saatnya dipanen adalah sebagai berikut:
a.Tanaman wortel yang telah berumur ± 3 bulan sejak sebar benih atau tergantung varietasnya. Varietas Ideal dipanen pada umur 100-120 hari setelah tanam (hst). Varietas Caroline 95 hst., Varietas All Season Cross 120 hst., Varietas Royal Cross 110 hst., Kultivar lokal Lembang 100-110 hst.
b.Ukuran umbi telah maksimal dan tidak terlalu tua. Panen yang terlalu tua (terlambat) dapat menyebabkan umbi menjadi keras dan berkatu, sehingga kualitasnya rendah atau tidak laku dipasarkan. Demikian pula panen terlalu awal hanya akan menghasilkan umbi berukuran kecil-kecil, sehingga produksinya menurun (rendah).

Khusus bila dipanen umur muda atau "Baby Carrot" dapat dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:
a.umur panen sekitar 50-60 hari setelah tanam.
b.ukuran umbi sebesar ibu jari tangan, panjangnya antara 6-10 cm dan diameternya sekitar 1-2 cm. Dalam pemanenan hal yang harus diperhatikan adalah umur panen dan cara panen. Pemanenan yang tidak tepat waktu menyebabkan mutu produk akan menurun. Misalnya sayuran yang di panen terlalu tua maka komoditi tersebut tidak disukai konsumen dan berharga rendah.

Pada tanaman wortel terdapat dua fase pertumbuhan. Pertumbuhan vegetatif berakhir pada saat wortel berumur 70 hari. Setelah umur tersebut wortel masuk pada masa kematangan (maturity). Pada masa tersebut karakter bentuk dan ukuran umbi mulai terbentuk pada tiap-tiap varietas, kadar gula meningkat, terbentuk karakter rasa dan aroma serta lapisan kulit menjadi lebih cerah. Pada varietas Newton dapat di panen pada umur 100 hari dan varietas nevis dapat di panen pada umur 105 hari.

Cara panen tanaman wortel adalah dengan jalan mencabut batangnya. Pencabutan dilakukan dengan hati-hati agar umbi tidak patah, lalu dimasukkan dalam keranjang. Dalam memasukkan dalam keranjang haruslah hati-hati agar wortel tidak saling berbenturan satu sama lain.

2.Pasca panen
Umbi yang telah di panen selanjutnya di otong tangkainya sepanjang + 5 cm, dibersihkan dari batang daun yang tua dan kurang sehat. Hasil penelitian PT. DIF Nusantara, wortel yang disimpan dengan sedikit batang mampu bertahan lebih lama daripada wortel yang disimpan tanpa batang daun.

Tahap selanjutnya adalah pencucian yang menggunakan bak dengan air yang terus mengalir. Pencucian dilakukan menggunakan kain yang halus sehingga tidak melukai kulit wortel. Pencucian ini dilakukan dengan tujuan mempercantik penampilan wortel. Hasil penelitian yang dilakukan di Belanda, wortel akan lebih tahan lama apabila disimpan dalam cold storage pada suhu 1-2O C tanpa dicuci.

Kegiatan selanjutnya adalah sortasi, grading, dan sizing. Sortasi adalah pemilihan wortel yang baik dan pemisahan dari yang jelek. Grading adalah proses sortasi berdasarkan kualitas dan sizing adalah pengelompokan produk berdasarkan ukuran.

Pada wortel yang tidak termasuk mutu I dan mutu II dikategorikan dalam mutu III dan Baby. Masing-masing mutu ditempatkan dalam keranjang dan tersusun rapi. Khusus mutu III dan Baby dipasarkan melalui PT.DIF Nusantara dengan system konsinyasi. Kedua mutu tersebut terbukti dapat terjual namun memerlukan rentang waktu yang lebih lama jika dibandinagkan dengan mutu I dan II. Di Belanda, wortel yang telah melalui tahapan sortasi, grading dan sizing ditempatkan dalam keranjang kayu. Pada dasarnya keduanya sama namun keranjang yang terbuat dari plastik memiliki keunggulan struktur kuat dan tahan lama, ringan, interior halus dan dapat di cuci.

Walaupun telah dipanen, buah dan sayur tetap melanjutkan proses hidup seperti respirasi dan transpirasi, begitu pula wortel. Respirasi adalah suatu proses oksidasi biokimia pada sel yang hidup. Respirasi menghisap O2 dan mengeluarkan CO2 serta panas, dan merupakan kebalikan dari fotosintesis. Wortel rata-rata mempunyai kandungan air 75-90%. Kehilangan kandungan air sebanyak 5-10% dapat menyebabkan hilangnya rasa. Kedua hal tersebut perlu diperhaitkan untuk memperoleh mutu yang baik walaupun wortel tergolong sayuran yang memiliki daya respirasi rendah. Untuk menghambat kedua proses tersebut perlu dilakukan Pre Cooling, dengan meletakkan pada Cold storage dengan suhu 0,5-10C. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh PT. RIAN Divisi Jampit karena tenaga listrik tidak tersedia secara kontinyu. Wortel yang telah melalui tahapan sortasi, grading dan sizing serta ditempatkan dalam keranjang plastik kemudian ditimbang. Hasil timbangan di catat dalam surat bukti pengiriman sayur. Selanjutnya wortel dikirim ke PT. DIF Nusantara dengan mobil yang dilengakapi cold box.

3.1.3 Rotasi lahan
Rotasi lahan atau pergiliran lahan adalah pengaturan susunan urut-urutan lahan dalam bentuk blok-blok yang sistematis pada suatu tempat dalam luasan areal tertentu. Tujuan rotasi lahan yang dilakukan oleh PT. RIAN Divisi Jampit adalah sebagai berikut:

a.Menjaga struktur dan kesuburan tanah
Suatu tanaman memrlukan unsure hara tertentu dalam jumlah lebih besar dan menyisakan unsur hara lainnya yang diperlukan oleh tanaman lain. Adanya pergiliran lahan, unsur hara pada tiap-tiap blok dapat terjaga keseimbangannya.
b.Menjaga keseimbangan ekosistem.
Budidaya satu jenis tanaman pada satu lahan secara terus menerus dapat menyebabkan pertumbuhan hama dan penyakit tidak terkendali.
c.Mengendalikan hama dan penyakit secara alami.

Budidaya satu jenis tanaman pada satu lahan secara terus menerus dapat menyebabkan pertumbuhan hama dan penyakit tidak terkendali, dengan rotasi lahan populasi hama dan penyakit akan terkontrol secara alami karena tumbuhan yang tumbuh berganti atau hama dan penyakit tersebut kehilangan inangnya.

Manajemen Pemasaran
A.Manajemen Pemasaran PT. RIAN
Menurut Kotler (2000), pemasaran adalah suatu proses social yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain.
Hasil panen yang dihasilakn oleh PT. RIAN Divisi Jampit selanjutnya dipasarkan melalui PT.DIF Nusantara dengan system konsinyasi.
Manajemen Pemasaran PT. DIF Nusantara
Kegiatan pemasaran dilakukan oleh PT. DIF Nusantara yang berlokasi di Denpasar Bali. PT. DIF Nusantara merupakan anak perusahaan dari PT. JORO yang bergerak di bidang pemasaran hortikultura. Kegiatan pemasaran yang dilakukan PT. DIF Nusantara tidak terbatas pada penjualan sayuran saja melainkan juga beberapa jenis buah dan bunga seperti heliconia.

Suplier PT. DIF Nusantara tidak hanya berasal dari PT. RIAN Divisi Jampit untuk sayuran dan Divisi Heliconia untuk bunga. Daftar supplier dan konsumen PT. DIF Nusantara sebagaimana tabel 6 dan 7 terlampir. Wortel yang dikirim oleh PT. RIAN Divisi Jampit menggunakan kendaraan yang dilengkapi cold box di timbang ulang kemudian dimasukkan cold storage dengan suhu 6-7 0C. Proses penimbangan ulang yang dilakukan hanya sebagai cara untuk memeriksa ulang berat sayuran yang bersangkutan. Pengemasan baru dilakukan saat menerima order dari konsumen.

Pengemasan
Pengemasan dilakukan pagi hari setelah order diterima pada hari sebelumnya. Pengemasan wortel dapat dibedakan menjadi 2 bentuk. Bentuk pertama dikemas dalam plastik dan di press yang dikenal dengan kemasan “pepito” berisi 1 kg wortel. Bentuk kedua menggunakan styrofoam yang dibungkus dengan plastik film atau wraping, berisi 1 kg wortel pula. Pengemasan ini bertujuan memperindah penampilan dan mengurangi transpirasi.

Menurut Agrobis (2000), terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan kemasan yaitu:
a.Desain harus menarik, informative, dan memberikan image yang baik, kuat, namun mudah di buka.
b.Informasi dan pelabelan, jelas berisi perihal perusahaan, macam produk, cara penyimpanan, dll.

Menurut Nur Berlian V.A dan Estu R. (2000), pengemasan merupakan suatu cara untuk melindungi atau mengawetkan wortel,juga memperlancar transportasi dan distribusi ke konsumen. Kemasan yang biasa digunakan dibedakan menjadi 2 yaitu:
a.Kemasan karung plastik untuk tujuan ke pasar induk atau grosir.
b.Kemasan film plastik sehingga tampil baik, rapi, dan menarik untuk keperluan dijual di supermarket.

Perkembangan Ekspor Wortel
Jepang merupakan target pasar yang baik untuk komoditas sayur-sayuran di masa yang akan datang. Hal ini terlihat dari tingginya impor komoditas tersebut selama 25 tahun terakhir. Wortel dan lobak misalnya, walaupun produksi dalam negerinya cukup baik, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pada tahun 1993, produksi wortel dan lobak adalah sebesar 709.000 ton akan tetapi Jepang masih mengimpor komoditi tersebut sebesar 9.266 ton, dengan nilai ¥ 677 million. Pada tahun 1994, volume impor malah meningkat menjadi 18.212 ton, dengan nilai ¥ 1.2 billion.

Pada saat ini negara pengekspor wortel dan lobak ke Jepang adalah Taiwan, China, USA, New Zealand and Australia. Indonesia belum berpartisipasi banyak dalam mensuplai komodtitas tersebut ke Jepang. Pada tahun 1993, volume ekspor Indonesia terhadap komoditi tersebut hanya 7 ton, dengan nilai ¥ 1.3 million, tetapi pada tahun 1994 ekspor Indonesia tidak ada sama sekali. Hal ini merupakan fenomena yang kurang baik bagi perdagangan wortel kita mengingat produksi wortel Indonesia sangat baik.

Produksi Dalam Negeri

Luas areal tanam untuk wortel di Jepang terus berkurang dari tahun ke tahun.berkurang dari tahun ke tahun. Kalau pada tahun 1987 luas arealnya adalah 23.000 ha maka pada tahun 1992 luas arealnya hanya 2.300 ha. Namun demikian produksi wortel dalam negeri tidak mengalami penurunan bahkan, sebaliknya. Pada tahun 1987 produksi wortel dalam negeri sebesar 669.300 ton, sedangkan pada tahun 1992 produksinya naik menjadi 690.300 Mts. Ini berarti bahwa ada peningkatan produksi untuk wortel. Bahkan pada tahun 1993 produksi dalam negerinya meningkat menjadi 709.000 ton.

Berbeda dengan lobak, luas areal tanam untuk komoditi ini mengalami penurunan tetapi tidak sedrastis pada tanaman wortel. Demikian juga produksinya mengalami penu-runan dari tahun ke tahun selama periode 1987-1992. Total produksi lobak pada tahun 1992 (197.700 ton) turun sebesar 8,7 % dibandingkan dengan total produksi dalam negeri tahun 1987.

Konsumsi Dalam Negeri
Konsumsi dalam negeri dihitung dengan mengurangi total volume ekspor dariproduksi dalam negeri dan impor. Dari data statistik perdagangan pertanianJepang terlihat bahwa ekspor wortel dan lobak dimulai pada tahun 1994. Oleh karena data produksi pada tahun tersebut tidak tersedia maka angka konsumsi dalam negeri akan dihitung berdasarkan data pada tahun 1992. Pada tahun 1992 produksi dalam negeri wortel dan lobak adalah 888.000 ton. Sedangkan total import untuk komoditas tersebut pada tahun yang sama adalah 2.967 ton. Karena kegiatan ekspor untuk komoditas tesebut pada tahun 19 pada tahun 1992 belum ada, maka konsumsi domestik untuk wortel dan lobak adalah 890.967,4 ton. Jika jumlah penduduk jepang pada tahun tersebut sebanyak 124.452.000 orang, maka konsumsi per kapita untuk komoditas tersebut adalah 7.2 kg.


Sejarah Impor

Pada tahun 1994, Jepang mengimpor sebanyak 18.212,5 ton.wortel dan lobak, baik dalam bentuk segar maupun dalan bentuk dingin, dengan total nilai ¥ 1,2 milyar. Jika dibandingkan dengan total impor pada tahun 1990, maka angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 400 persen. Volume importnya memangpengalami penurunan sebesar 7.039 ton pada tahun 1992 dari angka tahun 1991 (70.3%), tetapi sejak saat itu volume impor bertambah setiap tahun.
Demikian juga untuk nilai impornya, mengalami tren yang sama dengan volume impor. Kalau pada tahun 1990 nilai impornya mencapai ¥ 331,3 juta, maka pada tahun 1991 nilainya bertambah menjadi ¥ 713,5 juta. Nilai impor turun drastis sebesar & yen; 477,5 juta (67.1%) pada tahun 1992 dibandingkan dengan keadaan tahun 1991,tetapi sejak saat itu nilai impor naik sebesar ¥ 981.9 juta.

Market Share Impor
Taiwan adalah pengekspor utama wortel dan lobak ke Jepang, walaupun kontribusinya ke negara tersebut berfluktuasi selama lima tahun terakhir. Pada tahun 1990, Taiwan menguasai hampir seluruh pemasaran wortel dan lobak di pasar Jepang dengan ‘market share’ sebesar 95.4 %. Pada tahun 1994, walaupun dominasi Tailand pun dominasi Taiwan masih tinggi namun market share negara ini terhadap wortel dan lobak hanya sebesar 52 %. China menunjukkan kemajuan yang pesat dalam perdagangan wortel dan lobak ke Jepang. Selama periode 1990-1993 kontribusinya di pasar Jepang masih sangat rendah, yaitu sebesar 1 %. Namun pada tahun 1994, market share negara ini telah mencapai 29 persen. New Zealand and USA adalah negara terbesar ketiga dan keempat mensuplai wortel dan lobak ke Jepang, masing dengan market share sebesar 7.2 % dan 6.2 % pada tahun 1994.

Indonesia baru mulai mengekspor wortel dan lobak ke Jepang pada tahun 1993 sebanyak 7 ton dengan total nilai sebesar ¥ 1,35 juta. Sayangnya kegiatan ekspor initerhenti pada tahun-tahun selanjutnya. Hal ini perlu dirintis lagi mengingat Indonesia adalah negera penghasil wortel dan lobak yang baik. Memang saingan kita adalah negara-negara yang maju, namun bukan tidak mungkin Indonesia dapat menembus pasar Jepang.

Musim Impor
Musim sangat penting diperhatikan bila ingin terjun dalam bisnis sayur-sayuran di pasar Jepang karena hal ini sangat berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi dalam negeri negara Sakura tersebut. Walaupun dari statistik perdagangan terlihat bahwa kegiatan impor wortel dan lobak ini berjalan sepanjang tahun namun ada bulan-bulan tertentu dimana kegiatan impornya sangat intensif sehingga volume impornya pada periode tersebut lebih tinggi dari bulan lainnya.
Pada tahun 1994, total volume impor dari wortel dan lobak adalah 18,212 ton. Dari jumlah tersebut, sebanyak 23.6 % nya disupplai pada bulan Desember. Hal ini disebabkan karena musim dingin pada bulan tersebut yang menyebabkan produksi sayur-sayuran di Jepang terhenti sama sekali. Pada bulan Februari volume impornya sangat rendah, yaitu hanya sebesar 0.01 % dari total impor pada tahun1994 tersebut.
USA, Taiwan, Australia and New Zealand adalah negara yang paling konsisten melakukan kegiatan ekspor selama tahun 1994 . USA (kecuali Januari) dan Taiwan (kecuali Februari) mengeskpor wortel dan lobak sepanjang tahun. New Zealand absen pada bulan Januari dan Oktober dan Australia absen pada bulan Januari dan Februari. Korea Selatan mengekspor wortel dan lobak ke Jepang hanya pada bulan Desember.

Sistem Distribusi

Umumnya semua produk-produk pertanian yang di impor ke Jepang (termasuk wortel dan lobak) melalui sistem pasar induk. Salah satu perusahaan yang bergerak dalam hal ini adalah Seiko yang biasanya membeli produk-produk pertanian melalui importir dan kemudian menjualnya lagi ke pasar induk yang lebih kecil. Dari sini kemudian produk tersebut masuk ke distributor, supermarket dan ke retailer.Beberapa importer menjual produknya langsung ke supermarket.

Harga
Harga di Tingkat Pasar Induk Harga rata-rata per tahun komoditas wortel dan lobak di tingkat pasar induk adalah sebesar ¥122/kg pada tahun 1994, ¥2 lebih rendah dibanding pada tahun 1993. Analisa terhadap perkembangan harga rata-rata di tingkat pasar indukselama tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa secara umum, harga umumnya tinggi selama July-September, yaitu pada saat supplai rendah.
Harga rendah selama periode Oktober-Desember, yaitu pada saat supplai tinggi. Harga rata-rata tahunan wortel ti tingkat pasar induk naik dari ¥123/kg pada tahun 1993 ke ¥168/kg pada tahun 1994. Harga ini lebih stabil dibandingkan dengan harga lobak, tetapi harga ini sedikit tinggi pada bulan Agustus dan September.

3.1Harga per Unit
Harga rata-rata per unit satuan untuk wortel dan lobak yang diimpor selama empat tahun terakhir adalah ¥ 71.9/kg. Pada tahun 1994, hara rata-rata per unit paling tinggi untuk wortel dan lobak USA, diikuti dengan wortel dan lobak Canada, Australia, Vietnam, Singapore, Taiwan dan China yaitu berturut-turut senilai ¥ 153.6/kg, ¥ 90.9/kg, ¥ 83.9/kg, ¥ 81.7/kg, ¥66.2/kg dan ¥45.7/kg .Untuk tahun 1994, rata-rata harga bulanan per unit satuan tertinggi pada bulan, yaitu sebesar ¥ 199.1/kg. Hal ini semata-mata karena pada bulan tersebut hanya USA yang mengekspor wowrtel ke Jepang dan dari keterangan sebelumnya terlihat bahwa harga wortel USA paling tinggi. Namun, secara umum harga per unit untuk komoditas tersebut tinggi selama periode Juli - Oktober (Gambar 7). Hal ini disebabkan karenaebabkan karena pengaruh iklim/ musim dingin yang akan segera tiba pada bulan tersebut dan produksi dalam negeri biasanya sangat rendah pada bulan-bulan tersebut.

Peraturan Impor

Biasanya sayuran segar dijual/ekspor segera setelah waktu panen, sehingga sangat rawan sebagai host dari berbagai penyakit ataupun serangan binatang lainnya. Oleh karena itu untuk jenis komoditas ini perlu penanganan pasca panen yang lebih intensif dan teliti. Bagi negara-negara impotir, kesegaran merupakan prioritas utama yang dilihat pada saat tiba di pelabuhan, baru kemudian pengecekan dilakukan terhadap beberapa faktor seperti : negara asal, nama/perusahaan importir/eksportir, ‘disinfection treatment’, dan (jika ada) prosedur ekspor dari negara asal.
Sampel dari tiap-tiap komoditi secara acak diambil dan diperiksa apakah ada mengandung penyakit atau binatang lainnya. Jika ditemukan hal-hal yang mencurigakan maka akan dilakukan tindakan : desinfeksi atau dihancurkan, atau komoditas tersebut harus segera diangkut keluar nari negara tersebut. Inspeksi terhadap sayuran segar bisanya dilakukan pada tempat-tempat berikut : Pelabuhan laut : Adair, Muroran, Tokyo, Kawasaki, Yokohama, Nagoya, Yokkaichi, Kobe, Osaka, Shimonoseki, Moji, Hakata, Kagoshima, Naha. Pelabuhan Udara : New Chitose Airport, New Tokyo International Airport (Narita Airport), Tokyo International Airport (Haneda Airport), Nagoya Airport (Komaki Airgoya Airport (Komaki Airport), Kansai International Airport, Fukuoda Airport (Itatuke Airport, Nagasaki Airport.
Grades Dan Standar Yang Dikehendaki Konsumen

Uraian secara lengkap untuk informasi ini, misalnya mengenai warna, ukuran (panjang dan besar) untuk wortel sangat terbatas. Untuk lobak, ada tigas jenis ukuran yang beredar di pasar Jepang. Yang pertama adalah yang disebut tipe 2L, yang mempunyai berat sekitar 1.3 kg per buah dan bisanya terdapat 8 buah untuk setiap ukuran 10 kg kardus. Tipe yang kedua adalah tipe L, beratnya berkisar antara 1.0 - 1.3 kg dan biasanya terdapat 10 buah dalam kardus yang sama. Yang ketiga adalah tipe M yang mempunyai kisaran berat antara 0.7 - 1.0 kg dan terdapat 12 buah dalam setiap kardus.

Tariff Rates
Sesuai dengan petunjuk dalam Tariff Rates Schedule, Japanese Finance Ministry, 1995, wartel dan lobak dari Indonesia dikenakan tarif sebesar 5 %.Bagi negara-negara yang tidak termasuk anggota WTO dikenakan tarif sebesar 10 %.

Prospek Ekspor Dari Indonesia

Mengingat produksi wortel di Indonesia sangat baik dan petani kita sudah berpengalaman dalam budidaya wortel, maka terbuka kemungkinan untuk mengarahkan ekspor wortel kita ke Jepang. Untuk itu memang harus dilakukan penelitian akan kriteria/karakteristik yang dikehendaki oleh konsumen Jepang. Khususnya pada saat ini, wortel dan lobak belum termasuk daftar sayuran yang dilarang untuk diimp sayuran yang dilarang untuk diimpor dari Indonesia, sehingga lebih mempermudah proses ekspor komoditi tersebut ke Jepang.
Pada tahun 1993, luas areal pertanaman wortel adalah 15.558 ha dimana hampir separuhnya ada di Jawa, dengan total produksi wortel segar sebesar 201.332 ton. Dari jumlah tersebut yang diekspor baru sejumlah 3.034 ton dengan nilai US$ 402.825. Daerah penghasil utama wortel adalah Jawa Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Reference:

Agrobis, 2002. “Pengemasan Sayur Untuk Ekspor” No. 499 Minggu I Desember 2002.
George N. Agrios, 1996. “ Ilmu Penyakit Tumbuhan” Gajah Mada Universitas Press, Yogyakarta.
Laporan Bulanan Dinas pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Bondowoso Desember 2004
Nur Berlian dan Estu Rahayu, 2000. “ Wortel dan Lobak” Penebar Swadaya, Jakarta.
Philip Kotler, 2000. “Manajemen Pemasaran” PT. Prenhallindo, Jakarta.
Rukmana, Rahmat. 1995 Bertanam wortel. : Kanisius Yogyakarta,
Taufik, R. 2004. Laporan PKL Politeknik Negeri Jember

Read more.....

Minggu, 22 Februari 2009

Cara Menentukan Harga Bayangan (Shadow price) Input Produksi

Guna menentukan harga aktual input dan output dalam penelitian ini digunakan harga rata-rata yang diterima petani responden untuk harga input dan pedagang untuk harga output ditingkat petani. (download file, click here)Sedangkan harga bayangan dapat ditaksir sebagai berikut :
1). Bibit
Bibit kedelai yang digunakan berasal
dari lokal daerah penelitian, dimana tidak dikenakan pajak atau subsidi dari pemerintah. Harga aktual bibit kedelai sebesar Rp. 2.672 per kilogram yang mencerminkan harga sosialnya.

2).Tenaga Kerja
Sebagai faktor produksi primer tenaga kerja yang digunakan dalam aktivitas produksi dan agroindustri kedelai meliputi tenaga kerja dibidang bercocok tanam, pasca panen dan agroindustri. Tenaga kerja yang termasuk dalam kelompok pekerja dinyatakan sebagai tenaga kerja terlatih, dan buruh tani sebagai tenaga kerja tak terlatih.
Dalam keadaan pasar persaingan sempurna harga faktor produksi sama dengan nilai produk marjinalnya. Di negara maju keadaan pasar persaingan sempurna berlaku pula untuk tenaga kerja terlatih. Keadaan pasar tenaga kerja terlatih di negara berkembang dianggap berlaku persaingan sempurna. Dengan demikian tingkat upahnya yang diterima sama dengan tingkat upah keseimbangan, sehingga biaya faktor tenaga kerja terlatih itu sudah mencerminkan biaya sosialnya.

Tingkat upah tenaga kerja tak terlatih yang berlaku di negara berkembang pada umumnya tidak mencerminkan tingkat upah sosial yang sesungguhnya. Penyimpangan itu disebabkan oleh adanya kebijaksanaan pemerintah. Ketentuan tentang tingkat upah minimum menyebabkan tingkat upah yang diterima lebih tinggi dari tingkat upah yang sebenarnya. Berarti biaya faktor tenaga kerja tak terlatih atas dasar tingkat upah yang berlaku tidak mengukur biaya sosial yang sesungguhnya dikorbankan dalam aktivitas yang bersangkutan. Pendugaan terhadap harga bayangan tingkat upah tenaga kerja tak terlatih diperlukan untuk menentukan besarnya biaya sosial faktor produksi primer tersebut.
Ketentuan umum tentang pendugaan harga bayangan tenaga kerja tak terlatih belum ada di Indonesia. Karena itu dalam beberapa studi evaluasi proyek digunakan berbagai harga bayangan yang berbeda-beda. Hal itu menunjukkan adanya perbedaan tentang pengorbanan produksi sebagai akibat dipekerjakannya sejumlah tertentu tenaga kerja tak terlatih dalam aktivitas atau proyek dan lokasinya.
Untuk menyederhanakan analisis, harga bayangan faktor produksi tenaga kerja tak terlatih dinilai sama dengan tingkat upah yang berlaku. Ketidakcermatan dalam pendugaan harga bayangannya dipelajari dalam analisis kepekaan. Pada umumnya upah tenaga kerja satu hari kerja pria dilokasi penelitian sebesar Rp. 15.000,- untuk pria sedangkan untuk wanita Rp. 12.500,- perhari. Penetuan harga bayangan upah tenaga kerja pertanian yaitu sebesar 0,8 persen dari harga aktualnya.

3).Harga Bayangan Bunga Modal
Aktivitas produksi kedelai dan agroindustri meliputi pengusahaan tanaman kedelai di lahan dan pengolahan hasil kedelai (agroindustri), yang merupakan satu kesatuan aktivitas ekonomi. Pertanaman kedelai di daerah penelitian diusahakan dengan sistem tugal di areal sawah beririgasi teknis, semi teknis dan tegal. Modal kerja yang digunakan berasal dari modal sendiri. Namun pajak atau pungutan dan bunga modal merupakan pemindahan uang dari masyarakat satu ke masyarakat lain. Meskipun dasarnya bagi petani sebagai pengeluaran, namun hasil dari pengeluaran tersebut tidak dirasakan secara riil oleh petani, yang mana pengeluaran tersebut akan dirasakan oleh masyarakat umum. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan penaksiran harga sosialnya karena dalam analisis ekonomi, pajak, pungutan dan bunga modal ini tidak diperhitungkan walaupun dalam analisis finansial merupakan pengeluaran.
Agroindustri kedelai dilaksanakan oleh masyarakat/ pengarajin, yang menggunakan sejumlah modal kerja. Data tentang nilai bunga yang dapat dikumpulkan dari masing-masing responden yang disertai dengan tingkat bunga yang berlaku apabila modal kerja berasal dari pinjaman. Karena itu untuk menyederhanakan analisis, maka besarnya bunga tersebut dianggap telah mencerminkan nilai sosialnya.
4).Harga Bayangan Lahan
Lahan merupakan faktor produksi primer, nilai penerimaan yang diperoleh dari alternatif terbaik penggunaannya, dinyatakan sebagai nilai ekonominya. Nilai hasil bersih produksi merupakan harga bayangan faktor produksi lahan. Harga bayangan lahan dapat dihitung dengan mengurangkan total hasil bersih produksi, semuanya dinilai atas dasar harga bayangan.
Memperkirakan harga bayangan lahan merupakan hal penting terutama untuk usaha pertanian, karena penilaian atas lahan sangat berbeda, tergantung pihak yang memanfaatkannya, tujuan serta lokasinya. Lahan yang sama bisa berbeda nilainya bagi orang/pihak yang berbeda.
Menurut Soetriono et al, 2002, kalau lahan berfungsi untuk faktor produksi seperti tenaga kerja, valuta asing dan modal, maka nilai dan harganya harus mencerminkan kegunaannya untuk menghasilkan sesuatu, yaitu nilai produksi bersih lahan tersebut selama jangka waktu tertentu. Lain halnya dengan disewakan, maka harga sewanya dapat dianggap mencerminkan nilai lahan tersebut.
Soetriono (2003) mengatakan bahwa harga banyangan tanah, misal ditanami tebu maka dicari opportunity cost penggunaan tanah selain ditanami tebu, maka harga sosial lahan usahatani tebu adalah pendapatan yang diperoleh jika ditanami selain tebu. Gittenger (1986) menaksir harga bayangan lahan dengan menggunakan nilai sewa yang diperhitungkan tiap musim. Sedangkan Word Bank dalam Budiharsono (1989) menaksir harga bayangan lahan sebesar 85 persen dari sewa yang berlaku dengan asumsi sewa lahan finansial lebih tinggi dibandingkan secara ekonomi karena adanya subsidi input dari pemerintah. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan Gittenger yaitu sesuai dengan harga sewa lahan pada saat penelitian.
5).Harga Bayangan Pupuk dan Pestisida
Harga bayangan pupuk buatan (Urea, TSP, ZA, KCL) didasarkan pada asumsi bahwa sekalipun sebagian besar telah diproduksi didalam negeri, namun masih menggunakan komponen yang bersumber dari luar negeri, sehingga pupuk organik merupakan input tradeable, harga bayangan yang digunakan adalah harga CIF dan FOB. Harga pupuk buatan rata-rata sama dengan harga pasar, hal ini sejalan dengan adanya kebijakan pemerintah mengenai subsidi input terhitung sejak 2 Desember 1998 subsidi harga pupuk dalam negeri dihapus. Sedangkan harga pasar pupuk kandang telah mencerminkan harga sosialnya.
6).Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah
Dalam perdagangan internasional dikenal nilai tukar resmi yang ditetapkan pemerintah terhadap mata uang luar negeri, misalnya terhadap US dollar. Nilai komoditas impor dan ekspor ditetapkan menurut nilai tukar resmi itu. Jika keadaan perdagangan bebas berlaku untuk suatu komoditas, maka besarnya nilai tukar resmi sama dengan nilai tukar keseimbangannya, harga impor atau harga ekspornya merupakan pengukur nilai sosialnya. Gittinger (1986) mengemukakan bahwa nilai tukar resmi pada umumnya lebih rendah dari harga bayangannya.
Ketentuan pemerintah terhadap komoditas impor misalnya, berupa bea masuk, pajak penjualan impor dan pemberian jatah ijin impor biasanya untuk menekan barang impor. Nilai tukar yang sesungguhnya berlaku dalam perdagangan internasional menjadi lebih tinggi dibanding nilai tukar resmi yang ditetapkan pemerintah.
Dalam beberapa studi yang dilakukan pemerintah atau konsultan swasta tentang evaluasi proyek di Indonesia digunakan harga bayangan nilai tukar rupiah terhadap US dollar sama dengan nilai tukar resminya. Hal itu menunjukkan adanya kecenderungan digunakannya nilai tukar resmi sebagai harga bayangan seperti pendapat Gittinger (1986). Menurut Kadariah, 1988, penyesuaian neraca finansial menjadi neraca ekonomi ditentukan oleh nilai premium yang tepat bagi valuta asing. Penentuan premium diperlukan sebagai akibat adanya kebijakkan perdagangan, sehingga orang harus membayar premium untuk barang-barang yang diperdagangkan. Premium menggambarkan kesanggupan para pemakai barang-barang yang diperdagangkan secara rata-rata dari seluruh perekonomian untuk membayar sejumlah tambahan, guna memperoleh satu unit tambahan barang yang dipergagangkan. Dalam Kadariah (1988) dan Gittinger (1986) hubungan antara nilai tukar resmi ( OERt ), premium valuta asing (Fx premium), nilai tukar bayangan (SER) dan factor konversi baku (SCF) adalah sebagai berikut :


OERt x (1 + Fx Premium ) = SERt
________________________________
1
1 + Fx Premium = SCRt

OERt / SCFt = SERt

Penentuan premium valuta asing biasanya dihitung oleh suatu badan pusat, karena dalam membandingkan berbagai alternatif dalam kesempatan – kesempatan investasi di seluruh negara harus dipakai premium valuta asing yang sama. Kalau tidak demikian, maka tidak dapat diadakan perbandingan dan alternatif. Cara lain untuk menghitung besarnya harga banyangan valuta asing adalah dengan menghitung factor konversi baku.

7).Harga Bayangan Faktor Produksi Antara

Faktor produksi antara yang digunakan dalam produksi kedelai misalnya, pupuk, pestisida dan “karung goni”. Nilai ekonomi faktor produksi antara yang berasal dari impor didasarkan pada harga C.I.F yang dinyatakan sebagai komponen biaya luar negeri.
Faktor produksi antara yang berasal dari hasil produksi dalam negeri, harga bayangannya ditentukan berdasarkan unsur-unsur produksinya. Masing-masing unsur produksi dihitung nilai ekonominya, yang dipisahkan menurut komponen biaya dalam dan luar negeri.

A.Kebijakan Pemerintah Terhadap Output


Kebijakan ini dapat diterangkan dengan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO), Nominal Protection Rate on Output (NPRO) dan Output Transfer (OT). Nilai NPCO menunjukkan dampak insensif dari kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output yang diukur dengan harga privat dan harga sosial. Nilai NPCO juga merupakan indikasi dari transfer output, dimana NPCO lebih kecil dari 1 menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga privat lebih kecil dari harga di pasar dunia atau dengan kata lain ada kebijakan pemerintah yang menghambat ekspor output.

B.Kebijakan Pemerintah Terhadap Input Tradeable

Digunakan untuk mengetahui seberapa besar campur tangan pemerintah terhadap petani / agroindustri juga untuk melihat seberapa besar subsidi yang diberikan pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dalam usahatani dan agroindustri kedelai. Indikator yang digunakan adalah Transfer Input (IT) dan Nominal Protection Coefficient Input (NPCI) serta Nominal Protection Rate on Input (NPRI).

Nilai NPCI merupakan ratio harga privat dari input yang diperdagangkan secara internasional dengan harga sosialnya. Nilai NPCI lebih besar dari satu menunjukkan adanya proteksi terhadap produsen input sedang sektor yang mempergunakan input tersebut dirugikan dengan tingginya biaya produksi.

C.Kebijakan Pemerintah Terhadap Input non Tradeable

Untuk mengetahui perbedaan harga sosial dan harga privat yang diterima agroindustri kedelai, terutama untuk input produksi yang tidak diperdagangkan pada pasar internasional (Input Domestik) digunakan indikator Transfer Faktor (TF). Apabila nilai transfer faktor bernilai positif berarti biaya usahatani untuk barang-barang domestik dibayar dengan harga yang lebih mahal dari harga riil. Selain itu digunakan indikator Net Policy Transfer yang bila memberikan nilai negatif berarti kebijakan pemerintah tersebut belum memberi nilai tambah pada pengembangan agroindustri kedelai. Nilai transfer bersih dapat menunjukkan tingkat ketidak efisienan dalam sistem pertanian/agroindustri yang disebabkan oleh adanya kebijaksanaan pemerintah.

Untuk melihat kebijakan pemerintah yang dapat meningkatkan daya saing guna mendorong kegiatan agroindustri dapat digunakan Effective Protection Coefficient (EPC), EPC merupakan indikator yang memberikan nilai tambah terhadap komoditas kedelai. Bila EPC bernilai lebih kecil atau sama dengan 1 berarti insentif pemerintah tidak efektif atau tidak ada insentif pemerintah.

Nilai Profitability Coefficient (PC) digunakan untuk mengukur pengaruh insentif dari seluruh kebijakan pemerintah. PC menunjukkan perbedaan tingkat keuntungan privat dan keuntungan sosial. Ratio ini menunjukkan pengaruh keseluruhan dari kebijakan yang menyebabkan keuntungan privat berbeda dengan keuntungan sosial.

Nilai Subsidy Ratio to Producers (SRP) merupakan ratio antara transfer bersih dengan penerimaan sosial (nilai output tanpa adanya gangguan kegagalan pasar atau kebijakan pemerintah). SRP memberikan indikasi tentang seberapa besar kebijakan pemerintah meningkatkan/mengurangi biaya produksi. Nilai SRP yang bertanda positif menunjukkan kebijakan pemerintah berperanan dalam meningkatkanbiayaproduksi.


Read more.....

Sabtu, 21 Februari 2009

Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Daya Saing Beras Indonesia Di Pasar Domestik

Liberalisasi perdagangan menghendaki penghapusan bea masuk impor, keterbukaan pasar serta kesempatan usaha yang tanpa batas (borderless world). Pada kondisi ini akan berdampak negatif, terutama pada komoditi beras yang secara umum memiliki daya saing rendah, (Download dalam bentuk file, Click Here)karena inefisiensi usahataninya.Tujuan penelitian untuk mengetahui: (a) Tingkat
efisiensi penggunaan input di tingkat usahatani padi, (b) Daya saing komoditi padi di pasar domestik, (c) Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan beras di pasar domestik. (d) Permintaan dan penawaran beras di pasar domestik.
Daerah penelitian ditentukan secara sengaja (purpousive sampling) di Kabupaten Jember dan Lumajang, dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut sebagai sentra penghasil beras di Jawa Timur. Data sekunder diperoleh dari data nasional, sehingga tidak ditentukan daerah penelitian secara spesifik. Metode pengambilan populasi dan contoh dilakukan secara two stage cluster sampling. Dari jumlah desa di Kabupaten Jember dan Lumajang maka diperoleh primary sample unit masing-masing diperoleh 2 desa dengan total sampel yang diperlukan sebanyak 159 orang.

Hasil analisis dengan fungsi keuntungan pada model I menunjukkan bahwa fungsi permintaan input dari pupuk P tidak efisien dengan Prob > t (0.2854). Kondisi ini karena petani mengalokasikan pupuk P 20 kg per hektar sedangkan yang dianjurkan 45 kg per hektar. Hasil analisis nisbah Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) diperoleh sebesar Rp. 3.552.20 atau di bawah harga bayangan (Rp.11.831,65) sehingga diperoleh nisbah Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (KBSDsosial) 0.3002. Hal ini berarti komoditi padi memiliki keunggulan komparatif, karena biaya untuk memproduksi padi di Indonesia hanya membutuhkan 30,02% dari biaya impor, sehingga pemenuhan beras dalam hal ini padi jika diusahakan dalam negeri akan mampu menghemat devisa negara sebesar 69,98% dari besarnya biaya impor yang diperlukan. Hasil analisis Biaya Sumberdaya Domestik (BSD aktual) diperoleh nisbah Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) Rp. 4.351,47 dan Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (KBSD aktual) 0,4463. Dengan diperoleh KBSDaktual < 1, maka usahatani tanaman padi di daerah penelitian memiliki keunggulan kompetitif, karena dengan memproduksi padi di dalam negeri maka akan mampu menghemat devisa negara sebesar 55,37% dari seluruh biaya impor yang digunakan atau untuk menghasilkan nilai tambah 1 $ US maka diperlukan biaya input domestik sebesar Rp.4.348 berarti usahatani tersebut efisien secara finansial dalam pemanfaatan sumberdaya domestik. Kebijakan pemerintah yang dilakukan selama ini tidak mendukung daya saing komoditi padi yang ditunjukkan dengan nisbah Effective Protection Coefficient (EPC) 0,67 (pemerintah tidak melakukan proteksi terhadap petani) justru membebani biaya produksi padi 28% atau nisbah Subsidy Ratio to Producer (SRP) -0,28. Berdasar Sustainable Competitive Advantage (SCA) komoditi beras belum memiliki daya saing karena surplus permintaan dari penawaran beras hanya 0,6 juta ton, sedangkan untuk kepentingan stok membutuhkan 1,5 juta ton beras. Dengan demikian secara umum beras belum memiliki daya saing di pasar domestik.

Kata kunci: Efisiensi, Keunggulan Komparatif, Keunggulan Kompetitif, Kebijakan Pemerintah, Penawaran Dan Permintaan.


Read more.....