Senin, 16 Februari 2009

Konsep Kebijakan Pemerintah terhadap Ekspor–Impor Dalam Globalisasi Produk Agribisnis

1. Ruang Lingkup Analisis
Pemerintah Indonesia dan juga pemerintah beberapa negara tetangga, memandang globalisasi lebih sebagai sebuah fenomena ekonomi, sehingga fokus perhatian utama adalah pada kebijakan ekonomi yang ditandai serangkaian kebijakan yang diarahkan untuk membuka ekonomi domestik dalam rangka memperluas dan memperdalam integrasi dengan pasar internasional. Langkah tersebut diistilahkan dengan “ first order adjusment “ (penyesuaian tahap pertama) terhadap

globalisasi.

Langkah untuk memasuki globalisasi juga dapat dilihat sebagai kelanjutan kebijakan liberalisasi ekonomi yang telah dimulai oleh pemerintah sejak dekade ‘ 80an sampai paruh pertama ‘90an. Sepanjang masa tersebut ,negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia relatif berhasil dalam menjalankan penyesuaian tahap pertama globalisasi, yang diindikasikan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, tingginya arus perdagangan barang dan jasa serta modal yang menggambarkan kinerja ekonomi yang berhasil di kawasan tersebut.

Namun demikian beberapa negara tersebut, tidak terlalu memberikan perhatian terhadap penyesuaian tahap kedua globalisasi ( second order adjusment ). Ada sejumlah masalah berkaitan dengan penyesuaian tahap kedua tersebut di Indonesia, yang terangkat ke permukaan oleh adanya krisis :Pertama, Kerentanan perekonomian domestik terhadap arus modal global. Krisis yang terjadi beberapa waktu yang lalu, seolah-olah membenarkan bahwa ekonomi indonesia tumbuh karena mengandalkan sektor finasiil dan arus modal jangka pendek (bubble economy), sehingga pada saat kedua sektor tersebut goncang secara global, Indonesiapun terimbas karenanya.
Kedua, Kerapuhan institusi ekonomi-politik domestik, disebabkan oleh moral-hazard yang meluas disektor perbankan, miskinnya kepastian dan penegakan hukum dan praktek perburuan rente ekonomi (economic rent seeking).
Ketiga, Kemajuan ekonomi ternyata tidak diimbangi dengan kebijakan kesejahteraan. Hal ini ditunjukan dengan distribusi pendapatan yang timpang, perlindungan sosial minim, akibatnya masyarakat segmen terbawah menjadi sangat rentan terhadap guncangan dalam ekonomi.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia, memunculkan perdebatan disekitar penyebab krisis tersebut, yang dikaitkan dengan globalisasi. Ada tuduhan bahwa globalisasi penyebab krisis, dan ada pula yang berpendapat bahwa tahap penyesuaian terhadap globalisasi tersebut yang tidak seimbang, karena terlalu premateur memaksakan liberalisasi pasar modal dan sektor perbankan di Asia. Namun demikian globalisasi tetap tidak dapat dihindari baik oleh pemerintah Indonesia maupun negara–negara sekawasan.

Peningkatan kerjasama ekonomi kawasan menjadi diperlukan, karena perekonomian dunia yang ikut mengalami penurunan kinerja. Salah satu penyebabnya adalah menurunnya kinerja ekonomi Amerika Serikat (AS), yang masih menjadi lokomotif perekonomian dunia. Kerjasam kawasan akan mengurangi ketergantungan ekonomi pada satu negara, dan sekali gus membangun landasan ekonomi kawasan yang kuat. Langkah ini dapat dimulai dengan meningkatkan perdagangan dan investasi intra kawasan. Dalam jangka panjang diarahkan untuk merumuskan strategi pembangunan baru yang lebih berkelanjutan.

Bentuk kerjasa ekonomi di kalangan negara-negara ASEAN, ASEAN Free Trade Area (AFTA), telah berlaku efektif untuk enam anggota mulai th 2003, dan untuk empat anggota yang lain dimulai tahun 2006. Di lingkup yang lebih luas, ada upaya untuk membangun kerjasama antara ASEAN dengan negara-negara lain di Asia Timur, seperti Free Trade Area (FTA), antara ASEAN dan Cina, juga ASEAN dengan Jepang dan dengan Korea Selatan. Semua bentuk kerjasama antar negara tersebut, dimaksudkan untuk memperkuat sistim perdagangan kawasan dengan kebijakan yang mengarah pada dikuranginya hambatan-hambatan masuk barang dan jasa antar negara anggota.

Implikasi globalisasi paling tidak, justru telah memperkuat regionalisme perdagangan. Globalisasi menuntut semakin banyak negara yang membuka pintu masuk negaranya terhadap barang dan jasa dari negara lain, dilain pihak ditanggapi dengan lebih dulu memperkuat ekonomi kawasan oleh tidak saja negara-negara berkembang, tetapi juga negara yang telah maju seperti Uni Eropa (Europe Economic community = ECC). Hal ini mengindikasikan bahwa, dengan globalisasi banyak negara tidak ingin pada akhirnya bergantung hanya kepada satu negara yang secara ekonomi kuat, seperti AS.

Indonesia sebagai anggota ASEAN, telah turut menandatangani Piagam pembentukan Asean Free Trade Area (AFTA), yang pembentukannya dilandasi pemikiran bahwa AFTA akan menaikan daya saing negara-negara Asean dalam rangka mempersiapkan diri dalam pasar global. Diharapkan melalui penghilangan hambatan tarif maupun non tarif terhadap sesama negara anggota, sektor manufaktur negara-negara Asean akan menjadi lebih efisien dan berdaya saing. Realisasi AFTA ini didasarkan pada mekanisme Cammon Effective Preferensial Tarif (CEPT), yaitu penerapan tarif khusus untuk beberapa komoditi tertentu, yang telah diepakati 15 komoditi masuk program CEPT tersebut.

Di Indonesia setelah mengalami krisis dan sekaligus tuntutan agar pelaksanaan AFTA ditunda, sebenarnya yang perlu untuk dikaji adalah kesiapan untuk menghadapi era tersebut (yang sudah berjalan selama satu tahun). Jika komoditas ekspor tidak mempunyai keunggulan kompetitif, maka sulit akan mampu menembus pasar internasional, bahkan sebaliknya Indonesia akan menjadi pasar besar bagi produk-produk luar negeri. Seperti yang dilaporkan penelitian tentang efek daya saing komoditi ekspor Indonesia ke negara-negara Asean, terutama 15 komoditi yang masuk CEPT,( permasalahan ini akan disampaikan lebih luas pada bab berikut ), selama 1994 – 1998, adalah :
 Komoditas yang tetap mempunyai daya saing positif di pasar Asean adalah bahan kimia dan tembaga
 Kelompok komoditas yang mempunyai daya saing negatif adalah, kertas, minyak nabati, dan furnitur kayu serta rotan.
 Kelompok yang mengalami peningkatan daya saing adalah, obat-obat-an, tekstil, semen dan kelompok batu mulia dan perhiasan. Sedangkan yang mengalami penurunan adalah, pupuk, produk dari karet, keramik, dan produk dari kaca, elektronik serta plastik
 Konsentrasi pasar kurang pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekspor Indonesia di pasar Asean.
Dengan demikian, dapat dijelaskan sebenarnya komoditi ekspor Indonesia sangat rentan terhadap kondisi permintaan Asean dan belum mampu melakukan penetrasi pasar dengan baik, hal ini karena pertumbuhan permintaan Asean masih sangat berperan besar terhadap kinerja ekspor Indonesia ke pasar Asean. Patut pula dicatat, bahwa produk-produk yang terkait dengan agribisnis, belum memiliki daya saing yang tinggi dipasar Asean, padahal banyak negara Asean memiliki komoditi ekspor yang sama dengan komoditi yang di ekspor oleh Indonesia.

Dalam kaitan memperkuat ekonomi kawasan , sebagai landasan untuk memasuki pasar global, AFTA, haruslah menjadi ajang ujian bagi komoditi Indonesia, apakah kelak mampu masuk dipasaran internasional yang lebih luas atau tidak. Oleh karena itu momentum harus ditangkap dengan mempersiapkan berbagai kebijakan-kebijakan yang lebih memberikan peluang terciptanya daya saing bagi komoditi ekspor.

Dengan melihat gambaran tersebut diatas , maka permasalahan yang muncul, terutama berkaitan dengan kebijakan perdagangan, khususnya untuk komoditi agribisnis adalah:
1.Bagaimanakah gambaran peta perdagangan internasional Indonesia selama ini untuk komoditi yang berhubungan agribisnis.
2.Konsep kebijakan perdagangan yang bagaimana yang dapat mendukung daya saing komoditi–komoditi Indonesia di pasar internasional.
3.Globalisasi dari Pendekatan Teori Perdagangan Internasional.

Tuntutan globalisasi berkembang sejalan dengan perkembangan tehnologi dalam transportasi dan komunikasi yang tumbuh dengan pesat ditandai dengan terdistribusinya barang-barang atau jasa secara internasional. Tingkat keterlibatan suatu negara dalam perdagangan internasional diukur dengan rasio-rasio : perdagangan dunia terhadap pendapatan nasional; pertumbuhan arus modal dan penanaman modal asing terhadap pendapatan nasional. Dilain pihak, kerjasama ekonomi regional juga semakin menemukan bentuknya, justru untuk menghadapi globalisasi tersebut. Implikasi dari kedua tuntutan tersebut, globalisasi dan regionalisasi, adalah tarik menarik antara kebijakan perdagangan yang biasanya dilakukan negara-negara dalam derajat kerjasama regional, dan kebijakan persaingan sebagai konsekuensi adanya tuntutan globalisasi.

Kebijakan persaingan mempunyai arah utuk membuka pasar, mengawasi praktek-praktek anti persaingan, dan menghapuskan berbagai hambatan masuk ke dalam pasar. Kebijakan yang mengarah pada liberalisasi kompetitif tingkat global ini, diharapkan tidak mengacaukan skema kebijakan regional, meskipun beberapa kasus telah menunjukan konflik, ketika skema global goyah. Sedangkan kebijakan perdagangan biasanya lebih menitik beratkan kepentingan industri-industri nasional dari pada kondisi pasar.

Dalam merumuskan konsep kebijakan perdagangan, khususnya untuk komoditi agribisnis di Indonesia, maka akan didekati dengan beberapa teori yang mendasari. Teori-teori tersebut meliputi :
•Teori yang menjelaskan arus barang secara internasional
•Teori-teori yang menjelaskan arus investasi internasional.
•Teori- teori tentang kerjasama regional.

3.1. Teori Arus Barang Internasional.
Disamping Teori Keunggulan Komparatif dari David Ricardo dan Teori Proporsi dari Hechser-Ohlin, sebagai teori yang paling luas dijadikan acuan mendasari terjadinya perdagangan internasional, akan disampaikan beberapa teori yang lebih akhir, untuk dapat menjelaskan perdagangan internasional di era globalisasi

Teori Skala Ekonomi dan Diferensiasi Produk.

Secara garis besar teori ini menjelaskan
•Perdagangan internasional dapat bersumber dari imbalan yang meningkat (increasing return ) atau skala ekonomis artinya biaya makin turun dengan meningkatnya output. Skala ekonomis memberikan dorongan bagi negara-negara untuk melakukan spesialisasi dan berdagang meskipun sumber daya dan tehnologi tidak berbeda.
•Skala ekonomis lazimnya menyebabkan persaingan sempurna tidak terwujud, sehingga perdagangan dalam konteks skala ekonomis harus dianalisis dengan menggunakan model-model persaingan tak sempurna.
•Perdagangan internasional menciptakan suatu pasar terpadu yang lebih besar dari pasar suatu negara manapun, dan karena itu memungkinkan secara serentak untuk menawarkan pada konsumen produk-produk yang makin beragam (differentiated products) dengan harga yang lebih rendah.
•Dalam model persaingan monopolistik perdagangan bisa dibagi ke dalam dua jenis. Perdagangan dua arah dalam produk-produk yang berbeda di dalam satu industri disebut perdagangan intraindustri ; perdagangan yang mempertukarkan produk-produk suatu industri dengan produk-produk industri lainya disebaut perdagangan antarindustri. Perdagangan intraindustri mencerminkan skala ekonomis, perdagangan antarindustri mencerminkan keunggulan komparatif. Perdagangan intraindustri tidak menciptakan dampak yang kuat pada distribusi pendapatan sebagaimana perdagangan antarindustri.

•Keuntungan eksternal ialah skala ekonomis yang terjadi pada tingkat industri, bukan perusahaan. Gejala ini memberikan peranan penting dalam pola penentuan perdagangan internasional. Jika ekonomis eksternal penting, suatu negara yang memulai dengan suatu industri yang besar bisa memelihara keunggulan tersebut sekalipun negara lain secara potensial dapat memproduksi barang-barang yang sama jauh lebih murah.
Garis besar teori skala ekonomis dan diferensiasi produk tersebut diatas sedikit menjelaskan mengapa dalam era globalisasi, arus perdagangan antar negara menjadi semakin pesat.

Teori Stefan Linder.
Stefan Linder dengan teori orientasi-permintaan menjelaskan bahwa selera konsumen sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatannya, dan karenanya tingkat pendapatan per kapita suatu bangsa menentukan jenis barang yang akan dimintanya. Karena industri akan memproduksi barang-barang untuk memenuhi permintaan tersebut, jenis-jenis produk yang dibuat mencerminkan tingkat pendapatan perkapita negara tersebut.. Barang-barang yang dikonsumsi untuk domestik akhirnya akan di ekspor.

Teori Linder mengambil kesimpulan bahwa perdagangan internasional dalam beberapa barang manufaktur akan menjadi lebih besar antara negara-negara dengan tingkat pendapatan per kapita yang sama daripada antara negara yang tidak sama tingkat pendapatan perkapitanya. Barang yang diperdagangkan adalah barang-barang dimana terdapat permintaan yang tumpang tindih (overlaping demand), yang berarti konsumen di kedua negara meminta barang yang sama.

Perbedaan Teori Linder dengan keunggulan komparatif adalah bahwa teori Linder tidak menentukan arah kemana barang tertentu akan pergi. Secara teoritis barang dapat pergi kemana saja sesuai dengan teori perdagangan intraindustri dan karena adanya diferensiasi produk

Teori Keunggulan Kompetitif Michael Porter.

Garis besar Teori Porter, menyatakan bahwa empat jenis variabel akan mempunyai dampak atas kempampuan perusahaan-perusahaan lokal di suatu negara untuk menggunakan sumber-sumber negara itu guna memperoleh keunggulan kompetitif:
1.Kondisi-kondisi permintaan- sifat dasar dari permintaan domestik. Apabila para pelanggan sebuah perusahaan sedang mempunyai permintaan, ia akan memproduksi produk yang berkualitas tinggi dan inovatif, dan akan memperoleh keunggulan kompetitif dimana tekanan domestik lebih kecil.
2.Kondisi-kondisi faktor- level dan komposisi faktor produksi.Kekurangan karunia alam telah menyebabkan bangsa-bangsa melakukan investasi dalam penciptaan faktor-faktor lanjutan, seperti pendidikan angkatan kerjanya, pelabuhan bebas dan sistim komunikasi maju, untuk memungkinkan industri-industri mereka bersaing secara global.
3.Industri-industri terkait dan pendukung – para pemasok dan jasa dukungan industri.
4.Strategi, struktur dan persaingan perusahaan – perluasan persaingan domestik, adanya hambatan masuk, serta organisasi dan gaya manajemen perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang terkena persaingan berat di pasar-pasar domestiknya, secara konstan akan meningkatkan efisiensinya, yang membuat mereka lebih kompetitif secara internasional.

Porter membangun teorinya dengan meneliti, industri-industri (manufakturing) di beberapa negara yang memiliki kemiripan dalam hal komparatif relatif. Identifikasi terhadap industri-industri yang ternyata memiliki daya saing walaupun mereka datang dari negara yang secara alamiah tidak berlimpah sumber daya. Tetapi sumber daya bukanlah satu-satu-nya faktor yang dapat meningkatkan daya saing industri suatu negara, dan Porter telah merumuskan model bagaimana, daya saing dapat tercipta, oleh faktor-faktor penentu yang lain.

Teori Porter yang dikenal dengan diamond tunggal, selanjutnya mendapat kritikan karena tidak mempertimbangkan aktivitas perusahaan multinasional dan pula peranan pemerintah kecil. Teori ini diperbaiki oleh Moon,Rugman dan Verbeke, dengan memasukan pertimbangan aktivitas multinasional, menjadi diamond ganda.

Teori Moon, Rugman dan Verbeke , menekankan dua elemen, pertama, nilai tambah yang berkesinambungan dalam sebuah negara dihasilkan dari perusahaan yang dimiliki secara domestik maupun yang dimiliki asing,kedua, kemampuan berkesinambungan memerlukan konfigurasi nilai tambah yang tersebar di banyak negara. Oleh karenanya, aktivitas multinasional, baik didalam batas wilayah maupun diluar batas wilayah, penting bagi kemampuan bersaing suatu negara.
Perbaikan terhadap teori Porter juga dilakukan Dong – Sung Cho, dengan model sembilan faktor. Faktor manusia mencakup pekerja, politisi, wirausahawan dan profesional bersama faktor fisik mencakup sumber daya yang merupakan anugrah, permintaan domestik, industri terkait dan pendukung dan lingkungan bisnis lainnya, menjadi faktor internal yang mempengaruhi daya saing. Selanjutnya ditambahkan faktor eksternal, yaitu peluang kedalam model, menjadi model sembilan faktor.

Teori Arus Investasi Internasional.

Pembahasan teori arus investasi secara internasional dalam paparan ini dengan pertimbangan dua hal : pertama, kecenderungan dalam ekonomi internasional adalah peningkatan secara besar-besar-an dalam hal penanaman modal asing, yang modal ini menjadi sangat penting bagi keberhasilan penjualan dipasar luar negeri, kedua , penanaman modal asing telah membuat persaingan benar-benar menjadi mengglobal.

Beberapa teori arus investasi internasional, yang telah dikenal luas dapat dijelaskan sebagai berikut :
•Teori keunggulan monopolistik. Teori ini diperkenalkan oleh Stephen Hymer 1960, yang menunjukan bahwa investasi langsung luar negeri lebih banyak terjadi dalam industri-industri oligopolistik daripada industri dalam persaingan sempurna. Perusahaan-perusahaan dalam industri ini harus memiliki keunggulan yang tidak dapat diperoleh perusahaan-perusahaan lokal, dan keunggulan itu harus merupakan economic of scale, tehnologi unggul atau pengetahuan pemasaran,manajemen dan keuangan yang unggul.Investasi langsung luar negeri terjadi karena ketidaksempurnaan pasar produk dan faktor produk.
•Ketidaksempurnaan pasar produk dan faktor produksi. Teori ini diperkenalkan oleh Caves, bahwa pengetahuan yang unggul memungkinkan perusahaan melakukan investasi luar negeri untuk memproduksi berbagai produk yang lebih disukai, dari pada barang buatan lokal, dengan demikian akan terjadi pengendalian atas harga jual dan keunggulan atas perusahaan-perusahaan pribumi.
•Daur hidup produk internasional ( IPLC ). Teori ini menjelaskan bahwa investasi langsung luar negeri sebagai tahap alamiah dalam kehidupan suatu produk. Untuk menghindari kehilangan pasar ekspor, sebuah perusahaan dipaksa untuk menanamkan modal dalam sarana produksi diluar negeri ketika perusahaan-perusahan lain menawarkan produk yang sama.
•Teori investasi silang. Teori ini diperkenalkan oleh Knickerbocker yang menunjukan bahwa investasi luar negeri langsung oleh perusahaan oligopoli di negara asal masing-masing sebagai tindakan pertahanan. Teori ini juga dikenal dengan follow-the-leader theory.
•Teori internalisasi. Adalah perluasan teori pasar tidak sempurna : untuk memperoleh laba yang lebih tinggi atas investasinya, perusahaan akan mentransfer pengetahuan unggul-nya ke cabang luar negeri daripada menjualnya di pasar terbuka.
•Teori eklektik produksi internasional. Teori yang diperkenalkan oleh Dunning menyatakan bahwa perusahaan yang akan melakukan investasi luar negeri harus memiliki tiga jenis keunggulan : kekhasan kepemilikan ; internalisasi dan kekhasan lokasi. Teori ini memberikan penjelasan atas pilihan sebuah perusahaan internasional terhadap fasilitas produksinya di luar negeri.

Teori- teori kerjasama regional

Latar belakang dan teori dibalik timbulnya kecenderungan antar negara membentuk area bebas perdagangan pada kawasan negara-negara tersebut disebabkan adanya Strategic trade theory dengan berbagai macam trade barier pada skala yang lebih luas justru banyak menimbulkan kerugian.

Pasar bebas yang bertujuan untuk mengurangi berbagai macam hambatan perdagangan akan menciptakan efisiensi dan kondisi yang lebih baik bagi perekonomian secara umum. Namun demikian, setiap negara memerlukan kesiapan, menyangkut kesiapan sumber daya manusia dan struktur industri. Karena itu muncul suatu kerjasam regional yang ditujukan untuk memasuki pasar bebas dalam skala yang lebih luas.

Teori-teori kerjasama regional adalah :
1.Viner ( 1955 ), menjelaskan teori custom union bahwa pengurangan dan penghilangan hambatan perdagangan akan mendorong aliran barang dan jasa yang lebih besar serta mendorong arus modal dan arus tenaga kerja lebih besar. Custom Union akan mendorong setiap negara untuk melakukan spesialisasi.
2.Park dan Goh ( 1998 ), menjelaskan bahwa interaksi antar negara dalam suatu proses regionalisasi akan lebih baik dari pada mereka secara sendiri-sendiri berhadapan dengan pasar internasional .
3.Paul Krugman ( 1991 ), sebaliknya menjelaskan kemungkinan tidak berjalannya regionalisasi disebabkan oleh :
-Trade diversion, kelompok-kelompok negara yang tidak bisa menghasilkan suatu produk tertentu secara efisien akan membutuhkan lebih banyak sumber daya untuk menghasilkan produk tersebut, sehingga memerlukan proteksi khusus.
-Beggar thy effect, negara-negara diluar kelompok akan cukup menderita jika diperlakukan tingkat tarif tertentu yang memberatkan.
-Perang antar blok perdagangan, Jika ini terjadi maka akan menyebabkan kelesuan ekonomi dunia secara luas.

Batasan karakteristik kerjasama regional dan pola hubungan internasional secara umum tergambar pada tabel 3:
Dari gambaran di atas, terlihat bahwa regionalisasi akan secara konvergen menuju pada pola integrasi sistim ekonomi secara keseluruhan serta memungkinkan dalam pencapaian nasional maupun regional growth yang lebih baik.
Sebagai gambaran tentang kerjasama regional, adalah Asean Free Trade Area (AFTA), dimana diantara anggotanya menerapkan tarif khusus dengan program CEPT (Common Effective Preferensial Tarif) yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Dari gambaran diatas terlihat adanya perbedaan yang secara tidak langsung mencerminkan kesiapan masing-masing negara dalam menghadapi pasar yang lebih global.
Dari penjelasan tentang teori-teori yang mendasari arus perdagangan internasional , investasi luar negeri, dan kerjasama regional, setidaknya dapat dijadikan sebagai dasar pendekatan untuk mengkonsepsikan kebijakan perdagangan yang rasional secara teoritis., disamping perlu pula dipertimbangkan fakta-fakta empiris mengenai peta perdagangan internasional Indonesia selama ini, khususnya yang berhubungan degan komoditi agribisnis atau pertanian dalam arti luas.

Peta perdagangan komoditi pertanian Indonesia

Gambaran mengenai peta perdagangan komoditi pertanian , sepenuhnya mendasarkan pada analisa dan laporan LP –IBII tahun 2004. dimana sektor pertanian dikelompokan menjadi 5 sub sektor : (1) tanaman bahan makanan; (2) tanaman perkebunan ; (3) peternakan ; (4) kehutanan dan (5) perikanan. Tanaman bahan makanan mencakup, padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar , kacang tanah, kacang kedelai dan hortikultura.

Dalam perdagangan internasional, ekspor dan impor bahan makan dikelompokan atas dasar 4 SITC ( Standard International Trade Classification ), sebagai berikut :
•SITC 0 untuk bahan makanan dan binatang hidup ;
•SITC 1 untuk minuman dan tembakau ;
•SITC 22 untuk biji-biji-an mengandung minyak berkulit keras ( kelapa ) maupun berkulit lunak ( kedelai ) dan
•SITC 4 untuk minyak atau lemak nabati atau hewani.
Secara keseluruhan hasil yang dapat dilaporkan adalah sebagai berikut :
 Transaksi perdagangan bahan makanan Indonesia selalu surplus, sejak tahun 1988-2002, dimana nilai ekspor melebihi nilai impor.
 Surplus tersebut terutama diakibatkan relatif besarnya surplus perdagangan ,minyak nabati berupa minyak sawit ( CPO ); perikanan (SITC 03) ; kopi,teh,coklat dan remapah-rempah ( SITC 07 ).
Surplus tersebut, dialami oleh negara-negara yang berpendapatan rendah dan menengah. Ini mengindikasikan negara berpendapatan tinggi tidak memiliki keunggulan dalam memproduksi bahan makanan. Kecuali untuk tahun 2001, Amerika Serikat dan Uni Erpa mengalami surplus, karena pemberian subsidi kepada petani di kedua negara tersebut.
Jika dilihat dari rasio nilai ekspor dan impor terhadap total nilai ekspor dan impor, maka sejak tahun 1988 – 2002, rasio impor naik, tetapi rasio ekspor turun. Ini mengindikasikan dalam jangka panjang perdagangan bahan makanan bisa mengalami defisit.
Transaksi perdagangan tanaman hortikultura berupa sayur-sayur-an dan buah-buah-an, sejak th 1988-2002, selalu mengalami surplus dengan proporsi yang menurun. Hal ini karena kenaikan nilai ekspor yang cenderung melambat dibandingkan nilai impornya.
Transaksi perdagangan komoditi tanaman bahan makanan sejak tahun 1988-2002 selalu mengalami defisit, terutama untuk komoditi gandum, beras, jagung, dan kacang kedelai.
Transaksi untuk sub sektor peternakan dan komoditi gula, perdagangan Indonesia selalu mengalami defisit, hal ini karena besarnya impor susu dan ternak hidup berupa sapi bakalan dan konsumsi gula yang meningkat.

Peta Daya Saing Komoditi Indonesia di Asean

Daya saing komoditi Indonesia yang masuk dalam program CEPT, terdiri dari 15 komoditi, yaitu :
•Kertas ( pulp & paper )
•Minyak nabati
•Bahan kimia
•Obat-obat-an
•Pupuk
•Produk dari kulit
•Produk dari karet
•Tekstil
•Semen
•Keramik dan produk dari kaca
•Tembaga
•Elektronik
•Furnitur katu dan rotan
•Plastik
•Batu mulia dan perhiasan

Dari kelima belas, komoditi tersebut, kinerja selama tahun 1994–1998, diteliti dan dilaporkan sebagai berikut:
•Dari kelima belas kelompok komoditas terdapat 2 kelompok yang memiliki daya saing tinggi yaitu bahan kimia dan tembaga. Kinerja ekspor kedua kelompok komoditas tersebut tidak tergantung pada permintaan Asean. Artinya walaupun permintaan Asean turun , komoditas tersebut masih tetap tumbuh karena kemampuan penetrasi pasar yang bagus
•Kelompok komoditas semen sangat rentan terhadap perubahan permintaan Asean.
•Kinerja kelompok komoditas kertas, obat-obat-an, minyak nabati, pupuk, produk karet, tekstil, keramik dan kaca, elektronik, furnitur kayu dan rotan, plastik serta batu mulai dan perhiasan , dipengaruhi oleh efek daya saing, efek pertumbuhan permintaan, yang berperanan cukup besar.
•Efek pertumbuhan permintaan Asean masih berperan sangat besar terhadap kinerja ekspor Indonesia. Hal ini berarti kinerja ekspor Indonesia sangat rentan terhadap perubahan permintaan Asean.
•Konsentrasipasar kurang pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekspor Indonesia di pasar Asean.

Dari gambaran mengenai peta perdagangan dan peta daya saing produk-produk yang berhungan dengan agribisnis tersebut diatas dapat disimpulkan :
•Bahwa secara umum perdagangan komoditas pertanian Indonesia mengalami surplus. Ini berarti pasar untuk komoditas pertanian tersebut masih terbuka baik itu di Asean ( 20 % ), maupun diluar Asean ( AS, Uni Eropa, Jepang ). Indonesia lebih mendekati apa yang dikemukakan Ricardo dan teori H-O
•Di Pasar Asean produk-produk pertanian Indonesia kurang memiliki daya saing, karena pesaing-pesaing dipasar ini, memiliki produk yang sama seperti yang dijual Indonesia,( kondisi alam tak jauh berbeda )

Dengan demikian kebijakan perdagangan yang perlu dipertimbangkan, paling tidak secara teoritis , haruslah memperhatikan :
Bahwa komoditas pertanian ,masih dapat dipandang memiliki keunggulan komparatif, karena karunia alam, yang negara-negara lain tidak memiliki
Bahwa AFTA sebagai , langkah awal untuk memasuki globalisasi lebih lanjut, merupakan instrumen untuk menilai bagaimana kebijakan persaingan Indonesia dapat diterapkan., sesuai dengan pendapat Park dan Goh.
Bahwa rangsangan pertumbuhan komoditas pertanian, perlu didorong terutama, untuk merangsang tumbuhnya sektor agroindustri, yang memperluas pasaran di Asean.

Kesimpulan

Dari beberapa hal yang telah diuraikan dapat disimpulkan sebagai berikut :

bahwa globalisasi sebagai fenomena ekonomi, menuntut penyesuaian-penyesuaian kebijakan ekonomi nasional yang mengarah pada penyusunan fondasi ekonomi yang tidak rentan sekaligus terjadi keseimbangan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, terutama kebanyakan masyarakat yang berbasisi pertanian.
Peta perdagangan produk agribisnis mengindikasikan peta daya saing produk domestik yang lemah di pasar Asean dibandingkan dengan negara-negara yang menghasilkan produk yang sama. Namun demikian pasar diluar Asean masih memiliki keunggulan komparatif
Diperlukan kebijakan dalam perdagangan internasional - terutama untuk produk-produk agribisnis, mengingat skala usaha produsen produk tersebut umumnya berskala kecil, - antara kebijakan dorongan ekspor seperti : kredit ekspor, subsidi ekspor, serta proteksi relatif terutama untuk produk yang sama dari negara Asean.
Kebijakan yang lebih spesifik, terutama kebijakan persaingan , sehingga tercipata iklim kompetisi yang sehat, khususnya dengan beberapa negara penghasil produk sama, dan oleh karena itu akan menciptakan produktifitas dan efisiensi.

Referensi :

1.Agus Pakpahan,DR, Politik Ekonomi Kebangkitan Perkebunan Di Indonesia, Gaperindo, Jakarta, 2004.
2.Donald A Ball dan Wendell H McCulloch, Bisnis Internasional,Buku Satu, Salemba Empat- McGraw-Hill Co,Jakarta ,2000
3.Donald A Ball dan Wendell H McCulloch, Bisnis Internasional,Buku Dua, Salemba Empat- McGraw-Hill Co,Jakarta ,2001
4.Mari Pangestu,Syahrir,Ari A Perdana ( penyunting ),Indonesia dan Tantangan Ekonomi Global, CSIS, Jakarta, 2003.
5.Michael Porter. E, Alih Bahasa,gus Maulana, Strategi Bersaing,Tehnik menganalisis Indusri dan Pesaing, Erlangga ,Jakarta 1992.
6.Paul Krugman dan Maurice Obstfeld, Ekonomi Internasional,Teori dan Kebijakan, PAU-UI dan Harper-Collins Publishers, Jakarta, 1997.
7.Peter F Drucker, The Frontiers Management, Manajemen Lintas Peluang, Elex Media Komputindo, Jakarta, 1997.
8.Y.B.Kadarusman, Silvia Mila Arini, Bernadetta Dwi Suatmi, Makro Ekonomi Indonesia, Perkembangan Terkini dan Prospek 2003, Lembaga Penelitian Ekonomi IBII bekerjasama dengan PT Gramedia Pustaka Utama,2002
9.Y.B.Kadarusman, Silvia Mila Arini, Bernadetta Dwi Suatmi, Makro Ekonomi Indonesia, Perkembangan Terkini dan Prospek 2005, Lembaga Penelitian Ekonomi IBII bekerjasama dengan PT Gramedia Pustaka Utama,2004.
10.Perdagangan dalam Pembangunan, Bahan DIKLAT -UI

Tidak ada komentar: