Jumat, 25 Februari 2011

Distorsi Kebijakan dan Kegagalan Pasar

Berikut ini pemaparan Pearson, Scott dkk. 2003 tentang konsep dasar kerangka : (Distorsi Kebijakan dan Kegagalan Pasar) Jenis-jenis hasil analisis yang mungkin terjadi telah diuraikan pada tiga bab terdahulu. Tingkat keuntungan dihitung dengan menerapkan identitas keuntungan, sementara efek divergensi dihitung dengan menerapkan identitas divergensi. Keuntungan privat, yang didefinisikan sebagai D = A – (B + C), mengukur daya saing pada tingkat harga privat (harga aktual). Keuntungan sosial, yang didefinisikan sebagai H = E – (F + G), mengukur efisiensi download file selengkapnya click here (atau keunggulan komparatif) pada tingkat harga sosial (harga efisiensi).

Bab ini memfokuskan diri pada identifikasi dan interpretasi efek divergensi. Suatu divergensi akan menyebabkan harga aktual berbeda dengan harga efisiensi. Divergensi timbul karena salah satu dari dua sebab, yaitu kegagalan pasar atau distorsi kebijakan.
Kegagalan pasar terjadi apabila pasar gagal menciptakan suatu competitive outcome dan harga efisiensi. Jenis kegagalan pasar yang umum adalah monopoli, externality, dan pasar faktor produksi yang tidak sempurna. Kebijakan yang distortif adalah intervensi pemerintah yang menyebabkan harga pasar berbeda dengan harga efisiensinya. Pajak/subsidi, hambatan perdagangan, atau regulasi harga bisa menimbulkan divergensi. Kebijakan yang distortif umumnya dilakukan dalam rangka mencapai tujuan non-efisiensi (pemerataan atau ketahanan (pangan)).
Output Transfer Dalam Policy Analysis Matrik
Divergensi pada harga output, menyebabkan pendapatan privat (A) berbeda dengan pendapatan sosial (E),serta terjadinya output transfer (I = (A – E)). Output transfer diilustrasikan pada Gambar 5.1. Divergensi bisa positif (menyebabkan timbulnya implisit subsidi atau transfer sumberdaya yang menambah keuntungan sistem) atau negatif (menyebabkan implisit pajak atau transfer sumberdaya yang mengurangi keuntungan sistem).


Gambar 5.1. Output Transfer dalam Policy Analysis Matrix

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Privat A
Sosial I
Efek Divergensi I
Sebagai contoh, pada saat ini Indonesia menerapkan tarif impor beras, yang menyebabkan harga beras domestik 25 persen lebih tinggi dari harga dunia (harga efisiensi). Kebijakan yang distortif ini menyebabkan positif divergensi (I), dan efek divergensinya adalah selisih antara harga domestik (A) dan harga sosial yaitu harga impor (E). Dengan kata lain, tarif impor menyebabkan implisit subsidi kepada produksen padi/beras karena hal ini menyebabkan harga beras domestik lebih tinggi dibandingkan dengan harga tanpa kebijakan tersebut. Dalam contoh ini, sebagian dari divergensi disebabkan oleh risk premuim yang harus dihadapi oleh pedagang dan sisanya disebabkan oleh tarif impor (seperti telah didiskusikan pada Bab 1).
Interpretasi Output Transfers
PAM entry untuk output transfer adalah I = (A – E). Satuan atau unit yang digunakan untuk setiap entry pada Tabel PAM disebut numeraire. Semua entry dalam PAM, termasuk besaran untuk output transfer, dibuat dalam satuan mata uang dalam negeri (Rupiah) per kilogram (atau per ton) komoditas utama yang dihasilkan (atau di jual). Misalnya, untuk membandingkan sistem produksi padi di Indonesia satuan yang digunakan adalah Rupiah per kilogram beras pada tingkat penggilingan, atau Rupiah per kilogram Gabah Kering Panen (atau Gabah Kering Giling) di tingkat petani.
Rasio, suatu ukuran yang bebas nilai mata uang ataupun jenis komoditas, digunakan untuk membandingkan output atau produk yang berbeda (misalnya, padi dengan tebu). Rasio yang dibuat untuk mengukur output transfer disebut Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO), sebuah istilah yang diambil dari literatur perdagangan internasional. NPCO = A/E. Rasio ini menunjukkan seberapa besar harga domestik (harga privat) berbeda dengan harga sosial. Bila NPCO lebih besar dari satu, berarti harga domestik lebih tinggi dari harga impor (atau ekspor) dan berarti sistem usahatani yang sedang diteliti menerima proteksi. Bila NPCO lebih kecil dari satu, harga domestik lebih rendah dari harga dunia berarti harga domestik di disproteksi. Dalam situasi tidak ada policy transfer (yakni, bila I sama dengan nol), harga domestik tidak akan berbeda dengan harga dunia, dan NPCO akan sama dengan satu.
Analis PAM harus meneliti secara hati-hati dalam menentukan ada atau tidaknya kegagalan pasar – monopoli atau externality – yang mempengaruhi pasar output. Studi-studi tentang sistem pertanian di negara berkembang yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa kegagalan pasar yang signifikan yang mempengaruhi pasar output jarang terjadi. Monopoli yang ditemukan di lapangan umumnya diciptakan oleh kebijakan pemerintah.
Sebaliknya, sebagian besar output transfer terjadi karena kebijakan yang distortif. Salah satu sumber distorsi adalah kebijakan harga – hambatan perdagangan atau pajak/subsidi – yang diterapkan untuk mencapai tujuan non-efisiensi. Penyebab kedua dari output transfer adalah disequilibrium nilai tukar yang terjadi sebagai akibat dari kebijakan makroekonomi. Harga efisiensi dari output adalah harga dunia untuk barang yang sejenis. Kebijakan yang distortif menyebabkan harga domestik berbeda dengan harga efisiensinya, dan penetapan nilai tukar yang salah akan menyebabkan konversi harga dunia kedalam harga domestik menjadi salah pula.
Contoh Output Transfers
Ilustrasi tentang output transfer untuk sistem usahatani padi varitas unggul di Indonesia disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Contoh Output Transfer

Pendapatan (rupiahs per ha)
Privat 7,230,000 A
Sosial 5,784,000 E
Divergensi 1,446,000 I

I A-E 1,446,000
NPCO A/E 1.25

Pada contoh diatas, sistem usahatani hanya menghasilkan satu jenis output yaitu beras. Nilai beras yang dihitung pada harga privat (Rp. 7.230.000 per hektar) sekitar 25 persen lebih tinggi dari nilai sosialnya (Rp. 5.784.000 per hektar). Output transfer (Rp. 1.446.000 per hektar) disebabkan oleh specific import tariff sebesar Rp. 430/kilogram beras, atau setara dengan tarif sebesar 25 persen.
Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) atau A/E adalah 1,25. Artinya, karena tarif impor beras maka nilai total output 25 persen lebih tinggi dari yang seharusnya, yakni apabila tidak ada kebijakan tarif impor tersebut.

Tradabel Input Transfer dalam Policy Analysis Matrix
Divergensi pada harga input tradabel menyebabkan biaya input tradabel privat (B) berbeda dengan biaya sosialnya (F), serta terjadinya transfer input tradabel (J = (B – F)), seperti disajikan pada Gambar 5.2. Divergensi ini bisa positif (menyebabkan suatu implisit pajak atau transfer sumberdaya keluar dari sistem) atau negatif (menyebabkan implisit subsidi atau transfer sumberdaya kedalam sistem).
Gambar 5.2. Transfer Input Tradabel dalam Policy Analisis Matrix

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Privat B
Sosial F
Efek Divergensi J
Subsidi atas pestisida, misalnya, berarti petani hanya akan membayar sebesar (B), sebagian dari biaya yang seharusnya (F). Pemerintah harus membayar sisanya (J) sebagai subsidi pestisida. J = (B – F) akan negatif karena B lebih kecil dari F sebesar subsidi yang diberikan. Suatu subsidi yang mengurangi biaya input dengan sendirinya akan dimasukkan kedalam Tabel PAM sebagai negative entry dalam baris efek divergensi (baris ketiga).
Hal sebaliknya akan terjadi dalam kasus pajak atas input tradabel. Pajak atas bahan bakar, misalnya, akan menyebabkan biaya bahan bakar yang harus dibayar petani (B) akan melebihi opportunity costnya yaitu harga dunia (F) sebesar pajak yang dibebankan (J), dan J = (B – F) akan positif.
Interpretasi Tradable Input Transfers
PAM entry untuk tradable input transfers adalah J = (B – F). Interpretasi tradabel input transfers adalah sama seperti tradable output transfer karena keduanya didasarkan pada perbandingan antara harga privat (harga aktual) dengan harga sosial (harga dunia).
Rasio, yang bebas dari satuan mata uang atau jenis komoditas, digunakan untuk membandingkan jenis input tradabel yang berbeda (misalnya pupuk dengan bahan bakar). Rasio untuk mengukur transfer input tradabel adalah Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI), istilah ini juga diambil dari literatur perdagangan internasional. NPCI = B/F. Rasio ini menunjukkan seberapa besar harga domestik dari input tradabel berbeda dengan harga sosialnya. Bila NPCI lebih besar dari satu, biaya input domestik lebih mahal dari biaya input pada tingkat harga dunia. Dengan kata lain, sistem seolah-olah dibebani pajak oleh kebijakan yang ada. Bila NPCI lebih kecil dari satu, harga domestik lebih rendah dari harga dunia, dan sistem seolah-olah disubsidi oleh kebijakan yang ada. Apabila tidak ada transfer (yakni, bila J sama dengan nol), harga input domestik dan harga dunia tidak akan berbeda, dan NPCI akan sama dengan satu.
Rasio yang kedua, Effective Protection Coefficient (EPC), bisa dihitung langsung dari nilai-nilai yang ada di Tabel PAM. Rasio ini membandingkan nilai tambah pada tingkat harga domestik (A – B) dengan nilai tambah pada tingkat harga dunia (E – F). EPC = (A – B)/(E – F). Tujuan dari EPC adalah menunjukkan efek transfer gabungan yang disebabkan oleh sebuah kebijakan (policy transfer), baik transfer output tradabel maupun maupun transfer input tradabel. EPC merupakan bentuk lain dari Effective Rate of Protection (ERP), sebuah ukuran distorsi perdagangan yang umum dipakai. ERP = (EPC – 1) x 100%.
Analis PAM harus menelaah secara hati-hati atas ada atau tidaknya kegagalan pasar – monopoli atau externatlity – yang mempengaruhi pasar input tradabel. Studi yang telah dilakukan di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa kegagalan pasar yang cukup signifikan yang mempengaruhi input tradabel jarang terjadi. Seperti halnya pada output tradabel, kebanyakan monopoli terjadi karena kebijakan pemerintah, bukan cartel yang dibentuk oleh kalangan swasta.
Dengan kata lain, sebagian besar transfer input tradabel disebabkan oleh kebijakan yang distortif. Sama halnya dengan output tradabel, dua sumber divergensi yang mempengaruhi harga input tradabel adalah kebijakan harga (hambatan perdagangan atau pajak/subsidi) dan disequilibrium nilai tukar.
Contoh Tradable Input Transfers
Sebuah ilustrasi berkenaan dengan transfer input tradabel pada usahatani padi di indonesia disajikan pada Tabel 5.4. Pada contoh tersebut, sistem usahatani padi menggunakan tiga jenis input tradabel yaitu pupuk, obat-obatan (chemicals) dan lainnya (benih dan bahan bakar).


Tabel 5.4. Contoh Transfer Input Tradabel

Biaya Input Tradabel (Rp/ha)
Pupuk Obat-obatan Lainnya Total
Privat 586,000 195,000 185,000 966,000 B
Sosial 586,000 250,000 185,000 1,021,000 F
Divergensi - (55,000) - (55,000) J

I B-F (55,000)
NPCI B/F 0.95
Biaya obat-obatan (insektisida dan herbisida) pada tingkat harga privat (Rp. 195.000 per hektar) jauh lebih kecil dari biaya obat-obatan pada tingkat harga sosial (Rp. 250.000 per hektar). Seluruh transfer negatif input tradabel (-Rp. 55.500 per hektar) disebabkan oleh subsidi atas obat-obatan sekitar 28 persen.
Untuk seluruh input tradabel, total policy transfer dari input tradabel (J) adalah Rp. 55.500 per hektar. Nominal Protection Coefficient on Inputs (NPCI) adalah B/F atau 195.000/250.000 = 0,78. Karena subsidi yang diberikan atas obat-obatan, total biaya input tradabel hanya 78 persen dari biaya seharusnya, seandainya tidak ada kebijakan.
Factor Transfer dalam Policy Analysis Matrix
Divergensi bisa mempengaruhi harga faktor domestik (tenaga kerja terampil, tenaga tidak terampil, modal, dan lahan). Divergensi pada pasar faktor domestik menyebabkan harga privat faktor domestik (C) berbeda dengan harga sosialnya (G) dan dengan sendirinya menimbulkan transfer faktor domestik (K = (C – G)). Transfer faktor domestik diilustrasikan pada Gambar 5.3. Sama halnya dengan divergensi yang mempengaruhi biaya input tradabel, divergensi faktor domestik juga bisa positif (menyebabkan terjadinya implisit pajak atau transfer sumberdaya keluar sistem) atau negatif (menyebabkan terjadinya implisit subsidi atau transfer sumberdaya kedalam sistem).
Gambar 5.3. Transfer Faktor Domestik dalam Policy Analisis Matrix

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Privat C
Sosial G
Efek Divergensi K

Interpretasi Factor Transfers
PAM entry untuk transfer faktor domestik adalah K = (C – G). Divergensi di pasar faktor domestik timbul sebagai akibat kegagalan pasar maupun distorsi kebijakan.
Studi-studi sistem pertanian di negara-negara berkembang yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa kegagalan pasar yang signifikan pada pasar faktor domestik amat umum terjadi. Oleh karena itu, peneliti harus berasumsi bahwa pasar faktor domestik adalah tidak sempurna kecuali pengujian yang seksama menunjukkan hal sebaliknya, sehingga harga privat faktor merupakan penduga yang dapat dipertanggung-jawabkan bagi harga sosial faktor. Pendekatan untuk mengidentifikasi ketidaksempurnaan pasar faktor diuraikan pada bab 4.
Transfer faktor domestik juga bisa timbul sebagai akibat kebijakan yang distortif. Distorsi yang terjadi di pasar tenaga kerja dan modal timbul karena adanya pajak atau subsidi (misalnya pajak tunjangan pensiun yang dibebankan kepada upah atau subsidi kredit), regulasi harga (misal, upah minimum atau tingkat bunga tertinggi), atau kebijakan ekonomi makro yang distortif (misal, kebijakan moneter yang bersifat inflationary). Cara untuk mengidentifikasi distorsi kebijakan pasar faktor domestik juga telah dibahas pada bab 4.
Contoh Faktor Transfer
Sebuah ilustrasi tentang transfer faktor domestik dalam sistem usahatani padi di Indonesia disajikan pada tabel 5.3. Pada contoh tersebut, usahatani padi menggunakan dua jenis input faktor domestik yaitu tenaga kerja dan modal. Divergensi yang terjadi pada pasar tenaga kerja tidak terampil di pedesaan Indonesia tidak signifikan seperti dijelaskan pada bab 4. Oleh karena itu, tingkat upah privat tenaga tidak terampil dianggap sebagai penduga yang baik untuk tingkat upah sosial nya.
Tabel 5.3. Contoh Transfer Faktor Domestik

Biaya Faktor Domestik (Rp/ha)
Tenaga Kerja Modal Total
Privat 1,680,000 402,500 2,082,500 C
Sosial 1,680,000 462,500 2,142,500 G
Divergensi - (60,000) (60,000) K

Subsidi atas biaya modal lebih bersifat implisit. Implisit subsidi timbul karena social opportunity cost dari modal kerja pada contoh diatas adalah sebesar 24 persen per tahun (8 persen per musim) sementara tingkat bunga modal kerja privat per tahun hanya 15 persen (5 persen per musim). Transfer faktor domestik atas modal merupakan subsidi sebesar 15 persen dari total biaya modal, atau Rp. 60.000 per hektar. Faktor transfer bersih merupakan subsidi sebesar 3 persen dari total biaya faktor. Subsidi kredit tersebut tidaklah terlalu besar dibandingkan dengan total biaya.
Transfer Bersih (Net Transfer) dalam Policy Analysis Matrix
Positif transfer output (I) menciptakan subsidi pada sebuah sistem usahatani (karena akan menyebabkan pendapatan yang lebih tinggi), sementara negatif transfer input tradabel (J) dan transfer faktor domestik (K) mencerminkan adanya subsidi (karena merendahkan biaya produksi). Sama halnya dengan itu, negatif output transfer sama dengan membebankan pajak kepada sistem, sementara positif input tradabel dan faktor transfer sama dengan pajak. Transfer bersih (L), seperti terlihat pada Tabel PAM dalam Gambar 5.4., adalah penjumlahan dari semua efek transfer, baik positif maupun negatif, atas pendapatan maupun biaya.
Gambar 5.4. Net Transfer dalam Policy Analisis Matrix

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Privat A B C D
Sosial E F G H
Efek Divergensi I J K L

Interpretasi dari Transfer Bersih
Transfer bersih (L) diperoleh dengan menerapkan salah satu dari dua PAM indentitas. Dilihat dari identitas keuntungan, L = (I – I – K). Transfer bersih adalah penjumlahan dari transfer output, transfer input tradabel, dan transfer faktor domestik. Dilihat dari identitas divergensi, L = (D – H). Transfer bersih menunjukkan selisih antara keuntungan privat dan keuntungan sosial. Apabila sebuah kebijakan mampu menghilangkan kegagalan pasar, dan apabila seluruh kebijakan yang distortif dicabut, maka divergensi akan hilang dan transfer bersih akan nol. Transfer bersih juga akan bernilai nol apabila distorsi dalam harga output terhapus oleh distorsi pada harga input dengan nilai yang sama namun dengan tanda yang berbeda.
Perhitungan dua rasio akan berguna ketika kita ingin membandingkan dua hasil PAM yang memproduksi komoditas yang berbeda. Profitability coefficient (PC) mengukur dampak dari seluruh transfer atas keuntungan privat. PC sama dengan rasio antara keuntungan privat dan keuntungan sosial, atau PC = D/H = (A – B – C)/(E – F – G). PC dihitung dengan menggunakan data yang sama dengan ketika menghitung tranfer bersih (L = (D – H)) sehingga memungkinkan kita untuk membandingkan transfer bersih diantara sistem yang berbeda. PC juga merupakan perluasan dari EPC dengan memasukkan biaya faktor (bersama-sama dengan pendapatan dan biaya input tradabel).
Subsidy Ratio to Producers (SRP) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seluruh efek transfer. SRP adalah ukuran proteksi yang disetarakan dengan tarif atas output (output tarif equivalent). Dengan kata lain SRP adalah ukuran seluruh transfer efek bila seluruh transfer dilakukan melalui tarif impor atas output. Rasio ini merupakan perbandingan antara transfer bersih dengan nilai output pada tingkat harga dunia, atau SRP = L/E. SRP menunjukkan sejauh mana pendapatan dari sistem meningkat atau menurun karena pengaruh transfer. Bila kegagalan pasar tidak terlalu berarti, maka SRP memperlihatkan dampak bersih dari kebijakan yang distortif atas sistem usahatani.
Contoh dari Transfer Bersih
Sebuah ilustrasi tentang transfer bersih dari usahatani padi di indonesia disajikan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4. Net Transfer, Koefisien Keuntungan, dan Subsidi Ratio to Producer dalam Sistem Perberasan Indonesia

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Tradabel Faktor Domesik
Privat 7,230,000 966,000 2,082,500 4,181,500
Sosial 5,784,000 1,021,000 2,142,500 2,620,500
Divergensi 1,446,000 (55,000) (60,000) 1,561,000 -

EPC (A-B)/(E-F) 1.32
NPCI B/F .95
NPCO A/E 1.25
PC D/H 1.60
SRP L/E 0.27
Dihitung pada tingkat harga sosial, sistem usahatani padi di Indonesia menguntungkan meski tanpa ada kebijakan apapun (H = Rp. 2.620.500 per hektar). Transfer bersih adalah penjumlahan seluruh divergensi (L = (I – J – K)) juga merupakan selisih antara keuntungan privat dan keuntungan sosial (L = (D – H)). Transfer bersih dari sistem usahatani padi pada contoh diatas, Rp. 1.561.000 per hektar, adalah penjumlahan dari transfer output (Rp. 1.446.000 per hektar) yang disebabkan oleh tarif impor beras, transfer input tradabel (Rp. 55.000 per hektar) sebagai akibat dari subsidi obat-obatan, dan transfer faktor domestik (Rp. 60.000 per hektar) yang timbul sebagai akibat ketidaksempurnaan pasar modal kerja. Transfer bersih juga merupakan selisih antara keuntungan privat dan keuntungan sosial, atau Rp. 4.181.500 – Rp. 2.620.500 = Rp. 1.561.000.
Profitability Coefficient (PC) yaitu rasio antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial, atau PC = D/H, adalah Rp. 4.181.500/Rp.2.620.000 = 1,6. Transfer bersih sebesar Rp. 1.561.000 menyebabkan keuntungan profit satu setengah kali lebih besar dari yang seharusnya, seandainya tidak ada policy transfer. Maka menjadi pertanyaan, mengapa pengambil kebijakan di Indonesia masih harus melaksanakan kebijakan yang membantu sistem pertanian meski tanpa bantuan policy transfer apapun sistem tersebut telah sangat menguntungkan.
Subsidi Ratio to Producers (SRP), rasio antara transfer bersih terhadap pendapatan pada tingkat harga sosial, atau L/E, adalah Rp. 1.561.000/Rp. 5.784.000 = 0.27. Artinya, transfer bersih sebesar itu akan terjadi dengan tarif impor beras sebesar 27 persen bila tidak ada divergensi lain. Seandainya tidak ada divergensi yang mempengaruhi input tradabel maupun faktor domestik, maka untuk memelihara tingkat transfer bersih sebesar Rp. 1.625.500 per hektar NPCO cukup meningkat dari 1,25 menjadi 1,27. Hasil ini menunjukkan bahwa hampir seluruh subsidi untuk produsen beras bersumber dari kebijakan tarif impor, dan sangat kecil yang bersumber dari subsidi obat-obatan maupun implist subsidi untuk biaya modal.


Bab 6
Analisis Benefit-Cost
Budget usahatani dan analisis PAM yang diuraikan pada bab-bab sebelumnya digunakan untuk menentukan tingkat profitabilitas dan efisiensi sistem usahatani padi di Indonesia. Dengan sedikit tambahan data pada data yang digunakan pada bab 3 dan 4, metode PAM yang sama juga dapat digunakan untuk mengevaluasi feasibilitas ekonomi dari sebuah investasi. Dua informasi tambahan diperlukan untuk melakukan analisis ini, yaitu dampak investasi terhadap hubungan input-output usahatani, dan biaya investasi.
Analisis Benefit-Cost dalam PAM
Empat langkah untuk menghitung benefit-cost (B-C) rasio sebuah investasi dalam sistem usahatani padi di Indonesia:
1. Kumpulkan data untuk membuat tabel input-output yang baru. Dengan menggunakan harga privat dan harga sosial yang telah ada, buat tabel PAM yang baru.
2. Estimasi setiap komponen biaya dan total biaya investasi pada tingkat harga privat dan harga sosial.
3. Kurangkan tingkat profitabilitas (privat dan sosial) PAM yang lama dari tingkat profitabilitas PAM yang baru untuk menentukan pertambahan benefit sebagai akibat investasi tersebut.
4. Bagikan pertambahan benefit kepada biaya (keduanya harus di diskonto (discount) terlebih dahulu) untuk memperoleh benefit-cost rasio, baik privat maupun sosial. Benefit-cost rasio yang lebih besar dari satu berarti bahwa pelaksanaan proyek (investasi) tersebut menguntungkan.
Pertama-tama, lakukan keempat langkah diatas untuk rentang waktu satu periode, dimana benefit dan biaya terjadi pada tahun yang sama, kemudian baru dilakukan pada rentang waktu yang lebih lama (multi-period) dimana baik benefit maupun biaya terjadi selama rentang waktu tersebut. Untuk menghitung nilai kedalam waktu saat ini (present value) maka setiap elemen dari analisis (baik benefit maupun cost) harus di diskonto sebagai cerminan bahwa nilai rupiah yang diperoleh saat ini mempunyai nilai lebih besar dibandingkan dengan jumlah rupiah yang sama yang akan diterima atau dibayarkan di kemudian hari. (Rupiah yang diperoleh saat ini bisa disimpan di bank dan memperoleh bunga, oleh karena itu rupiah yang diperoleh saat ini lebih besar nilainya dengan yang diperoleh di kemudian hari, yang tidak akan mendapatkan bunga).
Rumus yang digunakan untuk mendiskonto adalah ∆D/(1+i)t, dimana ∆D adalah selisih profitabilitas dari kedua PAM, i adalah tingkat diskonto (discount rate), dan t adalah waktu, dihitung sejak proyek dimulai. Nilai yang terjadi pada saat t masih kecil (tahap awal dari proyek) akan mengalami diskonto yang tidak terlalu besar dibandingkan dengan ketika t besar (akhir proyek). Umumnya, biaya yang muncul di awal proyek akan mengalami diskonto yang tidak terlalu besar dibandingkan dengan benefit, karena benefit akan diterima bertahun-tahun kemudian. Artinya, seandainya proyek tidak dapat diselesaikan pada waktunya, maka benefit-cost yang terjadi akan jauh lebih rendah dari apa yang ditetapkan oleh perencana proyek.
Analisis Benefit-Cost Periode Tunggal (Single Period Benefit-Cost Analysis)
PAM yang lama dikenal dalam literatur project appraisal sebagai kasus “tanpa proyek”, yang menunjukkan apa yang akan terjadi bila tidak ada intervensi atas sistem usahatani. Yang kedua, PAM “dengan proyek” yang ditunjukkan dengan tanda aksen (‘) pada Tabel 6.1 memperhitungkan efek dari perubahan produktivitas yang timbul sebagai akibat tambahan penggunaan pupuk dan pestisida. Gambar 6.1 menjelaskan cara penghitungan single-period benefit-cost rasio atas penggunaan input seperti pupuk dan obat-obatan. Pada contoh single-period, baik biaya investasi maupun pendapatan dihasilkan dalam tahun yang sama.
Incremental benefit dari investasi diperoleh dengan mengurangkan keuntungan privat maupun sosial PAM “tanpa proyek” dari PAM “dengan proyek”, menghasilkan ∆D sebagai perubahan dari keuntungan privat, dan ∆H sebagai perubahan dari keuntungan sosial. Kedua incremental benefit tersebut merupakan pembilang (numerator) pada rasio benefit-cost. Biaya pupuk dan obat-obatan, dinilai dalam harga privat dan sosial, merupakan penyebut (denominator) pada rasio. Oleh karena itu, privat benefit-cost rasio adalah ∆D/IP dan sosial benefit-cost rasio adalah ∆H/IS.

Gambar 6.1. Analisis Benefit-Cost Periode Tunggal

Privat
Pendapatan Biaya Keuntungan Biaya
Input Faktor Investasi B-C Ratio
Dengan Project A' B' C' D'
Tanpa Project A B C D
ΔD IP ΔD/IP
Sosial
Dengan Project E' F' G' H'
Tanpa Project E F G H
ΔH IS ΔH/IS

Contoh perhitungan single-period benefit cost rasio, menggunakan hasil PAM yang diuraikan pada Bab 5, disajikan pada Tabel 6.1. Suatu investasi dengan nilai Rp. 500.000 dalam bentuk investasi jangka pendek seperti penggunaan pupuk, bahan bakar, benih, obat-obatan, akan menghasilkan kenaikan output sebesar 1.000 kilogram per hektar. Tambahan pendapatan bersih privat adalah Rp. 1.205.000, dan benefit-cost rasionya adalah 2.41. Dinilai pada tingkat harga sosial, tambahan pendapatan bersih adalah sebesar Rp. 964.000 dan benefit-cost rasionya adalah 1.93. Perbedaan kedua benefit-cost rasio tersebut diakibatkan oleh kebijakan perdagangan dan subsidi yang telah diuraikan pada Bab 5.
Tabel 6.1. Analisis Benefit-Cost Periode Tunggal

Privat
Pendapatan Biaya Keuntungan Biaya
Input Faktor Investasi B-C Ratio
Dengan Proyek 7,230,000 966,000 2,082,500 4,181,500
Tanpa Proyek 6,025,000 966,000 2,082,500 2,976,500
1,205,000 500,000 2.41
Sosial
Dengan Proyek 5,784,000 1,021,000 2,142,500 2,620,500
Tanpa Proyek 4,820,000 1,021,000 2,142,500 1,656,500
964,000 500,000 1.93



Analisis Benefit-cost Multi Periode (Multi-period Benefit-Cost Analysis)
Sebagian besar proyek melibatkan investasi dengan rentang waktu yang panjang. Biasanya, investasi di sektor pertanian, misalnya irigasi pompa, fasilitas pemasaran, atau kandang ternak, memberikan hasil yang kecil atau bahkan tidak sama sekali pada awal periode. Aliran benefit berlangsung untuk waktu yang panjang di masa yang akan datang. Gambar 6.2. menggambarkan aliran biaya dan benefit dari proyek. Pada awalnya, aliran benefit bersih (tambahan benefit plus biaya investasi) negatif, karena biaya investasi mendominasi aliran dana. Ketika biaya menurun dan benefit meningkat, keadaan berbalik, dan aliran dana (cash flow) menjadi positif. Cash-flow harus di diskonto dan kemudian dijumlahkan untuk menghitung benefit-cost rasio dari proyek tersebut.
Gambar 6.2. Aliran Biaya dan Pendapatan (Benefit and Cost)
Selama Masa Proyek


















Menghitung Benefit-Cost Rasio Terdiskonto (Discounted Benefit-Cost Ratio)
Contoh PAM multi periode pada Tabel 6.2. memperlihatkan dampak penerapan diskonto atas private benefit-cost ratio. Bila sebuah investasi senilai Rp. 5.000.000 dilakukan dalam model periode tunggal (single-period), dengan keuntungan yang sama seperti pada contoh sebelumnya, akan menghasilkan B-C rasio sebesar 0.24. Dengan B-C rasio sebesar itu, sudah jelas proyek tidak layak (feasible) untuk dilaksanakan. Namun, seperti apa yang disajikan pada tabel 6.2. kegiatan investasi tersebut ternyata meningkatkan kualitas pengelolaan air dengan tanah yang semakin rata, galengan yang semakin kokoh, dan drainase yang semakin baik. Diasumsikan bahwa lahan dapat ditanami tiga kali setahun. Pada musim ketika investasi sedang dilakukan, tidak ada produksi yang dihasilkan. Namun, dalam 20 musim berikutnya (kurang lebih selama 7 tahun), peningkatan keuntungan akan diperoleh tanpa harus melakukan tambahan investasi. Dengan cara evaluasi periode tunggal yang sederhana keuntungan dan biaya investasi seperti yang digambarkan pada tabel 6.2. akan menghasilkan angka benefit-cost rasio sekitar 4.8 (Rp. 24.100.000/Rp. 5.000.000).
Dengan mendiskonto baik pendapatan maupun biaya dengan tingkat diskonto sebesar 15 persen (atau 5 persen per periode atau musim) seperti disajikan pada tabel 6.2. kegiatan investasi akan menghasilkan benefit-cost rasio sebesar 3.0. Biaya, karena timbul pada tahun pertama proyek, di diskonto dengan nilai potongan yang kecil. Faktor diskonto pada tahun tersebut hanya 0.9523. Sebalikna, benefit pada periode ke 21 di diskonto dengan nilai potongan yang besar karena timbul lama di kemudian hari. Faktor diskonto pada saat itu adalah 0.3589. Hasilnya adalah nilai B-C rasio yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan perhitungan tanpa diskonto.
Manfaat yang diperoleh karena perbaikan sistem pengairan mungkin akan berlangsung selama satu dekade atau lebih. Namun, proses diskonto membuat nilai manfaat menjadi amat kecil dan akan memberikan dampak yang amat kecil pada jumlah benefit keseluruhan. Sebagai contoh, dengan periode 10 tahun (30 periode), dengan menggunakan tingkat 5 persen per musim, nilai faktor diskonto akan menjadi 0.2313. Lima belas tahun dengan tiga kali tanam setahun akan menghasilkan faktor diskonto sebesar 0.1113. Pelajaran yang dapat diambil dari proses diskonto adalah bahwa sebagian besar benefit dari proyek harus dihasilkan pada periode 10 tahun pertama (30 periode) agar dampak benefitnya masih ada nilainya.


Tabel 6.2. Analisis Benefit-Cost Multi Periode (Harga Privat)

Pendapatan Biaya Keuntungan Biaya Cash
Input Faktor Investasi B-C Ratio Flow
Dengan Proyek 7,230,000 966,000 2,082,500 4,181,500 (IRR)
Tanpa Proyek 6,025,000 966,000 2,082,500 2,976,500
1,205,000 5,000,000 0.24
Tdk terdiskonto Terdiskonto
Periode 1 - - 4,761,905 (5,000,000)
2 1,205,000 1,092,971 1,205,000
Tingkat Diskonto 5% 3 1,205,000 1,040,924 1,205,000
4 1,205,000 991,356 1,205,000
5 1,205,000 944,149 1,205,000
6 1,205,000 899,190 1,205,000
7 1,205,000 856,371 1,205,000
8 1,205,000 815,591 1,205,000
9 1,205,000 776,754 1,205,000
10 1,205,000 739,765 1,205,000
11 1,205,000 704,539 1,205,000
12 1,205,000 670,989 1,205,000
13 1,205,000 639,037 1,205,000
14 1,205,000 608,607 1,205,000
15 1,205,000 579,626 1,205,000
16 1,205,000 552,024 1,205,000
17 1,205,000 525,738 1,205,000
18 1,205,000 500,702 1,205,000
19 1,205,000 476,859 1,205,000
20 1,205,000 454,152 1,205,000
21 1,205,000 432,526 1,205,000
24,100,000 14,301,870 4,761,905 3.0 23.8%

Data urut waktu (time series) seperti disajikan pada Tabel 6.2. memperlihatkan aliran dana yang di diskonto. Algoritma yang tersedia pada software spreadsheet akan mempermudah perhitungan dan langsung bisa mengahsilkan nilai Net Present Value untuk rentang waktu dan tingkat bunga tertentu. Rumus berikut akan menghasilkan B-C rasio yang diperlukan untuk melakukan evaluasi kelayakan (feasibility) proyek.


Pembilang (numerator) dari rumus diatas menjumlahkan seluruh benefit yang telah didiskonto sedangkan penyebut (denominator) adalah penjumlahan dari biaya yang juga telah didiskonto.
Data pada Tabel 6.3. adalah data Tabel PAM “dengan” dan “tanpa” proyek yang dihitung pada tingkat harga sosial. Sosial B-C rasio terdiskonto, yang dihitung dengan menggunakan rumus NPV untuk benefit dan biaya, adalah 1.89, lebih besar dari 1.0. Internal rate of return (IRR) sebesar 19%, juga lebih besar dari tingkat bunga sosial per musim sebesar 8% (periode yang digunakan dalam perhitungan adalah musim, bukan tahun sehingga tingkat bunga yang digunakan adalah tingkat bunga per musim).
Penyebab utama lebih rendahnya sosial B-C (dibandingkan dengan privat B-C) adalah kebijakan tarif impor beras yang menyebabkan harga privat beras 25 persen lebih tinggi dari harga dunia. Subsidi atas input tradabel dan modal memiliki dampak yang kecil, seperti dijelaskan pada Bab 5.


Tabel 6.3. Analisis Benefit-Cost Multi Periode (Harga Sosial)

Pendapatan Biaya Keuntungan Biaya Cash
Input Factors Investasi B-C Ratio Flow
Dengan Proyek 5,784,000 1,021,000 2,142,500 2,620,500 (IRR)
Tanpa Proyek 4,820,000 1,021,000 2,142,500 1,656,500
964,000 5,000,000 0.19

Periode 1 - 5,000,000 (5,000,000)
2 964,000 964,000
Tingkat Diskonto 8% 3 964,000 964,000
4 964,000 964,000
5 964,000 964,000
6 964,000 964,000
7 964,000 964,000
8 964,000 964,000
9 964,000 964,000
10 964,000 964,000
11 964,000 964,000
12 964,000 964,000
13 964,000 964,000
14 964,000 964,000
15 964,000 964,000
16 964,000 964,000
17 964,000 964,000
18 964,000 964,000
19 964,000 964,000
20 964,000 964,000
21 964,000 964,000
NPV 8,763,606 4,629,630 1.89 19%

Menghitung Internal Rate of Return (IRR)
Rumus yang digunakan untuk menghitung benefit-cost rasio yang didiskonto pada Tabel 6.2. memerlukan angka tingkat diskonto. Analisis sensitivitas atas faktor diskonto dilakukan dengan merubah-rubah tingkat bunga. Pendekatan yang lebih fleksibel, digunakan oleh Bank Dunia dan lembaga internasional lainnya, dilakukan untuk menentukan tingkat diskonto yang menghasilkan benefit terdiskonto sama dengan biaya terdiskonto. Tingkat diskonto ini kemudian dibandingkan dengan biaya modal, baik privat maupun sosial. Bila biaya modal privat dan sosial, yakni tingkat bunga, lebih kecil dari tingkat diskonto, maka proyek dikatakan feasible.
Rumus untuk menghitung IRR adalah seperti di bawah ini:

Bagian pertama dari persamaan diatas adalah penjumlahan benefit terdiskonto sedang bagian keduanya adalah penjumlahan biaya terdiskonto. Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat bunga yang menghasilkan benefit terdiskonto sama dengan biaya terdiskonto. Elemen pertama data urut waktu pada Tabel 6.2. negatif karena pada saat itu benefitnya adalah nol. Setelah itu, benefit adalah keuntungan yang terus bertambah yang dihasilkan dari pengurangan PAM lama (tanpa proyek) atas PAM baru (dengan proyek) dengan hasil yang telah meningkat.
Algoritma yang sama bila diterapkan kepada data benefit dan biaya pada tabel 6.2. (keuntungan privat) akan menghasilkan IRR sebesar 23.8 persen sedang perhitungan untuk data yang ditampilkan pada tabel 6.3. (keuntungan sosial) menghasilakn IRR sebesar 19 persen. Alasan mengapa sosial IRR lebih kecil dari privat IRR adalah sama dengan alasan mengapa sosial B-C rasio lebih kecil dibandingakn dengan privat B-C rasio.
Kedua angka IRR diatas lebih besar dari biaya modal privat dan sosial. Namun, tidak jarang pula sebuah proyek menghasilkan angka yang berbeda untuk kedua ukuran tersebut, yakni privat B-C rasio lebih besar dari satu sedangkan sosial B-C rasio lebih kecil dari satu, atau sebaliknya. Para perencana akan lebih suka menggunakan rasio sosial karena angka tersebut mencerminkan biaya modal ril bagi ekonomi secara keseluruhan. Namun, evaluasi proyek yang didasarkan pada penilaian keuntungan sosial (efisiensi) harus dilakukan secara hati hati. Bila incremantal private profit negatif, maka insentif privat yang dibutuhkan untuk implementasi proyek (meskipun efisien) tersebut tidak memadai. Perbedaan antara private dan social rate of return dari proyek akan menghasilkan perubahan kebijakan yang sama dengan perubahan yang timbul dari hasil analisis PAM sebelumnya yang digunakan sebagai basis perhitungan ini.
Sebagai contoh, seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa perbaikan pengelolaan air meningkatkan produksi sebesar 1.000 kilogram per hektar. Perhitungan harga sosial menghasilkan B-C rasio sebesar 1.9. Karena sistem usahatani padi diproteksi, maka keuntungan privat akan lebih besar dari keuntungan sosial sehingga menghasilkan B-C rasio sebesar 3.0. Dalam contoh ini, privat dan sosial B-C rasio menunjukkan arah yang sama. Para perencana bisa terus melaksanakan proyek ini dengan pertimbangan insentif privat konsisten dengan kelayakan (feasibility) sosial. Namun adakalanya petani dikenakan pajak atas output yang dihasilkannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini bisa menghasilkan sosial B-C rasio yang lebih besar dari satu, sementara privat B-C rasio lebih kecil dari satu. Dalam kasus seperti ini, petani akan memiliki minat yang kecil untuk membelanjakan sumberdaya yang dimilikinya kepada kegiatan proyek tersebut. Tanpa ada perubahan kebijakan yang menghapuskan pajak atas output tersebut maka kegiatan proyek tersebut akan sulit untuk berhasil.

Bab 7
Kegagalan Pasar dan Eksternalitas Lingkungan
(Environmental Externalities)
Pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM) mengidentifikasi divergensi sebagai akibat kegagalan pasar dan distorsi kebijakan yang menyebabkan harga privat (harga aktual) berbeda dengan harga sosial (harga efisiensi). Metode PAM dapat dikembangkan untuk menganalisis isu lingkungan yang menjadi perhatian utama studi tentang alokasi sumberdaya alam. Tujuan dari bab ini adalah menjelaskan analisis PAM berkenaan dengan kegagalan pasar, terutama yang disebabkan oleh eksternalitas lingkungan. Ilustrasi tentang bagaimana menganalisis environmental market failures ini juga disajikan pada bagian komputer tutorial.
Kegagalan Pasar Lingkungan (Environmental Market Failures)
Yang disebut sebagai lingkungan disini adalah penggunaan sumberdaya fisik, seperti tanah, air, dan udara. Kebanyakan kegagalan pasar lingkungan pada sektor pertanian terjadi ketika produsen menggunakan sumberdaya secara tidak tepat karena mereka merasa tidak harus membayar keseluruhan (termasuk biaya sebagai akibat ekternalitas) biaya penggunaan sumberdaya tersebut. Ada dua jenis kegagalan pasar lingkungan – eksternalitas lingkungan dan degradasi lingkungan.
Eksternalitas Lingkungan (Environmental Externalities)
Eksternalitas adalah sebuah bentuk kegagalan pasar. Secara umum, ekternalitas negatif timbul ketika produsen atau konsumen menyebabkan timbulnya biaya bagi orang lain, namun tidak bisa dibebani biaya tersebut. Eksternalitas positif timbul ketika produsen atau konsumen menciptakan manfaat bagi orang lain namun mereka tidak mungkin memperoleh kompensasi atas manfaat yang diciptakannya. Eksternalitas lingkungan memenuhi kriteria atau pengertian umum untuk disebut sebagai kegagalan pasar eksternal. Eksternalitas lingkungan merupakan hal penting berkenaan dengan penggunaan sumberdaya fisik, terutama tanah dan air untuk pertanian.
Sebuah contoh eksternalitas negatif adalah penggunaan pestisida pada usahatani padi di lahan beririgasi. Pestisida digunakan pada tanaman padi, yang pada masa tertentu harus digenangi air. Sisa-sisa bahan kimia dari pestisida tersebut tetap berada dalam air ketika air tersebut dibuang. Orang lain, yang berlokasi di bagian hilir kemudian menggunakan air tersebut untuk minum, irigasi, usaha peternakan, atau beternak ikan di kolam. Para pengguna air yang telah tercemar tersebut akan menanggung biaya bila air tersebut berakibat buruk bagi kesehatan, baik bagi manusia maupun bagi produksi hewan peliharaan. Namun, orang-orang yang terkena dampak negatif dari eksternalitas ini tidak mungkin menagih beban biaya kepada pengguna pestisida di bagian hulu yang telah mencemari air. Dalam kasus ini, pasar telah gagal memasukkan biaya ekternalitas negatif dari pestisida pada biaya produksi padi para petani di bagian hulu. Sehubungan dengan itu diperlukan peranan pemerintah untuk melakukan intervensi guna memperbaiki ekternalitas negatif tersebut.
Degradasi Lingkungan (Environmental Degradation)
Kategori kedua dari kegagalan pasar lingkungan (environmental market failures) adalah degradasi lingkungan (environmental degradation). Degradasi lingkungan berhubungan dengan penggunaan sumberdaya – tanah, air, udara, dan hutan – yang melebihi batas, baik oleh produsen maupun konsumen. Penggunaan yang melebihi batas ini terjadi karena produsen atau konsumen mendapat insentif yang kecil atau bahkan tidak ada sama sekali untuk membatasi ekploitasi sumberdaya alam. Seringkali, dampak negatif aktivitas pertanian akibat ekploitasi berlebihan atas hutan, tanah, dan sumberdaya air atau dampak negatif rumah tangga berkenaan dengan penebangan liar, baru dirasakan di masa yang akan datang. Meskipun mereka mengerti bahwa kegiatan ekploitasi sumberdaya alam ini akan berakibat buruk, mereka menunda kegiatan konservasi bila akibat kerusakan lingkungan ini tidak terasa segera setelah mereka melakukannya selama bertahun-tahun. Eksternalitas lingkungan dampak negatifnya langsung dirasakan sementara degradasi lingkungan dampak negatifnya akan merupakan beban biaya bagi pengguna sumberdaya alam di kemudian hari, termasuk bagi mereka yang terkena beban untuk pemulihan atau pelestarian lingkungan hidup mereka.
Para ekonom yang melakukan analisis atas penggunaan sumberdaya alam menggunakan istilah khusus dalam studi degradasi lingkungan, yaitu apa yang disebut sebagai “user cost”. Dalam istilah ekonomi lingkungan, user cost diartikan sebagai discounted present value dari pendapatan dari penggunaan sumberdaya alam (seperti tanah, air, hutan, dan bahan tambang atau kandungan mineral) yang hilang. Tujuannya adalah untuk mengukur aliran benefit sepanjang waktu dari penggunan sumberdaya alam, bukan hanya benefit yang akan diterima saat ini atau beberapa tahun kemudian. Bila pengguna sumberdaya alam tersebut tahu akan dampak yang akan timbul dari penggunaan sumberdaya saat ini, maka mereka bisa dirangsang melalui kebijakan pemerintah untuk melakukan investasi, seperti melakukan terasering, drainase, atau penghijauan, yang dapat memelihara (konservasi) sumberdaya alam untuk masa datang.
Sebuah contoh yang menggambarkan degradasi lingkungan disajikan pada bagian kedua dari komputer manual tentang environmental PAM. Petani yang mengusahakan padi di lahan irigasi seringkali mengunakan pompa untuk memompa air tanah. Setelah sekian lama, ketersediaan air tanah akan habis dan kemampuan tanah untuk menghilangkan kadar garam akan berkurang. Di masa yang akan datang, ketersediaan air yang berkurang dan salinasi lahan akan berakibat menurunnya produktivitas. Bila dampak negatif ini tidak terjadi dalam waktu yang cukup lama maka petani akan memiliki insentif yang kecil untuk berinvestasi dalam bentuk perbaikan drainase dan konservasi sumberdaya air. Kedaan ini memberikan ruang bagi pemerintah untuk berperan dalam membuat kebijakan untuk memperbaiki kegagalan pasar ini. Kemudian pemerintah bisa memilih untuk melakukan investasi publik dalam bentuk pembangunan irigasi atau drainase atau mungkin pemerintah memutuskan untuk memberikan subsidi kepada petani yang melakukan investasi dalam bentuk drainase.
Sistem Produksi Yang “Unsustainable” Versus “Sustainable”
Kegagalan pasar lingkungan (environmental market failures) menimbulkan sistem produksi pertanian yang tidak berkesinambungan (unsustainable). Sebuah sistem produksi dikatakan unsustainable bila kegiatan usahatani menimbulkan ekternalitas lingkungan negatif (seperti polusi daerah hilir sebagai akibat penggunaan bahan kimia), menimbulkan degradasi lingkungan (salisasi air tanah) atau kekedua-duanya. Biaya produksi sistem usahatani yang unsustainable dinilai terlalu rendah karena sistem ini mengabaikan dampak negatif eksternal (atas pengguna air yang sudah tercemar di bagian hilir) atau degradasi sumberdaya alam jangka panjang (seperti salinasi sumber air).
Dengan dihilangkannya kegagalan pasar lingkungan maka terciptalah sistem produksi pertanian yang berkesinambungan (sustainable). Sebuah sistem produksi dikatakan sustainable apabila kegiatan usahatani sedikit, atau bahkan tidak sama sekali, menimbulkan eksternalitas lingkungan negatif atau degradasi lingkungan. Sebuah sistem produksi bisa menjadi sebuah sistem yang sustainable apabila pemerintah menerapkan kebijakan yang bisa mengoreksi eksternalitas negatif dan degradasi sumberdaya. Suatu sistem produksi yang sustainable memperhitungkan biaya secara penuh karena sistem tersebut memperhitungkan biaya dampak negatif eksternal, serta pengeluaran untuk menghindari terjadinya degradasi sumberdaya alam jangka panjang.
Sebuah contoh sistem pertanian yang unsustainable adalah usahatani padi di lahan irigasi yang menggunakan pestisida yang berlebihan, dan terlibat dalam kegiatan yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan dengan tidak mau melakukan investasi dalam bentuk pembuatan drainase. Sebaliknya, contoh sebuah sistem produksi yang sustainable adalah sistem usahatani padi di lahan irigasi dimana petani menghentikan penggunaan pestisida atau mengurangi tingkat penggunaan pestisida sampai pada tingkat yang tidak membahayakan, serta usahatani yang menyediakan fasilitas drainase yang baik untuk melindungi sumberdaya air agar tetap dapat digunakan di masa yang akan datang. Berapa tingkat penggunaan pestisida yang dapat ditolelir, dan berapa jumlah investasi yang harus dilakukan untuk melakukan konservasi air merupakan isu yang sulit.
Kebijakan Publik Untuk Menghilangkan Eksternalitas Lingkungan (Environmental Externalities)
Terjadinya kegagalan pasar lingkungan (environmental market failures) atau hilangnya pasar (missing market) memberi alasan kepada pemerintah untuk melakukan intervensi dalam upaya mengkoreksi divergensi. Kebijakan yang efisien akan memperbaiki kegagalan pasar atau menghilangkan (atau mengurangi) divergensi yang terjadi antara harga privat dengan harga sosial, sementara kebijakan yang distortif menimbulkan divergensi tersebut, seperti telah diuraikan pada bab 4 dan 5.
Pada dasarnya, pemerintah bisa melaksanakan kebijakan pajak atau subsidi untuk mengkoreksi eksternalitas lingkungan. Biaya yang timbul karena eksternalitas lingkungan, seperti dampak polusi di daerah hilir sebagai akibat penggunaan pestisida di daerah hulu, harus dimasukkan dalam perhitungan biaya dan pendapatan suatu sistem pertanian. Pajak atas penggunaan pestisida harus diterapkan sehingga biaya marjinal privat harus termasuk biaya external, dan sama dengan marjinal benefit sosial (yakni, biaya keseluruhan untuk memproduksi unit terakhir dari sebuah produk harus sama dengan benefit yang diterima dari proses produksi tersebut).
Pada kenyataannya, amatlah sulit menggunakan kebijakan pajak/subsidi untuk mengkoreksi eksternalitas lingkungan. Amatlah sulit untuk mengukur biaya external dengan akurat. Contoh berikut akan menjelaskan mengapa hal tersebut sulit dilakukan. Biaya eksternal penggunaan pestisida adalah resiko atas kesehatan dan hilangnya produksi di daerah hilir sebagai akibat air yang tercemar. Dua jenis biaya tersebut jelas tidak mungkin dihitung. Tanpa estimasi biaya external yang baik, pemerintah akan sulit menentukan dengan tepat besar pajak yang harus dibebankan kepada pengguna pestisida.
Oleh karena itu, pemerintah memilih untuk menerapkan kebijakan alternatif terbaik (the second-best policy) – penetapan standar kuantitatif – untuk membatasi penggunaan input sumber pencemaran lingkungan. Bila biaya kesehatan dan biaya lainnya dianggap sangat mahal, pemerintah harus melarang penggunaan bahan kimia tertentu dalam proses produksi pertanian. Salah satu cara untuk mengatasi masalah dampak negatif penggunaan pestisida adalah melarang penggunaan input tersebut di lahan sawah beririgasi.`Namun, melarang penggunaan input bukan merupakan cara yang efisien kecuali biaya marjinal (termasuk biaya external) sangat mahal dan pendapatan marjinal penggunaan input tersebut amatlah kecilnya. Karena biasanya biaya marjinal sulit diketahui, penentuan tingkat standar kuantitatif untuk mengatur penggunaan input dilakukan secara sembarang (arbitrary). Dalam situasi seperti ini, hal terbaik yang dapat dilakukan adalah mengukur dampak dari berbagai tingkat penggunaan input dan kemudian menduga (berdasarkan pengalaman) berapa besar dampak yang akan terjadi.
Eksternalitas Lingkungan (Environmental Externalities) dalam PAM
Analisis tentang eksternalitas lingkungan dalam kerangka PAM dapat diilustrasikan dalam empat langkah berikut:
1. Langkah pertama adalah membuat tabel PAM untuk sistem usahatani yang unsustainable. Proses produksi dalam sistem ini menimbulkan dampak eksternalitas negatif kepada orang lain, namun produsen mengabaikan biaya external ini.
2. Langkah kedua adalah membuat sustainable PAM untuk sistem usahatani yang sama. Pemerintah memberlakukan kebijakan untuk menghilangkan dampak eksternalitas negatif, entah itu melalui penerapan pajak kepada produsen atas penggunaan input penyebab eksternalitas negatif, memberlakukan standar kuantitaif (kuota) atau bahkan pelarangan penggunaan input tersebut.
3. Langkah ketiga adalah membuat tabel environmental PAM. Environmental PAM memungkinkan kita untuk mengukur divergensi yang disebabkan oleh kebijakan untuk menghapuskan negatif externalities. Tabel ini berisikan perbandingan antara privat entry dari unsustainable PAM dengan sosial entry dari sustainable PAM.
4. Langkah terakhir adalah menghitung biaya “kepatuhan” (cost of compliance). Cost of compliance adalah biaya privat dan sosial untuk menghilangkan eksternalitas negatif, dan menciptakan sistem usahatani yang sustainable. Cost of compliance privat adalah keuntungan produsen yang berkurang, dan cost of compliance sosial adalah pendapatan nasional yang hilang.
Membuat Unsustainable PAM
Usahatani padi menggunakan pestisida untuk mengatasi serangan hama dan penyakit. Namun pestisida ini meninggalkan residu dalam air yang mengalir dan digunakan di daerah hilir. Air yang telah tercemar digunakan untuk minum dan sumber air untuk kolam ikan. Biaya yang harus ditanggung oleh penggunaan air di daerah hilir sebagai akibat air yang sudah tercemar ini tidak diperhitungkan dalam biaya petani padi. Dampak eksternal negatif penggunaan pestisida ini menciptakan sistem produksi padi yang unsustainable.
Pembuatan unsustainable PAM mengikuti enam langkah yang sama seperti langkah yang dilakukan untuk pembuat tabel PAM yang umum:
1. Langkah pertama adalah membuat tabel input-output usahatani (membuat data synthetic atau data langsung dari lapangan). Koefisien teknis dari tabel input-output ini digunakan baik untuk melakukan analisis privat maupun sosial. Entry penggunaan pestisida dan herbsida termasuk dalam tabel input-output koefisien untuk sistem usahatani padi yang unsustainable. Pestisida sebagai obat hama penyakit dan herbisida sebagai sarana penanggulangan gulma mempunyai kontribusi terhadap tingginya hasil produksi. Namun, penggunaan bahan kimia ini menimbulkan eksternalitas negatif di bagian hilir.
2. Langkah kedua adalah membuat tabel harga privat (harga aktual) untuk input dan output. Tabel privat ini berisikan harga untuk setiap input produksi dan output yang ada dalam tabel koefisien input-output (yang dibuat pada langkah pertama). Semua entry ini dinilai dalam mata uang domestik (Rupiah).
3. Langkah ketiga adalah menghitung budget privat (dengan mengalikan koefisien input-output dengan harga privat) dan budget budget sosial (dengan mengalikan koefisien input-output dengan harga sosial)
4. Langkah keempat adalah membuat tabel harga sosial (harga efisiensi) baik untuk input maupun output. Tabel harga sosial berisikan harga dari setiap input maupun output yang tercantum pada tabel koefisien input-output.
5. Langkah kelima adalah menghitung budget sosial. Budget sosial untuk usahatani padi yang unsustainable diperoleh dengan mengalikan koefisien input-output dengan harga sosialnya.
6. Langkah terakhir adalah memasukkan nilai-nilai yang diperlukan dari budget privat dan budget sosial kedalam Matrik PAM untuk menghitung divergensi (baris terakhir dari PAM) sebagai selisih antara harga privat dan harga sosial. Dua baris pertama dari Matrik PAM usahatani padi yang unsustainable diambil dari tabel budget privat dan budget sosial. Baris terkahir, berisikan efek divergensi, diperoleh dengan mengunakan divergensi identitas yaitu baris pertama dikurangi baris kedua, seperti telah dijelaskan pada Bab 2.
Contoh untuk sistem usahatani yang unsustainable disajikan pada Tabel 7.1. Tabel tersebut telah dianalisis secara rinci di Bab 5. Terlihat bahwa divergensi yang besar terjadi karena tarif impor beras yang meningkatkan harga 25 persen diatas harga sosialnya. Divergensi lain yang mempengaruhi biaya produksi adalah subsidi pemerintah atas obat-obatan (chemicals) dan kredit. Namun, divergensi ini nilainya relatif kecil. Dalam unsustainable PAM, subsidi atas obat-obatan mengurangi biaya privat untuk input tradabel sebesar RRp. 55.000 (dari seluruh biaya sosial sebesar Rp. 1.021.000). Biaya kredit yang dibayar petani adalah sebesar Rp. 402.500 per hektar sementara opportunity costnya, secara keseluruhan adalah Rp. 462.500 per hektar. Artinya, telah terjadi implisit subsidi sebesar Rp. 60.000.
Tabel 7.1. Unsustainable PAM (Rp/ha)

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input tradabel Tenaga Kerja Modal
Privat 7,230,000 966,000 1,680,000 402,500 4,181,500
Sosial 5,784,000 1,021,000 1,680,000 462,500 2,620,500
Divergensi 1,446,000 (55,000) - (60,000) 1,561,000

Total subsidi sebesar Rp. 1.561,000 yaitu kelebihan keuntungan privat diatas keuntungan sosial sebesar 59 persen. Namun, seandainyapun policy transfer tersebut tidak terjadi, petani telah memperoleh keuntungan yang lebih dari separuh pendapatannya. Pemerintah mungkin tidak mengetahui tingginya keuntungan sosial yang diperoleh oleh sistem ini. Mungkin biaya lahan, yang termasuk kedalam keuntungan (return to land and management) pada tabel PAM ini, akan mengurangi keuntungan dengan nilai yang cukup besar. Semua kemungkinan tersebut memerlukan telaahan yang lebih teliti untuk dapat menginterpretasikan alasan dibuatnya sebuah kebijakan.
Yang juga perlu ditelaah adalah keputusan pemerintah untuk mensubsidi obat-obatan (chemicals). Subsidi yang besar akan merangsang petani menggunakan pestisida secara berlebihan dan akan memperburuk dampak external. Kebijakan yang lebih “masuk akal” seharusnya akan membatasi, paling tidak, tidak merangsang, penggunaan pestisida dalam sistem unsustainable ini.
Membuat Sustainable PAM
Dalam contoh usahatani padi di lahan beririgasi, pemerintah memutuskan untuk melarang penggunaan pestisida dan petani beralih untuk menggunakan sistem tradisional untuk mengontrol gulma dengan menggunakan bahan alami serta menunda waktu tanam. Sistem produksi ini menghasilkan produksi yang lebih rendah serta penggunaan tenaga kerja yang berbeda – lebih tinggi untuk pengelolaan hama dan penyakit, dan lebih rendah untuk panen dan merontok. Namun, pengguna air di daerah hilir tidak lagi harus menanggung biaya external karena penggunaan pestisida dihentikan, dan dengan sendirinya sistem usahatani padi ini merupakan sistem usahatani yang sustainable.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pembuatan sustainable PAM sama seperti unsustainable PAM. Data input-output dan harga privat serta sosial digunakan untuk menghitung budget privat dan budget sosial, dan data yang relevan pada kedua tabel budget tersebut dimasukkan kedalam dua baris pertama dari tabel PAM.
Beberapa koefisien input-output pada tabel ini berbeda dengan data untuk unsustainable PAM (Tabel 7.1.). Lebih penting lagi, penggunaan pestisida dihapuskan sehingga biaya input untuk pestisida menjadi nol. Produksi menurun 9 persen, dari 6.000 kilogram per hektar menjadi 5.000 kilogram per hektar.
Ketika pemerintah melarang penggunaan pestisida dan menghilangkan eksternalitas negatif, tidak ada perubahan dalam harga, baik harga sosial mapun harga privat, dan baik harga input maupun harga output. Perbedaan budget privat dan budget sosial semata-mata disebabkan oleh perubahan koefisien input-output pada sistem sustainable. Karena produksi menurun, pendapatan privat per hektar menurun dari Rp. 7.230.000 menjadi Rp. 6.627.500, dan pendapatan sosial per hektar menurun dari Rp. 5.784.000 menjadi Rp. 5.302.000. Setelah penggunaan pestisida dilarang, biaya input tradabel baik privat maupun sosial menurun menjadi Rp. 771.000 per hektar.
Hasil untuk sustainable PAM disajikan pada Tabel 7.2. Hasil ini berbeda dengan unsustainable PAM pada dua hal penting. Larangan penggunaan pestisida menghilangkan divergensi yang terjadi pada input. Pemerintah semula memberikan subsidi atas pestisida dengan jumlah yang cukup besar. Tujuan utama dari kebijakan pelarangan penggunaan pestisida sebenarnya adalah menghilangkan biaya external, namun ternyata kebijakan ini juga melakukan penghematan pada anggaran pemerintah yang semula dikeluarkan untuk subsidi.
Tabel 7.2. Sustainable PAM (Rp/ha)

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input tradabel Tenaga Kerja Modal
Privat 6,627,500 771,000 1,680,000 402,500 3,774,000
Sosial 5,302,000 771,000 1,680,000 462,500 2,388,500
Divergensi 1,325,500 - - (60,000) 1,385,500

Pemerintah tidak mengubah kebijakan proteksi 25 persen atas produsen beras dan dengan sendirinya menyebabkan terjadinya transfer sumberdaya kepada produsen beras. Oleh karena itu output transfer tetap terjadi (Rp. 1.325.500 diatas pendapatan sosial). Namun jumlah subsidi atas produksi ini menjadi berkurang karena jumlah produksi yang berkurang sebagai akibat dilarangnya penggunaan pestisida.
Namun, meskipun tanpa pestisida ternyata sistem usahatani ini tetap amat menguntungkan. Tanpa proteksi pun, petani padi masih akan menerima keuntungan hampir setengah dari pendapatan sosial, seperti terlihat pada baris sosial dari sustainable PAM.
Membuat Environmental PAM
Environmental PAM memperhitungkan dampak keputusan pemerintah untuk melarang penggunaan pestisida dan oleh karena itu menciptakan sistem yang sustainable. Divergensi dalam environmental PAM mengukur perbedaan antara pendapatan, biaya dan keuntungan privat pada kondisi awal, yaitu sistem yang unsustainable (baris pertama pada unsustainable PAM) dan pendapatan, biaya dan keuntungan sosial pada kondisi setelah ada kebijakan, yaitu sustainable PAM (baris kedua pada sustainable PAM).
Divergensi yang terjadi pada environmental PAM lebih besar, baik dari unsustainable maupun sustainable PAM, sebegai akibat dari hambatan (atau pelarangan) penggunaan input penyebab pencemaran. Perbedaan itu tidak hanya memperhitungkan transfer yang terjadi sebagai akibat proteksi atas beras dan subsidi input, tetapi juga dampak terhadap produksi sebagai akibat perubahan penggunaan pestisida. Ketika pemerintah memutuskan untuk melarang penggunaan pestisida dan membuat sistem menjadi sustainable, keputusan itu akan mengakibatkan produksi beras berkurang karena produktivitas yang menurun. Dengan kata lain, divergensi pada environmental PAM sekaligus menujukkan dampak gabungan dari policy transfer dan produktivitas yang menurun.
Hasil environmantal PAM disajikan pada Tabel 7.3. Ketika pemerintah mengijinkan, bahkan mensubsidi, penggunaan pestisida, produksi mencapai 6.000 kilogram padi per hektar dengan nilai sebesar Rp. 7.230.000 yang 73 persen diantaranya merupakan return to land and management (keuntungan privat).
Tabel 7.3. Environmental PAM (Rp/ha)
Pendapatan Biaya
Input tradabel Tenaga Kerja Modal Keuntungan
Privat (unsustainable) 7,230,000 966,000 1,680,000 402,500 4,181,500
Sosial (sustainable) 5,302,000 771,000 1,680,000 462,500 2,388,500
Divergensi 1,928,000 195,000 - (60,000) 1,793,000

Pemerintah kemudian memutuskan untuk melarang penggunaan pestisida dan menghapuskan eksternalitas negatif yang merugikan pengguna air di bagian hilir, namum pemerintah tidak memutuskan untuk menghentikan proteksi atas produsen beras (output). Pelarangan penggunaan pestisida dan penggunaan sistem produksi yang baru menyebabkan produktivitas padi menurun sebesar 9 persen, dari 6 menjadi 5.5 ton per hektar. Namun, baik keuntungan privat maupun sosial tetap tinggi. Artinya, sistem usahatani yang amat efisien ini tanpa menggunakan pestisidapun tetap layak, meskipun baik keuntungan privat maupun keuntungan sosial menurun dengan tidak digunakannya pestisida.
Perhitungan Biaya Kepatuhan (Cost of Compliance)
Cost of compliance (biaya kepatuhan) berkaitan dengan biaya privat dan biaya sosial untuk menghapuskan eksternalitas negatif dan penciptaan sistem pertanian yang sustainable. Cost of compliance diperoleh dengan membandingkan tingkat keuntungan unsustainable PAM (menggunakan pestisida) dengan sustainable PAM (tanpa pestisida). Cost of compliance privat adalah penurunan keuntungan privat – keuntungan produsen yang berkurang – sebagai akibat dilarangnya penggunaan pestisida. Cost of compliance sosial adalah penurunan keuntungan sosial – pendapatan nasional yang hilang – karena pelarangan pestisida. Tabel Cost of compliance disajikan pada Tabel 7.4.

Tabel 7.4. Biaya Kepatuhan (Cost of Compliance) (Rp/ha)

Unsustainable Sustainable Compliance
Costs
Privat 4,181,500 3,774,000 407,500
Sosial 2,620,500 2,388,500 232,000
Cost of compliance privat adalah dampak pelarangan pestisida atas produsen beras. Apabila petani bisa menggunakan pestisida, mereka memperoleh return to management and land sebesar Rp. 4.181.500 per hektar. Setelah penggunaan pestisida dilarang, return to management and land turun menjadi Rp. 3.774.000 per hektar, sehingga petani menderita kerugian dalam arti berkurangnya keuntungan privat sebesar Rp. 407.500 per hektar. Meskipun petani sudah pasti kecewa dengan hasil ini, namun keuntungan privat yang lebih rendah ini merupakan hasil yang “lebih sehat”, dan kebijakan proteksi pemerintah tetap menimbulkan transfer dari konsumen kepada produsen yang cukup besar.
Cost of compliance sosial adalah menurunnya pendapatan nasional sebagai akibat dari keputusan untuk menghilangkan eksternalitas negatif sehubungan dengan penggunaan pestisida. Pendapatan nasional diukur dengan tingkat keuntungan sosial. Ketika penggunaan pestisida masih diijinkan, produktivitas 6 ton per hektar. Sistem produksi dengan pestisida menghasilkan keuntungan sosial sebesar Rp. 2.620.500 per hektar. Ketika pestisida dilarang, produktivitas menurun menjadi 5,5 ton per hektar. Sistem produksi yang kurang produktif ini menghasilkan keuntungan sosial sebesar Rp. 2.388.500 per hektar. Kerugian pendapatan nasional sebagai akibat dilarangnya pestisida sebesar Rp. 232.000 per hektar atau 10 persen dari keuntungan sosial sebelumnya.
Interpretasi Hasil Environmental PAM
Pemerintah harus menghitung apakah penurunan pendapatan nasional dapat dijustifikasi oleh manfaat yang diterima oleh pengguna air di daerah hilir sebagai akibat hilangnya eksternalitas negatif. Keputusan ini merupakan suatu hal yang tidak mudah. Mengestimasi dampak negatif atas kesehatan dan menurunnya produktivitas orang-orang di derah hilir sebagai akibat menggunakan air yang tercemar merupakan hal yang rumit. Yang paling mungkin dilakukan adalah menduga, meskipun amat kasar, biaya external dan juga benefit yang diterima sebagai akibat hilangnya eksternalitas negatif.
Karena sulitnya menduga benefit yang diterima oleh penduduk di daerah hilir sebagai akibat hilangnya eksternalitas negatif, peneliti biasanya melakukan analisis sensitivitas atas standar kuantitatif penggunaan input yang menyebabkan pencemaran. Pelarangan penggunaan input yang menyebabkan polusi dapat dibenarkan apabila dampak externalnya amat besar sedangkan peningkatan produksi sebagai akibat penggunaan input tersebut kecil. Oleh karena itu, para analis melakukan estimasi empiris dampak yang mungkin terjadi atas produktivitas, dan keuntungan sosial pada berbagai tingkat penggunaan input penyebab polusi tersebut.
Hasil-hasil estimasi divergensi pada environmental PAM serta perhitungan cost of compliance privat dan sosial akan membantu pelaksanaan analisis seperti ini. Cost of compliance sosial menunjukkan penurunan pendapatan nasional pada berbagai tingkat penggunaan input penyebab polusi ini. Disagregasi divergensi output pada environmental PAM menunjukkan berapa besar transfer yang terjadi sebagai akibat penurunan produktivitas karena berkurangnya penggunaan input penyebab polusi, dan berapa besar transfer yang diakibatkan oleh kebijakan proteksi dan subsidi. Sama seperti pada seluruh analisis PAM, kunci untuk interpretasi hasil adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan kuantifikasi berbagai macam divergensi – environmental externalities, kegagalan pasar lainnya, dan policy transfer.

Bab 8:
Mengkomunikasikan Hasil Analisis PAM Kepada Pembuat Kebijakan
Tugas analis kebijakan baru selesai sebagian ketika analisis PAM selesai dikerjakan. Hasil-hasil analisis tersebut selanjutnya harus dikomunikasikan dengan jelas dan efektif kepada pembuat kebijakan. Bila tidak, betapapun baiknya hasil analisis tersebut tidak akan ada dampaknya pada proses pembuatan kebijakan. Tujuan dari bab ini adalah memberikan panduan dalam cara mengkomunikasikan hasil-hasil PAM yang efektif kepada pembuat kebijakan, baik tertulis maupun lisan.
Pentingnya Komunikasi
Analis kebijakan yang baik memerlukan empat hal. Tujuh bab pertama dari buku ini memfokuskan diri pada tiga hal pertama – memilih cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan kebijakan, menggali informasi yang relevan dengan baik, dan interpretasi hasil yang benar. Hal ke empat yang amat penting adalah mengkomunikasikan hasil-hasil analisis dengan tepat dan meyakinkan.
Dalam melakukan analisis kebijakan, mengkomunikasikan hasil, baik tulisan maupun lisan, sama pentingnya dengan proses menghasilkan analisis yang baik itu sendiri. Apabila para analis tidak mampu mengkomunikasikan hasil analisisnya dengan baik, pekerjaan mereka tidak akan mempunyai dampak dalam mempengaruhi kebijakan. Penasihat kebijakan yang efektif dengan sendirinya harus mampu melakukan analisis yang baik, sekaligus meyakinkan orang.
Ada keterkaitan yang erat antara komunikasi yang efektif dengan pemilihan research design. Semakin rumit metoda riset yang digunakan semakin sulit pula tugas mengkomunikan hasil-hasilnya, serta menyakinkan pembuat kebijakan. Pendekatan PAM dirancang untuk tidak hanya efektif dalam mengidentifikasi dampak kebijakan dan proyek tetapi juga menjelaskannya kepada pembuat kebijakan. Setiap pembuat kebijakan, termasuk yang bukan ekonom, akan dengan mudah memahami pentingnya tingkat keuntungan (profit) dan policy transfer – yang merupakan hasil utama dari analisis PAM.
Kunci untuk dapat mengkomunikasikan hasil analisis dengan efektif adalah “jelas” dan “singkat”. Penggunaan jargon-jargon ekonomi dan istilah istilah teknis tidak akan difahami dengan baik oleh pembuat kebijakan maupun stafnya. Mereka adalah orang-orang yang amat sibuk, dan mereke lebih menghargai sistem komunikasi yang singkat, padat dan akurat. Orang-orang sibuk akan lebih memberi perhatian kepada policy memo serta presentasi yang menarik, jelas, dan singkat.
Para analis kebijakan harus mempersiapkan diri untuk berkomunikasi dengan audience yang bukan ekonom, yang tidak jarang “curiga” terhadap hasil analisis ekonomi dan khawatir malah akan membuat para ekonom lebih “berkuasa”. Bahkan, para ekonom sekalipun (misalnya staf ahli dari pembuat kebijakan) biasanya akan lebih suka berkomunikasi yang lebih terfokus pada dampak baik dan buruknya suatu kebijakan (policy trade-off) daripada berbicara hal-hal yang bersifat teknis. Analis kebijakan yang jeli dengan sendirinya akan menulis dan berbicara dengan cerdik, mengunakan istilah-istilah yang mudah dimengerti oleh para pengambil kebijakan dengan berbagai latar belakang pendidikan.
Jenis Komunikasi Tertulis Dalam Analisis Kebijakan
Dalam analisis kebijakan, komunikasi tertulis biasanya dilakukan melalui salah satu dari tiga kategori berikut – policy papers, policy briefs, dan policy summaries. Analis harus membuat ketiga jenis komunikasi tertulis tersebut untuk mengkomunikasikan hasil analisisnya. Pembuat kebijakan dan stafnya akan mengunakan masing-masing jenis tulisan tersebut untuk keperluan yang berbeda, dan kadang-kadang sulit diduga jenis mana yang mereka sukai, tergantung kepada situasi dan kondisi yang sedang mereka hadapi. Pada saat mereka sedang memberikan perhatian pasa suatu analisis kebijakan, mungkin saja mereka meminta sebuah paper yang lengkap, bisa juga sebuah memo yang rinci, sebuah ringkasan (summary), atau bahkan mereka meminta ketiga-tiganya. Lebih dari itu, umumnya mereka menginginkan komunikasi yang singkat. Oleh karena itu, analis kebijakan harus mempersiapkan diri untuk menyampaikan hasil analisisnya dengan tingkat detil yang berbeda, dan tepat waktu.
Policy papers merupakan bentuk komunikasi tertulis yang terpanjang. Meskipun umumnya lebih mudah menulis makalah yang panjang dibandingkan yang pendek, komunikasi yang efektif membutuhkan sesuatu yang singkat (brevity). Oleh karena itu policy paper sebaiknya tidak lebih dari 15 – 20 halaman. Tabel, grafik, dan lampiran merupakan tambahan. Seringkali para analis pertama-tama menulis sebuah laporan yang panjang dan memasukkan semua hasil-hasil analisisnya. Kemudian, mereka memangkasnya menjadi tidak lebih dari 20 halaman, berisikan hasil-hasil analisis yang penting sebelum menyerahkannya kepada pembuat kebijakan.
Policy brief merupakan media yang paling umum, dan biasanya merupakan alat komunikasi tertulis analisis kebijakan yang paling efektif. Para pengambil kebijakan dan stafnya yang amat sibuk tidak akan sempat membaca makalah setebal 20 halaman. Tapi mereka tertarik pada policy brief yang lebih singkat, dirancang secara baik, dan dengan kata-kata yang jelas. Sebuah policy brief berkisar antara 6 – 8 halaman (dobel spasi, normal font, standar marjin). Para analis memang akan merasa berat untuk menulis sesuatu yang penting tetapi singkat. Namun demikian, manfaat yang akan diperolehpun, karena mampu “mempengaruhi” pembuat kebijakan, tidak ternilai harganya.
Policy summaries, kadang-kadang disebut sebagai executive summaries, merupakan bentuk alat komunikasi tertulis yang paling singkat – hanya 1-2 halaman saja. Cakupan policy summaries sama dengan policy papers dan policy brief, hanya saja policy summary merupakan highlight dari metoda, data, hasil, dan implikasi kebijakan. Sebuah policy summary dimaksudkan sebagai “promosi” dari hasil-hasil analisis dan merangsang pembuat kebijakan serta stafnya untuk membaca makalah yang lebih panjang. Oleh karena singkatnya, policy summaries merupakan makalah yang paling sulit.
Menulis Policy Papers
Tujuan dari policy paper adalah menyajikan informasi yang rinci kepada staf dari pengambil kebijakan. Sangat jarang pengambil kebijakan punya waktu untuk membaca policy paper. Policy paper umumnya dipersiapkan sebagai “back-up” dokumen utama, yaitu policy brief, untuk memberikan penjelasan atas hal-hal yang teknis berkaitan dengan masalah kebijakan.
Aturan utama yang penting diikuti dalam menulis policy paper adalah yakinkan bahwa peneliti lain dapat mereplikasi hasil-hasil analisis kita. Argumentasi pada proses pembuatan kebijakan terjadi pada berbagai tingkat. Salah satu diataranya adalah pada tingkatan teknis. Analis lain harus bisa mereproduksi hasil-hasil analisis yang disajikan pada policy paper agar akurasi dari hasil analisis ini dapat meyakinkan orang. Bila tidak, mereka akan mengabaikan hasil analisis dan rekomendasi kebijakan, dan akhirnya studi yang dilakukan menjadi tidak relevan lagi untuk menghasilkan suatu kebijakan.
Pentingnya kejelasan (clarity) dan kesingkatan (brevity) tidak hanya berlaku dalam menulis policy paper tetapi untuk semua jenis komunikasi analisis kebijakan, baik lisan maupun tulisan. Ketika analis dibatasi untuk tidak lebih dari 15-20 halaman, maka akan ada keinginan untuk menampilkan hasil dalam bentuk lain. Untuk mengekang keinginan ini jumlah tabel atau grafik jangan lebih dari 6 sampai 10 buah. Lampiran juga jangan dimanfaatkan untuk memenuhi keinginan memperpanjang tulisan. Lampiran hanya digunakan untuk masalah teknis yang amat penting berkaitan dengan latar belakang, metoda, dan data.
Komponen dari Policy Paper
Policy paper biasanya terdiri atas 5 bagian dengan urutan sebagai berikut – metoda analisis, asumsi penting berkenaan dengan metoda dan data, data utama dan sumber data, hasil analisis empiris, dan interpretasi serta implikasi kebijakan. Kunci keberhasilan menulis policy paper adalah menyusun outline yang mengintegrasikan kelima komponen tersebut.
Bahasan mengenai metodologi harus fokus pada metode analisis apa yang akan digunakan, dan mengapa penggunaan alat analisis ini sesuai dengan isu kebijakan yang ingin dibahas. Bagian ini harus singkat dan “to the point” karena biasanya pengambil kebijakan tidak terlalu tertarik pada masalah metoda ekonomi.
Semua metoda analisis ekonomi mempunyai keterbatasan dan kelemahan, serta memerlukan asumsi-asumsi. Pada sebagian besar analisis empiris, beberapa data penting tidak bisa diperoleh atau akurasinya dipertanyakan. Bagian metodologi dan asumsi yang digunakan harus mengemukakan kelebihan dan kekurangan alat analisis yang digunakan.
Data bukan semata-mata angka yang digunakan dalam analisis empiris. Pembuat kebijakan perlu diyakinkan bahwa hasil analisis kita memang penting. Oleh karena itu, bagian data dan sumberdata harus memuat informasi yang relevan serta menerangkan kualitas data dan informasi, serta prosedur pengumpulan data yang digunakan.
Memang, komputer memungkinkan kita untuk melakukan analisis data yang besar. Namun, pengambil kebijakan memiliki waktu yang terbatas dan tidak sabar bila kita harus memberikan keterangan yang panjang, serta melakukan berbagai analisis sensitivitas atas berbagai kemungkinan perubahan asumsi. Hanya hasil-hasil penting serta alternatif kebijakan saja yang perlu dilaporkan. Makin singkat, makin baik.
Hal yang paling membantu pengambil kebijakan adalah bila analis melakukan interpretasi hasil dengan cara yang mudah dimengerti dan relevan. Implikasi kebijakan harus fokus pada dampak kebijakan yang akan terjadi, siapa yang akan menjadi “pemenang”, dan siapa yang akan menjadi “korban” dari berbagai kebijakan. Pengambilan keputusan merupakan masalah politik. Pembuat kebijakan harus menentukan siapa yang harus “ditolong” siapa yang harus “dikorbankan”. Oleh karena itu, umumnya pengambil kebijakan akan menaruh perhatian yang besar pada bagian terakhir dari policy paper ini.
Menulis Policy Briefs
Saran-saran yang disampaikan pada bagian ini amat singkat, karena buku PAM telah memuat penjelasan lengkap disertai dengan contoh sebuah policy brief (dalam kasus usahatani gandum di Portugal). Bahan-bahan tersebut bisa digunakan untuk Bab ini. Setiap policy brief harus berisikan tujuh bagian – isu, metoda, informasi, interpretasi, hasil-hasil analisis, ramifikasi, dan ringkasan. Struktur dan komponen policy brief adalah seperti pada Gambar 8.1. dibawah ini.
Gambar 8.1. Menulis Policy Brief
Isu (kurang dari 1 halaman)
• Kebijakan yang akan dibahas
• Aspek yang ingin dicakup
• Konteks kebijakan
Metoda (1 halaman)
• Logic dan kesesuaian
• Penggunaan alat analisis pada waktu yang lalu, termasuk kekuatan dan kelemahannya
• Kualifikasi
Informasi (2 halaman)
• Data empiris dan informasi tambahan
• Asumsi
• Data historis
Interpretasi (2 halaman lebih)
• Hasil empiris
• Analisis sensitivitas
• Arti (interpretasi) dan kualifikasi
Implikasi (1 halaman)
• Pilihan-pilihan kebijakan
• Siapa yang “menang” dan siapa yang “jadi korban”
• Nilai keuntungan dan kerugian (yang diterima oleh yang menang dan yang diderita oleh yang kalah)
• Trade-off dari berbagai tujuan yang ingin dicapai

Ramifikasi Internasional (< 1 halaman)
• Dampak perdagangan internasional
• Aliran faktor produksi
• Diplomasi dan kewajiban internasional (WTO, IMF)
Ringkasan (< 1 halaman)
• Pro dan kontra
• Pengalaman empiris
• Kontribusi analisis
• Konsekuensi terhadap kelompok masyarakat yang berkepentingan

Isu dan Metoda
Analis kebijakan baru meyelesaikan separuh dari tugasnya ketika dia telah mengidentifikasi dengan jelas masalah kebijakan apa yang akan ditelaah. Bagian pertama dari policy brief adalah menentukan isu kebijakan yang akan menjadi topik bahasan, ditulis dalam kurang dari satu halaman. Bagian ini mencakup isu kebijakan, aspek spesifik yang akan dibahas dalam analisis, dan konteks kebijakan yang lebih luas.
Metoda merupakan darah daging dari analisis, namun tidak banyak pembuat kebijakan yang tertarik untuk membahas masalah metode secara rinci. Bagian yang 1 halaman ini menjelaskan secara intuitif logic dan kesesuaian dari pendekatan yang digunakan, justifikasi metoda yang digunakan, dengan menjelaskan bahwa analisis ini telah digunakan pada berbagai analisis kebijakan, serta menjelaskan kekuatan dan kelemahan metode yang digunakan.
Informasi dan Interpretasi
Sebagian besar pembuat kebijakan senang membicarakan masalah penelitian lapang, dan mereka tertarik kepada cerita tentang kebijakan. Dua halaman tentang informasi ini dengan sendirinya merupakan bagian yang paling mudah. Bagian ini berisi diskusi tentang historis data yang memberikan konteks kebijakan, data empiris dan data tambahan lainnya yang digunakan dalam studi, serta asumsi-asumsi penting.
Bagi analis kebijakan yang belum berpengalaman, bagian interpretasi merupakan bagian tersulit. Apa arti semua ini? Interpretasi hasil yang baik memerlukan kemampuan analis dalam memilih dan memfokuskan diri pada temuan-temuan penting dari sekian banyak hasil analisis yang ada. Dalam dua halaman (atau lebih sedikit), analis harus memaparkan hasil utama dari analisis, hasil dari analisis sensitivitas (dengan merubah data kunci, paramater, dan asumsi), arti hasil dan analisis sensitivitas tersebut bagi kebijakan, dan kualifikasi karena keterbatasan dari metodologi dan data yang missing dan kurang akurat.
Hasil dan Ramifikasi
Analis yang baik akan menerapkan kerangka tujuan-strategi-kebijakan-kendala (seperti yang telah dijelaskan pada Bab 1) dalam kerangka berfikir dan menulis. Dengan hanya satu halaman, dengan menggunakan framework itu, peneliti yang baik harus mampu menjelaskan implikasi kebijakan dari hasil analisisnya. Analis harus mengkaji berbagai pilihan kebijakan, menjelaskan siapa yang akan diuntungkan dan dirugikan oleh kebijakan (the gainers and the lossers), identifikasi dampak dari kebijakan atas tujuan yang ingin dicapai pemerintah (efisiensi, distribusi pendapatan, dan ketahanan (pangan)), dan perkiraan besarnya trade-off atas masing-masing tujuan tersebut.
Meskipun sebagai negara berdaulat, kebijakan diambil untuk kepentingan nasional, namun pembuat kebijakan juga harus memperhatikan dampak dan hubungannya dengan dunia internasional. Negara-negara berkembang jarang sekali mempunyai kekuatan yang cukup di pasar internasional baik pasar komoditas, maupun tenaga kerja. Namun, dalam satu alinea, analis perlu menyebutkan dampak kebijakan tersebut terhadap perdagangan internasional, dampak terhadap harga dunia, juga implikasinya terhadap aliran faktor (investasi asing dan migrasi tenaga kerja). Analis juga harus melakukan telaahan apakah kebijakan yang dipilih konsisten dengan kesepakatan-kesepakatan World Trade Organization, the International Monetary Fund, serta negara dan lembaga-lembaga donor lainnya.
Ringkasan Eksekutif (Policy Summary)
Peranan analis kebijakan adalah memperkirakan konsekuensi yang akan terjadi atas setiap pilihan kebijakan, dan sebaiknya tidak melakukan penilaian pribadi (personal value judgement) atas pilihan kebijakan tersebut. Meskipun memang sulit untuk menjaga obyektivitas dan netralitas, analis harus menyerahkan sepenuhnya kepada pembuat kebijakan untuk memberikan bobot kepada masing-masing tujuan dan menentukan kebijakan apa yang akan dipilih (seperti dijelaskan pada Bab 1). Dalam satu alinea, analis harus mampu menyarikan pesan – pro dan kontra atas pilihan kebijakan, pengetahuan empiris dari studi yang dilakukan, kontribusi analitik dari studi terhadap isu yang sedang diteliti, dan dugaan kosekuensi yang mungkin terjadi terhadap kelompok masyarakat yang berkepentingan dan terkena dampak kebijakan ini. Alenia ini merupakan alinea tersulit – dan terpenting – dalam mengkomunikasikan hasil analisis kebijakan.
Menulis Policy Summaries
Sebuah policy summary bisa dikatakan sebagai versi singkat dari policy brief. Outline kedua jenis tulisan ini dengan sendirinya persis sama – isu, metoda, informasi, interpretasi, implikasi, internasional ramifikasi, dan ringkasan – seperti disajikan pada Gambar 8.1.
Tujuan penulisan policy summary adalah memberikan kompilasi singkat atas hasil-hasil analisis untuk pengambil kebijakan, para staf akhli, dan staff analis, yang amat sibuk. Intinya adalah menyarikan hasil-hasil analisis dalam tulisan yang singkat yang meng-highlight temuan-temuan penting, relevansi dari temuan tersebut dan pentingnya analisis yang dilakukan dalam proses pembuatan kebijakan.
“Singkat” dan “jelas” lagi-lagi merupakan kunci dari berhasilnya sebuah policy summary. Bila memungkinkan, policy summary sebaiknya dibatasi hanya satu halaman sehingga menarik minat pembaca yang lebih luas. Paling banyak, policy summary tidak lebih dari 2 halaman. Policy summary tidak usah berisi tabel atau grafik, kecuali sebuah gambar yang begitu dramatisnya sehingga mampu menarik perhatian pembuat kebijakan.
Kejelasan merupakan hal penting untuk menarik perhatian pembaca. Pembuat kebijakan yang amat sibuk akan menghargai tulisan yang jelas. Policy summary merupakan “iklan” bagi policy brief (mungkin juga policy paper). Pembuat kebijakan akan menganggap bahwa policy summary yang ditulis dengan baik merupakan indikasi bahwa tulisan yang lebih panjang dan lengkap pun akan sama jelas dan menariknya.
Komunikasi Verbal Untuk Analisis Kebijakan
Pada saat tulisan – policy paper, policy brief, dan policy summary – selesai dilakukan, bahan-bahan tersebut perlu dikomunikasikan sevara verbal (lisan). Tidak diperlukan tambahan analsis untuk melakukan hal ini. Isu utamanya adalah hasil-hasil yang mana yang harus ditampilkan dan bagaimana cara terbaik untuk menyampaikannya.

Presentasi PowerPoint
Bila alat-alat yang diperlukan tersedia, presentasi menggunakan software PowerPoint merupakan cara yang efektif untuk melakukan komunikasi lisan. Bila tidak, analis akan mengandalkan diri kepada makalah atau “hand-out” yang disediakan. Hand-out berisi slide-slide yang juga menjadi bahan untuk PowerPoint. Akan sangat bermanfaat bila hand-out tetap dibuat, terlepas apakah presentasi akan dilakukan dengan menggunakan PowerPoint atau tidak.
Slide PowerPoint harus sejalan dengan isi policy brief dan fokus pada tujuh topik – isu, metoda, informasi, interpretasi, implikasi, internasional ramifikasi, dan ringkasan (seperti pada Gambar 8.1.). Bila waktu yang tersedia amat singkat, cakupan bisa dibatasi pada metoda, ringkasan hasil penting, dan implikasi penting dari studi.
Karena formatnya sama dengan policy brief, analis hanya perlu mempersiapkan slide PowerPoint sesuai dengan tujuh topik diatas. Tabel-tabel dan grafik yang penting bisa ditransfer langsung kedalam format PowerPoint. Akan amat bermanfat mempersiapkan hand-out dari seluruh slide PowerPoint – slide dengan teks dalam format outline serta format multiple-slide dan grafik serta tabel sebaiknya dipisahkan.
Fokus dan Kepiawaian (versatility)
Seorang analis kebijakan yang baik harus mampu “menyentuh” audience dengan efektif. Pembuat kebijakan akan amat tertarik pada topik yang berkaitan dengan implikasi kebijakan atas kelompok masyarakat yang menjadi target atau berkepentingan (interest group) dan lembaga pemerintah. Terlalu banyak memberikan porsi kepada metode, data, dan hasil analisis mungkin akan membuat komunikasi menjadi tidak efektif. Namun, kadang-kadang audience tertarik dengan hal-hal teknis dan suatu ketika mengajak diskusi tentang hal-hal yang bersifat teknis tersebut. Oleh karena itu, akan lebih baik jika dipersiapkan slide tambahan – tidak harus ditampilkan pada slide standar.
Keberhasilan komunikasi verbal juga ditentukan oleh kepiawaian presenter. Bukan tidak mungkin, seorang pengambil kebijakan tingkat tinggi hanya menyediakan waktu yang amat singkat, misalnya 15 – 20 menit. Bila presentasi berjalan dengan baik dan mampu mengikat perhatian pembuat kebijakan, presentasi tersebut bukan tindak mungkin minta diperpanjang. Untuk menjaga fleksibilitas, seorang analis dengan persiapan yang baik paling tidak akan membuat tiga versi presentasi PowerPoint yang berbeda – pertama untuk presentasi amat singkat, 15-20 menit, kedua untuk presentasi sekitar 45 menit sampai satu jam, dan yang ketiga untuk presentasi 2 jam. Untuk setiap presentasi, amat penting menyediakan separuh dari waktu tersebut untuk diskusi.
Kunci Sukses dalam Presentasi Analisis kebijakan
Pengalaman menunjukkan bahwa ada tujuh kunci sukses dalam mempresentasikan hasil analisis kebijakan. Panduan ini berlaku baik untuk komunikasi bersifat lisan maupun tulisan. Semuanya berkaitan dengan perilaku, cara bersikap, dan gaya seorang presenter.
Ketujuh kunci sukses tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kejelasan merupakan hal penting bagi pembuat kebijakan yang belum terbiasa dengan hasil analisis atau yang tidak suka dengan hal-hal teknis.
2. Presentasi yang singkat akan menghemat waktu, dan memperlihatkan pemahaman yang baik atas isu kebijakan.
3. Akurasi dalam melaksanakan studi dan interpretasi hasil akan meyakinkan para analis lain.
4. Kejujuran dalam mengidentifikasi asumsi atau kelemahan data yang dimiliki dalam menginterpretasikan hasil akan menghasilkan kredibilitas.
5. Gaya presentasi yang langsung dan tidak berbelit-belit dan menghidari jargon-jargon yang tidak perlu akan membantu memperjelas hasil analisis.
6. Percaya diri dan yakin dalam mengidentifikasi dan menganalisis policy trade-off akan memperkuat presentasi.
7. Kerendahan hati dalam mengakui keterbatasan analisis ekonomi akan menambah validitas pandangan orang lain dan akan membuat orang lain akan lebih terbuka kepada kita.
Bila para analis kebijakan berusaha untuk menerapkan pengetahuan ini dalam berkomunikasi, maka mereka akan berhasil meyakinkan pembuat kebijakan serta para staf akhli akan validitas dan pentingnya hasil analisis yang mereka buat bagi proses pembuatan kebijakan. Panduan ini cocok untuk mengkomunikasikan hasil analisis PAM khususnya dan, umumnya, bagi seluruh analisis kebijakan.


Read more.....

ANALISIS KEBIJAKAN / Policy Analysis Matrix (PAM)

Berikut ini pemaparan Pearson, Scott dkk. 2003 tentang konsep dasar kerangka : ANALISIS KEBIJAKAN / Policy Analysis Matrix (PAM)Dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian, pemerintah pusat, provinsi, maupun daerah bisa mengintervensi sektor pertanian dengan menggunakan tiga bentuk kebijakan – kebijakan harga, kebijakan investasi publik, dan kebijakan makroekonomi. Kebijakan makroekonomi hanya bisa diterapkan pada tingkat pusat dan memerlukan analisis tersendiri, oleh para ahli ekonomi makro. Dilain pihak, para ahli ekonomi pertanian melakukan pengkajian tentang pengaruh kebijakan harga dan kebijakan download file: click here investasi. Namun demikian, dampak kebijakan harga dan kebijakan investasi pertanian dapat dikaji melalui satu
pendekatan yang sama yaitu Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil analisis PAM dapat menunjukkan pengaruh individual maupun kolektif dari kebijakan harga dan kebijakan faktor domestik. PAM juga memberikan base line information yang penting bagi Benefit-Cost analysis untuk kegiatan investasi di bidang pertanian. Tujuan utama dari Bab ini adalah menjelaskan bagaimana dan mengapa metoda PAM digunakan pada analisis harga maupun analisis proyek.
Isu dan Tujuan Analisis PAM
Metode PAM membantu pengambil kebijakan baik di pusat maupun di daerah untuk menelaah tiga isu sentral analisis kebijakan pertanian. Isu pertama berkaitan dengan pertanyaan apakah sebuah sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada – yakni, apakah petani, pedagang, dan pengolah mendapatkan keuntungan pada tingkat harga aktual. Sebuah kebijakan harga akan merubah nilai output atau biaya input dan dengan sendirinya keuntungan privat. Perbedaan keuntungan privat sebelum dan sesudah kebijakan menunjukkan pengaruh perubahan kebijakan atas daya saing pada tingkat harga aktual (harga pasar).
Isu kedua adalah dampak investasi publik, dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru, terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Efisiensi diukur dengan tingkat keuntungan sosial (social profitability), yaitu tingkat keuntungan yang dihitung berdasarkan harga efisiensi. Investasi publik yang berhasil (misalnya, investasi dalam bentuk jaringan irigasi atau transportasi) akan meningkatkan nilai output atau menurunkan biaya input. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik menunjukkan peningkatan keuntungan sosial.
Isu ketiga berkaitan erat dengan isu kedua, yaitu dampak investasi baru, dalam bentuk riset atau teknologi pertanian, terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Sebuah investasi publik dalam bentuk penemuan benih baru, teknik budidaya, atau teknologi pengolahan hasil akan meningkatkan hasil usahatani atau hasil pengolahan, dan dengan sendirinya meningkatkan pendapatan atau menurunkan biaya. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah investasi dalam bentuk riset menunjukkan manfaat dari investasi tersebut.
Ketiga tujuan utama dari metode PAM diatas pada hakekatnya adalah memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambil kebijakan pertanian dalam ketiga isu sentral diatas. Sebuah tabel PAM untuk suatu usahatani memungkinkan seseorang untuk menghitung tingkat keuntungan privat – sebuah ukuran dayasaing usahatani pada tingkat harga pasar atau harga aktual. Dengan melakukan hal yang sama untuk berbagai sistem usahatani lainnya memungkinkan kita untuk melakukan urutan (ranking) dayasaing pada tingkat harga aktual untuk berbagai sistem usahatani tersebut. Perhitungan keuntungan privat atau dayasaing ditempatkan pada baris pertama dari sebuah Tabel PAM. Hasil perhitungan tersebut dapat digunakan sebagai baseline untuk Benefit-Cost Analysis pada tingkat harga aktual (privat), seperti dijelaskan pada Bab 3.
Tujuan kedua dari analisis PAM adalah menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani – dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (social opportunity costs). Dengan melakukan hal yang sama untuk berbagai sistem usahatani lainnya memungkinkan kita untuk membuat urutan tingkat efisiensi dari berbagai sistem usahatani. Perhitungan tingkat keuntungan sosial ditempatkan pada baris kedua dari Tabel PAM. Hasil perhitungan ini dapat digunakan sebagai informasi dasar (baseline information) untuk perhitungan social benefit-cost analysis, pada tingkat harga efisiensi, seperti disajikan pada Bab 4.
Tujuan ketiga dari analisis PAM adalah menghitung transfer effects, sebagai dampak dari sebuah kebijakan. Dengan membandingkan pendapatan dan biaya (untuk selanjutnya akan kita sebut sebagai budget), sebelum dan sesudah penerapan kebijakan, kita bisa menentukan dampak dari kebijakan tersebut. Metoda PAM menghitung dampak kebijakan yang mempengaruhi output maupun faktor produksi (lahan, tenaga kerja dan modal). Penentuan efek transfer dari sebuah kebijakan ditempatkan pada baris ketiga dari sebuah Tabel PAM, seperti diuraikan secara terinci pada Bab 5.
Beberapa Identitas (Identity) dalam Policy Analysis Matrix
Sebuah matrix adalah sebuah urutan angka-angka (atau simbol) yang mengikuti dua aturan perhitungan– pertama, hubungan angka-angka lintas kolom dan, kedua, hubungan angka-angka lintas baris. Kedua hubungan tersebut disebut sebagai identitas matrik karena kedua hubungan tersebut secara definisi benar adanya. Seorang analis dapat menentukan berbagai identitas pada sebuah matriks selama definisinya diterapkan secara konsisten. Matrks PAM terdiri atas dua identitas, identitas tingkat keuntungan (profitability identity) dan identitas penyimpangan (divergences identity).
Identitas keuntungan pada sebuah Tabel PAM adalah hubungan perhitungan lintas kolom dari tabel (sering juga disebut sebagai matrik) tersebut. Keuntungan didefinisikan sebagai pendapatan dikurangi biaya. Semua angka dibawah kolom bernama “profits” dengan sendirinya identik dengan selisih antara kolom yang berisi “revenue” dan kolom yang berisi “costs” (termasuk di dalamnya biaya input tradable dan faktor domestik).
Identitas penyimpangan (divergences identity) adalah hubungan lintas baris dari matrik. Divergensi menyebabkan harga privat suatu komoditas berbeda dengan harga sosialnya. Divergensi meningkat, baik oleh karena pengaruh kebijakan yang distortif, yang menyebabkan harga privat berbeda dengan harga sosialnya, atau karena kekuatan pasar gagal menghasilkan harga efisiensi. Semua angka pada baris ketiga dari Tabel PAM didefinisikan sebagai “effects of divergences” dan sama dengan selisih antara angka pada baris pertama, yang dinilai dengan harga privat (“private prices”), dan angka pada baris kedua, yang dinilai dengan harga sosial (“social prices”).
Identitas Keuntungan (Profitability Identity) – Keuntungan Privat
Gambar 2.1. hanya memperlihatkan angka-angka yang ada pada baris pertama dari Tabel PAM, yang berisikan nilai-nilai yang dihitung berdasarkan harga privat (harga aktual yang terjadi di pasar). Huruf A adalah simbol untuk pendapatan pada tingkat harga privat, huruf B adalah simbol untuk biaya input tradable pada tingkat harga privat, huruf C adalah simbol biaya faktor domestik pada tingkat harga privat, dan huruf D adalah simbol keuntungan privat.

Gambar 2.1. Keuntungan Privat dalam Policy Analisis Matrix

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Harga Privat (harga aktual/pasar)
Privat A B C D
Sosial
Divergensi
Dalam analisis PAM secara empiris, pendapatan dan biaya privat (simbol A, B, dan C) didasarkan pada data yang diperoleh dari usahatani maupun pengolahan hasil. Simbol D, keuntungan privat, diperoleh dengan menerapkan indentitas keuntungan. Menurut kaidah identitas tersebut, D identik dengan A – (B+C). Oleh karena itu, keuntungan privat pada PAM adalah selisih dari pendapatan privat dengan biaya privat.
Perhitungan keuntungan privat, dari data budget usahatani dan pengolahan hasil, dilakukan untuk mengukur dayasaing. Oleh karena itu, salah satu dampak penting dari kebijakan pertanian dapat ditunjukkan oleh baris pertama Tabel PAM. Prosedur untuk menghitung keuntungan privat diuraikan pada Bab 3.
Untuk membandingkan sistem usahatani yang berbeda digunakan rasio. Dalam menghitung rasio, satuan (seringkali disebut sebagai numeraire), seperti Rupiah per kilogram padi, dihilangkan. Oleh karena itu, perhitungan rasio dilakukan untuk menghindarkan diri dari membandingkan keuntungan per kilogram padi, misalnya, dengan keuntungan per kilogram kedele. Untuk membandingkan dayasaing sistem usahatani yang berbeda dihitung private benefit-cost ratio (PBCR) untuk setiap sistem, dan selanjutnya kedua rasio tersebut dibandingkan. PBCR adalah pendapatan privat dibagi dengan biaya privat, atau PBCR = A/(B+C).
Identitas Keuntungan (Profitability Identity) – Keuntungan Sosial (Social Profits)
Gambar 2.2. hanya menyajikan angka-angka yang terdapat pada baris kedua, berisikan angka-angka budget yang dinilai dengan harga sosial (harga yang akan menghasilkan alokasi terbaik dari sumberdaya, dan dengan sendirinya menghasilkan pendapatan tertinggi). Huruf E adalah simbol pendapatan yang dihitung dengan harga sosial (pendapatan sosial), huruf F adalah simbol biaya input tradabel sosial, huruf G adalah simbol biaya faktor domestik sosial, dan huruf H adalah simbol keuntungan sosial. Sebuah negara akan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengedepankan aktivitas-aktivitas yang menghasilkan keuntungan sosial yang tinggi (H positif yang besar).
Gambar 2.2. Keuntungan Sosial dalam Policy Analysis Matrix

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Harga Sosial (harga efisiensi)
Privat
Sosial E F G H
Divergensi
Pendapatan dan biaya pada tingkat harga sosial (simbol E, F, dan G) didasarkan pada estimasi the social opportunity costs dari komoditas yang diproduksi dan input yang digunakan. Estimasi harga sosial ini kemudian dikalikan dengan jumlah output maupun input yang digunakan (yang juga digunakan untuk menghitung biaya maupun keuntungan privat pada baris pertama Tabel PAM). Simbol H, keuntungan sosial, diperoleh dengan menggunakan identitas keuntungan yaitu H = E – (F+G). Dengan demikian keuntungan sosial adalah selisih antara penerimaan sosial (social revenues) dengan biaya sosial (social costs).
Perhitungan keuntungan sosial, yang dilakukan dengan mengalikan estimasi harga sosial dengan input-output fisik, mengukur tingkat efisiensi sistem usahatani. Prosedur untuk menghitung keuntungan sosial akan dijelaskan pada uraian berikut, sedangkan uraian yang lebih terinci disajikan pada Bab 4.
Harga sosial (harga efisiensi) untuk input maupun output tradabel adalah harga internasional untuk barang yang sejenis (comparable) – harga impor untuk komoditas impor, dan harga ekspor untuk komoditas ekspor. Nilai efisiensi (social opportunity cost) untuk memproduksi satu ton komoditas impor (misalnya, beras untuk Indonesia) adalah jumlah devisa yang dihemat karena tidak mengimpor satu ton beras. Sama hal nya dengan itu, social opportunity cost untuk memproduksi satu ton komoditas ekspor (misalnya, minyak sawit untuk Indonesia) adalah jumlah devisa yang diperoleh dengan mengekspor satu ton komoditas ekspor tersebut.
Harga sosial (harga efisiensi) untuk faktor domestik (lahan, tenaga kerja, dan modal) juga diestimasi dengan prinsip social opportunity cost. Namun, karena faktor domestik tidak diperdagangkan secara internasional, sehingga tidak memiliki harga internasional, maka social opportunity-costnya diestimasi melalui pengamatan lapangan atas pasar faktor domestik di pedesaan. Tujuannya adalah untuk mengetahui berapa besar output atau pendapatan yang hilang karena faktor domestik digunakan untuk memproduksi komoditas tersebut (misalnya beras) dibandingkan dengan apabila digunakan untuk komoditas lainnya (the next best alternative commodity), misalnya tebu atau kedele.
Untuk membandingkan tingkat efisiensi komoditas yang berbeda dihitung the social benefit-cost ratio (SBCR) untuk setiap usahatani, dan kemudian membandingkannya. SBCR adalah rasio antara pendapatan sosial dengan biaya sosial, atau SBCR = E/(F+G).
Identitas Divergensi (Divergences Identity)
Gambar 2.3. menampilkan seluruh (dua belas) entry untuk sebuah Tabel PAM, yang menggunakan simbol huruf A sampai L. Pada tabel ini telah ditambahkan baris ketiga, yang disebut sebagai baris effects of divergences. Seperti telah diutarakan dimuka, divergences (selanjutnya kita sebut sebagai divergensi) timbul karena adanya distorsi kebijakan atau kegagalan pasar. Kedua hal tersebut menyebabkan harga aktual berbeda dengan harga efisiensi. Sel dengan simbol huruf I mengukur tingkat divergensi revenue atau pendapatan (yang disebabkan oleh ditorsi pada harga output), simbol J mengukur tingkat divergensi biaya input tradabel (disebabkan oleh distorsi pada harga tradabel input), simbol K mengukur divergensi biaya faktor domestik (disebabkan oleh distorsi pada harga faktor domestik), dan simbol L mengukur net transfer effects (mengukur dampak total dari seluruh divergensi).

Gambar 2.3. Identitas Divergensi dalam Policy Analisis Matrix

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Privat A B C D
Sosial E F G H
Efek Divergensi I J K L

Efek divergensi (baris ketiga) dihitung dengan mengunakan identitas divergensi (divergences identity). Menurut aturan perhitungan tersebut, semua entry yang ada di baris ketiga (efek divergensi) adalah selisih antara baris pertama (usahatani yang diukur dengan harga aktual atau harga privat) dengan baris kedua (usahatani yang diukur dengan harga sosial). Oleh karena itu, I = A - E, J = B – F, K = C – G, dan L = D – H. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya divergences akan diuraikan pada bagian berikut, sedangkan prosedur dan estimasi empirisnya akan diuraikan secara lebih terinci pada Bab 5.
Salah satu penyebab terjadinya divergensi adalah kegagalan pasar (market failure). Pasar dikatakan gagal apabila tidak mampu menciptakan harga yang bersaing, yang mencerminkan social opportunity cost, yang menciptakan alokasi sumberdaya maupun produk yang efisien. Ada tiga jenis kegagalan pasar yang menyebabkan divergensi. Pertama, monopoli (penjual yang menguasa harga di pasar) atau monopsoni (pembeli menguasai harga pasar). Kedua, negative externalities (biaya, dimana pihak yang menimbulkan terjadinya biaya tersebut tidak mungkin dibebani biya yang ditimbulkannya) atau positive externalities (manfaat, dimana pihak yang menimbulkan manfaat tersebut tidak mungkin menerima kompensasi atau imbalan atas manfaat yeng ditimbulkannya tersebut). Ketiga, pasar faktor domestik yang tidak sempurna (tidak adanya lembaga yang dapat memberikan pelayanan yang kompetitif serta informasi yang lengkap).
Kebijakan yang efisien adalah intervensi pemerintah untuk memperbaiki kegagalan pasar sehingga mengapuskan divergensi. Misalnya, regulasi monopoli untuk menurunkan harga penjual (seller prices), menyebabkan harga private dan harga sosial menjadi sama, dan meningkatkan pendapatan.
Penyebab kedua dari timbulnya divergensi adalah kebijakan pemerintah yang distortif. Kebijakan yang distortif, diterapkan untuk mencapai tujuan yang bersifat “non-efisiensi” (yaitu pemerataan atau ketahanan pangan), akan menghambat terjadinya alokasi sumberdaya yang efisien dan dengan sendirinya akan menimbulkan divergensi. Tarif impor beras, misalnya, bisa diterapkan untuk meningkatkan pendapatan petani (tujuan pemerataan) dan meningkatkan produksi beras dalam negeri (tujuan ketahanan pangan), namun akan menimbulkan kerugian efisiensi (efficiency losses) bila harga beras impor yang digantikannya ternyata lebih murah dari biaya sumberdaya domestik yang digunakan untuk memproduksi beras dalam negeri sehingga akan timbul trade-off. Pengambil kebijakan harus memberikan bobot tertentu kepada masing-masing tujuan yang saling bertentangan tersebut, untuk menentukan apakah kebijakan tarif impor perlu diterapkan atau tidak.
Secara teori, kebijakan yang paling efisien dapat dicapai apabila pemerintah mampu menciptakan kebijakan yang mampu menghapuskan kegagalan pasar, dan apabila pemerintah mampu mengesampingkan tujuan non-efisiensi dan menghapuskan kebijakan yang distortif. Apabila kedua hal tersebut – menerapkan kebijakan yang efisien dan menghilangkan kebijakan yang distrortif – dapat dilaksanakan, divergensi dapat dihilangkan dan efek divergensi (nilai-nilai yang ada di baris ketiga) akan menjadi nol. Pada saat seperti itu, entry yang ada pada baris pertama akan sama dengan yang ada di baris kedua, yakni pendapatan privat, biaya, dan keuntungan akan sama dengan pendapatan sosial, biaya sosial, dan keuntungan sosial (A = E, B = F, C = G, dan D = H).
Research Inputs dan Outputs pada PAM
Prinsip-prinsip dan prosedure PAM yang telah diuraikan dimuka akan lebih jelas lagi dengan data-data hasil penelitian di lapangan. Analis PAM hanya perlu memasukkan data sebagian saja dari PAM matriks (disebut sebagai research inputs). Dari 12 entry yang ada pada tabel PAM, hanya enam entry saja yang perlu diisi. Enam sisanya diperoleh dengan menggunakan kedua perhitungan identitas yang telah di bicarakan dimuka, yaitu identitas keuntungan dan identitas divergensi.
Research Inputs untuk Efisiensi dan Analisis Kebijakan
Gambar 2.4. menunjukkan keenam kategori research inputs dari analisis PAM yaitu sel-sel dengan simbol A, B, C, E, F, dan K.
Gambar 2.4. Research Inputs dalam Policy Analisis Matrix

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Privat A B C D
Sosial E F G H
Efek Divergensi I J K L
Sebagian besar dari keenam research inputs diatas diperoleh dari berbagai aktivitas usahatani (budidaya, pemasaran, dan pengolahan). Data pendapatan privat (A) dan biaya privat (B, C) umumnya diperoleh langsung dari data pendapatan dan biaya (budget) usahatani. Data budget ini bersumber dari data sekunder (bersumber dari hasil penelitian orang lain) atau dari data primer (dari survey yang dilakukan sendiri), seperti diuraikan pada Bab 3.
Entry untuk pendapatan sosial (E) dan biaya input tradabel (F) sebagian diperoleh dari data budget usahatani dan sebagian lainnya diperoleh dari dokumen pemerintah atau dari sektor industry, seperti diuraikan dengan lebih rinci pada Bab 4. Informasi tentang hubungan input-output fisik (jumlah input per hektar atau per ton output) dianggap sama antara privat dan sosial. Namun, harga sosial akan berbeda dengan harga privat apabila terdapat kebijakan yang bersifat distortif dan kegagalan pasar yang menyebabkan terjadinya divergensi. Harga sosial untuk output tradabel maupun input tradabel adalah harga impor maupun ekspor dari keduanya, yang datanya diperoleh dari dokumen pemerintah maupun sektor industri.
Nilai sosial untuk faktor domestik (G) tidak bisa diperoleh secara langsung di lapangan atau dari dokumen pemerintah (karena tidak ada harga internasional untuk faktor domestik) namun harus dicari melalui pengkajian pasar faktor domestik. Pengkajian pasar faktor domestik dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi divergensi pada masing-masing pasar faktor domestik tersebut – yakni apakah ada kebijakan yang distortif atau kegagalan pasar yang terjadi. Oleh karena itu, entry untuk divergensi faktor domestik (K) menjadi sebuah research input, yang nantinya digunakan untuk menduga harga sosial faktor domestik, dengan mengurangkannya dari harga faktor domestik privat (baris pertama). Uraian lebih rinci di sajikan pada Bab 4.
Research Results dari Efisiensi dan Analisis Kebijakan
Enam kategori research results dari analisis PAM (D, G, H, I, J, and L) disajikan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5. Research Results dalam Policy Analysis Matrix

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Privat A B C D
Sosial E F G H
Efek Divergensi I J K L
Research results pada analisis PAM diperoleh dengan menggunakan prinsip-prinsip identitas keuntungan dan identitas divergensi. Research result diperoleh secara langsung dengan menghitung perbedaan atau selisih dari berbagai entry dari research inputs.
Dua research results pertama – keuntungan privat (D) dan keuntungan sosial (H) – diperoleh dengan menggunakan identitas keuntungan (pendapatan dikurangi biaya sama dengan keuntungan). Keuntungan privat (D), mengukur daya saing, sama dengan pendapatan privat (A) dikurangi biaya privat (biaya input tradabel (B) dan biaya faktor domestik (C)). Sama hal nya keuntungan privat, keuntungan sosial (H) mengukur efisiensi, sama dengan pendapatan sosial (E) dikurangi biaya sosial (biaya input tradabel (F) dan biaya faktor domestik G)). Namun, perhitungan keuntungan sosial baru bisa dilakukan bila nilai faktor domestik sosial (G), yang juga merupakan sebuah research result, telah diketahui.
Dua research result lainnya – output transfer (I) dan input tradabel transfer (J) – diperoleh dengan menerapkan identitas divergensi (harga privat dikurangi harga sosial sama dengan efek divergensi). Output transfer (I), mengukur implisit pajak atau subsidi atas output, sama dengan pendapatan privat (A) dikurangi pendapatan sosial (E). Sama hal nya dengan itu, transfer input tradabel (J) mengukur implisit pajak atau subsidi atas input tradabel, sama dengan biaya input tradabel privat (B) dikurangi biaya input tradabel sosial (F).
Dua research results yang terakhir – harga sosial faktor domestik (G) dan net transfer (L) – tidak sesederhana research result lainnya. Seperti diuraikan dimuka, harga sosial faktor domestik (G) diperoleh dengan mengurangi harga faktor domestik privat (C) dengan divergensi yang menyebabkan timbulnya transfer faktor domestik (K). Karena menurut identitas divergensi C – G = K maka C – K = G. Result yang terakhir, yaitu Net Transfer (L), bisa dihitung baik dengan identitas keuntungan (I – (J + K) = L) maupun identitas divergensi (D – H = L). Dengan kata lain, Net Transfer bisa diartikan sebagai efek bersih (the Net Effect) dari seluruh divergensi atau selisih antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial. Hasil ini dengan sendirinya menunjukkan sejauh mana kebijakan yang distortif dan kegagalan pasar secara implisit mensubsidi sistem usahatani (mentrasfer sumberdaya kedalam sistem) atau mem-pajak-i (dengan mengambil sumberdaya dari sistem).

Bab 3
Privat Benefit-Cost Analisis (Baris Pertama dari Tabel PAM)
Analisis empiris dari PAM dimulai dengan menghitung pendapatan, biaya, dan keuntungan pada harga privat (harga aktual). Data budget privat ditempatkan pada baris pertama dari Tabel PAM, dan seringkali disebut sebagai “baris privat”. Gambar 3.1. memperlihatkan entry untuk baris pertama PAM, yang berisikan komponen biaya dan pendapatan yang dihitung dalam harga privat (harga aktual atau harga pasar). Seperti telah disebutkan pada Bab 2, simbol A menunjukkan pendapatan, simbol B menunjukkan biaya input tradabel, simbol C menunjukkan biaya faktor domestik, dan simbol D menunjukkan keuntungan. Kesemuanya dihitung pada tingkat harga privat. Penghitungan identitas keuntungan (D = A – (B + C)) yang dijelaskan pada Bab 2 digunakan pada baris pertama ini.
Gambar 3.1. Keuntungan Privat dalam Policy Analysis Matrix

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Harga Privat (Harga Aktual/pasar)
Privat A B C D
Sosial
Efek Divergensi
Tujuan dari Bab ini adalah menjelaskan data apa saja yang diperlukan untuk mengisi baris pertama Tabel PAM, dan bagaimana cara memperoleh data tersebut.
Membuat Tabel PAM
Sebagian besar pembuat kebijakan sektor pertanian memberikan perhatian utamanya pada tingkat daya saing dan efisiensi di tingkat petani, karena perhatian utama mereka adalah kesejahteraan petani. Namun, untuk menghitung efisiensi diperlukan harga dunia untuk komoditas sejenis (diuraikan pada Bab 4). Banyak komoditas pertanian yang tidak ada harga dunianya kecuali (bila komoditas yang dianalisis masih bersifat bahan baku) telah mengalami pemoresan (misalnya dari gabah menjadi beras). Harga dunia untuk komoditas olahan hanya tersedia pada tingkat pedagang besar (wholesale markets). Oleh karena itu analisis PAM harus memasukkan empat aktivitas – budidaya (usahatani), transportasi dari sawah ke pengolahan, pengolahan, dan transportasi dari pengolahan ke pedagang besar. Gambar 3.2. menjelaskan hubungan keempat aktivitas tersebut.
Numeraire (unit atau satuan fisik) untuk keempat aktivitas tersebut biasanya berbeda. Untuk mengatasi hal tersebut, para analis memilih satuan yang dipakai pada pasar barang olahan di tingkat pedagang besar terdekat (misalnya Rupiah per kilogram beras). Kadang-kadang, digunakan juga satuan dalam bentuk pendapatan per hektar (Rupiah per hektar) di tingkat petani. Satuan manapun yang digunakan, diperlukan faktor konversi karena komoditas tersebut bisa berbeda bentuknya pada satu aktivitas dengan aktivitas lainnya. Rasio konversi, seperti di sajikan pada Gambar 3.3., berisikan informasi fisik penting seperti produktivitas (ton padi per hektar) dan rasio konversi (misal ton beras untuk setiap ton gabah).
Gambar 3.2. Struktur Sistem Komoditas Untuk Analisis PAM

























Sumber: PAM, hal. 133

Gambar 3.3. Rasio Konversi yang Digunakan dalam Perhitungan Biaya dan
Pendapatan

Kegiatan Satuan/unit asal Rasio konversi dan perhitungan pendapatan Satuan yang telah disesuaikan

Petani Rp/ha (ha/ton padi) * (ton padi/ton beras) Rp/ton beras
Petani - pengolahan Rp/ton padi Ton padi/ton beras Rp/ton beras
Pengolahan Rp/ton beras Tidak ada Rp/ton beras
Pengolahan - Pasar Rp/ton beras Tidak ada Rp/ton beras

Petani Rp/ha Tidak ada Rp/ha
Petani - pengolahan Rp/ton padi Ton padi/ha Rp/ha
Pengolahan Rp/ton beras (ton beras/ton padi) * (ton padi/ha) Rp/ha
Pengolahan - pasar Rp/ton beras (ton beras/ton padi) * (ton padi/ha) Rp/ha

Sumber: PAM, hal. 135
Membuat Budget Privat
Data apa yang harus dimasukkan pada baris pertama dari Tabel PAM? Aplikasi empiris dari PAM didasarkan pada kompilasi data budget usahatani. Karena PAM didasarkan pada budget usahatani, input data untuk PAM yaitu pendapatan, biaya dan keuntungan diperoleh dari lapangan. Data pendapatan dan biaya (budget) diperlukan untuk keempat aktivitas pada setiap sistem – pertama untuk tingkat budidaya atau usahatani, kedua marketing dari tingkat petani ke pengolahan, ketiga pengolahan, dan keempat marketing dari tingkat pengolahan ke pedagang besar. Namun, sebelum memulai mencari informasi tentang budget, harus ditentukan terlebih dahulu sistem komoditas yang akan dikaji. Penentuan tersebut tergantung kepada kebijakan yang akan menjadi sasaran pengkajian atau analisis tersebut.
Menentukan Representatif Sistem Komoditas Yang Akan Dianalisis
Analisis PAM dilakukan pada tingkat komoditas (misalnya beras, kedele, kelapa, atau cengkeh). Isu awal yang harus dijawab oleh analis adalah berapa banyak komoditas yang harus dianalisis. Keputusannya amat tergantung kepada pertanyaan apa yang ingin dijawab oleh pengkajian ini. Bila kebijakan yang menjadi perhatian adalah kebijakan tarif bea masuk untuk beras, misalnya, analis mungkin harus memilih sistem produksi padi/beras dengan cakupan yang cukup luas, termasuk di dalamnya sistem produksi yang tidak begitu baik yang mungkin memerlukan proteksi agar tetap memiliki keuntungan privat. Atau, apabila pertanyaan yang ingin dijawab berkenaan dengan subsidi atas pupuk kimia, analis harus memilih sejumlah komoditas yang menggunakan pupuk kimia, termasuk komoditas yang mungkin akan memperoleh keuntungan negatif (kerugian) tanpa adanya subsidi.
Secara umum, peneliti harus melakukan stratifikasi populasi petani menurut berbagai peubah (variabel) – komoditas yang akan diteliti, wilayah geografis atau agro-klimat (dibedakan menurut curah hujan, jenis tanah, elevasi, dan kemiringan), musim dan pola tanam (sekali pada musim hujan dan satu atau dua kali pada musim kemarau), teknologi pertanian (dibedakan menurut tataguna air, inter-cropping, benih unggul, penggunaan sarana produksi modern, dan mekanisasi), status garapan (milik, menyewa, menyewakan, menyakap). Dengan menentukan satu kelompok variabel stratifikasi diatas, peneliti akan bisa menentukan jumlah yang komoditas yang workable untuk dibuat Tabel PAM nya. Pemilihan variabel harus dilakukan secara hati-hati karena dengan memilih empat variabel saja jumlah komoditas yang harus diteliti akan menjadi enam belas. Jumlah tersebut mendekati jumlah maksimum yang mungkin dilakukan oleh sebuah kegiatan penelitian, oleh karena itu akan lebih baik bila cakupannya diperkecil menjadi separuh dari itu atau bahkan lebih kecil lagi.
Membuat Budget Usahatani
Ada beberapa panduan yang dapat membantu dalam membuat analisis budget usahatani. Data budget usahatani harus didasarkan pada data aktual saat penelitian itu dilakukan, bukan data budget optimal. Data budget tersebut dimaksudkan untuk mencerminkan keadaan usahatani atau perilaku petani saat ini, bukan mencerminkaan keadaan terbaik atau keadaan petani paling maju. Data dalam budget harus mencerminkan rata-rata pendapatan dan biaya. Analisis PAM bukan dimaksudkan untuk membentuk kurva supply yang didasarkan pada biaya marjinal (incremental costs). Satuan yang digunakan umumnya nilai uang per unit kuantitas output (Rp per ton atau kilogram) karena hanya budget usahatani (tidak demikian hal nya dengan marketing dan pengolahan) yang bisa dilakukan dengan nilai (Rupiah) per hektar. Unit atau satuan yang umum digunakan dalam menghitung budget usahatani baik menurut kategori, satuan kuantitas, maupun satuan harga disajikan pada Gambar 3.4.

Gambar 3.4. Input dan Output dalam Farm Budget


Kategori
Unit/satuan
Harga
Input tetap: Bangunan/gedung, pagar, lahan
Investasi, infrastruktur irigasi, mesin, perlegkapan mesin, alat, ternak kerja
Umur teknis

Pangsa penggunaan per tahun
Harga beli

Salvage value (nilai sisa), rate of return
Tenaga kerja langsung: Pria tak terampil, wanita, anak-anak; tenaga terampil, menurut jenis pekerjaan
Jam/hari
Upah per jam tau per hari
Input antara: benih, pupuk, insektisida, pemeliharaan mesin, perbaikan alat Berat atau volume; sebagian besar jasa tak dapat di kuantifikasi
Harga per unit di tingkat petani

Output: produk utama
Berat atau volume
Harga per unit di tingkat petani
Sumber: PAM, hal. 157
Analisis empiris PAM biasanya dimulai dengan membuat synthetic budget yang didasarkan pada data sekunder yang telah dikumpulkan oleh peneliti lain. Budget ini bersifat synthetic dalam dua hal – pertama, data ini bukan merupakan hasil lapangan yang dilakukan sendiri sehingga agak artificial, dan kedua, data ini juga merupakan sintesis dari kegiatan penelitian yang telah ada. Tujuan utama digunakannya synthetic budget adalah untuk menuntun peneliti agar informasi yang penting tidak terlupakan, atau memperoleh informasi yang kontradiktif atau tidak konsisten. Dengan itu, pengumpulan data di lapang seyogyanya bisa memfokuskan diri pada masalah kelengkapan data, verifikasi, dan meng-up-date synthetic budget, daripada memulainya dari awal atau membuat budget yang baru sama sekali. Pembuatan synthetic budget juga merangsang peneliti untuk melakukan review yang sistematis atas penelitian yang telah ada, dan dengan sendirinya mendasari hasil penelitiannya pada literatur yang telah ada.
Dalam melakukan analisis PAM, sebagian besar waktu peneliti dicurahkan untuk melakukan wawancara dengan petani, pedagang, pelaku usaha transportasi, dan pelaku pengolahan hasil. Kegiatan pengumpulan data lapangan yang dilakukan secara hati-hati amat menentukan dalam memahami sistem usahatani. Namun kegiatan itu juga mahal, baik dalam artian tenaga maupun sumberdaya lainnya. Budget data untuk PAM bisa diambil dari sample yang tidak terlalu besar, baik itu petani, pedagang, maupun pengolahan. Data yang dimasukkan kedalam PAM merupakan modus (central tendency), bukan parameter yang diestimasi melalui model ekonometrik dengan jumlah sample yang valid secara statistik. Hal ini merupakan keuntungan dilihat dari alokasi waktu peneliti dalam melakukan pengumpulan data lapang. Peneliti dirangsang untuk mengumpulkan informasi yang lebih banyak baik dari segi aspek maupun kedalaman, dibandingkan dengan besarnya jumlah petani yang diwawancara.
Kunci dari keberhasilan pengumpulan data di lapangan adalah bagaimana agar responden mengerti tentang apa yang ditanyakan atau informasi yang kita inginkan. Untuk memverifikasi jawaban responden, perlu melakukan cek atas pertanyaan-pertanyaan kunci (produktivitas, penggunaan pupuk, harga output, upah, dan nilai sewa lahan) kepada para tokoh atau ahli di daerah setempat – pedagang, perantara, kepala desa, petugas pertanian, pegawai kantor statistik. Namun, kesalahan kadang-kadang tidak bisa dihindari. Oleh karena itu dalam melaksanakan pengumpulan data lapang para peneliti harus memahami betul cara melakukan cross check reliabilitas data yang dikumpulkannya. Kalau keuntungan privat negatif, petani harus bisa menjelaskan kenapa hal itu bisa terjadi (cuaca yang buruk, atau ada gangguan dalam hal distribusi dan pemasaran output ataupun input).
Peneliti juga harus memperhatikan kemungkinan terjadinya inkonsistensi data antar responden. Variasi dalam produktivitas (output per hektar) harus konsisten dengan penggunaan pupuk dan tenaga kerja. Dalam hal pengolahan, faktor konversi (misal, jumlah kilogram beras yang dihasilkan dari seratus kilogram gabah) dan kualitas output (misal, jumlah porsi menir dari jumlah hasil beras yang digiling) juga harus di cek konsistensinya antar responden pengolahan. Dalam “membersihkan” data mentah, peneliti harus mencari cara untuk menentukan data “outlier” dan kemudian menentukan “aturan” baik untuk menerima ataupun menolak data hasil interview tersebut. Namun, apabila peneliti hanya memiliki jumlah sampel yang sedikit peneliti harus amat hati-hati dalam memutuskan untuk mengeluarkan atau menolak data hasil wawancara tersebut.
Dalam melakukan estimasi harga privat maupun harga sosial, prinsip opportunity cost harus diterapkan secara konsisten dan komprehensif. Private opportunity costs merefleksikan market choices. Opportunity cost untuk tenaga kerja upahan, misalnya, adalah upah tenaga kerja (market wage rate) dengan memperhitungkan nilai makan serta biaya lain yang dibayarkan oleh petani, pedagang, ataupun pengolah. Opportunity cost tenaga kerja dalam keluarga dinilai setara dengan upah tenaga kerja upahan (karena apabila dia tidak bekerja di sawahnya sendiri, dia bisa mendapatkan upah di tempat lain dengan tingkat upah yang sama). Nilai sewa lahan untuk berbagai kualitas dan lokasi lahan amat tergantung kepada tingkat produktivitas lahan tersebut dalam menghasilkan berbagai macam produk pertanian, dan akan tercermin dari nilai sewa lahan, atau setara nilai sewa lahan bila lahan tersebut menggunakan sistem bagi hasil.
Berbeda dengan private opportunity cost, Social opportunity cost merefleksikan pendapatan nasional yang hilang (akan dijelaskan pada Bab 4). Nilai sewa lahan sosial untuk lahan yang ditanami padi, misalnya, adalah nilai keuntungan sosial dari komoditas alternatif terbaik dari komoditas padi. Prinsip opportunity cost – bahwa nilai suatu sumberdaya direfleksikan oleh nilai hasil sumberdaya tersebut bila digunakan pada kegiatan alternatifnya – adalah prinsip utama yang melatar-belakangi sebuah budget-based analysis, seperti halnya PAM.
Membuat Budget Untuk Pasca-Usahatani (Post-farm)
Prinsip-prinsip dan prosedur pembuatan post-farm budget (pengolahan dan transportasi) sama dengan cara yang digunakan dalam pembuatan farm budget. Pada kedua hal tersebut, peneliti menentukan aktivitas (farm dan post-farm) berdasarkan pada isu kebijakan yang akan diteliti. Budget, baik untuk kegiatan on-farm maupun post-farm memerlukan kompilasi data pendapatan dan biaya yang dilakukan dengan hati-hati, dan menerapkan prinsip-prinsip opportunity cost. Meskipun post-farm budget memerlukan numeraire yang berbeda dengan on-farm budget, namun semua prosedur yang diterapkan pada pembuatan on-farm budget juga diterapkan pada pembuatan post-farm budget. Kedua-duanya didasarkan pada nilai biaya rata-rata bukan biaya marjinal. Analisis untuk kedua kasus tersebut harus dimulai dengan membuat synthetic budget dari data sekunder dan kemudian diverifikasi melalui kegiatan survey lapangan. Pada kedua tipe budget tersebut, peneliti tidak harus menggunakan jumlah sampel yang besar untuk membuat budget. Budget untuk semua aktivitas perlu di crosscheck untuk mendapatkan data yang baik dalam segi akurasi maupun kualitas. Daftar informasi khusus untuk mebuat budget bagi kegiatan pengolahan dengan skala besar disajikan pada Gambar Lampiran 3.1.
Post-farm budget berbeda dengan on-farm budget dalam dua hal. Karena umumnya jumlah pengolah dan pelaku transportasi lebih kecil dari jumlah petani, kegiatan survey untuk post-farm lebih mudah dilakukan, namun cakupannya nya lebih luas. Lebih dari itu, sebagian besar petani Indonesia tidak menggunakan modal tetap (fixed capital), kalaupun ada jumlahnya kecil sekali. Sebaliknya, transportasi dan pengolahan menggunakan modal tetap yang besar. Oleh karena itu, economies of size – biaya per unit yang menurun ketika jumlah yang diolah dan ditransportasikan meningkat – menjadi lebih penting pada analisis post-farm dibandingkan dengan on-farm. Sehubungan dengan itu, mengukur dampak dari economies of size serta menghitung penyusutan dan returns to capital menjadi isu yang kritikal dalam post-farm budget, namun merupakan isu yang kurang penting dalam pembuatan on-farm budget.
Ketika data sekunder dan data primer tentang pendapatan dan biaya privat untuk on-farm dan post farm budget telah selesai dikompilasi, maka baris pertama Tabel PAM telah siap untuk diselesaikan. PAM untuk sebuah sistem komoditas adalah penjumlahan PAM dari keempat aktivitas tersebut (usahatani atau budidaya, pemasaran dari petani ke pengolahan, pengolahan, dan pemasaran dari pengolahan ke pedagang besar). Penerapan identitas keuntungan (D = A – (B + C)) menghasilkan keuntungan privat, sebuah indikator daya saing pada tingkat harga privat (harga aktual). Perhitungan ini persis sama dengan yang dilakukan pada analisis privat benefit-cost. Rasio yang umum digunakan adalah private benefit-cost ratio (PBCR = A/(B+C)), yang menunjukkan ranking keuntungan privat yang bebas satuan (numeraire-free).
Contoh Perhitungan Keuntungan Privat
Penjelasan lengkap tentang bagaimana menghitung pendapatan, biaya dan keuntungan privat dalam analisis PAM dijelaskan secara lengkap pada Komputer Tutorial. Contoh yang digunakan adalah sistem usahatani padi varitas unggul (high yielding paddy) di Indonesia. Ada tiga langkah yang dilakukan pada analisis tersebut, yang akan disarikan disini.
Langkah pertama, membuat tabel hubungan input-output fisik. Nilai-nilai yang menerangkan fungsi produksi ini juga mencerminkan tingkat teknologi yang digunakan. Nilai-nilai pada tabel 3.1. adalah jumlah fisik untuk usahatani padi per hektar. Dalam contoh ini, petani menggunakan 240 kg pupuk urea dan 600 jam kerja buruh dalam kegiatan pemeliharaan. Rata-rata produksi per hektar adalah 6 ton. Koefisien input-output ini dihasilkan dari systhetic budget, wawancara petani, serta informasi dari para ahli setempat.

Tabel 3.1. Input – Output Fisik, Usahatani Padi Varitas Unggul

Input/output Jenis Input Jumlah

Tradabel Pupuk (kg/ha)
Urea 240
SP-36 100
KCl 20
ZA 150
Obat-obatan
Pestisida cair (liter/ha) 3
Pestisida padat (kg/ha) 15
Benih (kg/ha) 35
Herbisida -
Bahan bakar (liter/ha) 65
Faktor Tenaga kerja (jam/ha)
Persiapan lahan 100
Pemeliharaan 600
Panen 200
Perontokan 150
Pengeringan -
Modal
Modal kerja (Rp/ha) 2,000,000
Traktor (jam/ha) 20
Thresher (jam/ha) 35
Lahan (ha) 1
Output (kg/ha) 6,000

Langkah kedua adalah membuat tabel harga privat (harga aktual) untuk setiap input yang digunakan serta output yang dihasilkan. Harga-harga yang digunakan harus sesuai dengan waktu penelitian dilakukan. Harga-harga privat untuk kegiatan usahatani contoh ini disajikan pada Tabel 3.2. Sebagai contoh, harga pupuk urea adalah Rp. 1.100 per kilogram, upah buruh untuk kegiatan pemeliharaan tanaman adalah Rp. 1.600 per jam, dan harga gabah di tingkat petani adalah Rp. 1.250 per kilogram.


Tabel 3.2. Harga Privat

Input/output Jenis Input Nilai

Tradabel Pupuk (Rp/kg)
Urea 1.100
SP-36 1.400
KCl 1.600
ZA 1.000
Obat-obatan
Pestisida cair (Rp/liter 30.000
Pestisida padat (Rp/kg) 8.000
Herbisida (Rp/ltr) 12.000
Benih (Rp/kg) 2.500
Bahan bakar (Rp/liter) 1.500
Faktor Tenaga kerja (Rp/jam)
Persiapan lahan 1.600
Pemeliharaan 1.600
Panen 1.600
Perontokan 1.600
Pengeringan 1.600
Modal
Modal kerja (%) 5%
Traktor (Rp/jam) 12.500
Thresher (Rp/jam) 1.500
Lahan (Rp/ha) 1.500.000
Output (Rp/kg) 1.205
Langkah ketiga dan terakhir adalah membuat tabel privat budget, dengan mengalikan jumlah fisik yang disajikan pada tabel input-output dengan nilai-nilai pada tabel harga privat. Tabel 3.3. memperlihatkan hasil perkalian tersebut. Sistem usahatani ini memperlihatkan bahwa, keuntungan privat (setelah sewa lahan) adalah 37 persen dari nilai pendapatan, dan private benefit-cost ratio (PBCR) adalah Rp. 7.230.000/Rp. 4.548.500 atau 1,59.


Tabel 3.3. Budget Privat

Input/output Jenis Input Nilai

Tradabel Pupuk (Rp/ha)
Urea 264.000
SP-36 140.000
KCl 32.000
ZA 150.000
Obat-obatan -
Pestisida cair (Rp/ha) 75.000
Pestisida padat (Rp/ha) 120.000
Herbisida (Rp/Ha) -
Benih (Rp/ha) 87.500
Bahan bakar (Rp/ha) 97.500
Faktor Tenaga kerja (Rp/ha)
Persiapan lahan 160.000
Pemeliharaan 960.000
Panen 320.000
Perontokan 240.000
Pengeringan -
Modal
Modal kerja (Rp/ha) 100.000
Traktor (Rp/ha) 250.000
Thresher (Rp/ha) 52.500
Lahan (Rp/ha) 1.500.000
Output Total Pendapatan (Rp/ha) 7.230.000
Total Biaya (tidak termasuk lahan) (Rp/ha) 3.048.500
Keuntungan (tdk termasuk lahan) (Rp/ha) 4.181.500
Keuntungan bersih (termasuk lahan) (Rp/ha) 2.681.500




Gambar Lampiran 3.1. Daftar Pertanyaan Untuk Penggilingan Padi
Skala Besar
A. Informasi Umum
a. Nama dan alamat perusahaan
b. Tahun mulai berusaha
c. Tanggal mulai usaha
B. Produksi dan penjualan (untuk setiap produk)
a. Stok awal (fisik dan nilai)
b. Produksi (fisik dan nilai)
c. Penjualan (fisik dan nilai)
d. Stok akhir (fisik dan nilai)
C. Modal tetap (capital stock) (Waktu pembelian atau pembuatan, nilai awal, nilai saat ini, nilai sisa, lama operasi yang diharapkan, dan perkiraan biaya penggantian untuk kategori modal berikut):
a. Pabrik
b. Mesin
c. Bangunan
d. Furnitur
e. Alat-alat kantor lain
f. Alat transportasi
g. Lainnya (sebutkan)
D. Tenaga Kerja (jumlah tenaga kerja full-time atau setara dengan full-time, upah/gaji, nilai penghasilan tambahan, pajak buruh – bila ada sebutkan – untuk kategori berikut:
a. Manajer
b. Supervisor
c. Buruh terampil
d. Buruh kasar (tidak terampil)
E. Bahan pembantu (input antara). Daftar, menurut jenis, jumlah dan nilai dari seluruh bahan baku yang digunakan, ternasuk juga suku cadang, kontainer, bahan tahan lama, cadangan – yaitu semua bahan non-tenaga kerja dan non-fixed input, kecuali bahan baku.
F. Bahan baku (bahan dalam proses). Untuk setiap komoditas:
a. Stok awal (fisik dan nilai)
b. Pembelian (fisik dan nilai)
c. Stok akhir (fisik dan nilai)
G. Lahan dan perkiraan nilai saat ini
H. Kapasitas
a. Jumlah hari operasi dalam setahun
b. Lama bekerja setiap shift, dalam jam kerja
c. Jumlah shift
d. Perkiraan kapasitas dalam 1 shift, dalam hal bahan baku per jam serta potensi hari operasi per tahun
e. Perkiraan kapasitas dalam 2 shift, dalam hal bahan baku per jam serta potensi hari operasi per tahun
f. Perkiraan kapasitas dalam 3 shift, dalam hal bahan baku per jam serta potensi hari operasi per tahun
Sumber: PAM, hal. 182




Bab 4
Social Benefit-Cost Analisis (PAM Baris Kedua)
Setelah budget privat selesai dibuat, langkah selanjutnya adalah penghitungan budget sosial atau pendapatan, biaya dan keuntungan pada tingkat harga sosial (harga efisiensi). Data pendapatan dan biaya sosial dimasukkan pada baris kedua dari Tabel PAM, biasanya disebut sebagai “baris sosial” (Gambar 4.1.) Baris kedua dari PAM berisikan nilai-nilai yang dihitung pada tingkat harga sosial (harga yang akan menghasilkan alokasi sumberdaya terbaik sehingga akan memberikan pendapatan nasional tertinggi). Seperti diuraikan pada Bab 2, huruf E adalah simbol pendapatan sosial, huruf F adalah simbol biaya input tradabel sosial, huruf G adalah simbol biaya faktor domestik sosial, dan huruf H adalah simbol keuntungan sosial. Penerapan indentitas keuntungan (H = E – (F + G)), seperti dijelaskan pada Bab2, pada budget sosial akan menghasilkan keuntungan sosial. Suatu negara akan mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan mengedepankan kegiatan yang menghasilkan keuntungan sosial yang tinggi (H positif yang besar).
Gambar 4.1. Keuntungan Sosial dalam Policy Analisis Matrix

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Harga Sosial (harga efisiensi)
Privat
Sosial E F G H
Efek Divergensi
Tujuan dari bab ini adalah menjelaskan data apa yang harus digunakan untuk mengisi baris kedua (“baris sosial”) dan bagaimana cara memperolehnya.
Perhitungan Harga Sosial
Kompilasi data untuk menghitung budget pada baris pertama tabel PAM merupakan pekerjaan yang memerlukan waktu yang banyak, sementara penghitungan output dan faktor produksi pada tingkat harga sosial merupakan pekerjaan yang penuh tantangan karena informasi yang dibutuhkan untuk menghitung budget pada baris kedua ini sulit dilakukan dan bahkan seringkali tidak tersedia. Penentuan harga sosial hanya bisa dilakukan dengan pendugaan (approximation). Kunci sukses dari analisis PAM adalah kemampuan membuat dugaan harga sosial yang tepat (reasonable). Bila dugaan-dugaan tersebut mampu meyakinkan pengambil kebijakan dan para analis ekonomi dalam kualitas dan applikabilitas maka nilai-nilai tersebut baik untuk digunakan menghitung keuntungan sosial (efisiensi), disimbolkan sebagai H, dan divergensi yang disimbolkan oleh I, J, K, dan L dalam Tabel PAM. Perlu ditekankan disini, bahwa harga sosial merupakan nilai dugaan (approximation)
Harga Sosial untuk Output Tradabel dan Input Tradabel
Pendugaan harga sosial untuk barang tradabel, baik untuk barang-barang impor maupun ekspor, baik untuk ouput maupun input, adalah sama. Seperti telah diuraikan pada bab 3, harga privat untuk komoditas tradabel (baris pertama pada tabel PAM) diperoleh dari harga pasar (aktual) pada tingkat petani sedang harga sosial untuk produk-produk tersebut adalah border price (harga impor untuk importables, dan harga ekspor untuk eksportables).
Harga sosial (harga efisiensi) untuk barang-barang tradabel adalah harga internasional (harga dunia) untuk barang sejenis (comparable) yang merupakan ukuran social opportunity cost terbaik bagi barang-barang tersebut. Untuk sebuah importable (barang yang diimpor), harga impor barang tersebut menunjukkan opportunity cost untuk menghasilkan tambahan satu unit produk untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Untuk sebuah exportable (barang yang diekspor), harga ekspor barang tersebut menunjukkan opportunity cost satu unit tambahan produksi domestik karena unit tersebut untuk diekspor, bukan untuk konsumsi dalam negeri.
Banyak komoditas di pasar internasional yang amat dipengaruhi oleh kebijakan harga, terutama di negara-negara industri (Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat). Pasar dunia untuk komoditas-komoditas tersebut dengan sendirinya tidak berjalan secara efisien dilihat dari sudut alokasi sumberdaya dunia. Proteksi dan subsidi komoditas pertanian di negara-negara kaya telah membuat excess supply dan menekan harga dunia komoditas-komoditas pada tingkat yang lebih rendah dari harga yang seharusnya, seandainya tidak ada kebijakan-kebijakan tersebut. Meskipun harga dunia tersebut telah terdistorsi namun tetap merupakan approximasi yang baik untuk mengukur social opportunity cost, baik importabel maupun exportabel, bagi negara berkembang seperti Indonesia. Bila kebijakan negara lain diduga tidak akan berubah dalam waktu dekat, maka harga dunia yang telah terdistorsi inipun tetap dapat digunakan untuk mengukur opportunity cost bagi substitusi impor maupun promosi ekspor Indonesia. Dalam perspektif ini, efisiensi bagi Indonesia merupakan sebuah konsep nasional, bukan global, karena kebijakan perekonomian Indonesia hanya mempengaruhi pasar domestik dan tidak mempengaruhi pasar Internasional pada hampir seluruh komoditas tradabel.
Harga dunia dalam Rupiah (mata uang domestik) sama dengan harga dunia dalam Dollar (mata uang asing) dikalikan dengan nilai tukar (rasio Rupiah terhadap Dollar). Oleh karena itu, baik harga dunia dalam Dollar maupun nilai tukar diperlukan untuk menghitung harga dunia dalam Rupiah. Bila analisis dimaksudkan untuk isu efisiensi jangka panjang (atau keunggulan komparative pada pasar internasional), tingkat harga dunia dan nilai tukar yang dipakai seharusnya harga dunia dan nilai tukar jangka panjang. Sebaliknya, bila analisis dimaksudkan untuk melihat historis (dari keadaan saat ini), maka sebaiknya digunakan data historis baik untuk harga dunia maupun nilai tukar.
Bagaimana memperoleh data harga dunia, baik untuk output tradabel maupun input tradabel? Yang pertama-tama harus dilihat adalah publikasi atau statistik perdagangan internasional. Bila harga dunia tidak dapat diperoleh dari publikasi di Biro Statistik dalam negeri maka bisa dicari di Biro Statistik negara tetangga, kelompok industri, atau lembaga-lembaga internasional (the International Monetary Fund, the World Bank, the Asian development Bank, atau lembaga-lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)). Bisa saja terjadi, meskipun agak jarang, harga dunia tidak dapat secara langsung diperoleh sehingga diperlukan suatu cara menduga secara tidak langsung. Bila diketahui kegagalan pasar tidak terjadi dan semua kebijakan diketahui dengan jelas dan dampaknya bisa diukur, maka harga sosial (E dan F) dapat dihitung dengan mengurangkan efek divergensi (I dan J) dari harga privat (A dan B). Dalam hal ini, harga sosial adalah selisih (residual) antara harga privat dengan efek divergensi. Dari identitas divergensi diketahui bahwa (A – E = I dan B – F = J) serta (E = A – I dan F = B – J). Namun, cara ini bisa dilakukan bila efek divergensi, I dan J, telah diketahui, yakni ketika tidak ada hambatan kuantitatif (quantitative restriction) yang mempengaruhi perdagangan internasional.
Ketika menentukan harga dunia untuk input tradabel dan output tradabel, peneliti PAM harus mempertimbangkan tiga hal – lokasi, waktu, dan kualitas (bentuk) – dari komoditas yang diteliti. Harga domestik dan harga dunia untuk komoditas yang diteliti harus diperbandingkan pada lokasi yang sama (misal pada pasar pedagang besar terdekat), pada waktu yang sama (misal pada saat panen raya), dan pada kualitas produk yang sama (misal, beras dengan kadar pecah (broken) 25 persen). Bila tidak, harga-harga tersebut tidak bisa diperbandingkan (tidak comparable) karena kesalahan akan timbul dari biaya transportasi (lokasi yang berbeda), pendapatan atau biaya penyimpanan (karena waktu yang berbeda), dan biaya pengolahan (karena kualitas atau bentuk produk yang berbeda). Transformasi atas lokasi, waktu dan bentuk adalah tiga fungsi utama dari pemasaran komoditas pertanian. Oleh karena itu, perbandingan harga domestik dengan harga dunia harus dilakukan untuk titik yang sama pada rantai tataniaga.
Bila efek divergensi tidak begitu penting atau tidak begitu signifikan pada kegiatan post-farm (transportasi dari petani ke pengolahan, pengolahan, dan transportasi dari pengolahan ke pedagang besar), akan lebih mudah bila keempat aktivitas tersebut digabungkan kedalam satu Tabel PAM saja, dan dengan itu perbandingan harga domestik dan harga dunia cukup dilakukan pada tingkat petani saja. Untuk itu, peneliti perlu mencari harga paritas impor untuk barang-barang substitusi impor dan harga paritas ekspor untuk barang-barang yang memasuki pasar ekspor. Untuk harga paritas impor, biaya transportasi dan handling di dalam negeri harus ditambahkan kepada harga impor di tingkat pelabuhan karena barang impor tersebut harus dibawa ke pasar pedagang besar terdekat untuk berkompetisi dengan produk dalam negeri. Sebaliknya, untuk harga paritas ekspor, biaya transportasi dan handling domestik harus dikurangkan dari harga di pelabuhan karena produk dalam negeri harus dibawa ke pelabuhan dari pasar pedagang besar terdekat untuk bisa diekspor.
Tabel 4.1. menyajikan contoh perhitungan harga sosial atau harga paritas impor untuk padi. Dimulai dengan harga fob (free on board) yaitu harga ekspor di negara pengekspor (misal, $150 per ton untuk kualitas beras dengan kadar pecah 25 persen di Bangkok, Thailand). Untuk mendapatkan harga cif (cost, insurance, freight) atau harga impor di pelabuhan dalam negeri ditambahkan biaya pengapalan dan asuransi kepada harga fob tersebut (misal $15 per ton beras dari Bangkok ke Jakarta). Harga cif Jakarta tersebut di nilai dalam Rupiah dengan mengalikannya dengan nilai tukar (misal, Rp. 9.000/US$). Seandainya perhitungan selanjutnya akan dilakukan dengan satuan unit per kilogam maka konversikan nilai tersebut kedalam Rupiah per kilogram. Kemudian tambahkan biaya transportasi dan handling dari pelabukan ke pasar pedagang besar terdekat. Karena harga di tingkat petani adalah harga dalam bentuk yang berbeda yaitu padi, bukan beras, maka faktor konversi (padi ke beras) harus digunakan untuk mengkonversikan harga Rupiah per kilogram beras menjadi harga Rupiah per kilogram padi (misal 1 kg padi = 0.64 kg beras). Faktor koreksi juga harus dimasukkan untuk biaya penggilingan, susut dan kadar air. Langkah terakhir dalam menghitung harga paritas impor padi ini adalah memasukkan biaya transportasi dari petani ke penggilingan. Penjelasan dan prosedur yang lebih rinci baik untuk menghitung harga paritas impor maupun harga paritas ekspor disajikan pada manual komputer tutorial yang menyertai buku ini.


Tabel 4.1. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Padi

F.o.b. Thailand ($/ton) 150.00
Freight & Insurance ($/ton) 20.00
C.i.f. Indonesia ($/ton) 170.00
Nilai tukar (Rp/$) 9,000
Premium Nilai Tukar (%) 0%
Nilai Tukar Keseimbangan (Rp/$) 9,000
C.i.f. Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/ton) 1,530,000
Faktor konversi berat (kg/ton) 1000
C.i.f. Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg) 1530.0
Biaya transportasi dan handling ke pedagang besar (Rp/kg) 133
Harga sebelum pengolahan (Rp/kg) 1663.0
Faktor konversi pengolahan (%) 0.64
Ongkos penggilingan, net (bekatul diperhitungkan) Rp/kg) 50
Nilai paritas impor (Rp/kg) 1014.3
Biaya distribusi ke tingkat petani (Rp/kg) 50
Harga paritas di tingkat petani (Rp/kg) 964.3
Secara grafis penghitungan harga paritas impor dijelaskan pada Gambar 4.2. Perhitungan serupa perlu dilakukan juga untuk input tradabel seperti pupuk, bahan kimia lainnya, dan bahan bakar.
Gambar 4.2. Penyesuaian Harga Internasional ke Harga Tingkat Petani




















Harga Sosial Untuk Output Non-tradabel
Perhitungan harga sosial untuk barang non tradabel berbeda dengan barang tradabel. Seperti halnya barang tradabel, harga privat untuk non tradabel diambil dari tabel privat budget di tingkat petani. Namun, tidak ada harga dunia (border price) untuk non tradabel yang bisa digunakan sebagai harga efisiensi, seperti halnya barang tradabel. Oleh karena itu, harga sosial untuk barang non tradabel diestimasi dengan mengurangkan divergensi yang terjadi (baik karena distorsi kebijakan maupun kegagalan pasar) dari nilai privatnya.
Kadang-kadang, harga sosial untuk barang-barang non tradabel amat sulit diestimasi. Langkah pertama adalah mengoreksi harga privat non tradabel dari divergensi yang dapat diidentifikasi. Seperti untuk output tradabel yang telah diuraikan dimuka, peneliti mengoreksi harga privat (A dan B) dari pengaruh divergensi (I dan J) sehingga memperoleh harga sosial (E dan F) sebagai selisih (residual) nya. Namun, seringkali efek divergensi, terutama sebagai akibat kegagalan pasar bahkan juga distorsi kebijakan, hampir tidak mungkin diukur. Bila efek divergensi tidak bisa diestimasi, langkah berikutnya adalah mencari harga barang substitusinya untuk digunakan sebagai proxy dari harga sosial barang-barang non tradabel. Bila langkah ini pun tidak bisa dilakukan maka langkah terakhir yang mungkin dilakukan adalah menggunakan harga barang (atau barang substitusinya) di negara tetangga.
Dekomposisi Biaya Input Non-tradabel
Biaya input non tradabel tidak bisa secara langsung dibuat dalam kolom tersendiri dalam Tabel PAM karena tidak ada cara langsung menilai harga sosial input jenis ini. Tidak ada harga dunia untuk input non tradabel. Pemecahan yang mungkin dilakukan adalah dengan mendekomposisikannya, yaitu membagi biaya memproduksi barang atau jasa non tradabel kedalam unsur-unsur biaya input tradabel dan biaya faktor domestik (tenaga kerja terampil dan tidak terampil, modal, dan lahan). Bila memungkinkan, seluruh biaya input antara yang non tradabel dialokasikan kepada keempat kategori biaya, dan proses dekomposisi ini dilakukan baik untuk harga privat maupun harga sosial.
Secara prinsip prosedur dekomposisi memang sederhana namun pada pelaksanaannya bisa memakan waktu. Kegiatan ini memerlukan perhitungan analisis PAM untuk barang dan jasa non tradabel (misalnya listrik) yang malah bisa mengalihkan perhatian peneliti dari kegiatan analisis kebijakan pertanian. Untuk menghemat sumberdaya penelitian yang terbatas, disagregasi budget untuk barang-barang non tradabel secara tersendiri kalau bisa dihindari, kecuali bila mempunyai pangsa terhadap total biaya 5 persen atau lebih. Ada dua cara menghemat waktu yang bisa dilakukan dalam mendisagregasikan input non tradabel. Pertama, menggunakan matriks input-output pendapatan nasional untuk mengalokasikan pangsa tenaga kerja dan modal dari input non tradabel pada tingkat harga privat. Biaya lahan diabaikan, dan sisanya merupakan biaya input tradabel. Kemudian adjust biaya privat untuk mendapatkan perkiraan biaya sosial. Kedua, cara terakhir bila tabel input-output tidak tersedia, mengunakan “rule of thumb”. Alokasikan sepertiga biaya nontradabel masing-masing untuk modal, tenaga kerja, dan input tradabel. Bila ternyata hal seperti ini banyak sekali terjadi, maka peneliti sebaiknya kembali ke lapangan untuk menggali informasi yang diperlukan.
Perhitungan Biaya Sosial Untuk Faktor Domestik
Untuk mempermudah, semua biaya-biaya faktor domestik – upah, tingkat bunga, dan sewa lahan – digabungkan dalam satu kolom yang disebut biaya faktor domestik. Namun, masing-masing pasar dan sub-pasar dikaji sendiri sendiri. Pada prakteknya, bisa disediakan kolom yang terpisah untuk masing-masing tipe dan kualitas faktor (misalnya, tenaga kerja pria terampil).
Pendekatan Dalam Mengkaji Pasar Faktor Domestik
Biaya faktor domestik diperlakukan berbeda dengan tradabel input karena tidak ada harga internasional untuk faktor domestik, yang seharusnya digunakan sebagai nilai sosial opportunity cost nya. Sebagian dari faktor domestik, seperti modal dan tenaga kerja, memang ada yang bekerja dan mendapat penghasilan yang bersumber dari luar negeri. Namun opportunity cost dari faktor domestik tersebut ditentukan di dalam negeri, bukan di pasar internasional. Upah, tingkat bunga, dan sewa lahan amat ditentukan oleh permintaan dan penawaran (atas faktor domestik) di dalam negeri, bukan oleh opportunity mempekerjakan faktor-faktor tersebut di luar negeri. Dengan kata lain, faktor domestik tersebut tidak sepenuhnya tradabel secara internasional, dan tidak ada harga internasional yang dapat digunakan sebagai angka perkiraan yang baik untuk opportunity cost dalam negeri.
Tidak tersedianya harga dunia untuk faktor domestik berarti harga sosial (harga efisiensi) untuk faktor domestik harus diduga. Cara yang digunakan untuk menduga harga sosial untuk faktor domestik dalam analisis PAM adalah dengan mengurangkan divergensi dari harga privatnya. Peneliti melakukan pengkajian setiap pasar pedesaan untuk melihat ada atau tidaknya divergensi – dampak distorsi kebijakan serta kegagalan pasar. Oleh karena itu, nilai untuk faktor divergensi (K) menjadi sebuah research input, yang nantinya digunakan untuk mengestimasi harga sosial untuk faktor domestik, seperti diuraikan pada bab 2.
Dengan kata lain, harga sosial untuk faktor (G) dihitung dengan cara mengurangkan faktor divergensi (K) dari harga privatnya (C). Karena identitas divergensi mengatakan bahwa (C – G) = K, maka (C – K) = G. Pada aplikasi empiris, G tidak bisa dihitung secara langsung dari harga internasionalnya. Sehingga C dan K adalah research input dan G adalah research results. Biaya faktor dalam Tabel PAM diilustrasikan pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3. Biaya Faktor Domestik

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Privat C
Sosial G
Efek Divergensi K

Fragmentasi di Pasar Faktor Domestik
Fragmentasi adalah terpisahnya sub-pasar faktor domestik yang diakibatkan oleh imobilitas faktor dan kurangnya kebebasan barang untuk masuk atau keluar dari pasar (lack of free exit and entry). Apabila fragmentasi terjadi, maka sebuah sub-pasar faktor domestik tidak terintegrasi, dan harga faktor domestik tersebut berbeda dari fragmen pasar yang satu ke fragmen pasar lainnya. Untuk melihat besarnya faktor transfer (K), tugas peneliti PAM harus mengidentifikasi penyebab terjadinya fragmentasi pasar tersebut.
Sebenarnya semua pasar faktor domestik terfragmentasi sampai pada tingkat tertentu, menurut wilayah geografis ataupun jenis pelaku pasar. Beberapa fragmentasi bersifat permanen atau tetap. Pasar lahan di suatu wilayah akan berbeda berdasarkan jarak dari pusat kota atau pelabuhan, agro-klimat, kualitas, dan kemiringan lahan. Di beberapa wilayah, lahan memiliki produktivitas yang berbeda antara satu dan lainnya. Perbedaan nilai sewa lahan mencerminkan perbedaan fisik dan produktivitas lahan tersebut, dan tidak selalu berarti terdapat ketidak-sempurnaan di pasar lahan.
Fragmentasi lainnya disebabkan oleh kegagalan pasar. Di daerah pedesaan di negara berkembang, lembaga-lembaga yang diharapkan bisa membantu terpenuhinya permintaan atas faktor domestik sering kali tidak cukup tersedia, atau bahkan tidak ada sama sekali. Pasar modal yang tidak sempurna, misalnya, terjadi ketika bank atau lembaga penyedia jasa keuangan lain (financial intermediary) tidak tersedia di pedesaan. Pada kasus lain, tidak tersedianya jaringan informasi yang baik menyebabkan pasar faktor domestik gagal berfungsi secara efisien. Buruh pedesaan yang memerlukan pekerjaan sehari-hari memerlukan informasi dimana kesempatan kerja tersedia.
Sebagian besar fragmentasi pasar terjadi karena distorsi kebijakan. Kebijakan yang menyebabkan biaya faktor menjadi lebih mahal (pajak atas penggunaan faktor) atau lebih murah (subsidi atas penggunaan faktor) dari harga efisiensi, atau harga yang ditentukan oleh pasar. Beberapa pemerintahan di negara berkembang menerapkan regulasi, dengan menetapkan harga tertinggi (biasanya untuk tingkat bunga) atau harga terendah (biasanya untuk tingkat upah) untuk beberapa harga faktor domestik dengan tujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi atau pemerataan pendapatan. Pemerintah lainnya, menerapkan pajak atau subsidi atas penggunaan faktor domestik. Aturan kepegawaian dalam hal tunjangan pensiun dan kesehatan menyebabkan meningkatnya upah buruh, dan seolah-olah memajaki penggunaan buruh. Subsidi bunga untuk membantu kelompok masyarakat tertentu menurunkan biaya modal.
Pengetahiuan tentang konsep fragmentasi pasar amat berguna dalam melakukan pengkajian empiris pasar faktor domestik. Pertama-tama, peneliti harus memisahkan masing-masing pasar menurut sub-pasarnya (misalnya, tenaga kerja terampil dan tidak terampil serta pria dan wanita akan membentuk empat sub-pasar dari pasar tenaga kerja). Selanjutnya, lihat penyebab terjadinya fragmentasi pasar serta besarannya. Bila fragmentasi bersifat tetap, misalnya di dalam satu wilayah pasar lahan, hal tersebut tidak bisa dianggap sebagai penyebab terjadinya divergensi nilai sewa lahan. Fragmentasi lainnya bisa disebabkan oleh divergensi – kegagalan pasar dan distorsi kebijakan. Seringkali, yang menyebabkan peneliti menemui kesulitan adalah ketika mencoba menilai seberapa besar fragmentasi pasar yang terjadi disebabkan oleh kegagalan pasar – terbatasnya institusi dan informasi – dan berapa besar fragmentasi yang disebabkan oleh distorsi kebijakan – regulasi atau pajak/subsidi.
Penentuan Harga Faktor Domestik
Permintaan atas faktor produksi umumnya bersifat permintaan turunan (derived demand). Beberapa faktor produksi dibeli langsung oleh orang yang menerima manfaat dari faktor produksi tersebut, namun sebagian besar faktor produksi dibeli untuk digunakan dalam proses produksi barang dan jasa lainnya. Oleh karena itu, permintaan atas faktor berubah searah dengan perubahan harga faktor maupun harga output, dan dengan perubahan produktivitas faktor dalam proses produksi. Permintaan atas faktor oleh perusahaan hanya terjadi bila faktor produksi tersebut menguntungkan. Harga faktor yang mahal dengan sendirinya akan segera menurunkan permintaan atas faktor tersebut.
Penawaran faktor produksi ditentukan oleh keputusan individu para pemilik faktor. Setiap individu yang mampu memberikan tenaganya atau kemampuan manajemennya akan menentukan berapa lama dia akan bekerja untuk berbagai tingkat upah (sering disebut sebagai the labor-leisure trade-off). Pemilik modal (penabung) akan memutuskan berapa banyak mereka akan menabung dan menyediakannya untuk digunakan orang lain (peminjam) pada berbagai tingkat bunga. Sama halnya dengan itu, pemilik lahan akan menentukan berapa luas lahan yang akan disewakan, tergantung kepada berapa nilai sewa yang akan diterima. Dalam ketiga hal diatas, faktor yang ditawarkan akan lebih banyak pada tingkat harga (balas jasa) yang lebih tinggi.
Penentuan harga di pasar faktor akan terjadi sama seperti yang telah didiskusikan ketika mendiskusikan pasar barang (disarikan pada Bab 5). Pasar faktor akan berada pada keseimbanngan ketika jumlah faktor yang ditawarkan pada tingkat harga tertentu sama dengan jumlah faktor yang diminta pada tingkat harga tersebut. Oleh karena itu, terbentuknya harga merupakan proses simultan yang ditentukan oleh keinginan bersama dari pemilik faktor untuk menyerahkan faktor yang dimilikinya, dan kesediaan perusahaan dan pengguna lainnya untuk menggunakan (dan membayar) faktor tersebut. Harga faktor akan ditentukan secara efisien kecuali bila pasar tersebut terfragmentasi karena adanya kegagalan pasar atau distorsi kebijakan.
Estimasi Harga Faktor Domestik
Harga sosial (harga efisiensi) untuk faktor domestik (lahan, tenaga kerja, dan modal) diestimasi dengan menerapkan prinsip social opportunity cost. Karena faktor domestik tidak diperdagangkan secara internasional, dan dengan sendirinya tidak punya harga internasional (harga dunia), social opportunity cost- nya diestimasi melalui observasi pasar faktor domestik di pedesaan. Tujuannya adalah untuk mengetahui berapa besar output dan pendapatan yang hilang karena faktor tersebut digunakan untuk memproduksi komoditas yang sedang kita teliti (dalam hal ini beras) dibandingkan apabila faktor tersebut digunakan untuk memproduksi komoditas alternatif terbaik lainnya (misalnya, tebu atau kedele).
Estimasi empiris harga sosial faktor domestik melibatkan pendugaan atau perkiraan yang dilakukan dalam waktu yang panjang, sehingga parameter penduga tersebut merupakan parameter dugaan (approximation) terbaik. Sayangnya, model-model formal tidak bisa memberikan estimasi yang reliable untuk negara-negara berkembang.
Proses pendugaan harga sosial faktor domestik dimulai dengan melakukan observasi dan pengumpulan data harga privat (harga aktual) untuk masing-masing jenis dan kualitas faktor produksi yang digunakan dalam sistem pertanian yang sedang dalam penelitian. Data harga privat yang diperoleh kemudian dimasukkan kedalam kolom C dalam Tabel PAM.
Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi seberapa jauh fragmentasi di pasar faktor domestik telah terjadi dan apa penyebabnya, alamiah (yang bersifat immutable), kegagalan pasar (berhubungan dengan ketersediaan kelembagaan), dan distorsi kebijakan (policy induced). Fragmentasi terjadi apabila harga salah satu faktor domestik berbeda dengan harga faktor domestik yang sama di seluruh sub-pasar. Untuk melihat berapa besar fragmentasi yang terjadi, peneliti PAM harus membandingkan harga untuk faktor domestik dengan jenis dan kualitas yang sama diantara pasar-pasar yang berbeda.
Bukti penting yang harus dicari dalam melihat apakah kegagalan pasar telah terjadi atau tidak, dilakukan dengan melakukan pengecekan tingkat kebebasan untuk masuk atau keluar dari pasar (barriers to entry). Jika pelaku pasar bisa dengan bebas untuk masuk atau keluar dari pasar tersebut maka monopoli atupun monopsoni bukanlah penyebab terjadinya perbedaan harga faktor tersebut.
Bila kegagalan pasar bukan merupakan penyebab fragmentasi pasar, maka divergensi tentulah disebabkan oleh distorsi kebijakan. Maka selanjutnya peneliti menelaah keberadaan kebijakan yang bisa menyebabkan terjadinya fragmentasi pasar tersebut. Setelah mengidentifikasi kegagalan pasar dan distorsi kebijakan (nilai pada cel K), harga sosial untuk faktor (G) dihitung dengan mengurangkan divergensi (K) kepada harga privat (C), karena G = (C – K).
Estimasi Tingkat Upah Privat dan Sosial
Dalam menyusun budget usahatani yang rinci, tenaga kerja bisa di klasifikasikan kedalam beberapa kategori, misalnya menurut jenis kelamin (wanita atau pria), golongan umur (anak-anak atau dewasa), tingkat keterampilan (tenaga tidak terampil, setengah terampil, terampil, atau tingkat menejer). Isu utamanya adalah untuk melihat apakah terdapat perbedaan produktivitas antar kategori, yang bisa menyebabkan tingkat upah yang berbeda. Data aktual tentang tingkat upah privat (dikalikan dengan jumlah tenaga kerja yang digunakan) dimasukkan kedalam cel C pada Tabel PAM.
Langkah berikutnya adalah melihat apakah kegagalan pasar maupun distorsi kebijakan terjadi di masing-masing sub-pasar tenaga kerja. Estimasi kuantitatif divergensi dari kedua hal tersebut dimasukkan kedalam cel K sebagai research input.
Ada dua jenis kegagalan pasar yang bisa mempengaruhi sub-pasar tenaga kerja pedesaan di negara berkembang, yaitu monopsoni atau oligopsoni (dimana satu atau beberapa pengguna tenaga kerja (perusahaan) berkolusi untuk menekan upah) dan kekuatan serikat buruh (ketika kelompok serikat buruh memberikan tekanan yang menyebabkan naiknya upah). Apabila buruh mudah untuk masuk dan keluar dari pasar tenaga kerja pada masing-masing sub-pasar, maka hal itu merupakan bukti tidak efektifnya kekuatan yang mempengaruhi pasar, baik yang dimiliki oleh perusahaan maupun serikat buruh.
Dua jenis distorsi kebijakan yang bisa mempengaruhi sub-pasar tenaga kerja pedesaan di negara berkembang adalah peraturan upah minimum serta tunjangan (pajak) pensiun dan kesehatan (dimana pemerintah mengharuskan perusahaan atau pengguna tenaga kerja untuk berkontribusi dan program kesehatan dan pensiun yang dengan sendirinya akan meningkatkan biaya upah buruh). Kebijakan semacam ini berkembang baik di negara berkembang maupun negara maju, namun umumnya tidak bisa diterapkan di pasar tenaga kerja pertanian kecuali di perkebunan besar dan pabrik pengolahan hasil pertanian. Kebijakan yang tidak mempengaruhi biaya tenaga kerja, karena tidak bisa diterapkan, adalah kebijakan yang tidak efektif dan dengan sendirinya bisa diabaikan pada analisis PAM.
Estimasi Tingkat Bunga Privat dan Sosial
Tingkat bunga, baik sosial maupun privat, harus diestimasi dalan analisis PAM. Wawancara, baik dengan petani, pedagang, ataupun pengolahan, diharapkan dapat menggali informasi tentang sumber kredit atau sumber modal serta tingat bunga yang harus dibayar untuk setiap sumber kredit ataupun modal tersebut. Ada empat sumber kredit, dan empat tingkat bunga sesuai dengan sumber kredit tersebut, yang umum ditemukan di negara berkembang:
1. Tabungan keluarga, baik yang bersumber dari kegiatan usaha pertanian maupun non pertanian, umumnya merupakan sumber modal yang paling banyak digunakan, karena paling murah biayanya. Tabungan bisa diartikan sebagai hilangnya kesempatan untuk mengkonsumsi atau investasi. Opportunity cost membiayai sendiri kegiatan usahatani dengan sumber tabungan keluarga adalah bunga tabungan yang hilang.
2. Lembaga perkreditan formal, seperti bank pemerintah, bank komersial atau lembaga keuangan lainnya, umumnya menyalurkan kredit kepada petani dan usaha kecil dan pedagang dengan tingkat bunga yang moderat. Lembaga seperti ini masih belum banyak berkiprah di pedesaan, serta memerlukan agunan yang besar atau mahal.
3. Pemilik kios/toko/warung serta pedagang yang menjual pupuk dan sarana produksi pertanian lainnya seringkali merupakan sumber kredit yang amat penting bagi petani meskipun dengan tingkat bunga yang cukup tinggi. Kredit informal terjadi antara petani disatu pihak dan pedagang atau pemasok tenaga kerja di pihak lainnya, bervariasi antar musim sehingga bisa saja seorang petani menjadi peminjam pada satu musim tapi menjadi orang yang meminjamkan pada musim yang lain.
4. Pelepas uang (rentenir) yang umumnya merupakan sumber kredit dengan tingkat bunga tertinggi. Karena tingkat bunga yang dibebankan bisa diatas 10 persen per bulan, petani umumnya menghindari sumber kredit seperti ini kecuali untuk kebutuhan keluarga yang amat mendesak.
Pemerintah juga memberikan subsidi kredit pertanian. Tingkat bunga bersubsidi amat jarang mencerminkan tingkat bunga privat yang dihadapi petani karena program subsidi umumnya tidak berhasil menyentuh sebagian besar petani. Peneliti lapangan harus yakin betul akan efektivitas kredit bersubsidi tersebut untuk menentukan tingkat bunga yang dibayar petani pada sistem pertanian yang sedang diteliti (dan dengan sendirinya dimasukkan ke cel K dalam Tabel PAM).
Biaya modal dalam analisis PAM diklasifikasikan kedalam dua kategori – modal kerja (working capital) dan modal investasi (investment capital). Modal kerja adalah biaya produksi (tunai atau cash) yang harus dibayar petani seperti pembelian input, upah tenaga kerja, dan penyimpanan dalam kurun waktu satu tahun produksi. Modal investasi adalah pengeluaran atas aset yang memberikan kegunaan (productive services) lebih dari satu tahun. Dalam hal modal investasi, biaya terjadi dalam satu (atau beberapa) tahun, namun pendapatan (benefit) diterima untuk suatu periode yang panjang.
Kegagalan pasar finansial (atau perkreditan) yang kerap terjadi di negara-negara berkembang biasanya karena kurang tersedianya lembaga keuangan (perkeditan) di pedesaan. Oleh karena itu, tingkat bunga privat yang telah dijelaskan diatas, umumnya bukan merupakan dugaan yang baik untuk tingkat bunga sosial meskipun pemerintah tidak mengintervensi dengan kebijakan yang distortif, seperti subsidi kredit pedesaan atau kebijakan tingkat bunga tertinggi.
Karena kompleksitas dari kemungkinan terjadinya kegagalan pasar dan distorsi kebijakan yang mempengaruhi pasar kredit keuangan, hampir-hampir tidak mungkin mengukur tingkat divergensinya. Dalam analisis PAM (juga pada applikasi analisis benefit-cost umumnya), peneliti terpaksa harus mengadopsi pendekatan yang berbeda dalam mengestimasi tingkat bunga sosial. Pada prinsipnya, pendapatan sosial untuk modal (social return to capital) adalah pendapatan atas investasi publik atau privat yang akan dilakukan seandainya ada dana untuk melakukan investasi tersebut. Pada prakteknya, untuk mengestimasi tingkat bunga sosial modal kerja dan modal investasi, peneliti PAM menggunakan cara yang bersifat arbitrary rule of thumb – pengalaman dari negara berkembang atau negara maju lainnya pada saat negara-negara tersebut berada pada tingkat pembangunan yang sama dengan negara yang sedang menjadi fokus penelitian.
Estimasi Harga Sewa Lahan Sosial
Lahan merupakan faktor produksi atau aset tak bergerak (fixed factor) dalam proses produksi pertanian. Berbeda dengan tenaga kerja dan modal yang bersifat bergerak (mobile) dan bisa berpindah kepada aktivitas lainnya, lahan bersifat tetap atau tak bergerak (immobile). Kecuali lahan tersebut terletak di dekat pusat kota, menjadi pusat perumahan atau perindustrian, opportunity cost dari lahan yang ditanami satu komoditas (atau satu pola tanam) adalah pendapatan yang diperoleh dari komoditas altertatif terbaiknya. Petani akan menggunakan lahannya untuk suatu komoditas sesuai dengan keuntungan yang akan diperoleh dari berbagai komoditas (termasuk kebutuhan pangan rumah tangga dan resiko yang harus ditanggung). Nilai lahan di pasar lahan (baik jual lepas maupun sewa-menyewa) tergantung kepada tingkat produktivitas lahan tersebut, dan dengan sendirinya juga tingkat keuntungan yang akan diperoleh petani pembeli atau penyewa lahan tersebut.
Penentuan harga sosial dari lahan mengikuti prinsip-prinsip social opportunity cost. Dilihat dari sudut pandang perekonomian nasional, nilai sosial dari sewa lahan adalah sama dengan keuntungan sosial (H) lahan yang diperoleh dari komoditas alternatif terbaik sebelum dikurangi nilai sewa lahan. Sebagai contoh, biaya sosial penggunaan lahan untuk menanam padi pada suatu musim adalah sama dengan keuntungan sosial yang hilang karena tidak menanami lahan tersebut dengan komoditas yang akan memberikan keuntungan terbaik setelah padi (misalnya, tebu atau kedele). Namun, dengan cara ini peneliti harus mengidentifikasi alternatif komoditas terbaik, serta melakukan analisis PAM untuk komoditas tersebut.
Bila cara ini ternyata tidak praktis atau malah mengalihkan perhatian dari komoditas yang semula kita teliti, ada cara lain yang bisa ditempuh. Keuntungan di definisi ulang dengan memasukkan balas jasa atau pendapatan untuk lahan (return to land) kedalamnya. Dengan demikian keuntungan didefinisikan sebagaipendapatan untuk manajemen dan lahan (bukan hanya pendapatan untuk manajemen). Dengan demikian, biaya lahan dikeluarkan baik dari harga privat maupun harga sosial. Karena rumit dan juga mahalnya menganalisis komoditas alternatif terbaik, belum lagi bila untuk menentukan alternatif komoditas itu pun memerlukan penelitian lebih dari satu komoditas, maka banyak peneliti mengadopsi pendekatan ini.
Estimasi Harga Faktor Domestik Pertanian Indonesia
Estimasi harga sosial untuk faktor domestik bisa diilustrasikan dengan mengacu kepada beberapa studi yang menggunakan alat analisis PAM antara lain yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (PSE). Penelitian serupa tentang perberasan di Indonesia juga telah dilakukan oleh tim dari Food Research Institute, Stanford University pada akhir 1980an.
Kedua-duanya, baik tim dari Stanford University mapun PSE menemukan tingkat divergensi di pasar tenaga kerja pedesaan yang kecil. Distorsi tidak begitu signifikan, karena peraturan tentang upah minimum tidak bisa berlaku di sektor pertanian dan tidak memiliki dampak yang berarti dalam perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Fragmentasi yang terjadi diantara sub-pasar tenaga kerja amat kecil karena tenaga kerja bebas keluar-masuk di sub-pasar tersebut, informasi tentang kesempatan kerja yang baik, dan banyaknya buruh kontrak. Oleh karena itu, harga privat untuk upah tenaga kerja pedesaan untuk seluruh kategori merupakan penduga yang baik untuk harga sosial upah tenaga kerja (dalam istilah PAM, karena K amat kecil, maka G kira-kira sama dengan C).
Hal seperti diatas tidak terjadi di pasar tenaga kerja di wilayah perkotaan dimana kegiatan pengolahan dan pemasaran banyak terjadi. Tingkat upah tenaga kerja untuk semua kategori di daerah perkotaan dipengaruhi oleh dua distorsi kebijakan (juga oleh kegagalan pasar meskipun tidak begitu besar). Pertama, peraturan upah minimum berlaku di pasar tenaga kerja perkotaan. Namun distorsi yang diakibatkan oleh kebijakan upah minimum ini tidaklah terlalu besar karena tingkat upah minimum ditetapkan tidak terlalu berbeda dengan tingkat upah menurut mekanisme pasar. Kedua, peraturan yang berkaitan dengan tunjangan sosial (seperti pensiun dan asuransi kesehatan) berlaku dan menyebabkan biaya tenaga kerja menjadi lebih mahal. Oleh karena itu K akan bernilai positip meskipun tidak terlalu besar, mencerminkan adanya pajak atas tenaga kerja meskipun kecil sehingga G akan lebih kecil dari C.
Hasil penelitian PSE dan Stanford University juga menyajikan estimasi harga sosial untuk lahan dan modal, baik saat ini maupun historis. Untuk modal investasi, tingkat bunga diantara berbagai penyedia jasa keuangan, jenis peminjam, dan lokasi privat bervariasi cukup besar. Berdasarkan pengalaman negara lain dengan tingkat pembangunan yang sama, tingkat bunga sosial untuk modal investasi di Indonesia sekitar 10-15 persen setahun (ditambah tingkat inflasi). Untuk modal kerja, tingkat bunga privat juga bervariasi cukup besar. Berdasarkan pengalaman negara lain, tingkat bunga sosial untuk modal kerja diperkirakan sekitar 15-20 persen per tahun (ditambah tingkat inflasi)
Nilai privat sewa lahan pertanian di Indonesia bervariasi sesuai dengan kualitas lahan dan lokasi (biasanya mencerminkan tingkat profitabilitas privat usahatani). Bila memungkinkan, nilai sosial sewa lahan diperoleh dengan menghitung nilai keuntungan sosial dari komoditas alternatif terbaik (atau pola tanam terbaik). Bila tidak memungkinkan, biaya lahan dikeluarkan baik dari perhitungan keuntungan privat maupun sosial, sehingga keuntungan privat dan sosial didefinisikan sebagai balas jasa bagi lahan dan manajemen (return to land and management).
Contoh Perhitungan Keuntungan Sosial
Perhitungan keuntungan sosial untuk usahatani padi varitas unggul di Indonesia juga disajikan dalam komputer tutorial yang merupakan bagian dari buku ini. Seperti halnya menghitung keuntungan privat, penghitungan keuntungan sosial pun dilakukan melalui tiga tahap. Pada sebagian besar aplikasi PAM, diasumsikan bahwa koefisien input-output untuk analisis sosial maupun privat adalah sama. Oleh karena itu, data input-output yang disajikan pada Tabel 3.1. juga digunakan untuk menghitung pendapatan dan biaya sosial.
Tantangan yang harus dihadapi dalam melakukan sosial analisis adalah menentukan harga sosial untuk seluruh input maupun output. Untuk input dan output tradabel, kuncinya adalah menentukan harga impor dan ekspor yang sesuai, dalam mata uang asing, mengkonversikannya sesuai dengan nilai tukar yang tepat, dan menghitung harga tersebut pada tingkat petani. Proses konversi maupun penyesuaian dalam hal bentuk, waktu, dan lokasi untuk padi seperti telah diuraikan diatas disajikan pada Tabel 4.1. dan Gambar 4.2. Data lengkap mengenai harga sosial disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Harga Sosial

Input/output Jenis Input Nilai

Tradabel Pupuk (Rp/kg)
Urea 1.100
SP-36 1.400
KCl 1.600
ZA 1.000
Obat-obatan
Pestisida cair (Rp/liter 40.000
Pestisida padat (Rp/kg) 10.000
Herbisida (Rp/ltr) 12.500
Benih (Rp/kg) 2.500
Bahan bakar (Rp/liter) 1.500
Faktor Tenaga kerja (Rp/jam)
Persiapan lahan 1.600
Pemeliharaan 1.600
Panen 1.600
Perontokan 1.600
Pengeringan 1.600
Modal
Modal kerja (%) 8%
Traktor (Rp/jam) 12.500
Thresher (Rp/jam) 1.500
Lahan (Rp/ha) 1.500.000
Output (Rp/kg) 964

Seperti halnya pada saat membuat budget privat, langkah akhir dari membuat sosial budget adalah mengalikan jumlah fisik yang disajikan pada tabel input-output (Tabel 3.1.) dengan harga efisiensi (harga sosial) yang disajikan pada tabel harga sosial (Tabel 4.2.). Hasil dari perkalian tersebut adalah tabel sosial budget (Tabel 4.3.). Untuk padi varias unggul ini, keuntungan sosial (return to management and land) adalah sebesar 45 persen dari pendapatan sosial dan sosial benefit-cost rasio (SBCR) nya adalah Rp. 5.784.000/Rp. 3.163.500 atau 1,8.

Tabel 4.3. Sosial Budget

Input/output Jenis Input Nilai

Tradabel Pupuk (Rp/ha)
Urea 264.000
SP-36 140.000
KCl 32.000
ZA 150.000
Obat-obatan -
Pestisida cair (Rp/ha) 100.000
Pestisida padat (Rp/ha) 150.000
Herbisida (Rp/Ha) -
Benih (Rp/ha) 87.500
Bahan bakar (Rp/ha) 97.500
Faktor Tenaga kerja (Rp/ha)
Persiapan lahan 160.000
Pemeliharaan 960.000
Panen 320.000
Perontokan 240.000
Pengeringan -
Modal
Modal kerja (Rp/ha) 160.000
Traktor (Rp/ha) 250.000
Thresher (Rp/ha) 52.500
Lahan (Rp/ha) -
Output Total Pendapatan (Rp/ha) 5.784.000
Total Biaya (tidak termasuk lahan) (Rp/ha) 3.163.500
Keuntungan (tdk termasuk lahan) (Rp/ha) 2.620.500
Keuntungan bersih (termasuk lahan) (Rp/ha) -



Bab 5
Distorsi Kebijakan dan Kegagalan Pasar
Jenis-jenis hasil analisis yang mungkin terjadi telah diuraikan pada tiga bab terdahulu. Tingkat keuntungan dihitung dengan menerapkan identitas keuntungan, sementara efek divergensi dihitung dengan menerapkan identitas divergensi. Keuntungan privat, yang didefinisikan sebagai D = A – (B + C), mengukur daya saing pada tingkat harga privat (harga aktual). Keuntungan sosial, yang didefinisikan sebagai H = E – (F + G), mengukur efisiensi (atau keunggulan komparatif) pada tingkat harga sosial (harga efisiensi).
Bab ini memfokuskan diri pada identifikasi dan interpretasi efek divergensi. Suatu divergensi akan menyebabkan harga aktual berbeda dengan harga efisiensi. Divergensi timbul karena salah satu dari dua sebab, yaitu kegagalan pasar atau distorsi kebijakan.
Kegagalan pasar terjadi apabila pasar gagal menciptakan suatu competitive outcome dan harga efisiensi. Jenis kegagalan pasar yang umum adalah monopoli, externality, dan pasar faktor produksi yang tidak sempurna. Kebijakan yang distortif adalah intervensi pemerintah yang menyebabkan harga pasar berbeda dengan harga efisiensinya. Pajak/subsidi, hambatan perdagangan, atau regulasi harga bisa menimbulkan divergensi. Kebijakan yang distortif umumnya dilakukan dalam rangka mencapai tujuan non-efisiensi (pemerataan atau ketahanan (pangan)).
Output Transfer Dalam Policy Analysis Matrik
Divergensi pada harga output, menyebabkan pendapatan privat (A) berbeda dengan pendapatan sosial (E),serta terjadinya output transfer (I = (A – E)). Output transfer diilustrasikan pada Gambar 5.1. Divergensi bisa positif (menyebabkan timbulnya implisit subsidi atau transfer sumberdaya yang menambah keuntungan sistem) atau negatif (menyebabkan implisit pajak atau transfer sumberdaya yang mengurangi keuntungan sistem).


Gambar 5.1. Output Transfer dalam Policy Analysis Matrix

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Privat A
Sosial I
Efek Divergensi I
Sebagai contoh, pada saat ini Indonesia menerapkan tarif impor beras, yang menyebabkan harga beras domestik 25 persen lebih tinggi dari harga dunia (harga efisiensi). Kebijakan yang distortif ini menyebabkan positif divergensi (I), dan efek divergensinya adalah selisih antara harga domestik (A) dan harga sosial yaitu harga impor (E). Dengan kata lain, tarif impor menyebabkan implisit subsidi kepada produksen padi/beras karena hal ini menyebabkan harga beras domestik lebih tinggi dibandingkan dengan harga tanpa kebijakan tersebut. Dalam contoh ini, sebagian dari divergensi disebabkan oleh risk premuim yang harus dihadapi oleh pedagang dan sisanya disebabkan oleh tarif impor (seperti telah didiskusikan pada Bab 1).
Interpretasi Output Transfers
PAM entry untuk output transfer adalah I = (A – E). Satuan atau unit yang digunakan untuk setiap entry pada Tabel PAM disebut numeraire. Semua entry dalam PAM, termasuk besaran untuk output transfer, dibuat dalam satuan mata uang dalam negeri (Rupiah) per kilogram (atau per ton) komoditas utama yang dihasilkan (atau di jual). Misalnya, untuk membandingkan sistem produksi padi di Indonesia satuan yang digunakan adalah Rupiah per kilogram beras pada tingkat penggilingan, atau Rupiah per kilogram Gabah Kering Panen (atau Gabah Kering Giling) di tingkat petani.
Rasio, suatu ukuran yang bebas nilai mata uang ataupun jenis komoditas, digunakan untuk membandingkan output atau produk yang berbeda (misalnya, padi dengan tebu). Rasio yang dibuat untuk mengukur output transfer disebut Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO), sebuah istilah yang diambil dari literatur perdagangan internasional. NPCO = A/E. Rasio ini menunjukkan seberapa besar harga domestik (harga privat) berbeda dengan harga sosial. Bila NPCO lebih besar dari satu, berarti harga domestik lebih tinggi dari harga impor (atau ekspor) dan berarti sistem usahatani yang sedang diteliti menerima proteksi. Bila NPCO lebih kecil dari satu, harga domestik lebih rendah dari harga dunia berarti harga domestik di disproteksi. Dalam situasi tidak ada policy transfer (yakni, bila I sama dengan nol), harga domestik tidak akan berbeda dengan harga dunia, dan NPCO akan sama dengan satu.
Analis PAM harus meneliti secara hati-hati dalam menentukan ada atau tidaknya kegagalan pasar – monopoli atau externality – yang mempengaruhi pasar output. Studi-studi tentang sistem pertanian di negara berkembang yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa kegagalan pasar yang signifikan yang mempengaruhi pasar output jarang terjadi. Monopoli yang ditemukan di lapangan umumnya diciptakan oleh kebijakan pemerintah.
Sebaliknya, sebagian besar output transfer terjadi karena kebijakan yang distortif. Salah satu sumber distorsi adalah kebijakan harga – hambatan perdagangan atau pajak/subsidi – yang diterapkan untuk mencapai tujuan non-efisiensi. Penyebab kedua dari output transfer adalah disequilibrium nilai tukar yang terjadi sebagai akibat dari kebijakan makroekonomi. Harga efisiensi dari output adalah harga dunia untuk barang yang sejenis. Kebijakan yang distortif menyebabkan harga domestik berbeda dengan harga efisiensinya, dan penetapan nilai tukar yang salah akan menyebabkan konversi harga dunia kedalam harga domestik menjadi salah pula.
Contoh Output Transfers
Ilustrasi tentang output transfer untuk sistem usahatani padi varitas unggul di Indonesia disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Contoh Output Transfer

Pendapatan (rupiahs per ha)
Privat 7,230,000 A
Sosial 5,784,000 E
Divergensi 1,446,000 I

I A-E 1,446,000
NPCO A/E 1.25

Pada contoh diatas, sistem usahatani hanya menghasilkan satu jenis output yaitu beras. Nilai beras yang dihitung pada harga privat (Rp. 7.230.000 per hektar) sekitar 25 persen lebih tinggi dari nilai sosialnya (Rp. 5.784.000 per hektar). Output transfer (Rp. 1.446.000 per hektar) disebabkan oleh specific import tariff sebesar Rp. 430/kilogram beras, atau setara dengan tarif sebesar 25 persen.
Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) atau A/E adalah 1,25. Artinya, karena tarif impor beras maka nilai total output 25 persen lebih tinggi dari yang seharusnya, yakni apabila tidak ada kebijakan tarif impor tersebut.

Tradabel Input Transfer dalam Policy Analysis Matrix
Divergensi pada harga input tradabel menyebabkan biaya input tradabel privat (B) berbeda dengan biaya sosialnya (F), serta terjadinya transfer input tradabel (J = (B – F)), seperti disajikan pada Gambar 5.2. Divergensi ini bisa positif (menyebabkan suatu implisit pajak atau transfer sumberdaya keluar dari sistem) atau negatif (menyebabkan implisit subsidi atau transfer sumberdaya kedalam sistem).
Gambar 5.2. Transfer Input Tradabel dalam Policy Analisis Matrix

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Privat B
Sosial F
Efek Divergensi J
Subsidi atas pestisida, misalnya, berarti petani hanya akan membayar sebesar (B), sebagian dari biaya yang seharusnya (F). Pemerintah harus membayar sisanya (J) sebagai subsidi pestisida. J = (B – F) akan negatif karena B lebih kecil dari F sebesar subsidi yang diberikan. Suatu subsidi yang mengurangi biaya input dengan sendirinya akan dimasukkan kedalam Tabel PAM sebagai negative entry dalam baris efek divergensi (baris ketiga).
Hal sebaliknya akan terjadi dalam kasus pajak atas input tradabel. Pajak atas bahan bakar, misalnya, akan menyebabkan biaya bahan bakar yang harus dibayar petani (B) akan melebihi opportunity costnya yaitu harga dunia (F) sebesar pajak yang dibebankan (J), dan J = (B – F) akan positif.
Interpretasi Tradable Input Transfers
PAM entry untuk tradable input transfers adalah J = (B – F). Interpretasi tradabel input transfers adalah sama seperti tradable output transfer karena keduanya didasarkan pada perbandingan antara harga privat (harga aktual) dengan harga sosial (harga dunia).
Rasio, yang bebas dari satuan mata uang atau jenis komoditas, digunakan untuk membandingkan jenis input tradabel yang berbeda (misalnya pupuk dengan bahan bakar). Rasio untuk mengukur transfer input tradabel adalah Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI), istilah ini juga diambil dari literatur perdagangan internasional. NPCI = B/F. Rasio ini menunjukkan seberapa besar harga domestik dari input tradabel berbeda dengan harga sosialnya. Bila NPCI lebih besar dari satu, biaya input domestik lebih mahal dari biaya input pada tingkat harga dunia. Dengan kata lain, sistem seolah-olah dibebani pajak oleh kebijakan yang ada. Bila NPCI lebih kecil dari satu, harga domestik lebih rendah dari harga dunia, dan sistem seolah-olah disubsidi oleh kebijakan yang ada. Apabila tidak ada transfer (yakni, bila J sama dengan nol), harga input domestik dan harga dunia tidak akan berbeda, dan NPCI akan sama dengan satu.
Rasio yang kedua, Effective Protection Coefficient (EPC), bisa dihitung langsung dari nilai-nilai yang ada di Tabel PAM. Rasio ini membandingkan nilai tambah pada tingkat harga domestik (A – B) dengan nilai tambah pada tingkat harga dunia (E – F). EPC = (A – B)/(E – F). Tujuan dari EPC adalah menunjukkan efek transfer gabungan yang disebabkan oleh sebuah kebijakan (policy transfer), baik transfer output tradabel maupun maupun transfer input tradabel. EPC merupakan bentuk lain dari Effective Rate of Protection (ERP), sebuah ukuran distorsi perdagangan yang umum dipakai. ERP = (EPC – 1) x 100%.
Analis PAM harus menelaah secara hati-hati atas ada atau tidaknya kegagalan pasar – monopoli atau externatlity – yang mempengaruhi pasar input tradabel. Studi yang telah dilakukan di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa kegagalan pasar yang cukup signifikan yang mempengaruhi input tradabel jarang terjadi. Seperti halnya pada output tradabel, kebanyakan monopoli terjadi karena kebijakan pemerintah, bukan cartel yang dibentuk oleh kalangan swasta.
Dengan kata lain, sebagian besar transfer input tradabel disebabkan oleh kebijakan yang distortif. Sama halnya dengan output tradabel, dua sumber divergensi yang mempengaruhi harga input tradabel adalah kebijakan harga (hambatan perdagangan atau pajak/subsidi) dan disequilibrium nilai tukar.
Contoh Tradable Input Transfers
Sebuah ilustrasi berkenaan dengan transfer input tradabel pada usahatani padi di indonesia disajikan pada Tabel 5.4. Pada contoh tersebut, sistem usahatani padi menggunakan tiga jenis input tradabel yaitu pupuk, obat-obatan (chemicals) dan lainnya (benih dan bahan bakar).


Tabel 5.4. Contoh Transfer Input Tradabel

Biaya Input Tradabel (Rp/ha)
Pupuk Obat-obatan Lainnya Total
Privat 586,000 195,000 185,000 966,000 B
Sosial 586,000 250,000 185,000 1,021,000 F
Divergensi - (55,000) - (55,000) J

I B-F (55,000)
NPCI B/F 0.95
Biaya obat-obatan (insektisida dan herbisida) pada tingkat harga privat (Rp. 195.000 per hektar) jauh lebih kecil dari biaya obat-obatan pada tingkat harga sosial (Rp. 250.000 per hektar). Seluruh transfer negatif input tradabel (-Rp. 55.500 per hektar) disebabkan oleh subsidi atas obat-obatan sekitar 28 persen.
Untuk seluruh input tradabel, total policy transfer dari input tradabel (J) adalah Rp. 55.500 per hektar. Nominal Protection Coefficient on Inputs (NPCI) adalah B/F atau 195.000/250.000 = 0,78. Karena subsidi yang diberikan atas obat-obatan, total biaya input tradabel hanya 78 persen dari biaya seharusnya, seandainya tidak ada kebijakan.
Factor Transfer dalam Policy Analysis Matrix
Divergensi bisa mempengaruhi harga faktor domestik (tenaga kerja terampil, tenaga tidak terampil, modal, dan lahan). Divergensi pada pasar faktor domestik menyebabkan harga privat faktor domestik (C) berbeda dengan harga sosialnya (G) dan dengan sendirinya menimbulkan transfer faktor domestik (K = (C – G)). Transfer faktor domestik diilustrasikan pada Gambar 5.3. Sama halnya dengan divergensi yang mempengaruhi biaya input tradabel, divergensi faktor domestik juga bisa positif (menyebabkan terjadinya implisit pajak atau transfer sumberdaya keluar sistem) atau negatif (menyebabkan terjadinya implisit subsidi atau transfer sumberdaya kedalam sistem).
Gambar 5.3. Transfer Faktor Domestik dalam Policy Analisis Matrix

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Privat C
Sosial G
Efek Divergensi K

Interpretasi Factor Transfers
PAM entry untuk transfer faktor domestik adalah K = (C – G). Divergensi di pasar faktor domestik timbul sebagai akibat kegagalan pasar maupun distorsi kebijakan.
Studi-studi sistem pertanian di negara-negara berkembang yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa kegagalan pasar yang signifikan pada pasar faktor domestik amat umum terjadi. Oleh karena itu, peneliti harus berasumsi bahwa pasar faktor domestik adalah tidak sempurna kecuali pengujian yang seksama menunjukkan hal sebaliknya, sehingga harga privat faktor merupakan penduga yang dapat dipertanggung-jawabkan bagi harga sosial faktor. Pendekatan untuk mengidentifikasi ketidaksempurnaan pasar faktor diuraikan pada bab 4.
Transfer faktor domestik juga bisa timbul sebagai akibat kebijakan yang distortif. Distorsi yang terjadi di pasar tenaga kerja dan modal timbul karena adanya pajak atau subsidi (misalnya pajak tunjangan pensiun yang dibebankan kepada upah atau subsidi kredit), regulasi harga (misal, upah minimum atau tingkat bunga tertinggi), atau kebijakan ekonomi makro yang distortif (misal, kebijakan moneter yang bersifat inflationary). Cara untuk mengidentifikasi distorsi kebijakan pasar faktor domestik juga telah dibahas pada bab 4.
Contoh Faktor Transfer
Sebuah ilustrasi tentang transfer faktor domestik dalam sistem usahatani padi di Indonesia disajikan pada tabel 5.3. Pada contoh tersebut, usahatani padi menggunakan dua jenis input faktor domestik yaitu tenaga kerja dan modal. Divergensi yang terjadi pada pasar tenaga kerja tidak terampil di pedesaan Indonesia tidak signifikan seperti dijelaskan pada bab 4. Oleh karena itu, tingkat upah privat tenaga tidak terampil dianggap sebagai penduga yang baik untuk tingkat upah sosial nya.
Tabel 5.3. Contoh Transfer Faktor Domestik

Biaya Faktor Domestik (Rp/ha)
Tenaga Kerja Modal Total
Privat 1,680,000 402,500 2,082,500 C
Sosial 1,680,000 462,500 2,142,500 G
Divergensi - (60,000) (60,000) K

Subsidi atas biaya modal lebih bersifat implisit. Implisit subsidi timbul karena social opportunity cost dari modal kerja pada contoh diatas adalah sebesar 24 persen per tahun (8 persen per musim) sementara tingkat bunga modal kerja privat per tahun hanya 15 persen (5 persen per musim). Transfer faktor domestik atas modal merupakan subsidi sebesar 15 persen dari total biaya modal, atau Rp. 60.000 per hektar. Faktor transfer bersih merupakan subsidi sebesar 3 persen dari total biaya faktor. Subsidi kredit tersebut tidaklah terlalu besar dibandingkan dengan total biaya.
Transfer Bersih (Net Transfer) dalam Policy Analysis Matrix
Positif transfer output (I) menciptakan subsidi pada sebuah sistem usahatani (karena akan menyebabkan pendapatan yang lebih tinggi), sementara negatif transfer input tradabel (J) dan transfer faktor domestik (K) mencerminkan adanya subsidi (karena merendahkan biaya produksi). Sama halnya dengan itu, negatif output transfer sama dengan membebankan pajak kepada sistem, sementara positif input tradabel dan faktor transfer sama dengan pajak. Transfer bersih (L), seperti terlihat pada Tabel PAM dalam Gambar 5.4., adalah penjumlahan dari semua efek transfer, baik positif maupun negatif, atas pendapatan maupun biaya.
Gambar 5.4. Net Transfer dalam Policy Analisis Matrix

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Privat A B C D
Sosial E F G H
Efek Divergensi I J K L

Interpretasi dari Transfer Bersih
Transfer bersih (L) diperoleh dengan menerapkan salah satu dari dua PAM indentitas. Dilihat dari identitas keuntungan, L = (I – I – K). Transfer bersih adalah penjumlahan dari transfer output, transfer input tradabel, dan transfer faktor domestik. Dilihat dari identitas divergensi, L = (D – H). Transfer bersih menunjukkan selisih antara keuntungan privat dan keuntungan sosial. Apabila sebuah kebijakan mampu menghilangkan kegagalan pasar, dan apabila seluruh kebijakan yang distortif dicabut, maka divergensi akan hilang dan transfer bersih akan nol. Transfer bersih juga akan bernilai nol apabila distorsi dalam harga output terhapus oleh distorsi pada harga input dengan nilai yang sama namun dengan tanda yang berbeda.
Perhitungan dua rasio akan berguna ketika kita ingin membandingkan dua hasil PAM yang memproduksi komoditas yang berbeda. Profitability coefficient (PC) mengukur dampak dari seluruh transfer atas keuntungan privat. PC sama dengan rasio antara keuntungan privat dan keuntungan sosial, atau PC = D/H = (A – B – C)/(E – F – G). PC dihitung dengan menggunakan data yang sama dengan ketika menghitung tranfer bersih (L = (D – H)) sehingga memungkinkan kita untuk membandingkan transfer bersih diantara sistem yang berbeda. PC juga merupakan perluasan dari EPC dengan memasukkan biaya faktor (bersama-sama dengan pendapatan dan biaya input tradabel).
Subsidy Ratio to Producers (SRP) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seluruh efek transfer. SRP adalah ukuran proteksi yang disetarakan dengan tarif atas output (output tarif equivalent). Dengan kata lain SRP adalah ukuran seluruh transfer efek bila seluruh transfer dilakukan melalui tarif impor atas output. Rasio ini merupakan perbandingan antara transfer bersih dengan nilai output pada tingkat harga dunia, atau SRP = L/E. SRP menunjukkan sejauh mana pendapatan dari sistem meningkat atau menurun karena pengaruh transfer. Bila kegagalan pasar tidak terlalu berarti, maka SRP memperlihatkan dampak bersih dari kebijakan yang distortif atas sistem usahatani.
Contoh dari Transfer Bersih
Sebuah ilustrasi tentang transfer bersih dari usahatani padi di indonesia disajikan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4. Net Transfer, Koefisien Keuntungan, dan Subsidi Ratio to Producer dalam Sistem Perberasan Indonesia

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Tradabel Faktor Domesik
Privat 7,230,000 966,000 2,082,500 4,181,500
Sosial 5,784,000 1,021,000 2,142,500 2,620,500
Divergensi 1,446,000 (55,000) (60,000) 1,561,000 -

EPC (A-B)/(E-F) 1.32
NPCI B/F .95
NPCO A/E 1.25
PC D/H 1.60
SRP L/E 0.27
Dihitung pada tingkat harga sosial, sistem usahatani padi di Indonesia menguntungkan meski tanpa ada kebijakan apapun (H = Rp. 2.620.500 per hektar). Transfer bersih adalah penjumlahan seluruh divergensi (L = (I – J – K)) juga merupakan selisih antara keuntungan privat dan keuntungan sosial (L = (D – H)). Transfer bersih dari sistem usahatani padi pada contoh diatas, Rp. 1.561.000 per hektar, adalah penjumlahan dari transfer output (Rp. 1.446.000 per hektar) yang disebabkan oleh tarif impor beras, transfer input tradabel (Rp. 55.000 per hektar) sebagai akibat dari subsidi obat-obatan, dan transfer faktor domestik (Rp. 60.000 per hektar) yang timbul sebagai akibat ketidaksempurnaan pasar modal kerja. Transfer bersih juga merupakan selisih antara keuntungan privat dan keuntungan sosial, atau Rp. 4.181.500 – Rp. 2.620.500 = Rp. 1.561.000.
Profitability Coefficient (PC) yaitu rasio antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial, atau PC = D/H, adalah Rp. 4.181.500/Rp.2.620.000 = 1,6. Transfer bersih sebesar Rp. 1.561.000 menyebabkan keuntungan profit satu setengah kali lebih besar dari yang seharusnya, seandainya tidak ada policy transfer. Maka menjadi pertanyaan, mengapa pengambil kebijakan di Indonesia masih harus melaksanakan kebijakan yang membantu sistem pertanian meski tanpa bantuan policy transfer apapun sistem tersebut telah sangat menguntungkan.
Subsidi Ratio to Producers (SRP), rasio antara transfer bersih terhadap pendapatan pada tingkat harga sosial, atau L/E, adalah Rp. 1.561.000/Rp. 5.784.000 = 0.27. Artinya, transfer bersih sebesar itu akan terjadi dengan tarif impor beras sebesar 27 persen bila tidak ada divergensi lain. Seandainya tidak ada divergensi yang mempengaruhi input tradabel maupun faktor domestik, maka untuk memelihara tingkat transfer bersih sebesar Rp. 1.625.500 per hektar NPCO cukup meningkat dari 1,25 menjadi 1,27. Hasil ini menunjukkan bahwa hampir seluruh subsidi untuk produsen beras bersumber dari kebijakan tarif impor, dan sangat kecil yang bersumber dari subsidi obat-obatan maupun implist subsidi untuk biaya modal.


Bab 6
Analisis Benefit-Cost
Budget usahatani dan analisis PAM yang diuraikan pada bab-bab sebelumnya digunakan untuk menentukan tingkat profitabilitas dan efisiensi sistem usahatani padi di Indonesia. Dengan sedikit tambahan data pada data yang digunakan pada bab 3 dan 4, metode PAM yang sama juga dapat digunakan untuk mengevaluasi feasibilitas ekonomi dari sebuah investasi. Dua informasi tambahan diperlukan untuk melakukan analisis ini, yaitu dampak investasi terhadap hubungan input-output usahatani, dan biaya investasi.
Analisis Benefit-Cost dalam PAM
Empat langkah untuk menghitung benefit-cost (B-C) rasio sebuah investasi dalam sistem usahatani padi di Indonesia:
1. Kumpulkan data untuk membuat tabel input-output yang baru. Dengan menggunakan harga privat dan harga sosial yang telah ada, buat tabel PAM yang baru.
2. Estimasi setiap komponen biaya dan total biaya investasi pada tingkat harga privat dan harga sosial.
3. Kurangkan tingkat profitabilitas (privat dan sosial) PAM yang lama dari tingkat profitabilitas PAM yang baru untuk menentukan pertambahan benefit sebagai akibat investasi tersebut.
4. Bagikan pertambahan benefit kepada biaya (keduanya harus di diskonto (discount) terlebih dahulu) untuk memperoleh benefit-cost rasio, baik privat maupun sosial. Benefit-cost rasio yang lebih besar dari satu berarti bahwa pelaksanaan proyek (investasi) tersebut menguntungkan.
Pertama-tama, lakukan keempat langkah diatas untuk rentang waktu satu periode, dimana benefit dan biaya terjadi pada tahun yang sama, kemudian baru dilakukan pada rentang waktu yang lebih lama (multi-period) dimana baik benefit maupun biaya terjadi selama rentang waktu tersebut. Untuk menghitung nilai kedalam waktu saat ini (present value) maka setiap elemen dari analisis (baik benefit maupun cost) harus di diskonto sebagai cerminan bahwa nilai rupiah yang diperoleh saat ini mempunyai nilai lebih besar dibandingkan dengan jumlah rupiah yang sama yang akan diterima atau dibayarkan di kemudian hari. (Rupiah yang diperoleh saat ini bisa disimpan di bank dan memperoleh bunga, oleh karena itu rupiah yang diperoleh saat ini lebih besar nilainya dengan yang diperoleh di kemudian hari, yang tidak akan mendapatkan bunga).
Rumus yang digunakan untuk mendiskonto adalah ∆D/(1+i)t, dimana ∆D adalah selisih profitabilitas dari kedua PAM, i adalah tingkat diskonto (discount rate), dan t adalah waktu, dihitung sejak proyek dimulai. Nilai yang terjadi pada saat t masih kecil (tahap awal dari proyek) akan mengalami diskonto yang tidak terlalu besar dibandingkan dengan ketika t besar (akhir proyek). Umumnya, biaya yang muncul di awal proyek akan mengalami diskonto yang tidak terlalu besar dibandingkan dengan benefit, karena benefit akan diterima bertahun-tahun kemudian. Artinya, seandainya proyek tidak dapat diselesaikan pada waktunya, maka benefit-cost yang terjadi akan jauh lebih rendah dari apa yang ditetapkan oleh perencana proyek.
Analisis Benefit-Cost Periode Tunggal (Single Period Benefit-Cost Analysis)
PAM yang lama dikenal dalam literatur project appraisal sebagai kasus “tanpa proyek”, yang menunjukkan apa yang akan terjadi bila tidak ada intervensi atas sistem usahatani. Yang kedua, PAM “dengan proyek” yang ditunjukkan dengan tanda aksen (‘) pada Tabel 6.1 memperhitungkan efek dari perubahan produktivitas yang timbul sebagai akibat tambahan penggunaan pupuk dan pestisida. Gambar 6.1 menjelaskan cara penghitungan single-period benefit-cost rasio atas penggunaan input seperti pupuk dan obat-obatan. Pada contoh single-period, baik biaya investasi maupun pendapatan dihasilkan dalam tahun yang sama.
Incremental benefit dari investasi diperoleh dengan mengurangkan keuntungan privat maupun sosial PAM “tanpa proyek” dari PAM “dengan proyek”, menghasilkan ∆D sebagai perubahan dari keuntungan privat, dan ∆H sebagai perubahan dari keuntungan sosial. Kedua incremental benefit tersebut merupakan pembilang (numerator) pada rasio benefit-cost. Biaya pupuk dan obat-obatan, dinilai dalam harga privat dan sosial, merupakan penyebut (denominator) pada rasio. Oleh karena itu, privat benefit-cost rasio adalah ∆D/IP dan sosial benefit-cost rasio adalah ∆H/IS.

Gambar 6.1. Analisis Benefit-Cost Periode Tunggal

Privat
Pendapatan Biaya Keuntungan Biaya
Input Faktor Investasi B-C Ratio
Dengan Project A' B' C' D'
Tanpa Project A B C D
ΔD IP ΔD/IP
Sosial
Dengan Project E' F' G' H'
Tanpa Project E F G H
ΔH IS ΔH/IS

Contoh perhitungan single-period benefit cost rasio, menggunakan hasil PAM yang diuraikan pada Bab 5, disajikan pada Tabel 6.1. Suatu investasi dengan nilai Rp. 500.000 dalam bentuk investasi jangka pendek seperti penggunaan pupuk, bahan bakar, benih, obat-obatan, akan menghasilkan kenaikan output sebesar 1.000 kilogram per hektar. Tambahan pendapatan bersih privat adalah Rp. 1.205.000, dan benefit-cost rasionya adalah 2.41. Dinilai pada tingkat harga sosial, tambahan pendapatan bersih adalah sebesar Rp. 964.000 dan benefit-cost rasionya adalah 1.93. Perbedaan kedua benefit-cost rasio tersebut diakibatkan oleh kebijakan perdagangan dan subsidi yang telah diuraikan pada Bab 5.
Tabel 6.1. Analisis Benefit-Cost Periode Tunggal

Privat
Pendapatan Biaya Keuntungan Biaya
Input Faktor Investasi B-C Ratio
Dengan Proyek 7,230,000 966,000 2,082,500 4,181,500
Tanpa Proyek 6,025,000 966,000 2,082,500 2,976,500
1,205,000 500,000 2.41
Sosial
Dengan Proyek 5,784,000 1,021,000 2,142,500 2,620,500
Tanpa Proyek 4,820,000 1,021,000 2,142,500 1,656,500
964,000 500,000 1.93



Analisis Benefit-cost Multi Periode (Multi-period Benefit-Cost Analysis)
Sebagian besar proyek melibatkan investasi dengan rentang waktu yang panjang. Biasanya, investasi di sektor pertanian, misalnya irigasi pompa, fasilitas pemasaran, atau kandang ternak, memberikan hasil yang kecil atau bahkan tidak sama sekali pada awal periode. Aliran benefit berlangsung untuk waktu yang panjang di masa yang akan datang. Gambar 6.2. menggambarkan aliran biaya dan benefit dari proyek. Pada awalnya, aliran benefit bersih (tambahan benefit plus biaya investasi) negatif, karena biaya investasi mendominasi aliran dana. Ketika biaya menurun dan benefit meningkat, keadaan berbalik, dan aliran dana (cash flow) menjadi positif. Cash-flow harus di diskonto dan kemudian dijumlahkan untuk menghitung benefit-cost rasio dari proyek tersebut.
Gambar 6.2. Aliran Biaya dan Pendapatan (Benefit and Cost)
Selama Masa Proyek


















Menghitung Benefit-Cost Rasio Terdiskonto (Discounted Benefit-Cost Ratio)
Contoh PAM multi periode pada Tabel 6.2. memperlihatkan dampak penerapan diskonto atas private benefit-cost ratio. Bila sebuah investasi senilai Rp. 5.000.000 dilakukan dalam model periode tunggal (single-period), dengan keuntungan yang sama seperti pada contoh sebelumnya, akan menghasilkan B-C rasio sebesar 0.24. Dengan B-C rasio sebesar itu, sudah jelas proyek tidak layak (feasible) untuk dilaksanakan. Namun, seperti apa yang disajikan pada tabel 6.2. kegiatan investasi tersebut ternyata meningkatkan kualitas pengelolaan air dengan tanah yang semakin rata, galengan yang semakin kokoh, dan drainase yang semakin baik. Diasumsikan bahwa lahan dapat ditanami tiga kali setahun. Pada musim ketika investasi sedang dilakukan, tidak ada produksi yang dihasilkan. Namun, dalam 20 musim berikutnya (kurang lebih selama 7 tahun), peningkatan keuntungan akan diperoleh tanpa harus melakukan tambahan investasi. Dengan cara evaluasi periode tunggal yang sederhana keuntungan dan biaya investasi seperti yang digambarkan pada tabel 6.2. akan menghasilkan angka benefit-cost rasio sekitar 4.8 (Rp. 24.100.000/Rp. 5.000.000).
Dengan mendiskonto baik pendapatan maupun biaya dengan tingkat diskonto sebesar 15 persen (atau 5 persen per periode atau musim) seperti disajikan pada tabel 6.2. kegiatan investasi akan menghasilkan benefit-cost rasio sebesar 3.0. Biaya, karena timbul pada tahun pertama proyek, di diskonto dengan nilai potongan yang kecil. Faktor diskonto pada tahun tersebut hanya 0.9523. Sebalikna, benefit pada periode ke 21 di diskonto dengan nilai potongan yang besar karena timbul lama di kemudian hari. Faktor diskonto pada saat itu adalah 0.3589. Hasilnya adalah nilai B-C rasio yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan perhitungan tanpa diskonto.
Manfaat yang diperoleh karena perbaikan sistem pengairan mungkin akan berlangsung selama satu dekade atau lebih. Namun, proses diskonto membuat nilai manfaat menjadi amat kecil dan akan memberikan dampak yang amat kecil pada jumlah benefit keseluruhan. Sebagai contoh, dengan periode 10 tahun (30 periode), dengan menggunakan tingkat 5 persen per musim, nilai faktor diskonto akan menjadi 0.2313. Lima belas tahun dengan tiga kali tanam setahun akan menghasilkan faktor diskonto sebesar 0.1113. Pelajaran yang dapat diambil dari proses diskonto adalah bahwa sebagian besar benefit dari proyek harus dihasilkan pada periode 10 tahun pertama (30 periode) agar dampak benefitnya masih ada nilainya.


Tabel 6.2. Analisis Benefit-Cost Multi Periode (Harga Privat)

Pendapatan Biaya Keuntungan Biaya Cash
Input Faktor Investasi B-C Ratio Flow
Dengan Proyek 7,230,000 966,000 2,082,500 4,181,500 (IRR)
Tanpa Proyek 6,025,000 966,000 2,082,500 2,976,500
1,205,000 5,000,000 0.24
Tdk terdiskonto Terdiskonto
Periode 1 - - 4,761,905 (5,000,000)
2 1,205,000 1,092,971 1,205,000
Tingkat Diskonto 5% 3 1,205,000 1,040,924 1,205,000
4 1,205,000 991,356 1,205,000
5 1,205,000 944,149 1,205,000
6 1,205,000 899,190 1,205,000
7 1,205,000 856,371 1,205,000
8 1,205,000 815,591 1,205,000
9 1,205,000 776,754 1,205,000
10 1,205,000 739,765 1,205,000
11 1,205,000 704,539 1,205,000
12 1,205,000 670,989 1,205,000
13 1,205,000 639,037 1,205,000
14 1,205,000 608,607 1,205,000
15 1,205,000 579,626 1,205,000
16 1,205,000 552,024 1,205,000
17 1,205,000 525,738 1,205,000
18 1,205,000 500,702 1,205,000
19 1,205,000 476,859 1,205,000
20 1,205,000 454,152 1,205,000
21 1,205,000 432,526 1,205,000
24,100,000 14,301,870 4,761,905 3.0 23.8%

Data urut waktu (time series) seperti disajikan pada Tabel 6.2. memperlihatkan aliran dana yang di diskonto. Algoritma yang tersedia pada software spreadsheet akan mempermudah perhitungan dan langsung bisa mengahsilkan nilai Net Present Value untuk rentang waktu dan tingkat bunga tertentu. Rumus berikut akan menghasilkan B-C rasio yang diperlukan untuk melakukan evaluasi kelayakan (feasibility) proyek.


Pembilang (numerator) dari rumus diatas menjumlahkan seluruh benefit yang telah didiskonto sedangkan penyebut (denominator) adalah penjumlahan dari biaya yang juga telah didiskonto.
Data pada Tabel 6.3. adalah data Tabel PAM “dengan” dan “tanpa” proyek yang dihitung pada tingkat harga sosial. Sosial B-C rasio terdiskonto, yang dihitung dengan menggunakan rumus NPV untuk benefit dan biaya, adalah 1.89, lebih besar dari 1.0. Internal rate of return (IRR) sebesar 19%, juga lebih besar dari tingkat bunga sosial per musim sebesar 8% (periode yang digunakan dalam perhitungan adalah musim, bukan tahun sehingga tingkat bunga yang digunakan adalah tingkat bunga per musim).
Penyebab utama lebih rendahnya sosial B-C (dibandingkan dengan privat B-C) adalah kebijakan tarif impor beras yang menyebabkan harga privat beras 25 persen lebih tinggi dari harga dunia. Subsidi atas input tradabel dan modal memiliki dampak yang kecil, seperti dijelaskan pada Bab 5.


Tabel 6.3. Analisis Benefit-Cost Multi Periode (Harga Sosial)

Pendapatan Biaya Keuntungan Biaya Cash
Input Factors Investasi B-C Ratio Flow
Dengan Proyek 5,784,000 1,021,000 2,142,500 2,620,500 (IRR)
Tanpa Proyek 4,820,000 1,021,000 2,142,500 1,656,500
964,000 5,000,000 0.19

Periode 1 - 5,000,000 (5,000,000)
2 964,000 964,000
Tingkat Diskonto 8% 3 964,000 964,000
4 964,000 964,000
5 964,000 964,000
6 964,000 964,000
7 964,000 964,000
8 964,000 964,000
9 964,000 964,000
10 964,000 964,000
11 964,000 964,000
12 964,000 964,000
13 964,000 964,000
14 964,000 964,000
15 964,000 964,000
16 964,000 964,000
17 964,000 964,000
18 964,000 964,000
19 964,000 964,000
20 964,000 964,000
21 964,000 964,000
NPV 8,763,606 4,629,630 1.89 19%

Menghitung Internal Rate of Return (IRR)
Rumus yang digunakan untuk menghitung benefit-cost rasio yang didiskonto pada Tabel 6.2. memerlukan angka tingkat diskonto. Analisis sensitivitas atas faktor diskonto dilakukan dengan merubah-rubah tingkat bunga. Pendekatan yang lebih fleksibel, digunakan oleh Bank Dunia dan lembaga internasional lainnya, dilakukan untuk menentukan tingkat diskonto yang menghasilkan benefit terdiskonto sama dengan biaya terdiskonto. Tingkat diskonto ini kemudian dibandingkan dengan biaya modal, baik privat maupun sosial. Bila biaya modal privat dan sosial, yakni tingkat bunga, lebih kecil dari tingkat diskonto, maka proyek dikatakan feasible.
Rumus untuk menghitung IRR adalah seperti di bawah ini:

Bagian pertama dari persamaan diatas adalah penjumlahan benefit terdiskonto sedang bagian keduanya adalah penjumlahan biaya terdiskonto. Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat bunga yang menghasilkan benefit terdiskonto sama dengan biaya terdiskonto. Elemen pertama data urut waktu pada Tabel 6.2. negatif karena pada saat itu benefitnya adalah nol. Setelah itu, benefit adalah keuntungan yang terus bertambah yang dihasilkan dari pengurangan PAM lama (tanpa proyek) atas PAM baru (dengan proyek) dengan hasil yang telah meningkat.
Algoritma yang sama bila diterapkan kepada data benefit dan biaya pada tabel 6.2. (keuntungan privat) akan menghasilkan IRR sebesar 23.8 persen sedang perhitungan untuk data yang ditampilkan pada tabel 6.3. (keuntungan sosial) menghasilakn IRR sebesar 19 persen. Alasan mengapa sosial IRR lebih kecil dari privat IRR adalah sama dengan alasan mengapa sosial B-C rasio lebih kecil dibandingakn dengan privat B-C rasio.
Kedua angka IRR diatas lebih besar dari biaya modal privat dan sosial. Namun, tidak jarang pula sebuah proyek menghasilkan angka yang berbeda untuk kedua ukuran tersebut, yakni privat B-C rasio lebih besar dari satu sedangkan sosial B-C rasio lebih kecil dari satu, atau sebaliknya. Para perencana akan lebih suka menggunakan rasio sosial karena angka tersebut mencerminkan biaya modal ril bagi ekonomi secara keseluruhan. Namun, evaluasi proyek yang didasarkan pada penilaian keuntungan sosial (efisiensi) harus dilakukan secara hati hati. Bila incremantal private profit negatif, maka insentif privat yang dibutuhkan untuk implementasi proyek (meskipun efisien) tersebut tidak memadai. Perbedaan antara private dan social rate of return dari proyek akan menghasilkan perubahan kebijakan yang sama dengan perubahan yang timbul dari hasil analisis PAM sebelumnya yang digunakan sebagai basis perhitungan ini.
Sebagai contoh, seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa perbaikan pengelolaan air meningkatkan produksi sebesar 1.000 kilogram per hektar. Perhitungan harga sosial menghasilkan B-C rasio sebesar 1.9. Karena sistem usahatani padi diproteksi, maka keuntungan privat akan lebih besar dari keuntungan sosial sehingga menghasilkan B-C rasio sebesar 3.0. Dalam contoh ini, privat dan sosial B-C rasio menunjukkan arah yang sama. Para perencana bisa terus melaksanakan proyek ini dengan pertimbangan insentif privat konsisten dengan kelayakan (feasibility) sosial. Namun adakalanya petani dikenakan pajak atas output yang dihasilkannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini bisa menghasilkan sosial B-C rasio yang lebih besar dari satu, sementara privat B-C rasio lebih kecil dari satu. Dalam kasus seperti ini, petani akan memiliki minat yang kecil untuk membelanjakan sumberdaya yang dimilikinya kepada kegiatan proyek tersebut. Tanpa ada perubahan kebijakan yang menghapuskan pajak atas output tersebut maka kegiatan proyek tersebut akan sulit untuk berhasil.

Bab 7
Kegagalan Pasar dan Eksternalitas Lingkungan
(Environmental Externalities)
Pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM) mengidentifikasi divergensi sebagai akibat kegagalan pasar dan distorsi kebijakan yang menyebabkan harga privat (harga aktual) berbeda dengan harga sosial (harga efisiensi). Metode PAM dapat dikembangkan untuk menganalisis isu lingkungan yang menjadi perhatian utama studi tentang alokasi sumberdaya alam. Tujuan dari bab ini adalah menjelaskan analisis PAM berkenaan dengan kegagalan pasar, terutama yang disebabkan oleh eksternalitas lingkungan. Ilustrasi tentang bagaimana menganalisis environmental market failures ini juga disajikan pada bagian komputer tutorial.
Kegagalan Pasar Lingkungan (Environmental Market Failures)
Yang disebut sebagai lingkungan disini adalah penggunaan sumberdaya fisik, seperti tanah, air, dan udara. Kebanyakan kegagalan pasar lingkungan pada sektor pertanian terjadi ketika produsen menggunakan sumberdaya secara tidak tepat karena mereka merasa tidak harus membayar keseluruhan (termasuk biaya sebagai akibat ekternalitas) biaya penggunaan sumberdaya tersebut. Ada dua jenis kegagalan pasar lingkungan – eksternalitas lingkungan dan degradasi lingkungan.
Eksternalitas Lingkungan (Environmental Externalities)
Eksternalitas adalah sebuah bentuk kegagalan pasar. Secara umum, ekternalitas negatif timbul ketika produsen atau konsumen menyebabkan timbulnya biaya bagi orang lain, namun tidak bisa dibebani biaya tersebut. Eksternalitas positif timbul ketika produsen atau konsumen menciptakan manfaat bagi orang lain namun mereka tidak mungkin memperoleh kompensasi atas manfaat yang diciptakannya. Eksternalitas lingkungan memenuhi kriteria atau pengertian umum untuk disebut sebagai kegagalan pasar eksternal. Eksternalitas lingkungan merupakan hal penting berkenaan dengan penggunaan sumberdaya fisik, terutama tanah dan air untuk pertanian.
Sebuah contoh eksternalitas negatif adalah penggunaan pestisida pada usahatani padi di lahan beririgasi. Pestisida digunakan pada tanaman padi, yang pada masa tertentu harus digenangi air. Sisa-sisa bahan kimia dari pestisida tersebut tetap berada dalam air ketika air tersebut dibuang. Orang lain, yang berlokasi di bagian hilir kemudian menggunakan air tersebut untuk minum, irigasi, usaha peternakan, atau beternak ikan di kolam. Para pengguna air yang telah tercemar tersebut akan menanggung biaya bila air tersebut berakibat buruk bagi kesehatan, baik bagi manusia maupun bagi produksi hewan peliharaan. Namun, orang-orang yang terkena dampak negatif dari eksternalitas ini tidak mungkin menagih beban biaya kepada pengguna pestisida di bagian hulu yang telah mencemari air. Dalam kasus ini, pasar telah gagal memasukkan biaya ekternalitas negatif dari pestisida pada biaya produksi padi para petani di bagian hulu. Sehubungan dengan itu diperlukan peranan pemerintah untuk melakukan intervensi guna memperbaiki ekternalitas negatif tersebut.
Degradasi Lingkungan (Environmental Degradation)
Kategori kedua dari kegagalan pasar lingkungan (environmental market failures) adalah degradasi lingkungan (environmental degradation). Degradasi lingkungan berhubungan dengan penggunaan sumberdaya – tanah, air, udara, dan hutan – yang melebihi batas, baik oleh produsen maupun konsumen. Penggunaan yang melebihi batas ini terjadi karena produsen atau konsumen mendapat insentif yang kecil atau bahkan tidak ada sama sekali untuk membatasi ekploitasi sumberdaya alam. Seringkali, dampak negatif aktivitas pertanian akibat ekploitasi berlebihan atas hutan, tanah, dan sumberdaya air atau dampak negatif rumah tangga berkenaan dengan penebangan liar, baru dirasakan di masa yang akan datang. Meskipun mereka mengerti bahwa kegiatan ekploitasi sumberdaya alam ini akan berakibat buruk, mereka menunda kegiatan konservasi bila akibat kerusakan lingkungan ini tidak terasa segera setelah mereka melakukannya selama bertahun-tahun. Eksternalitas lingkungan dampak negatifnya langsung dirasakan sementara degradasi lingkungan dampak negatifnya akan merupakan beban biaya bagi pengguna sumberdaya alam di kemudian hari, termasuk bagi mereka yang terkena beban untuk pemulihan atau pelestarian lingkungan hidup mereka.
Para ekonom yang melakukan analisis atas penggunaan sumberdaya alam menggunakan istilah khusus dalam studi degradasi lingkungan, yaitu apa yang disebut sebagai “user cost”. Dalam istilah ekonomi lingkungan, user cost diartikan sebagai discounted present value dari pendapatan dari penggunaan sumberdaya alam (seperti tanah, air, hutan, dan bahan tambang atau kandungan mineral) yang hilang. Tujuannya adalah untuk mengukur aliran benefit sepanjang waktu dari penggunan sumberdaya alam, bukan hanya benefit yang akan diterima saat ini atau beberapa tahun kemudian. Bila pengguna sumberdaya alam tersebut tahu akan dampak yang akan timbul dari penggunaan sumberdaya saat ini, maka mereka bisa dirangsang melalui kebijakan pemerintah untuk melakukan investasi, seperti melakukan terasering, drainase, atau penghijauan, yang dapat memelihara (konservasi) sumberdaya alam untuk masa datang.
Sebuah contoh yang menggambarkan degradasi lingkungan disajikan pada bagian kedua dari komputer manual tentang environmental PAM. Petani yang mengusahakan padi di lahan irigasi seringkali mengunakan pompa untuk memompa air tanah. Setelah sekian lama, ketersediaan air tanah akan habis dan kemampuan tanah untuk menghilangkan kadar garam akan berkurang. Di masa yang akan datang, ketersediaan air yang berkurang dan salinasi lahan akan berakibat menurunnya produktivitas. Bila dampak negatif ini tidak terjadi dalam waktu yang cukup lama maka petani akan memiliki insentif yang kecil untuk berinvestasi dalam bentuk perbaikan drainase dan konservasi sumberdaya air. Kedaan ini memberikan ruang bagi pemerintah untuk berperan dalam membuat kebijakan untuk memperbaiki kegagalan pasar ini. Kemudian pemerintah bisa memilih untuk melakukan investasi publik dalam bentuk pembangunan irigasi atau drainase atau mungkin pemerintah memutuskan untuk memberikan subsidi kepada petani yang melakukan investasi dalam bentuk drainase.
Sistem Produksi Yang “Unsustainable” Versus “Sustainable”
Kegagalan pasar lingkungan (environmental market failures) menimbulkan sistem produksi pertanian yang tidak berkesinambungan (unsustainable). Sebuah sistem produksi dikatakan unsustainable bila kegiatan usahatani menimbulkan ekternalitas lingkungan negatif (seperti polusi daerah hilir sebagai akibat penggunaan bahan kimia), menimbulkan degradasi lingkungan (salisasi air tanah) atau kekedua-duanya. Biaya produksi sistem usahatani yang unsustainable dinilai terlalu rendah karena sistem ini mengabaikan dampak negatif eksternal (atas pengguna air yang sudah tercemar di bagian hilir) atau degradasi sumberdaya alam jangka panjang (seperti salinasi sumber air).
Dengan dihilangkannya kegagalan pasar lingkungan maka terciptalah sistem produksi pertanian yang berkesinambungan (sustainable). Sebuah sistem produksi dikatakan sustainable apabila kegiatan usahatani sedikit, atau bahkan tidak sama sekali, menimbulkan eksternalitas lingkungan negatif atau degradasi lingkungan. Sebuah sistem produksi bisa menjadi sebuah sistem yang sustainable apabila pemerintah menerapkan kebijakan yang bisa mengoreksi eksternalitas negatif dan degradasi sumberdaya. Suatu sistem produksi yang sustainable memperhitungkan biaya secara penuh karena sistem tersebut memperhitungkan biaya dampak negatif eksternal, serta pengeluaran untuk menghindari terjadinya degradasi sumberdaya alam jangka panjang.
Sebuah contoh sistem pertanian yang unsustainable adalah usahatani padi di lahan irigasi yang menggunakan pestisida yang berlebihan, dan terlibat dalam kegiatan yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan dengan tidak mau melakukan investasi dalam bentuk pembuatan drainase. Sebaliknya, contoh sebuah sistem produksi yang sustainable adalah sistem usahatani padi di lahan irigasi dimana petani menghentikan penggunaan pestisida atau mengurangi tingkat penggunaan pestisida sampai pada tingkat yang tidak membahayakan, serta usahatani yang menyediakan fasilitas drainase yang baik untuk melindungi sumberdaya air agar tetap dapat digunakan di masa yang akan datang. Berapa tingkat penggunaan pestisida yang dapat ditolelir, dan berapa jumlah investasi yang harus dilakukan untuk melakukan konservasi air merupakan isu yang sulit.
Kebijakan Publik Untuk Menghilangkan Eksternalitas Lingkungan (Environmental Externalities)
Terjadinya kegagalan pasar lingkungan (environmental market failures) atau hilangnya pasar (missing market) memberi alasan kepada pemerintah untuk melakukan intervensi dalam upaya mengkoreksi divergensi. Kebijakan yang efisien akan memperbaiki kegagalan pasar atau menghilangkan (atau mengurangi) divergensi yang terjadi antara harga privat dengan harga sosial, sementara kebijakan yang distortif menimbulkan divergensi tersebut, seperti telah diuraikan pada bab 4 dan 5.
Pada dasarnya, pemerintah bisa melaksanakan kebijakan pajak atau subsidi untuk mengkoreksi eksternalitas lingkungan. Biaya yang timbul karena eksternalitas lingkungan, seperti dampak polusi di daerah hilir sebagai akibat penggunaan pestisida di daerah hulu, harus dimasukkan dalam perhitungan biaya dan pendapatan suatu sistem pertanian. Pajak atas penggunaan pestisida harus diterapkan sehingga biaya marjinal privat harus termasuk biaya external, dan sama dengan marjinal benefit sosial (yakni, biaya keseluruhan untuk memproduksi unit terakhir dari sebuah produk harus sama dengan benefit yang diterima dari proses produksi tersebut).
Pada kenyataannya, amatlah sulit menggunakan kebijakan pajak/subsidi untuk mengkoreksi eksternalitas lingkungan. Amatlah sulit untuk mengukur biaya external dengan akurat. Contoh berikut akan menjelaskan mengapa hal tersebut sulit dilakukan. Biaya eksternal penggunaan pestisida adalah resiko atas kesehatan dan hilangnya produksi di daerah hilir sebagai akibat air yang tercemar. Dua jenis biaya tersebut jelas tidak mungkin dihitung. Tanpa estimasi biaya external yang baik, pemerintah akan sulit menentukan dengan tepat besar pajak yang harus dibebankan kepada pengguna pestisida.
Oleh karena itu, pemerintah memilih untuk menerapkan kebijakan alternatif terbaik (the second-best policy) – penetapan standar kuantitatif – untuk membatasi penggunaan input sumber pencemaran lingkungan. Bila biaya kesehatan dan biaya lainnya dianggap sangat mahal, pemerintah harus melarang penggunaan bahan kimia tertentu dalam proses produksi pertanian. Salah satu cara untuk mengatasi masalah dampak negatif penggunaan pestisida adalah melarang penggunaan input tersebut di lahan sawah beririgasi.`Namun, melarang penggunaan input bukan merupakan cara yang efisien kecuali biaya marjinal (termasuk biaya external) sangat mahal dan pendapatan marjinal penggunaan input tersebut amatlah kecilnya. Karena biasanya biaya marjinal sulit diketahui, penentuan tingkat standar kuantitatif untuk mengatur penggunaan input dilakukan secara sembarang (arbitrary). Dalam situasi seperti ini, hal terbaik yang dapat dilakukan adalah mengukur dampak dari berbagai tingkat penggunaan input dan kemudian menduga (berdasarkan pengalaman) berapa besar dampak yang akan terjadi.
Eksternalitas Lingkungan (Environmental Externalities) dalam PAM
Analisis tentang eksternalitas lingkungan dalam kerangka PAM dapat diilustrasikan dalam empat langkah berikut:
1. Langkah pertama adalah membuat tabel PAM untuk sistem usahatani yang unsustainable. Proses produksi dalam sistem ini menimbulkan dampak eksternalitas negatif kepada orang lain, namun produsen mengabaikan biaya external ini.
2. Langkah kedua adalah membuat sustainable PAM untuk sistem usahatani yang sama. Pemerintah memberlakukan kebijakan untuk menghilangkan dampak eksternalitas negatif, entah itu melalui penerapan pajak kepada produsen atas penggunaan input penyebab eksternalitas negatif, memberlakukan standar kuantitaif (kuota) atau bahkan pelarangan penggunaan input tersebut.
3. Langkah ketiga adalah membuat tabel environmental PAM. Environmental PAM memungkinkan kita untuk mengukur divergensi yang disebabkan oleh kebijakan untuk menghapuskan negatif externalities. Tabel ini berisikan perbandingan antara privat entry dari unsustainable PAM dengan sosial entry dari sustainable PAM.
4. Langkah terakhir adalah menghitung biaya “kepatuhan” (cost of compliance). Cost of compliance adalah biaya privat dan sosial untuk menghilangkan eksternalitas negatif, dan menciptakan sistem usahatani yang sustainable. Cost of compliance privat adalah keuntungan produsen yang berkurang, dan cost of compliance sosial adalah pendapatan nasional yang hilang.
Membuat Unsustainable PAM
Usahatani padi menggunakan pestisida untuk mengatasi serangan hama dan penyakit. Namun pestisida ini meninggalkan residu dalam air yang mengalir dan digunakan di daerah hilir. Air yang telah tercemar digunakan untuk minum dan sumber air untuk kolam ikan. Biaya yang harus ditanggung oleh penggunaan air di daerah hilir sebagai akibat air yang sudah tercemar ini tidak diperhitungkan dalam biaya petani padi. Dampak eksternal negatif penggunaan pestisida ini menciptakan sistem produksi padi yang unsustainable.
Pembuatan unsustainable PAM mengikuti enam langkah yang sama seperti langkah yang dilakukan untuk pembuat tabel PAM yang umum:
1. Langkah pertama adalah membuat tabel input-output usahatani (membuat data synthetic atau data langsung dari lapangan). Koefisien teknis dari tabel input-output ini digunakan baik untuk melakukan analisis privat maupun sosial. Entry penggunaan pestisida dan herbsida termasuk dalam tabel input-output koefisien untuk sistem usahatani padi yang unsustainable. Pestisida sebagai obat hama penyakit dan herbisida sebagai sarana penanggulangan gulma mempunyai kontribusi terhadap tingginya hasil produksi. Namun, penggunaan bahan kimia ini menimbulkan eksternalitas negatif di bagian hilir.
2. Langkah kedua adalah membuat tabel harga privat (harga aktual) untuk input dan output. Tabel privat ini berisikan harga untuk setiap input produksi dan output yang ada dalam tabel koefisien input-output (yang dibuat pada langkah pertama). Semua entry ini dinilai dalam mata uang domestik (Rupiah).
3. Langkah ketiga adalah menghitung budget privat (dengan mengalikan koefisien input-output dengan harga privat) dan budget budget sosial (dengan mengalikan koefisien input-output dengan harga sosial)
4. Langkah keempat adalah membuat tabel harga sosial (harga efisiensi) baik untuk input maupun output. Tabel harga sosial berisikan harga dari setiap input maupun output yang tercantum pada tabel koefisien input-output.
5. Langkah kelima adalah menghitung budget sosial. Budget sosial untuk usahatani padi yang unsustainable diperoleh dengan mengalikan koefisien input-output dengan harga sosialnya.
6. Langkah terakhir adalah memasukkan nilai-nilai yang diperlukan dari budget privat dan budget sosial kedalam Matrik PAM untuk menghitung divergensi (baris terakhir dari PAM) sebagai selisih antara harga privat dan harga sosial. Dua baris pertama dari Matrik PAM usahatani padi yang unsustainable diambil dari tabel budget privat dan budget sosial. Baris terkahir, berisikan efek divergensi, diperoleh dengan mengunakan divergensi identitas yaitu baris pertama dikurangi baris kedua, seperti telah dijelaskan pada Bab 2.
Contoh untuk sistem usahatani yang unsustainable disajikan pada Tabel 7.1. Tabel tersebut telah dianalisis secara rinci di Bab 5. Terlihat bahwa divergensi yang besar terjadi karena tarif impor beras yang meningkatkan harga 25 persen diatas harga sosialnya. Divergensi lain yang mempengaruhi biaya produksi adalah subsidi pemerintah atas obat-obatan (chemicals) dan kredit. Namun, divergensi ini nilainya relatif kecil. Dalam unsustainable PAM, subsidi atas obat-obatan mengurangi biaya privat untuk input tradabel sebesar RRp. 55.000 (dari seluruh biaya sosial sebesar Rp. 1.021.000). Biaya kredit yang dibayar petani adalah sebesar Rp. 402.500 per hektar sementara opportunity costnya, secara keseluruhan adalah Rp. 462.500 per hektar. Artinya, telah terjadi implisit subsidi sebesar Rp. 60.000.
Tabel 7.1. Unsustainable PAM (Rp/ha)

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input tradabel Tenaga Kerja Modal
Privat 7,230,000 966,000 1,680,000 402,500 4,181,500
Sosial 5,784,000 1,021,000 1,680,000 462,500 2,620,500
Divergensi 1,446,000 (55,000) - (60,000) 1,561,000

Total subsidi sebesar Rp. 1.561,000 yaitu kelebihan keuntungan privat diatas keuntungan sosial sebesar 59 persen. Namun, seandainyapun policy transfer tersebut tidak terjadi, petani telah memperoleh keuntungan yang lebih dari separuh pendapatannya. Pemerintah mungkin tidak mengetahui tingginya keuntungan sosial yang diperoleh oleh sistem ini. Mungkin biaya lahan, yang termasuk kedalam keuntungan (return to land and management) pada tabel PAM ini, akan mengurangi keuntungan dengan nilai yang cukup besar. Semua kemungkinan tersebut memerlukan telaahan yang lebih teliti untuk dapat menginterpretasikan alasan dibuatnya sebuah kebijakan.
Yang juga perlu ditelaah adalah keputusan pemerintah untuk mensubsidi obat-obatan (chemicals). Subsidi yang besar akan merangsang petani menggunakan pestisida secara berlebihan dan akan memperburuk dampak external. Kebijakan yang lebih “masuk akal” seharusnya akan membatasi, paling tidak, tidak merangsang, penggunaan pestisida dalam sistem unsustainable ini.
Membuat Sustainable PAM
Dalam contoh usahatani padi di lahan beririgasi, pemerintah memutuskan untuk melarang penggunaan pestisida dan petani beralih untuk menggunakan sistem tradisional untuk mengontrol gulma dengan menggunakan bahan alami serta menunda waktu tanam. Sistem produksi ini menghasilkan produksi yang lebih rendah serta penggunaan tenaga kerja yang berbeda – lebih tinggi untuk pengelolaan hama dan penyakit, dan lebih rendah untuk panen dan merontok. Namun, pengguna air di daerah hilir tidak lagi harus menanggung biaya external karena penggunaan pestisida dihentikan, dan dengan sendirinya sistem usahatani padi ini merupakan sistem usahatani yang sustainable.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pembuatan sustainable PAM sama seperti unsustainable PAM. Data input-output dan harga privat serta sosial digunakan untuk menghitung budget privat dan budget sosial, dan data yang relevan pada kedua tabel budget tersebut dimasukkan kedalam dua baris pertama dari tabel PAM.
Beberapa koefisien input-output pada tabel ini berbeda dengan data untuk unsustainable PAM (Tabel 7.1.). Lebih penting lagi, penggunaan pestisida dihapuskan sehingga biaya input untuk pestisida menjadi nol. Produksi menurun 9 persen, dari 6.000 kilogram per hektar menjadi 5.000 kilogram per hektar.
Ketika pemerintah melarang penggunaan pestisida dan menghilangkan eksternalitas negatif, tidak ada perubahan dalam harga, baik harga sosial mapun harga privat, dan baik harga input maupun harga output. Perbedaan budget privat dan budget sosial semata-mata disebabkan oleh perubahan koefisien input-output pada sistem sustainable. Karena produksi menurun, pendapatan privat per hektar menurun dari Rp. 7.230.000 menjadi Rp. 6.627.500, dan pendapatan sosial per hektar menurun dari Rp. 5.784.000 menjadi Rp. 5.302.000. Setelah penggunaan pestisida dilarang, biaya input tradabel baik privat maupun sosial menurun menjadi Rp. 771.000 per hektar.
Hasil untuk sustainable PAM disajikan pada Tabel 7.2. Hasil ini berbeda dengan unsustainable PAM pada dua hal penting. Larangan penggunaan pestisida menghilangkan divergensi yang terjadi pada input. Pemerintah semula memberikan subsidi atas pestisida dengan jumlah yang cukup besar. Tujuan utama dari kebijakan pelarangan penggunaan pestisida sebenarnya adalah menghilangkan biaya external, namun ternyata kebijakan ini juga melakukan penghematan pada anggaran pemerintah yang semula dikeluarkan untuk subsidi.
Tabel 7.2. Sustainable PAM (Rp/ha)

Pendapatan Biaya Keuntungan
Input tradabel Tenaga Kerja Modal
Privat 6,627,500 771,000 1,680,000 402,500 3,774,000
Sosial 5,302,000 771,000 1,680,000 462,500 2,388,500
Divergensi 1,325,500 - - (60,000) 1,385,500

Pemerintah tidak mengubah kebijakan proteksi 25 persen atas produsen beras dan dengan sendirinya menyebabkan terjadinya transfer sumberdaya kepada produsen beras. Oleh karena itu output transfer tetap terjadi (Rp. 1.325.500 diatas pendapatan sosial). Namun jumlah subsidi atas produksi ini menjadi berkurang karena jumlah produksi yang berkurang sebagai akibat dilarangnya penggunaan pestisida.
Namun, meskipun tanpa pestisida ternyata sistem usahatani ini tetap amat menguntungkan. Tanpa proteksi pun, petani padi masih akan menerima keuntungan hampir setengah dari pendapatan sosial, seperti terlihat pada baris sosial dari sustainable PAM.
Membuat Environmental PAM
Environmental PAM memperhitungkan dampak keputusan pemerintah untuk melarang penggunaan pestisida dan oleh karena itu menciptakan sistem yang sustainable. Divergensi dalam environmental PAM mengukur perbedaan antara pendapatan, biaya dan keuntungan privat pada kondisi awal, yaitu sistem yang unsustainable (baris pertama pada unsustainable PAM) dan pendapatan, biaya dan keuntungan sosial pada kondisi setelah ada kebijakan, yaitu sustainable PAM (baris kedua pada sustainable PAM).
Divergensi yang terjadi pada environmental PAM lebih besar, baik dari unsustainable maupun sustainable PAM, sebegai akibat dari hambatan (atau pelarangan) penggunaan input penyebab pencemaran. Perbedaan itu tidak hanya memperhitungkan transfer yang terjadi sebagai akibat proteksi atas beras dan subsidi input, tetapi juga dampak terhadap produksi sebagai akibat perubahan penggunaan pestisida. Ketika pemerintah memutuskan untuk melarang penggunaan pestisida dan membuat sistem menjadi sustainable, keputusan itu akan mengakibatkan produksi beras berkurang karena produktivitas yang menurun. Dengan kata lain, divergensi pada environmental PAM sekaligus menujukkan dampak gabungan dari policy transfer dan produktivitas yang menurun.
Hasil environmantal PAM disajikan pada Tabel 7.3. Ketika pemerintah mengijinkan, bahkan mensubsidi, penggunaan pestisida, produksi mencapai 6.000 kilogram padi per hektar dengan nilai sebesar Rp. 7.230.000 yang 73 persen diantaranya merupakan return to land and management (keuntungan privat).
Tabel 7.3. Environmental PAM (Rp/ha)
Pendapatan Biaya
Input tradabel Tenaga Kerja Modal Keuntungan
Privat (unsustainable) 7,230,000 966,000 1,680,000 402,500 4,181,500
Sosial (sustainable) 5,302,000 771,000 1,680,000 462,500 2,388,500
Divergensi 1,928,000 195,000 - (60,000) 1,793,000

Pemerintah kemudian memutuskan untuk melarang penggunaan pestisida dan menghapuskan eksternalitas negatif yang merugikan pengguna air di bagian hilir, namum pemerintah tidak memutuskan untuk menghentikan proteksi atas produsen beras (output). Pelarangan penggunaan pestisida dan penggunaan sistem produksi yang baru menyebabkan produktivitas padi menurun sebesar 9 persen, dari 6 menjadi 5.5 ton per hektar. Namun, baik keuntungan privat maupun sosial tetap tinggi. Artinya, sistem usahatani yang amat efisien ini tanpa menggunakan pestisidapun tetap layak, meskipun baik keuntungan privat maupun keuntungan sosial menurun dengan tidak digunakannya pestisida.
Perhitungan Biaya Kepatuhan (Cost of Compliance)
Cost of compliance (biaya kepatuhan) berkaitan dengan biaya privat dan biaya sosial untuk menghapuskan eksternalitas negatif dan penciptaan sistem pertanian yang sustainable. Cost of compliance diperoleh dengan membandingkan tingkat keuntungan unsustainable PAM (menggunakan pestisida) dengan sustainable PAM (tanpa pestisida). Cost of compliance privat adalah penurunan keuntungan privat – keuntungan produsen yang berkurang – sebagai akibat dilarangnya penggunaan pestisida. Cost of compliance sosial adalah penurunan keuntungan sosial – pendapatan nasional yang hilang – karena pelarangan pestisida. Tabel Cost of compliance disajikan pada Tabel 7.4.

Tabel 7.4. Biaya Kepatuhan (Cost of Compliance) (Rp/ha)

Unsustainable Sustainable Compliance
Costs
Privat 4,181,500 3,774,000 407,500
Sosial 2,620,500 2,388,500 232,000
Cost of compliance privat adalah dampak pelarangan pestisida atas produsen beras. Apabila petani bisa menggunakan pestisida, mereka memperoleh return to management and land sebesar Rp. 4.181.500 per hektar. Setelah penggunaan pestisida dilarang, return to management and land turun menjadi Rp. 3.774.000 per hektar, sehingga petani menderita kerugian dalam arti berkurangnya keuntungan privat sebesar Rp. 407.500 per hektar. Meskipun petani sudah pasti kecewa dengan hasil ini, namun keuntungan privat yang lebih rendah ini merupakan hasil yang “lebih sehat”, dan kebijakan proteksi pemerintah tetap menimbulkan transfer dari konsumen kepada produsen yang cukup besar.
Cost of compliance sosial adalah menurunnya pendapatan nasional sebagai akibat dari keputusan untuk menghilangkan eksternalitas negatif sehubungan dengan penggunaan pestisida. Pendapatan nasional diukur dengan tingkat keuntungan sosial. Ketika penggunaan pestisida masih diijinkan, produktivitas 6 ton per hektar. Sistem produksi dengan pestisida menghasilkan keuntungan sosial sebesar Rp. 2.620.500 per hektar. Ketika pestisida dilarang, produktivitas menurun menjadi 5,5 ton per hektar. Sistem produksi yang kurang produktif ini menghasilkan keuntungan sosial sebesar Rp. 2.388.500 per hektar. Kerugian pendapatan nasional sebagai akibat dilarangnya pestisida sebesar Rp. 232.000 per hektar atau 10 persen dari keuntungan sosial sebelumnya.
Interpretasi Hasil Environmental PAM
Pemerintah harus menghitung apakah penurunan pendapatan nasional dapat dijustifikasi oleh manfaat yang diterima oleh pengguna air di daerah hilir sebagai akibat hilangnya eksternalitas negatif. Keputusan ini merupakan suatu hal yang tidak mudah. Mengestimasi dampak negatif atas kesehatan dan menurunnya produktivitas orang-orang di derah hilir sebagai akibat menggunakan air yang tercemar merupakan hal yang rumit. Yang paling mungkin dilakukan adalah menduga, meskipun amat kasar, biaya external dan juga benefit yang diterima sebagai akibat hilangnya eksternalitas negatif.
Karena sulitnya menduga benefit yang diterima oleh penduduk di daerah hilir sebagai akibat hilangnya eksternalitas negatif, peneliti biasanya melakukan analisis sensitivitas atas standar kuantitatif penggunaan input yang menyebabkan pencemaran. Pelarangan penggunaan input yang menyebabkan polusi dapat dibenarkan apabila dampak externalnya amat besar sedangkan peningkatan produksi sebagai akibat penggunaan input tersebut kecil. Oleh karena itu, para analis melakukan estimasi empiris dampak yang mungkin terjadi atas produktivitas, dan keuntungan sosial pada berbagai tingkat penggunaan input penyebab polusi tersebut.
Hasil-hasil estimasi divergensi pada environmental PAM serta perhitungan cost of compliance privat dan sosial akan membantu pelaksanaan analisis seperti ini. Cost of compliance sosial menunjukkan penurunan pendapatan nasional pada berbagai tingkat penggunaan input penyebab polusi ini. Disagregasi divergensi output pada environmental PAM menunjukkan berapa besar transfer yang terjadi sebagai akibat penurunan produktivitas karena berkurangnya penggunaan input penyebab polusi, dan berapa besar transfer yang diakibatkan oleh kebijakan proteksi dan subsidi. Sama seperti pada seluruh analisis PAM, kunci untuk interpretasi hasil adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan kuantifikasi berbagai macam divergensi – environmental externalities, kegagalan pasar lainnya, dan policy transfer.

Bab 8:
Mengkomunikasikan Hasil Analisis PAM Kepada Pembuat Kebijakan
Tugas analis kebijakan baru selesai sebagian ketika analisis PAM selesai dikerjakan. Hasil-hasil analisis tersebut selanjutnya harus dikomunikasikan dengan jelas dan efektif kepada pembuat kebijakan. Bila tidak, betapapun baiknya hasil analisis tersebut tidak akan ada dampaknya pada proses pembuatan kebijakan. Tujuan dari bab ini adalah memberikan panduan dalam cara mengkomunikasikan hasil-hasil PAM yang efektif kepada pembuat kebijakan, baik tertulis maupun lisan.
Pentingnya Komunikasi
Analis kebijakan yang baik memerlukan empat hal. Tujuh bab pertama dari buku ini memfokuskan diri pada tiga hal pertama – memilih cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan kebijakan, menggali informasi yang relevan dengan baik, dan interpretasi hasil yang benar. Hal ke empat yang amat penting adalah mengkomunikasikan hasil-hasil analisis dengan tepat dan meyakinkan.
Dalam melakukan analisis kebijakan, mengkomunikasikan hasil, baik tulisan maupun lisan, sama pentingnya dengan proses menghasilkan analisis yang baik itu sendiri. Apabila para analis tidak mampu mengkomunikasikan hasil analisisnya dengan baik, pekerjaan mereka tidak akan mempunyai dampak dalam mempengaruhi kebijakan. Penasihat kebijakan yang efektif dengan sendirinya harus mampu melakukan analisis yang baik, sekaligus meyakinkan orang.
Ada keterkaitan yang erat antara komunikasi yang efektif dengan pemilihan research design. Semakin rumit metoda riset yang digunakan semakin sulit pula tugas mengkomunikan hasil-hasilnya, serta menyakinkan pembuat kebijakan. Pendekatan PAM dirancang untuk tidak hanya efektif dalam mengidentifikasi dampak kebijakan dan proyek tetapi juga menjelaskannya kepada pembuat kebijakan. Setiap pembuat kebijakan, termasuk yang bukan ekonom, akan dengan mudah memahami pentingnya tingkat keuntungan (profit) dan policy transfer – yang merupakan hasil utama dari analisis PAM.
Kunci untuk dapat mengkomunikasikan hasil analisis dengan efektif adalah “jelas” dan “singkat”. Penggunaan jargon-jargon ekonomi dan istilah istilah teknis tidak akan difahami dengan baik oleh pembuat kebijakan maupun stafnya. Mereka adalah orang-orang yang amat sibuk, dan mereke lebih menghargai sistem komunikasi yang singkat, padat dan akurat. Orang-orang sibuk akan lebih memberi perhatian kepada policy memo serta presentasi yang menarik, jelas, dan singkat.
Para analis kebijakan harus mempersiapkan diri untuk berkomunikasi dengan audience yang bukan ekonom, yang tidak jarang “curiga” terhadap hasil analisis ekonomi dan khawatir malah akan membuat para ekonom lebih “berkuasa”. Bahkan, para ekonom sekalipun (misalnya staf ahli dari pembuat kebijakan) biasanya akan lebih suka berkomunikasi yang lebih terfokus pada dampak baik dan buruknya suatu kebijakan (policy trade-off) daripada berbicara hal-hal yang bersifat teknis. Analis kebijakan yang jeli dengan sendirinya akan menulis dan berbicara dengan cerdik, mengunakan istilah-istilah yang mudah dimengerti oleh para pengambil kebijakan dengan berbagai latar belakang pendidikan.
Jenis Komunikasi Tertulis Dalam Analisis Kebijakan
Dalam analisis kebijakan, komunikasi tertulis biasanya dilakukan melalui salah satu dari tiga kategori berikut – policy papers, policy briefs, dan policy summaries. Analis harus membuat ketiga jenis komunikasi tertulis tersebut untuk mengkomunikasikan hasil analisisnya. Pembuat kebijakan dan stafnya akan mengunakan masing-masing jenis tulisan tersebut untuk keperluan yang berbeda, dan kadang-kadang sulit diduga jenis mana yang mereka sukai, tergantung kepada situasi dan kondisi yang sedang mereka hadapi. Pada saat mereka sedang memberikan perhatian pasa suatu analisis kebijakan, mungkin saja mereka meminta sebuah paper yang lengkap, bisa juga sebuah memo yang rinci, sebuah ringkasan (summary), atau bahkan mereka meminta ketiga-tiganya. Lebih dari itu, umumnya mereka menginginkan komunikasi yang singkat. Oleh karena itu, analis kebijakan harus mempersiapkan diri untuk menyampaikan hasil analisisnya dengan tingkat detil yang berbeda, dan tepat waktu.
Policy papers merupakan bentuk komunikasi tertulis yang terpanjang. Meskipun umumnya lebih mudah menulis makalah yang panjang dibandingkan yang pendek, komunikasi yang efektif membutuhkan sesuatu yang singkat (brevity). Oleh karena itu policy paper sebaiknya tidak lebih dari 15 – 20 halaman. Tabel, grafik, dan lampiran merupakan tambahan. Seringkali para analis pertama-tama menulis sebuah laporan yang panjang dan memasukkan semua hasil-hasil analisisnya. Kemudian, mereka memangkasnya menjadi tidak lebih dari 20 halaman, berisikan hasil-hasil analisis yang penting sebelum menyerahkannya kepada pembuat kebijakan.
Policy brief merupakan media yang paling umum, dan biasanya merupakan alat komunikasi tertulis analisis kebijakan yang paling efektif. Para pengambil kebijakan dan stafnya yang amat sibuk tidak akan sempat membaca makalah setebal 20 halaman. Tapi mereka tertarik pada policy brief yang lebih singkat, dirancang secara baik, dan dengan kata-kata yang jelas. Sebuah policy brief berkisar antara 6 – 8 halaman (dobel spasi, normal font, standar marjin). Para analis memang akan merasa berat untuk menulis sesuatu yang penting tetapi singkat. Namun demikian, manfaat yang akan diperolehpun, karena mampu “mempengaruhi” pembuat kebijakan, tidak ternilai harganya.
Policy summaries, kadang-kadang disebut sebagai executive summaries, merupakan bentuk alat komunikasi tertulis yang paling singkat – hanya 1-2 halaman saja. Cakupan policy summaries sama dengan policy papers dan policy brief, hanya saja policy summary merupakan highlight dari metoda, data, hasil, dan implikasi kebijakan. Sebuah policy summary dimaksudkan sebagai “promosi” dari hasil-hasil analisis dan merangsang pembuat kebijakan serta stafnya untuk membaca makalah yang lebih panjang. Oleh karena singkatnya, policy summaries merupakan makalah yang paling sulit.
Menulis Policy Papers
Tujuan dari policy paper adalah menyajikan informasi yang rinci kepada staf dari pengambil kebijakan. Sangat jarang pengambil kebijakan punya waktu untuk membaca policy paper. Policy paper umumnya dipersiapkan sebagai “back-up” dokumen utama, yaitu policy brief, untuk memberikan penjelasan atas hal-hal yang teknis berkaitan dengan masalah kebijakan.
Aturan utama yang penting diikuti dalam menulis policy paper adalah yakinkan bahwa peneliti lain dapat mereplikasi hasil-hasil analisis kita. Argumentasi pada proses pembuatan kebijakan terjadi pada berbagai tingkat. Salah satu diataranya adalah pada tingkatan teknis. Analis lain harus bisa mereproduksi hasil-hasil analisis yang disajikan pada policy paper agar akurasi dari hasil analisis ini dapat meyakinkan orang. Bila tidak, mereka akan mengabaikan hasil analisis dan rekomendasi kebijakan, dan akhirnya studi yang dilakukan menjadi tidak relevan lagi untuk menghasilkan suatu kebijakan.
Pentingnya kejelasan (clarity) dan kesingkatan (brevity) tidak hanya berlaku dalam menulis policy paper tetapi untuk semua jenis komunikasi analisis kebijakan, baik lisan maupun tulisan. Ketika analis dibatasi untuk tidak lebih dari 15-20 halaman, maka akan ada keinginan untuk menampilkan hasil dalam bentuk lain. Untuk mengekang keinginan ini jumlah tabel atau grafik jangan lebih dari 6 sampai 10 buah. Lampiran juga jangan dimanfaatkan untuk memenuhi keinginan memperpanjang tulisan. Lampiran hanya digunakan untuk masalah teknis yang amat penting berkaitan dengan latar belakang, metoda, dan data.
Komponen dari Policy Paper
Policy paper biasanya terdiri atas 5 bagian dengan urutan sebagai berikut – metoda analisis, asumsi penting berkenaan dengan metoda dan data, data utama dan sumber data, hasil analisis empiris, dan interpretasi serta implikasi kebijakan. Kunci keberhasilan menulis policy paper adalah menyusun outline yang mengintegrasikan kelima komponen tersebut.
Bahasan mengenai metodologi harus fokus pada metode analisis apa yang akan digunakan, dan mengapa penggunaan alat analisis ini sesuai dengan isu kebijakan yang ingin dibahas. Bagian ini harus singkat dan “to the point” karena biasanya pengambil kebijakan tidak terlalu tertarik pada masalah metoda ekonomi.
Semua metoda analisis ekonomi mempunyai keterbatasan dan kelemahan, serta memerlukan asumsi-asumsi. Pada sebagian besar analisis empiris, beberapa data penting tidak bisa diperoleh atau akurasinya dipertanyakan. Bagian metodologi dan asumsi yang digunakan harus mengemukakan kelebihan dan kekurangan alat analisis yang digunakan.
Data bukan semata-mata angka yang digunakan dalam analisis empiris. Pembuat kebijakan perlu diyakinkan bahwa hasil analisis kita memang penting. Oleh karena itu, bagian data dan sumberdata harus memuat informasi yang relevan serta menerangkan kualitas data dan informasi, serta prosedur pengumpulan data yang digunakan.
Memang, komputer memungkinkan kita untuk melakukan analisis data yang besar. Namun, pengambil kebijakan memiliki waktu yang terbatas dan tidak sabar bila kita harus memberikan keterangan yang panjang, serta melakukan berbagai analisis sensitivitas atas berbagai kemungkinan perubahan asumsi. Hanya hasil-hasil penting serta alternatif kebijakan saja yang perlu dilaporkan. Makin singkat, makin baik.
Hal yang paling membantu pengambil kebijakan adalah bila analis melakukan interpretasi hasil dengan cara yang mudah dimengerti dan relevan. Implikasi kebijakan harus fokus pada dampak kebijakan yang akan terjadi, siapa yang akan menjadi “pemenang”, dan siapa yang akan menjadi “korban” dari berbagai kebijakan. Pengambilan keputusan merupakan masalah politik. Pembuat kebijakan harus menentukan siapa yang harus “ditolong” siapa yang harus “dikorbankan”. Oleh karena itu, umumnya pengambil kebijakan akan menaruh perhatian yang besar pada bagian terakhir dari policy paper ini.
Menulis Policy Briefs
Saran-saran yang disampaikan pada bagian ini amat singkat, karena buku PAM telah memuat penjelasan lengkap disertai dengan contoh sebuah policy brief (dalam kasus usahatani gandum di Portugal). Bahan-bahan tersebut bisa digunakan untuk Bab ini. Setiap policy brief harus berisikan tujuh bagian – isu, metoda, informasi, interpretasi, hasil-hasil analisis, ramifikasi, dan ringkasan. Struktur dan komponen policy brief adalah seperti pada Gambar 8.1. dibawah ini.
Gambar 8.1. Menulis Policy Brief
Isu (kurang dari 1 halaman)
• Kebijakan yang akan dibahas
• Aspek yang ingin dicakup
• Konteks kebijakan
Metoda (1 halaman)
• Logic dan kesesuaian
• Penggunaan alat analisis pada waktu yang lalu, termasuk kekuatan dan kelemahannya
• Kualifikasi
Informasi (2 halaman)
• Data empiris dan informasi tambahan
• Asumsi
• Data historis
Interpretasi (2 halaman lebih)
• Hasil empiris
• Analisis sensitivitas
• Arti (interpretasi) dan kualifikasi
Implikasi (1 halaman)
• Pilihan-pilihan kebijakan
• Siapa yang “menang” dan siapa yang “jadi korban”
• Nilai keuntungan dan kerugian (yang diterima oleh yang menang dan yang diderita oleh yang kalah)
• Trade-off dari berbagai tujuan yang ingin dicapai

Ramifikasi Internasional (< 1 halaman)
• Dampak perdagangan internasional
• Aliran faktor produksi
• Diplomasi dan kewajiban internasional (WTO, IMF)
Ringkasan (< 1 halaman)
• Pro dan kontra
• Pengalaman empiris
• Kontribusi analisis
• Konsekuensi terhadap kelompok masyarakat yang berkepentingan

Isu dan Metoda
Analis kebijakan baru meyelesaikan separuh dari tugasnya ketika dia telah mengidentifikasi dengan jelas masalah kebijakan apa yang akan ditelaah. Bagian pertama dari policy brief adalah menentukan isu kebijakan yang akan menjadi topik bahasan, ditulis dalam kurang dari satu halaman. Bagian ini mencakup isu kebijakan, aspek spesifik yang akan dibahas dalam analisis, dan konteks kebijakan yang lebih luas.
Metoda merupakan darah daging dari analisis, namun tidak banyak pembuat kebijakan yang tertarik untuk membahas masalah metode secara rinci. Bagian yang 1 halaman ini menjelaskan secara intuitif logic dan kesesuaian dari pendekatan yang digunakan, justifikasi metoda yang digunakan, dengan menjelaskan bahwa analisis ini telah digunakan pada berbagai analisis kebijakan, serta menjelaskan kekuatan dan kelemahan metode yang digunakan.
Informasi dan Interpretasi
Sebagian besar pembuat kebijakan senang membicarakan masalah penelitian lapang, dan mereka tertarik kepada cerita tentang kebijakan. Dua halaman tentang informasi ini dengan sendirinya merupakan bagian yang paling mudah. Bagian ini berisi diskusi tentang historis data yang memberikan konteks kebijakan, data empiris dan data tambahan lainnya yang digunakan dalam studi, serta asumsi-asumsi penting.
Bagi analis kebijakan yang belum berpengalaman, bagian interpretasi merupakan bagian tersulit. Apa arti semua ini? Interpretasi hasil yang baik memerlukan kemampuan analis dalam memilih dan memfokuskan diri pada temuan-temuan penting dari sekian banyak hasil analisis yang ada. Dalam dua halaman (atau lebih sedikit), analis harus memaparkan hasil utama dari analisis, hasil dari analisis sensitivitas (dengan merubah data kunci, paramater, dan asumsi), arti hasil dan analisis sensitivitas tersebut bagi kebijakan, dan kualifikasi karena keterbatasan dari metodologi dan data yang missing dan kurang akurat.
Hasil dan Ramifikasi
Analis yang baik akan menerapkan kerangka tujuan-strategi-kebijakan-kendala (seperti yang telah dijelaskan pada Bab 1) dalam kerangka berfikir dan menulis. Dengan hanya satu halaman, dengan menggunakan framework itu, peneliti yang baik harus mampu menjelaskan implikasi kebijakan dari hasil analisisnya. Analis harus mengkaji berbagai pilihan kebijakan, menjelaskan siapa yang akan diuntungkan dan dirugikan oleh kebijakan (the gainers and the lossers), identifikasi dampak dari kebijakan atas tujuan yang ingin dicapai pemerintah (efisiensi, distribusi pendapatan, dan ketahanan (pangan)), dan perkiraan besarnya trade-off atas masing-masing tujuan tersebut.
Meskipun sebagai negara berdaulat, kebijakan diambil untuk kepentingan nasional, namun pembuat kebijakan juga harus memperhatikan dampak dan hubungannya dengan dunia internasional. Negara-negara berkembang jarang sekali mempunyai kekuatan yang cukup di pasar internasional baik pasar komoditas, maupun tenaga kerja. Namun, dalam satu alinea, analis perlu menyebutkan dampak kebijakan tersebut terhadap perdagangan internasional, dampak terhadap harga dunia, juga implikasinya terhadap aliran faktor (investasi asing dan migrasi tenaga kerja). Analis juga harus melakukan telaahan apakah kebijakan yang dipilih konsisten dengan kesepakatan-kesepakatan World Trade Organization, the International Monetary Fund, serta negara dan lembaga-lembaga donor lainnya.
Ringkasan Eksekutif (Policy Summary)
Peranan analis kebijakan adalah memperkirakan konsekuensi yang akan terjadi atas setiap pilihan kebijakan, dan sebaiknya tidak melakukan penilaian pribadi (personal value judgement) atas pilihan kebijakan tersebut. Meskipun memang sulit untuk menjaga obyektivitas dan netralitas, analis harus menyerahkan sepenuhnya kepada pembuat kebijakan untuk memberikan bobot kepada masing-masing tujuan dan menentukan kebijakan apa yang akan dipilih (seperti dijelaskan pada Bab 1). Dalam satu alinea, analis harus mampu menyarikan pesan – pro dan kontra atas pilihan kebijakan, pengetahuan empiris dari studi yang dilakukan, kontribusi analitik dari studi terhadap isu yang sedang diteliti, dan dugaan kosekuensi yang mungkin terjadi terhadap kelompok masyarakat yang berkepentingan dan terkena dampak kebijakan ini. Alenia ini merupakan alinea tersulit – dan terpenting – dalam mengkomunikasikan hasil analisis kebijakan.
Menulis Policy Summaries
Sebuah policy summary bisa dikatakan sebagai versi singkat dari policy brief. Outline kedua jenis tulisan ini dengan sendirinya persis sama – isu, metoda, informasi, interpretasi, implikasi, internasional ramifikasi, dan ringkasan – seperti disajikan pada Gambar 8.1.
Tujuan penulisan policy summary adalah memberikan kompilasi singkat atas hasil-hasil analisis untuk pengambil kebijakan, para staf akhli, dan staff analis, yang amat sibuk. Intinya adalah menyarikan hasil-hasil analisis dalam tulisan yang singkat yang meng-highlight temuan-temuan penting, relevansi dari temuan tersebut dan pentingnya analisis yang dilakukan dalam proses pembuatan kebijakan.
“Singkat” dan “jelas” lagi-lagi merupakan kunci dari berhasilnya sebuah policy summary. Bila memungkinkan, policy summary sebaiknya dibatasi hanya satu halaman sehingga menarik minat pembaca yang lebih luas. Paling banyak, policy summary tidak lebih dari 2 halaman. Policy summary tidak usah berisi tabel atau grafik, kecuali sebuah gambar yang begitu dramatisnya sehingga mampu menarik perhatian pembuat kebijakan.
Kejelasan merupakan hal penting untuk menarik perhatian pembaca. Pembuat kebijakan yang amat sibuk akan menghargai tulisan yang jelas. Policy summary merupakan “iklan” bagi policy brief (mungkin juga policy paper). Pembuat kebijakan akan menganggap bahwa policy summary yang ditulis dengan baik merupakan indikasi bahwa tulisan yang lebih panjang dan lengkap pun akan sama jelas dan menariknya.
Komunikasi Verbal Untuk Analisis Kebijakan
Pada saat tulisan – policy paper, policy brief, dan policy summary – selesai dilakukan, bahan-bahan tersebut perlu dikomunikasikan sevara verbal (lisan). Tidak diperlukan tambahan analsis untuk melakukan hal ini. Isu utamanya adalah hasil-hasil yang mana yang harus ditampilkan dan bagaimana cara terbaik untuk menyampaikannya.

Presentasi PowerPoint
Bila alat-alat yang diperlukan tersedia, presentasi menggunakan software PowerPoint merupakan cara yang efektif untuk melakukan komunikasi lisan. Bila tidak, analis akan mengandalkan diri kepada makalah atau “hand-out” yang disediakan. Hand-out berisi slide-slide yang juga menjadi bahan untuk PowerPoint. Akan sangat bermanfaat bila hand-out tetap dibuat, terlepas apakah presentasi akan dilakukan dengan menggunakan PowerPoint atau tidak.
Slide PowerPoint harus sejalan dengan isi policy brief dan fokus pada tujuh topik – isu, metoda, informasi, interpretasi, implikasi, internasional ramifikasi, dan ringkasan (seperti pada Gambar 8.1.). Bila waktu yang tersedia amat singkat, cakupan bisa dibatasi pada metoda, ringkasan hasil penting, dan implikasi penting dari studi.
Karena formatnya sama dengan policy brief, analis hanya perlu mempersiapkan slide PowerPoint sesuai dengan tujuh topik diatas. Tabel-tabel dan grafik yang penting bisa ditransfer langsung kedalam format PowerPoint. Akan amat bermanfat mempersiapkan hand-out dari seluruh slide PowerPoint – slide dengan teks dalam format outline serta format multiple-slide dan grafik serta tabel sebaiknya dipisahkan.
Fokus dan Kepiawaian (versatility)
Seorang analis kebijakan yang baik harus mampu “menyentuh” audience dengan efektif. Pembuat kebijakan akan amat tertarik pada topik yang berkaitan dengan implikasi kebijakan atas kelompok masyarakat yang menjadi target atau berkepentingan (interest group) dan lembaga pemerintah. Terlalu banyak memberikan porsi kepada metode, data, dan hasil analisis mungkin akan membuat komunikasi menjadi tidak efektif. Namun, kadang-kadang audience tertarik dengan hal-hal teknis dan suatu ketika mengajak diskusi tentang hal-hal yang bersifat teknis tersebut. Oleh karena itu, akan lebih baik jika dipersiapkan slide tambahan – tidak harus ditampilkan pada slide standar.
Keberhasilan komunikasi verbal juga ditentukan oleh kepiawaian presenter. Bukan tidak mungkin, seorang pengambil kebijakan tingkat tinggi hanya menyediakan waktu yang amat singkat, misalnya 15 – 20 menit. Bila presentasi berjalan dengan baik dan mampu mengikat perhatian pembuat kebijakan, presentasi tersebut bukan tindak mungkin minta diperpanjang. Untuk menjaga fleksibilitas, seorang analis dengan persiapan yang baik paling tidak akan membuat tiga versi presentasi PowerPoint yang berbeda – pertama untuk presentasi amat singkat, 15-20 menit, kedua untuk presentasi sekitar 45 menit sampai satu jam, dan yang ketiga untuk presentasi 2 jam. Untuk setiap presentasi, amat penting menyediakan separuh dari waktu tersebut untuk diskusi.
Kunci Sukses dalam Presentasi Analisis kebijakan
Pengalaman menunjukkan bahwa ada tujuh kunci sukses dalam mempresentasikan hasil analisis kebijakan. Panduan ini berlaku baik untuk komunikasi bersifat lisan maupun tulisan. Semuanya berkaitan dengan perilaku, cara bersikap, dan gaya seorang presenter.
Ketujuh kunci sukses tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kejelasan merupakan hal penting bagi pembuat kebijakan yang belum terbiasa dengan hasil analisis atau yang tidak suka dengan hal-hal teknis.
2. Presentasi yang singkat akan menghemat waktu, dan memperlihatkan pemahaman yang baik atas isu kebijakan.
3. Akurasi dalam melaksanakan studi dan interpretasi hasil akan meyakinkan para analis lain.
4. Kejujuran dalam mengidentifikasi asumsi atau kelemahan data yang dimiliki dalam menginterpretasikan hasil akan menghasilkan kredibilitas.
5. Gaya presentasi yang langsung dan tidak berbelit-belit dan menghidari jargon-jargon yang tidak perlu akan membantu memperjelas hasil analisis.
6. Percaya diri dan yakin dalam mengidentifikasi dan menganalisis policy trade-off akan memperkuat presentasi.
7. Kerendahan hati dalam mengakui keterbatasan analisis ekonomi akan menambah validitas pandangan orang lain dan akan membuat orang lain akan lebih terbuka kepada kita.
Bila para analis kebijakan berusaha untuk menerapkan pengetahuan ini dalam berkomunikasi, maka mereka akan berhasil meyakinkan pembuat kebijakan serta para staf akhli akan validitas dan pentingnya hasil analisis yang mereka buat bagi proses pembuatan kebijakan. Panduan ini cocok untuk mengkomunikasikan hasil analisis PAM khususnya dan, umumnya, bagi seluruh analisis kebijakan.


Read more.....