Sabtu, 31 Januari 2009

AGRIBISNIS DENGAN PENDEKATAN RESOURCE-BASED

Globalisasi bagi kalangan perguruan tinggi, dianggap sebagai fenomena “baru” yang sangat menarik untuk dicermati., karena dewasa ini terlihat dengan jelas berlangsungnya proses transformasi global (D. Held dkk.,1999) yang makin nyata dalam bidang politik, tatanan territorial kenegaraan, budaya dan ekonomi. Karakteristik fenomena globalisasi menurut Savage (1996) ditandai dengan lahirnya Manajemen Generasi Kelima (The 5th Generation Management) akibat pemunculan information
superhighway dan digital economy. Manajemen generasi kelima ditandai oleh beberapa hal. Yang paling menonjol adalah pentingnya membangun daya saing melalui knowledge creating organization and knowledge network sebagaimana diungkapkan oleh Nonaka dan Takeuchi (1996).

Intinya adalah bahwa daya saing sebuah badan usaha sangat ditentukan oleh bagaimana organisasi itu dapat menfransformasikan data untuk dianalisa sehingga menjadi informasi, dan data informasi diberi penilaian (judgment) hingga menjadi ide, lalu ide tersebut diberi konteks, sehingga menjadi pengatehuan (knowledge). Dari pengetahuan inilah daya saing organisasi dapat diwujudkan. Pada akhirnya, barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perusahaan yang unggul akan bertumpu pada strategi yang berbasis sumberdaya (Resources-Based) dan knowledge.
Pendekatan Resources-Based selalu berupaya meletakkan jargon bersaing utmanya pada bagaimana menciptakan inovasi masa depan melalui sumberdaya yang dimiliki oleh organisasi untuk dapat ditingkatkan kapabilitasnya dalam bersaing melalui pemilihan kompetensi inti (distinctive competence) sehingga dapat diciptakan strategi hambatan buat para pesaing berupa kesulitan untuk ditiru (barriers to imitation).
Resources-Based Strategy (RBS) merupakan pemikiran C.K. Prahalad serta para penggagas paradigma learning dan learning organization lainnya. Menurut Azua dan Azua (1988), tiga aspek utama yang menjadi perhatian RBS adalah (1) Aspek Sumberdaya, (2) Aspek Faktor Keberhasilan, dan (3) Aspek Proses Belajar. Sementara menurut Grant, tiga aspek utama tersebut terdiri dari (1) Aspek Manusia, (2) Aspek Teknologi, dan (3) Aspek Infrastruktur.
Salah satu faktor mempengaruhi timbulnya perdagangan nasional adalah perbedaan potensi sumberdaya pada setiap negara. Indonesia sampai saat ini masih kaya dengan aneka ragam sumberdaya (secara kuantitas) baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya Peluang ekspor masih sangat terbuka, hal ini dapat kita lihat sampai dengan tahun 2000 saja nilai investasi PMDN sebesar Rp 212.000 M sedang PMA sebesar Rp 423.000 M, padahal tahun 1999 nilai investasi PMDN sebesar Rp 54.050 M sedang PMA sebesar Rp 375.100 M. (BKPM,1999). Sayang peningkatan investasi ini belum diimbangi dengan sistem proteksi sumberdaya alam, misalnya proteksi sumberdaya hutan. Kasus illegal logging menunjukkan wajah buram bagi perekonomian kita. Apakah kinerja sumberdaya untuk ekspor kayu olahan belum sepenuhnya dioptimalkan?. Pertanyaan tunggal ini bias jadi menjadi masalah nasional tentang kinerja subsektior agribisnis lainnya.

Pembahasan topik Resource-Based sebagai pendekatan dalam perdagangan internasional, khususnya bagi Indonesia dapat kita awali dengan mengamati perkembangan nilai pertumbuhan agribisnis untuk produk domestik bruto dan nilai pertumbuhan nilai investasinya, (lihat Tabel 1.):

Berdasarkan data pada tebel 1, ditinjau dari produk domestic bruto (PDB), bahwa sector pertanian, peternakan, kehutanan, perkebunan dan perikanan (disebut sektor primer), dan sektor Listrik, Gas dan Air Minum (termasuk kelompok sektor tersier) merupakan sektor yang paling potensial untuk dikembangkan. Disamping itu ternyata sector pertanian masih menyumbang nilai investasi dengan peringkat ke 2 untuk PMDN dan peringkat ke 3 untuk PMA (lihat table 2). Hal ini menunjukkan bahwa iklim investasi di Indonesia di dominasi oleh peranan resources-based agribisnis.
Kajian lain pendekatan resource-based adalah kinerja sumberdaya. Menurut Grant aspek sumberdaya ada 2 yaitu
1. Sumberdaya tangible
• Staff
• Palanggan
• Kapasitas
• Finansial
• Produk
2. Sumberdaya intangible
• Ketrampilan staff
• Kualitas pelanggan
• Efisiensi biaya produk
• Kualitas produk
3. Sumberdaya very tangible
• Moral para staff
• Reputasi dimata pelanggan
• Reputasi dimata investor

Sumberdaya intangible khususnya menjadi sangat mahal karena menyangkut penguasaan ilmu pengetahuan, proses pembelajaran kolektif dan reputasi. Sumberdaya intangible ini sama pentingnya dengan sumberdaya tangible, walaupun dalam beberapa situasi bisa terjadi sumberdaya intangible lebih menonjol.

2. KONSEP MENATA ULANG STRATEGI PEMASARAN INTERNASIONAL INDONESIA MELALUI PENDEKATAN RESOURCE BASED-STRATEGY

Dengan melihat gambaran kinerja ekspor dan melemahnya daya saing Indonesia di pentas mancanegara , semkin kuatlah alsan kita untuk mengkaji ulang berbagai segi dengan Pemasaran Internasional dan Global .
Sebagai langkah pertama kita perlu memahami lebih dalam menganai Visi, Misi, Kebijakan dan Strategi Pemerintah serta Strategic Routing dalam kaitannya dengan perdagangan Internasional .
Sejalan dengan otonomi daerah yang digairahkan, pemerintah memiliki Visi yang menginginkan agar Indonesia menjadi negara Industri baru yang sejajar dengan bangsa lain di kawasan Asia Pasific. Sementara Misi yang diemban sektor industri dan perdagangan adalah sebagai penggerak utama dan pendobrak hambatan perdagangan luar negri dengan memenuhi aturan main tata perdagangandunia dibawah koordinasi WTO, serta mengamankan kebijakan industri dan perdagangan Internasional melalui penataan ulang strategi pemasran Internasional dan diplomasi perdagangan yang unggul.
Bila kita cermati Visi dan Misi tersebut belum tergambar secara jelas Visi dan Misi yang mengedepankan Indonesia menjadi negara industri baru dan bangsa niaga yang berbasis pada sumber daya.
Penataan pada Visi, Misi Strategi dan Orientasi Pemasaran yang baru mengacu pada Visi Indonesia 2010,Indonesia menjadi pelaku Pemasaran Global berbasis pada Sumber Daya dan Kompetensi Inti.
Tata ulang dengan konsep baru, pendayagunaan sumber daya (Resaurces Based Approach) dan sekaligus juga membangun mental model dan system thinking berbasis dan berbangsa tangguh melalui semangat kompetensi dan kooperasi intra dan antar organisasi industri melalui jaringan yang kokoh dalam pemsaran dan perdagangan yang berbasis pada knowledge dan Skill. Strategi yang baru bukan hanya ditekankan pada pemanfaatan sumber daya alam semesta, tetapi merupakan pengintegrasian antara sumber daya yang sifatnya Tangible,Intangible, dan Human Resources dalam semangat Cilective learning.
Menegakkan semangat Collective Learning ini perlu dimulai dari tingkatan makro (pemerintah) sebagai inisiator,change creator maupun fasiliator.
Berkaitan dengan sumberdaya yang bisa dilakukan dengan menelusuri tiga macam
Strategic Resources:
1. Tangible Resources, meliputi karyawan, SDM, pelanggan, kapasitas, dana dan produk.
2. Intangible Resources, meliputi keterampilan karyawan, mutu pelanggan, efsiansi biaya produksi , mutu produk .
3. Very Intangible (Indirect) Resouces, meliputi moral karyawan reputasi dimata pelanggan, reputasi dimata investor

Untuk aspek Very Intangible (Indirect) Resouces, yaitu pembenahan dan pemulihan reputasi Indonesia dimata rakyat Indonesia sendiri dan dimata dunia memerlukan upaya dan kampanye khusus untuk mengharumkan kembali nama Indonesia.
Secara konkrit dan koperhensip, perlu diurai dan dilihat kembali mengenai 5 faktor daya saing ekonomi regional, yaitu: 1) Pengetahuan, 2) Kohesi social, 3) Infrastruktur, 4) Konektivitas, dan 5) Produktivitas.
Kesemua faktor pendorong daya saing tersebut diatas mengarah pada proses pengelompokan Manajemen Berbasis Pengetahuan (Knowledge Management Cluser).
Sekedar contoh misalnya di ambil datu faktor yaitu konektivitas internal dan eksternal. Bila kita mau jujur, sebenarnya kita belum atau mungkin sudah tapi belum optimal melakukan upaya-upaya menjalin konektivitas internal ini, misalnya kawasan industri denga perusahaan dan instansi terkait, perguruan tinggi, hingga pemanfaatan masyarakat sekitar. Selain itu konektivitas ekstern misalnya kawasan industri dengan kawasan lain baik di dalam dan luar negeri. Untuk itu perlu di bentuk kelompok, jaringan kemitraan, dan bila sudah terbentuk berarti lebih pada mengoptimalkan perannya.
Model lain yang bisa kita lakukan berkaitan dengan kompetensi inti ini adalah model satu daerah satu kompetensi. Model ini sejalan kebijakan pemerintah untuk memberdayakan para pelaku ekonomi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Tiap daerah diharapkan mempunyai satu kompetensi. Model ini diharapkan bisa menggali keampuhan atau kekuatan andalan yang dimiliki daerah (misalnya : Kabupeten) di Indonesia untuk membangun kompetensi inti agar bisa bersaing di pasar global. Kekuatan konsep ini terletak pada “Strategc Routing” untuk membangun Economic Competitive Landscape.

3. KESIMPULAN
1. Berdasarkan fakta bahwa pendekatan resourced-based untuk agribisnis menempati rating unggul di Indonesia baik ditinjau dari produk domestiik bruto maupun investasi
2. Pendekatan resurced-besed merupakan pelengkap bagi pendekatan market-based, karena menyangkut pemberdayaan sumberdaya manusia yang berilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Indonesia adalah negara yang mempunyai sumber daya unggulan yang merupakan asset yang tangible sifatnya yang bisa digunakan sebagai cikal bakal untuk mewujudkan Strategi Pemasaran dengan menggunakan Resources Based Approach. Keunggulan asset yang tangible harus dipadukan dengan asset yang intangible, seperti teknologi, kultur dan reputasi, serta sumber daya manusia dengan superioritas Skill dan Knowledge. Hanya dengan perpaduan ketiganya melalui Collective Learning akan dapat di ciptakan suatu kompetensi inti pada tingkat makro (negara) maupun mikro (badan usaha) dalam rangka membangun Strategc Routing berdasarkan kompetensi inti yang diciptakan.
4. Sejalan dengan semangat otonomi daerah di mana pengembangan daya saing perlu di mulai dari daerah, maka konsep pengembangan satu daerah satu kompetensi. Konsep ini intinya mempersiapkan infrastruktur yang kuat, daya kohesi dan interkonektivitas antar daerah (misalnya tingkat kabupaten). Dengan demikian dapat di mulai pemetaan kompetensi-kompetensi daerah yang semuanya di bangun sebagai dasar untuk membentuk Colletctive Learning antar daerah. Hal ini juga bisa ditujukan untuk menghilangkan semangat kedaerahan yang hanya memperebutkan wilayah yang memiliki sumber daya alam, bahkan dapat meniadakan keinginan untuk memisahkan diri dari Indonesia, karena masih banyak produk unggulan yang dapat dikaitkan dengan keunggulan yang berbasis Knowledge. Tentu saja dalam tataran praktek di perlukan adanya kebersamaan, komitmen dan kemauan dari semua pihak.

DAFTAR PUSTAKA
1. Subnash C. Jain, Manajemen Pemasaran Internasional, ed V, Jilid 1, The University of Connecticur, Erlangga, 2001
2. Martani Huseini, Mencermati Misteri Globalisasi : Menata Ulang Strategi Pemasaran Internasional Indonesia Melalui Pendekatan Resource-Based, Usahawan, 2000


Read more.....

Rabu, 28 Januari 2009

Stratagi Ekspor Komoditas Perkebunan dalam Situasi Krisis Financial Global, Kasus pada Kopi

Pendahuluan
Pada tahun 2005 luas areal perkebunan di Indonesia dilaporkan mencapai 35,5 juta ha dengan laju pertumbuhan selama tahun terakhir sebesar 2,65 % per tahun, terdiri atas tanaman tahunan seluas 17,4 juta ha dengan laju pertumbuhan 2,66 % per tahun dan tanaman semusim 18,1 juta ha dengan laju pertumbuhan 2,65 % per tahun (Direktorat Jendral Perkebunan, 2007). Sektor perkebunan
tentu memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian nasional karena sektor ini mnjadi cumber matapencaharian bagi puluhan juta rakyat Indonesia mulai dari industri hulu sampai dengan hilir.

Krisis finansial global kini melanda di Amerika Serikat (AS) dan negara-negara maju Eropa diantaranya Inggris, Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, dan Belanda telah terasa dampaknya ke berbagai negara partner dagang AS dan negara-negara Eropa ke negara-negara Asia, seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, dan India. Krisis finansial ini diperkirakan akan menyebabkan resesi ekonomi di Amerika Serikat dan berbagai negara di atas mulai akhir tahun 2008. IMF dan berbagai lembaga terkenal memperkirakan pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi melambat bahkan negatif. Konsekuensinya pertumbuhan output dan permintaan output mulai turun sampai negatif yang pada gilirannya menyebabkan permintaan komoditas perkebunan turun (LRPI, 2008).
Tanda-tanda ke arah resesi ekonomi dunia mulai nampak dengan harga saham di berbagai negara jatuh, importir di negara-negara yang terkena krisis mengalami kesulitan likuiditas, dan harga-harga berbagai komoditas perkebunan anjlok. Sebagai gambaran, harga CPO Cif Rotterdam pada bulan Juli 2008 sempat mencapai US$ 1.200 per ton menjadi hanya US$ 700 per ton (turun sekitar 40%) minggu kedua bulan Oktober 2008. Harga karet di Kuala Lumpur pada akhir bulan Juni mencapai rekor US$ 3,3 per kg turun 33% menjadi US$ 2,2 per kg minggu kedua bulan Oktober 2008. Dampaknya langsung dirasakan petani, yaitu harga Tandan Buah Segar (TBS) hanya sekitar Rp. 600-700 per kg dan harga bahan olah karet hanya sekitar Rp. 6.000 per kg (LRPI, 2008).
Komoditas kopi dan kakao jugs mengalami hal serupa namun sedikit berbeda. Pada periode tersebut di atas harga internasional kopi Arabika tururi sekitar 15 %, kopi robusta turun sekitar 20% dan kakao harga turun sekitar 20%. Penurunan harga kopi international tidak terlalu dirasakan dampaknya oleh petani kopi, karena pada saat harga turun mereka menyimpan biji dan menjual kembali pada bulan November - Desember pada saat nilai tukar Rupiah terhadap US$ melemah menjadi Rp. 11.000,00 – Rp. 12.000,00.
Krisis finansial global yang nampaknya tidak terkendali dan justru mengarah ke resesi global tentunya merupakan ancaman series bagi kelangsungan pembangunan perkebunan di Indonesia. Pelaku perkebunan Indonesia tidak dapat hanya mengandalkan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap mats uang acing, utamanya US$, untuk memperoleh berkah karena krisis likuiditas dan resesi global memunculkan musibah yang lebih besar. Krisis likuiditas dan resesi global terutama yang dialami oleh negara-negara tersebut di atas dapat menunda bahkan menghentikan kontrak-kontrak pembelian komoditas perkebunan yang berasal dari Indonesia. Sebagai akibat langsung dari keadaan tersebut adalah akan terjadinya excess supply yang akan mengakibatkan jatuhnya harga komoditas perkebunan di dalam negeri (LRPI, 2008).
Tulisan ini dimaksudkan uniuk memberikan gambaran serba singkat tentang stratagi ekspor komoditas perkebunan, khususnya kopi sebagai salah satu bentuk sumbangan pemikiran dalam meiakukan antisipasi dini terhadap terancamnya keberlanjutan ekspor. Sumbangan pemikiran ini diharpakan dapat disintesis dengan pandangan-pandangan dari pemangku kepentingan lainnya agar ekspor komoditas perkebunan dari Indonesia tetap berlanjut don memberikan manfaat yang maskimal terhadap perolehan devise negara maupun pendapatan produsen.
Perlu Langkah yang Efektif dan Efisien
Seperti diketahui, Amerika Serikat dan berbagai negara Eropa seperti Inggris, Jarman, Perancis, Italia, Spanyol dan Belanda adalah pasar bagi berbagai komoditas perkebunan Indonesia, seperti karet, kakao, kopi, kelapa sawit, teh, dan lade. Cina, Jepang, India, Korea Selatan, dan India yang merupakan partner dagang AS dan negara-negara Eropa juga terkena imbas. Padahal Negara-negara tersebut adalah juga pasar bagi komoditas perkebunan Indonesia.
Perkebunan Indonesia terancam, tapi perkebunan Indonesia mempunyai modal dasar berupa keunggulan komparatif, dan beberappA komoditas (minyak kelapa sawit, karet, dan kakao), mempunyai daya saing yang cukup bagus. Namun justru komoditas-komoditas tersebut yang sangat mungkin mengalami goncangan terkuat dibandingkan komoditas perkebunan lainnya karena pasar ke tiga komoditas tersebut terkena resesi. Masalahnya, komoditas lain terkait dengan daya saingnya yang lemah. Dari sisi pelaku, petani perkebunan rakyat relatif lemah sehingga mereka perlu diutamakan untuk diselamatkan.
Untuk menyelamatkan usaha perkebunan Indonesia, langkah antisipatif perlu disiapkan sekaligus diimplementasikan, baik yang bersifat fundamental maupun penunjang. Sasarannya adalah agar komoditas dan produk perkebunan Indonesia dapat dijual dengan beban biaya output minimum. Penjualan komoditas tersebut terutama di pasar ekspor.
Langkah-langkah antispasi keberlajutan ekspor komoditas perkebunan telah dirumuskan dalam diskusi terbatas ahli eknonomi dan ahli perkebunan belum lama ini (LRPI, 2008) seperti tersebut di bawah ini.

1. Langkah Fundamental Jangka Pendek

a. Mencari pasar ekspor tambahan atau alternatif untuk komoditas perkebunan dengan tetap menjaga pasar yang ada dalam kerangka diversivikasi pasar.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa negara-negara tujuan ekspor utama komoditas perkebunan dari Indonesia terimbas krisis finansial global yang dikhawatirkan akan menurunkan impor mereka. Oleh karena itu, dalam rangka mempertahankan kineda ekspor komoditas perkebunan perlu upaya mencari pasar-pasar alternatif di negara-negara lain.
Dalarn rangka memperkuat posisi pasar ekspor produk perkebunan ke depan, make pasar domestik juga perlu digarap secara maksimal. Hal ini pemah dilakukan dengan sukses oleh Brasil sebagai produsen utama komoditas kopi, yaitu laju konsumsi domestik kopi di negara ini naik rata-rata 4,6 % per tahun. Pada tahun 2007 konsumsi domestik di Brasil mencapai 16,5 juta karung atau 50 % dari total produksi nasinal sebesar 33 juta karung setara dengan 18.000 ton (Beling, 2008).
Konsumsi kopi domestik yang kuat di Brasil telah memperkuat pertumbuhan industri hilir di dalam negeri. Perturnbuhan industri hilir ini memaksa dilakukannya kegiatan riset dan pengembangan agar senantiasa dapat ditemukan teknologi-teknologi bare yang inovatif, sehingga Brasil seat ini juga telah menguasai teknologi mutakhir dalam industri hilir kopi. Peningkatan konsumsi kopi domestik yang siginfikan telah memperkuat posisi tawar terhadap ekspor kopi dari negara tersebut di pasar dunia.
Khusus untuk komoditas perkebunan yang diimpor, perlindungan terhadap produsen dalam negeri tetap diperlukan. Kebijakan impor melalui instrumen perdagangan yang berlaku saat ini, seperti untuk gula dan kakao, tetap perlu dipertahankan. Instrumen kebijakan impor tidak perlu dilonggarkan untuk mencegah masuknya komoditas dan produk perkebunan asing menyerbu pasar Indonesia.

Mengembangkan sebagian komoditas perkebunan menjadi produk perkebunan dalam kerangka industrialisasi perkebunan

Kesulitan mengekspor komoditas primer merupakan momentum untuk mengembangkan industri hilir yang sudah ada. Untuk itu, Pemerintah menyediakan insentif bagi industri pengolahan perkebunan berupa pinjarnan lunak, subsidi sampai hibah. insentif fiskal berupa keringanan pajak hingga pengecualian pajak, terutama pajak impor barang dan jasa untuk mendukung ekspor. Dalam hal ini, beban yang timbal ditanggung Pemerintah.
Khusus untuk barang jadi karet, krisis saat ini dapat dijadikan untuk meningkatkan kandungan lokal barang-barang otomotif dan elektronik. Sedangkan untuk industri hilir minyak sawit, saat ini merupakan saat yang tepat untuk mengembangkan industri biodiesel berbahan bake CPO di Indonesia. Dengan harga di Rotterdam sekitar US$ 615 per ton CPO dan harga solar Rp 5.500,- per liter maka memungkinkan biodiesel asal CPO bersaing dengan solar untuk dipasarkan di dalam negeri.

Mengefektifkan skim-skim pengembangan perkebunan yang sudah ada
b.
Belajar dari pengalaman mass lalu, pada saat harga komoditas perkebunan jatuh, petani menelantarkan kebunnya. Pada saat harga komoditas perkebunan bagus, petani tidak mempunyai kemampuan untuk menabung dalam rangka investasi. Saat ini Pemerintah telah meluncurkan Program Revitalisasi Perkebunan dengan skim keringanan bunga (subsidi bunga), skim penjaminan kredit melalui Skim Pembiayaan Pembangunan Pertanian (SP3) dan lainnya. Kini saatnya Pemerintah menerapkan kebijakan bidang moneter untuk mendukung sustainabilitas perkebunan melalui peningkatan produktivitas. Lembaga perbankan diminta untuk berbuat di perkebunan dengan mengefektifkan pembiayaan kredit produksi dan investasi sebagai pendamping subsidi bunga dan penjaminan dari Pemerintah, serta dalam keadaan darurat kredit konsumsi. Hal ini masih rasional karena mass depan perkebunan masih cukup prospektif dan cukup tangguh.

Mengatasi masalah mendasar perkebunan Indonesia.

Masalah kelangkaan dan harga pupuk mahal merupakan masalah mendasar yang saat ini dihadapi pelaku usaha perkebunan, termasuk petani. Penyediaan pupuk subsidi untuk perkebunan sangat urgen dan hal ini dapat dilakukan dengan menghentikan ekspor pupuk N dan meningkatkan impor pupuk fosfat serta mengembangkan dan menyediakan pupuk altematif.
Masalah lain yang mendesak untuk ditangani adalah penerapan standar teknis pemeliharaan kebun di perkebunan rakyat terutama perkebunan kakao. Perkebunan kakao harus terhindar dari penyebaran gangguan hama dan penyakit, terutama hama penggerek bush kakao (PBK) dan penyakit vascular streak dieback (VSD). Pemerintah perlu menjadikan pemangkasan tanaman kakao di perkebunan rakyat sebagai gerakan nasional peningkatan produktivitas dan kehilangan hasil. Terakhir tapi bukan berati tidak penting adalah masalah efisiensi. Pelaku usaha harus mampu menghemat pembiayaan opersional dan beban di luar biaya opersionalnya. Hal ini ditunjang dengan pengurangan beban sebagai akibat dari peraturan Pemerintah Pusat dan Daerah, terutama terkait dengan berbagai bentuk pungutan/retribusi.

2. Langkah Fundamental Jangka Panjang
a. Peningkatan daya saing
Daya saing komoditas dan produk perkebunan dilihat dalam hubungannya dengan efisiensi operasi perusahaan relatif terhadap komoditas dan produk perkebunan yang dihasilkan perusahaan lain di luar negeri yang dicerminkan dari unit value (US$). Dalam pengertian ini, nilai komoditas dan produk perkebunan Indonesia secara relatif dapat disandingkan dengan komoditas dan produk sejenis dalam kaitannya dengan mutu dan konsistensinya, kontinyuitas pasokan, dan kepercayaan pengimpor. Pada makalah ini uraian lebih rinci tentang peningkatan daya saing akan dicontohkan pada kasus komoditas kopi.

b. Rehabilitasi/peremajaan kebun-kebun yang rusak/tidak produktif
Masalah rehabilitasi/peremajaan dilakukan untuk menjamin keberlanjutan usaha perkebunan, terutama perkebunan rakyat. Sebagian besar petani dengan tingkat kemampuan yang dimilikinya umumnya tidak akan mampu melakukan rehabilitasi/peremajaan secara swadaya. Keberpihakan Pemerintah ke petani tetap diperlukan baik secara langsung maupun tak langsung melalui intermediasi lembaga keuangan dan perusahaan perkebunan. Pemerintah harus berbuat secara efektif dalam membantu rehabilitasVperemajaan perkebunan, terutama perkebunan rakyat. Implementasi dan realisasi komitmen perbankan untuk pelaksanaan Revitalisasi Perkebunan perlu dipercepat, sehingga dalam waktu 4-6 tahun ke depan, produktivitas perkebunan meningkat secara signifikan
Sudah saatnya hasil-hasil pungutan, misal pungutan ekspor CPO dan olahannya, sebagian digunakan untuk rehabilitasi/peremajaan perkebunan kelapa sawit. Ke depan pada saat harga sudah membaik, penggalian dana melalui pungutan ekspor ini dapat diterapkan ke komoditas perkebunan lainnya. Peruntukan dana yang terkumpul di antaranya untuk rehabilitasVperemajoan. Dalam kasus pungutan dan rehabilitasi/peremajaan perkebunan ini, Malaysia dan Thailand telah rnelakukannya sejak beberapa tahun lalu hingga sekarang.

3. Langkah Penunjang
(a) Pemerintah harus gist mempromosikan komoditas dan produk perkebunan Indonesia ke berbagai negara dalam berbagai kesempatan dengan menggunakan berbagai media dan metoda.
(b) Pemerintah harus lebih mengefektiikan lobi-lobi perdagangan melalui lembaga-lembaga internasional dimana Indonesia sebagai anggota untuk selalu memasukkan komoditas dan produk perkebunan Indonesia sebagai salah sate andalan.
(c) Dalam menangani ancaman dan masalah yang dihadapi sektor perkebunan, Pemerintah tetap harus mengatur dan mengontrol sektor perkebunan dengan dukungan legalitas supaya mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
(d) Pemerintah menyediakan informasi yang up to date tentang perkembangan pasar komoditas, pasar uang dan industri di luar negeri serta berbagai perkembangan ekonomi dan teknologi di negara-negara pengimpor komoditas dan produk perkebunan.
(e) Pemerintah mengembangkan pemikiran kreatif dengan belajar dari pengalaman mass lalu yang sejenis untuk tetap menangani masalah dengan tenang dan tidak panik.

Contoh Kasus: Peningkatan Dayasaing Komoditas Kopi
Saat ini Indonesia merupakan negara produsen kopi utama keempat setelah Brasil, Vietnam, dan Colombia. Pada tahun 2006 lugs areal kopi Indonesia total mencapai 1.309.732 juta ha dengan total produksi nasional sebanyak 682.158 ton. Di antara luasan tersebut yang merupakan tanaman menghasilkan (TM) hanya sekitar 75 % serta sisanya merupakan tanaman tua/rusak (TT/TR) dan tanaman belum menghasilkan (TBM). Was areal maupun produksi tersebut terdiri atas 96 % Perkebunan Rakyat, 2 % Perkebunan Negara, dan 2 % Perkebunan Swasta. Sumatra menghasilkan sekitar 70 % dari total produksi nasional, adapun provinsi-provinsi sentra produksi utama adalah Lampung, Sumatra Selatan, Bengkulu, Sumatra Utara, dan NAD. Kopi merupakan sumber mate pencaharian utama bagi sebanyak 1.589.334 rumah tangga petani (Direktorat Jendral Perkebunan, 2007).
Indonesia menghasilkan tiga jenis kopi yaitu Arabika (Coffee arabica L.), (C. canephora Pierre), dan Liberika (C. fibefica Bull.). Kopi Uberika akhir-akhir inf'mulai banyak berkembang di lahan pasar surut di Sumatra dan Kalimantan, namun karena kuantum produksinya sangat sedikit maka dalam perdagangan dimasukkan dalam kelompok Robusta.
Pada tahun 2006 ekspor kopi Indonesia sebanyak 307.880 ton dengan nilai sebesar USD 497 juta dengan negara-negara tujuan utama adalah Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Italia dan Singapura. Volume ekspor kopi dalam 1996–2005 (10 tahun) menunjukkan pertumbuhan negatif dengan rata-rata -0,47 % per tahun. Perkembangan volume dan nilai ekspor kopi tahun 1996 –2005 sebagai tertera pada Gambar 1.
Pada tahun 2004 tercatat peran kopi sebagai pendapatan devisa total terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), Sektor non Migas, dan Sektor Pertanian berturut-turut sebesar 0,35 %, 0,45 %, dan 10,06 % (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia, 2007). Peran kopi sebagai sumber pendapatan devisa akhir-akhir ini cenderung menurun, namun hal ini bukan karena volume dan nilai ekspor kopi menurun akan tetapi lebih disebabkan karena meningkatnya peran komoditas lain seperti kelapa sawit, produk-produk perikanan, dll.
Sebagian besar kopi Indonesia diekspor, sehingga di pasar internasional kopi dari Indonesia akan menghadapi persaingan yang cukup ketat dengan kopi dari negara-negara lain. Daya saing pasar kopi Indonesia akan menjadi salah satu kunci panting dalam memenangkan pasar ekspor. Di lain pihak sebagian besar (96 %) kori Indonesia dihasilkan oleh petani kecil dengan berbagai keterbatasannya.

1. Pasar Kopi Indonesia
Berdasarkan tempatnya perdagangan fisik kopi biji Indonesia memiliki dua macam pasar, yaitu pasar internasional dan pasar domestik.
a. Pasar Internasional
Kondisi pasar internasional kopi sangat dinamis dan sangat dipengaruhi oleh faktor fundamental pemasaran, yaitu pasok (supply) dan permintaan (demand). Pasok kopi dunia sangat ditentukan oleh keberhasilan panen di Brasil dan Vietnam. Keberhasilan panen di Brasil sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca, yaitu tedadinya embun upas (frost) di kawasan yang telah mendekati sub tropika dan cekaman air di kawasan tropika. Kawasan tropika Brasil sekarang banyak menghasilkan kopi robusta yang popular dengan Hama conillon. Adapun faktor slam yang sering menggangu produksi kopi Vietnam adalah cekaman kekeringan, khususnya di kawasan¬kawasan yang tidak mendapatkan fasilitas idgasi yang memadai.
Tingkat produksi kopi dari dua negara tersebut akan sangat mempengaruhi harga kopi dunia. Keberhasilan panen di dua negara tersebut akan berdampak terhadap penurunan harga kopi dunia secara signifikan, dan sebaliknya jika tedadi kegagalan panen.
Dalam lima tahun terakhir produksi kopi dunia mencapai sekitar 6,5 juta ton, adapun Brasil menghasilkan sekitar 2,5 juta ton dan Vietnam sekitar 0,9 juta ton. Jadi dua negara tersebut telah menghasilkan lebih dari 50 % produksi dunia.
Permintaan kopi dunia sangat dipengaruhi konsumsi. International Trade Centre (2002) memperkirakan laju konsumsi dunia hanya sekitar 1,7 % per tahun. Pertumbuhan konsumsi kopi dunia ini lebih dipengaruhi oleh faktor pertambahan penduduk dunia, walaupun di beberapa negara jugs terjadi peningkat konsumsi per kapita per tahun seperti yang tedadi di Jepang dan Brasil.
Dalam perdagangan kopi, International Coffee Organization (ICO) membagi kopi biji menjadi kelompok Arabike (Colombian Mild, Other Mild, dan Brazilian Natural) don Robusta. Volume dan nilai ekspor kopi dunia selama empat tahun terakhir sebagai tersebut pada Tabel 1. Pasar kopi internasional akhir-akhir ini juga tersegmentasi berdasarkan sifat produknya, yaitu segmen pasar komersial (commercial) dan segmen pasar spesialti (specialty). Kopi komersial akan membanjiri pasar utama yang lebih menekankan pada aspek kuantitas sehingga sering kali disebut dengan istilah main stream (arus utama), sedangkan kopi spesialti hanya mengarah pada pasar-pasar khusus yang lebih mengutamakan mutu citarasa sehingga sering kali disebut dengan niche market (ceruk pasar).
Hasil kajian tentang kecenderungan minum kopi secara nasional, menunjukkan bahwa konsumsi minum kopi gourmet (specialty) orang dewasa Amerika Serikat meningkat sebanyak 3% yaitu menjadi 17% pada tahun 2008 dibanding dengan 14% pada tahun 2007 (NCA, 2008). Kecenderungan peningkatan konsumsi kopi spesialti ini juga terjadi di negara-negara konsumen lainnya. Kopi spesialti dalam sepuluh tahun terakhir telah menjadi salah satu bagian dari gays hidup (life style) masyarakat yang dicirikan dengan menjamumya gerai-gerai kopi bertaraf internasional seperti Starbuck Coffee, Coffee Bean & Tea Leaf, dll.
Kecenderungan peninggkatan konsumsi kopi spesialti ini hart's dimanfaatkan dengan baik oleh kalangan industri kopi nasional, oleh karena itu produksi kopi spesialti dari Indonesia pedu dimantapkan dan dikembangkan. Pemantapan produksi kopi spesialti perlu diprioritaskan pada apek mutu, karena kopi spesialti diperdagangkan dengan tolok ukur citarasa yang unsur subyektivitasnya cukup tinggi.
Konsumen kopi dunia tergolong sangat dinamis. Akhir-akhir ini dalam mengkonsumsi kopi mereka mereka tidak sekedar ingin memenuhi kebutuhan (need) dan kehendak (want) saja, akan tetapi mereka juga memiliki harapan-harapan (expectations) terhadap kopi yang mereka konsumsi. Harapan-harapan konsumen ini terjadi karena adanya proses pencerahan (enlighting) di tingkat konsumen sebagai akibat derasnya arus informasi pasar akhir-akhir ini (Kartajaya, 2001). Sebagai contoh mereka mengharapkan kopi yang dikonsumsi ramah terhadap lingkungan hidup, amen terhadap kesehatan, terjadi perdagangan yang berimbang (fair trade), dll.
Pada tahun 2005 jumlah kopi yang disangrai industri-industri kopi sebanyak 129.880 ton untuk menghasilkan kopi biji sangrai, kopi bubuk, maupun kopi instan. Jumlah tersebut belum termasuk pabrik-pabrik kecil industri rumah tangga yang biasanya tidak memiliki ijin industri dan kopi yang disangrai sendiri di rumah-rumah tangga.Indikator lain adanya peningkatan konsumsi domestik adalah makin meningkatnya impor kopi dari luar negeri seperti yang tertera pada Tabel 3. Impor kopi biasanya dalam bentuk kopi sangrai bermerek terkenal untuk keperluan penyajian di hotel dan restotaran yang banyak dikunjungan orang asing.
Seperti gejala yang muncul di negara-negara konsumen kopi utama, adanya gejala bahwa kopi sebagai salah satu bagian gays hidup juga sudah mulai muncul di Indonesia. Hal ini selain karena makin menjamumya gerai-gerai kopi bertaraf intemasional juga makin tumbuhnya gerai¬gerai kopi domestik seperti Excelso, Caswell's, dll.
Perkembangan konsumsi kopi domestik ini perlu dicermati dengan baik agar dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pemasaran kopi produksi perkebunan rakyat. Tuntuten masyarakat konsumen kopi domestik terhadap mutu akhir-akhir ini juga makin meningkot, sethingga pars petani harus diedukasi agar dapat memproduksi barang yang mutu dan harganya mampu bersaing di pasar.
Peningkatan daya saing pasar kopi rakyat di tingkat intemasional maupun domestik sudah barang tentu harus memperhatikan karakteristik masing-masing pasar, namun ada beberapa hal faktor mendasar yang serupa. Faktor-faktor penetu daya saing tersebut antara lain mutu (fisik dan citarasa), harga, dan jumlah serta keberlanjutan pasok.

2. Membanguan Dayaraing Komoditas Kopi
a. Peningkatan Produktivitas Kebun dan Produksi Nasional
Akhir-akhir ini banyak kalangan pengamatan perdagangan kopi intemasional mulai mengkhawatirkan keberlanjutan pasok kopi dunia pada tahun-tahun yang akan datang. Hal ini diduga karena laju konsumsi kopi dunia relatif tetap (sekitar 1,5% per tahun), akan tetapi laju pertumbuhan ekspor beberapa negara penghasil utama menurun antara lain karena meningkatriya konsumsi domestik.
Bagi Indonesia, kekhawatiran tersebut merupakan peluang untuk meningkatkan produktifitas dan produksi nasional. Produkstivitas kopi nasional sekitar 700 kg/ha diharapkan dapat ditingkankan menjadi sekurang-kurangnya 1.000 kg/ha melalui program intensifikasi. Jika hal tersebut dapat dicapai maka produksi nasional akan mencapai sekurang-kurangnya 1 juta ton atau setara dengan 16,6 juta karung. Intensifikasi perkebunan kopi perlu memperhatikan petani dalam melakukan diversifikasi usaha tani dalarn rangka memperkecil risiko usaha berbasis kopi.Peningkatan produksi nasional akan berdampak pada kemampuan Indonesia dalam menjamin keberlanjutan pasok kopi di pasar dunia.

b. Pemberdayaan Kelembagean Produsen Tani
Petani kopi di Indonesia pada umumnya merupakan petani kecil dengan lugs areal usaha tani rata-rata 1,0–2,0 ha, oleh karena itu pemberdayasn kelompok tani akan menjadi salah satu faktor penting dalam upaya meningkatkan daya saing produk yang . mereka hasilkan. Pemberdayaan kelompok tani selain diharapkan akan menunjang produktivitas kebun juga dapat meningkatkan mutu dan mengurangi masalah keragaman produk yang dihasilkan oleh masing¬masing petani kecil, khususnya dari segi mutu.
Pemberdayaan kelompok tani dalam rangka peningkatan daya saing pasar kopi sekurang¬kurangnya memiliki tiga unsur penting, yaitu: (1) Pembentukan dan penguatan kelompok tani, (2) Penguatan ilmu pengetahuan dan teknologi di tingkat petani, dan (3) membangun prasarana dan sarana produksi yang diperlukan.
Pembentukan kelompok tani merupakan hal yang mendasar dan merupakan tahapan penting. Pada etnik tertentu biasanya kelompok tani telah terbentuk secara tradisonal karena terkait adat, walaupun seringkali perlu adanya penyesuaian dengan kegiatan ekonomi yang akan dilaksanakan. Kelompok tani yang embrionya terbentuk secara adat misainya di Bali ada Subak, di lembah Baliem memiliki "Kepala Suku Kemakmuran" yang mngurus tentang pertanian dan peternakan, dll.
Pembentukan kelompok tani hendaknya dilakukan oleh para petani sendiri agar mereka seder tentang maksud dan tujuan berkelompok. Bantuan pihak lain (Pemerintah, LSM, dll.) dalam pembentukan kelompok tani sebaiknya bersifat fasilitasi dan konsultansi. Kelompok tani diharapkan sebagai wahana bagi para petani untuk meningkatkan kinerja dan menyelesaikan masalah-masalah sosial serta ekonomi yang mereka hadapi.
Dalam proses produksi kopi, kelompok tani diharapkan sebagai serene untuk menyamakan persepsi dalam melakukan budidaya kopi. Hal ini penting agar tingkat produktivitas kebun mereka tidak terlalu beragam, baik dari segi jumlah maupun mutu mutu kopi gelondong sebagai bahan baku pengolahan secara berkelompok. Mutu citarasa kopi sangat ditentukan oleh mutu bahan baku kopi gelondong di kebun.
Dengan adanya kelompok tani diharapkan petani dapat mengolah kopi gelondong secara bersama-sama, sehingga terjadinya keragaman mutu antar petani dapat diporkocil atau bahkan ditiadakan.
Penguatan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) tepat guns di tingkat petani perlu dilakukan agar petani memiliki pemahaman y,)ng baik dalam berproduksi. Petani harus memiliki pengetahuan yang baik terhadap faktor4aktor yang menentukan mutu kopi agar mereka selama proses produksi tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menurunkan mutu kopi.
Penguatan IPTEK dapat dilakukan melalui penyuluhan dan pelatihan, namun yang lebih efektif adalah dengan cars memberikan pengawalan (backstopping) secara langsung di tingkat petani selama mereka berproduksi. Pengawalan teknologi secara langsung oleh tenaga ahli yang kompeten akan memberikan motivasi kepada para petani untuk berproduksi dengan baik, selain itu jika terjadi kesenjangan hasil karena kesalahan teknis akan dapat diatasi secara dini.
Kebun kopi petani banyak yang terdapat di kawasan yang teriosolir dan belum memiliki akses jalan yang baik. Pada kawasan seperti ini pare petani pedu dibantu dengan pembangunan jalan produksi. Kopi gelondong hasil petik petani harus segera diolah untuk mendapatkan mutu citarasa yang baik, jika terjadi keterlambatan dalam pengolahan dapat menimbulkan carat rasa yang pada gilirannya akan sangat menurunkan daya saing di pasar.
Kelompok tani yang belum memiliki sarana untuk berproduksi seperti misalnya tempat pengolahan hasil serta alai dan mesin pertanian, perlu dibantu oleh pihak lain. Dalam hal ini biasanya peran pemerintah cukup dominan, namun seringkali bantuan sarana produksi juga diberikan oleh lembaga swadaya masyarakat. Pemberian bantuan kepada kelompok tani sebaiknya disertai dengan upaya menggali peran serta swadaya masyarakat setempat.

c. Membangun Sistem Produksi yang Kompeddf
Kebanyakan pertani kopi di Indonesia masih melakukan proses produksi secara individual menurut tradisi setempat. Pole produksi mereka sudah terbentuk secara turun temurun, walaupun di enters mereka juga sudah ada mulai memodifikasinya karena telah belajer dari sesama petani atau penyuluh. Produksi kopi dari perikebunan rakyat di Indonesia pada umumnya belum memiliki sistem yang baik, sehingga daya saing produknya rendah.
Mengingat tuntutan konsumen kopi dunia akhir-akhir ini makin meningkat dan terdeferensiasi, make dalam rangka meningkatkan daya saing kopi rakyat perlu dibangun sistem produksi yang efektif dan efisien. Sistem produksi yang dibangun sekurang-kurangnya mampu memhasilkan tiga hal, yaitu: (1) jumlah produksi minimal yang dibutuhkan pasar, (2) memberikan jaminan mutu dan keamanan pangan, serta (3) memberikan jaminan pasok yang berkelanjutan (sustainable supply).
Jumlah minimal produksi dengan mutu yang same sesuai dengan kebutuhan industd pedu ditekankan kepada kelot ipok tani. Biasanya eksportir atau industriawan kopi menghendaki jumlah minimal produksi adalah satu kontainer ukuran 18 feet atau cetera dengan 18 ton kopi biji slap ekspor. Jika satu kelompok tani tidak mampu memproduksi jumlah minimal tersebut, make kelompok tersebut sebaiknya bekerjasama dengan kelompok lain.
Untuk menyeragamkan proses produksi di tingkat kelompok tani maupun enter kelompok tani perlu adanya Standard Operational Procedure (SOP). SOP merupakan panduan kerja bagi kelompok tani. Pengalaman dalam pembinaan perbaikan mutu di tingkat petani menunjukkan bahwa SOP sangat membantu dalam proses produksi dan produk yang dihasilkan lebih seragam.
Selain itu SOP diharapkan akan mengefisienkan beaya produksi di tingkat kelompok tani, sehingga harga dasar produk menjadi lebih murah. Harga yang lebih murah akan meningkatkan daya saing produk di pasar.
Jaminan mutu dan keamanan pangan akan menjadi salah faktor penentu dayasaing pasar kopi domestik maupun intemasional pada waktu yang akan datang, karena kopi tergolong dalam produk pangan dan penyegar (food and beverage). Proses produksi kopi di tingkat kelompok tani juga perlu memperhatikan aspek jaminan mutu dan keamanan pangan. Sistem jaminan mutu biasanya mengacu pada ISO (International Organization for Standardization), sedang sistem jaminan keamanan pangan biasanya mengacu pada HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points). Dari aspek keamanan pangan kopi yang diproduksi terutama harus babas dari kontaminan seperti residu pestisida, toxin (aflatoxin, ochratoxin), dll.
Kelompok tani perlu diberi informasi bahwa mereka merupakan bagian dari sistem industri kopi di pasar global. Oleh karena itu, kelompok tani juga harus memiliki kepeduliaan terhadap keberlanjutan industri kopi global. Salah satu hal penting yang dilakukan kelompok tani adalah memberikan jaminan pasok kepada industri secara berkelanjutan. Industri kopi harus bersaing ketat di pasar konsumen akhir, oleh karena itu mereka biasanya menawarkan produk-produk yang memiliki keunggulan kompetitif seperti citarasa, nilai sejarah, isu lingkungan hidup, dll. Apabila industri telah membuat varian produk tertentu maka perlu adanya dukungan pasok bahan baku yang berkelanjutan.

d. Membangun Sistem Pemasaran yang Eftien
Upaya untuk meningkatkan daya saing kopi rakyat tidak dapat lepas dengan aspek penerapan teknologi inovatif dalam berproduksi. Sebaliknya, untuk memotivasi petani agar mau menerapkan teknologi baru memerlukan insentif yang dapat memotivasi petani. Para petani akan selalu bertanya tentang nilai tambah yang dapat mereka peroleh dari penerepan teknologi baru, dan pengalaman selama ini insentif yang paling efektif adalah insentif harga. Para petani akan termotivasi jika dengan penerapan teknologi baru akan meningkatkan nilai jual produk mereka.
Membangun sistem pemasaran yang efisien untuk kopi rakyat sangat penting untuk dilakukan agar petani dapat memperoleh insentif harga. Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam membangun sistem pemasaran kopi rakyat yang efisien antara lain orientasi pasar, kemitraan bisnis, dan peluang pemasaran langsung.
Untuk membangun daya saing kopi rakyat pedu orientasi pasar yang jelas. Faktor-faktor fundamental seperti bauran pernasaran (produk, harga, promosi, dan distribusi) dan STP (segmentation, targeting, positioning) harus diperhatikan dengan baik. Produk yang dihasilkan harus jelas tentang tipe dan mutunya agak konsumen dapat mengenal dengan baik karakter barang yang mereka konsumsi. Hal ini akan membuat konsumen loyal jika mereka puss dalam rriengkonsumsi dan mengenali barangnya dengan baik. Apabila konsumen telah loyal terhadap suatu produk, maka daya saing produk tersebut akan tinggi. Sebagai contoh banyak konsumen kopi di jepang yang telah loyal mengkonsurnsi kopi Toraja, dan mereka mengenal dengan baik tentang karakter citarasa kopi Toraja.
Efisiensi pemasaran dapat diperoleh dengan care membangun kemitraan antara petani kopi dengan eksportir dan/atau industri pengolah kopi. Somardjo et al. (2004) menyebutkan adanya lima macam pola kemitraan dalam agribisnis, yaitu: (1) inti–plasma, (2) sub kontrak, (3) dagang umum, (4) keagenan, dan (5) kerjasama operasional (KSO). Untuk kasus kopi rakyat yang banyak terjadi adalah kemitraan pola dagang umum, bahkan seringkali aspek. ekploitasi di pihak petani oleh pedagang masih sering ditemukan. Dalam hal ini prinsip sating menguntung dan memperkuat dalam kemitraan sulit diwujudkan.
Untuk membangun kemitraan antara kelompok petani kopi dengan eksportir dan/atau indistriawan kopi, maka Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia telah membuat Model Kemitraan Bermediasi yang disingkat dengan MOTRAMED (Mawardi et al., 2006).

e. Sertifikasi dan Perlindungan Hukum
- Sertifikasi
Pada perdagangan komoditas kopi dunia, akhir-akhir ini terjadi kecenderungan yang meningkat akan produk-produk bersertifikasi. Sertifikasi pada perdagangan kopi sebenamya sudah lama bedangsung, khususnya terhadap mutu fisik barang. Namun, akhir-akhir Ini mark berkembang tentang sertifikasi produk kopi berdasar proses produksi dan sistem pemasarannya.
Sertifikasi produk kopi pada prinsipnya merupakan pernystean oleh pihak katigs yang indenden bahwa suatu jenis kopi telah diproduksi sesuai menurut panduan tindak (code of conduct) atau seringkali disebut "standar" yang disusun oleh suatu lembaga tertentu, yang diharapkan dengan adanya sertifikasi tersebut ke depan akan terwujud sistem produksi kopi yang berkelanjutan. Lembaga penyedia panduan biasanya merupakan LSM independen yang sangat aktif, walaupun demikian ada juga suatu perusahaan dan lembaga pemerintah.
Sertifikasi ini sebenarnya sangat terkait dengan tuntutan masyarakat internasional tentang pentingnya terwujudnya pembangunan pertanian yang bekelanjutan (sustainable agriculture development), Berta selaras dengan deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang termaktub dalam Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals–MDG's). MDG's memiliki tiga pilar utama sebagai penyangga yaitu secara ekonomi layak, secara sosial dapat diterima, dan ramah terhadap lingkungan hidup.
Dengan adanya sertifikasi tersebut konsumen akan yakin bahwa kopi yang mereka konsumsi telah dibudidayakan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelonjuten, sehingga mereka juga bersedia membayar sedikit lebih mahal dalam rangka peduli terhadap aspek-aspek sosial dan lingkungan hidup.Dalam sertifikasi produk kopi ada tiga unsur panting yaitu produsen kopi, lembaga panduan yang menyediakan tindak (code of conduct) dan lembaga independen yang melakukan sertifikasi . Program-program sertifikasi produk pada tanaman kopi pada saat ini sudah cukup banyak seperti: Organic, Fairtrade, Utz Certified, Rainforest Alliance, C.A.F.E Practices, 4C, dan Indikasi Geografis.
Sertifikasi terhadap produk kopi yang pertama kali dilakukan adalah sertifikat organik pada kopi arabika dari Gayo yang diproduksi oleh P.D. Genap Mupakat, yaitu terjadi pada tahun 1992.Pada saat ini kopi dari Indonesia telah banyak yang mendapatkan sertifikasi terhadap proses produksi. Adapun jenis sertifikat yang telah diperoleh adalah organic, fairtrade, C.A.F.E. Practices, dan Utz Certified. Satu produk kopi dapat memperoleh satu macam atau lebih sertifikat, misalnya organik saja atau C.A.F.E. Practices saja atau Utz Certified saja. Namun ada juga produk kopi yang sudah mendapat sertifikat lebih dari satu macam, misalnya organik sekaligus fairtrade.
Permintaan konsumen terhadap produk kopi bersetifikat akhir-akhir ini makin meningkat sejalan dengan kesadaran konsumen global jntuk terlibat dalam menyukseskan pembangunan berkelanjutan. Kopi bersertifikat slap konsumsi pada awalnya hanya dipasarkan di kedai-kedai tertentu dan hanya diproduksi oleh beberapa prabrikan tertentu, namun akhir-akhir ini kopi bersertifikat sudah mulai dipasarkan lebih meluas di negara-negara konsumen utama termasuk di super market. Laju permintaan kopi bersetifikat diperkirakan sekitar 10% per tahun.
Perkembangan preferensi konsumen akan produk kopi bersertifikat ini sudah barang tentu akan berdampak terhadap pemasaran kopi biji dari negara-negara produsen. Para eksportir kopi di Indonesia, khususnya kopi Arabika, akhir-akhir ini telah banyak yang berusaha untuk mendapatkan sertifikat produk kopi biji yang akan diekspor. Akhir-akhir ini beberapa eksportir mulai merasakan mulai terasa sulit untuk mendapatkan harga kopi Arabika yang baik jika produknya tidak sertifikat. Untuk produk kopi Arabika spesialti yang paling banyak diminati konsumen akhir¬akhir ini adalah sertifikasi ganda, yaitu organik sekaligus fairtrade. Para pemangku kepentingan perkopian di Indonesia pedu mengantisipasi kecenderungan pasar ini, khususnya yang bergerak dalam bidang perdagangan dalam rangka meningkatkan Daya saing.
Perlindungan Hukum
Indonesia memiliki banyak macam kopi yang memiliki citarasa khas karena pengaruh faktor geografis dan memiliki reputasi di pasar domestik maupun internasional seperti Toraja coffee, Java coffee, Bali Kintamani coffee, Kalosi coffee, Mandheling coffee, Gayo coffee, dll Kopi-kopi yang memiliki reputasi baik tersebut rawan terhadap pemalsuan, oleh karena itu perlu terhadap produk¬produk tersebut perlu adanya pedindungan hukum.
Di Indonesia perlindungan hukum terhadap produk yang memiliki Indikasi geografis dalam diberikan berdasarkan Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Berdasarkan Undan¬undang tersebut telah terbit Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Dalam era pasar global dan persaingan yang semakin ketat, seperti yang telah terjadi saat ini dan jugs pada tahun-tahun yang akin datang, diferensiasi produk merupakan sarana panting untuk menadk perhatlan konsumen. Sepertl haInys pada merek dagang, Indikesi Geografis (IG) memegang peranan vital dalam memberikan kesan kepada konsumen tentang adanya nilai tambah pada produk yang ditawarkan, baik mengenai kualitas maupun sifat-sifat yang depat meningkatkan dayasaing suatu produk (WIPO, 2003).
Produk dengan perlindungan IG telah terbukti memiliki dayasaing yang cukup kuat dan akhir-akhir ini banyak dikembangkan di berbagai negara. Adapun negara-negara yang telah lama dan maju di dalam, pengembangan dan pernasatan produk yang memiliki perlindungan IG adalah di kawasan benua Eropa, khususnya yang telah tergabung dalam Uni Eropa (European Union, EU). Latar belakang perlindungan IG antara lain karena hal-hal sebagai berikut:
1. Terdapat produk-produk yang memiliki mutu dan reputasi tinggi karena pengaruh tempat asalnya,
2. Produk-produk tersebut berasal dari kawasan spesifik,
3. Para produsen di kawasan produksi senantiasa sating berbagi pengetahuan,
4. Para produsen merasakan adanya peningkatan penjualan,
5. Para produsen menginginkan adanya sistem perlindungan hukum terhadap produk-produk mereka.
Beberapa negara yang telah mulai mengaplikasikan perlindungan IG untuk produk-produk kopi spesifik lokasi seperti di Colombia, Viet Nam, Mexico, dll.

Daftar Pustaka,

AEKI. 2005. Statistik Kopi 2003 – 2005. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia, Jakarta, 75 h.

Boling, R.R. 2008. Anuado brasiliero do cafe 2008. Editoris Gazeta Santa Cruz, Santa Cruz do Sul (Brasil), 128 p.

Direktorat Jendral Perkebunan, 2007. Statistik Perkebunan Indonesia Tahun 2006 – 2008. Kopi. Jakarta, 71 h.

Direktorat Jendral Perkebunan. 2007. Direktori Perkebunan Indonesia 2007 – 2008. Direktorat Jendral Perkebunan, Jakarta, 398.

International Coffee Organization. 2008. Annual review. ICO, London, 36.

International Trade Centre. 2002. Coffee, an exporter's guide. ITC, Geneve, 310 p.

Kartajaya, H. 2001. Marketing Plus 2000, siasat membangun pasar global. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 539 h.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarak.it. 1986. Laporan rampung penelitian serta saran methods promosi dan usaha peningkatan konsumsi kopi di dalam negeri. LPEM Fak. Ekonomi UI, Jakarta, 121 h.

LRPI. 2008. Dad krisis financial global ke resesi global: Langkah-langkah antisipasi yang harus diperbuat untuk penyelematan sektor perkebunan Indonesia. Rumusan Diskusi Terbatas Ahli Ekonomi Pertanian, Lembaga Riset Pencebunan Indonesia, Bogor, 11 Oktober 2008, Tidakditerbitkan.

Surip Mawardi, Cahya Ismayadi, Aris Wibawa, Sulistyowati & Yusianto. 2006. Model kemitraan bermediasi (MOTRAMED) untuk pengembangan agribisnis kopi melalui perbaikan mutu dan sistem pemasaran di tingkat kelompok tani. Simposium Kopi 2006, Surabaya, 2 – 3 Oktober 2006,

NCA. 2008. Americans drinking more gourmet coffee. Coffee and Cocoa Int. 35 (2), 30 – 31.
Sumardjo, J. Sulaksana & W.A. Darmono. Teori dan praktek kemitraan agribisnis. Penebar Swadaya, Jakarta, 88 h.

WIPO. 2003. Introduction to geographical indication and existing means of protection. MPO Asia and the Pacific regional symposium on the protection of geographical indications, New Delhi, 18 – 20 November 2003, 25 p.***

Oleh: Dr. Surip Mawardi Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dan Display Product dalam rangka Dies Natalis Fakultas Pertanian Universitas Jember ke-44, Jember, 23 Desember 2008.

Read more.....

Kamis, 22 Januari 2009

Pembangunan Pedesaan, Pertanian,dan Ketahanan Pangan)*

Memperbincangkan pembangunan, khususnya di negara berkembang, tidak bisa lepas dari wilayah pedesaan. Sebabnya sederhana, sebagian besar penduduk di negara berkembang beiniukini di daerah pedesaan dan mayoritas bekerja di sektor pertanian. Di luar itu, wilayah pedesaan karena lokasinya yang jauh dari pusat kota/ pembangunan dicirikan oleh terbatasnya infrastruktur ekonomi, sedikitnya (Download dalam bentuk file, Click Here)kesempatan kerja di
luar pertanian (non-farm), dan jauh dari pasar (Yustika, 2003:27). Dengan kondisi tersebut, tidaklah mungkin menyelenggarakan pembangunan di negara berkembang tanpa melibatkan wilayah pedesaan.
Bahkan, pembangunan di negara berkembang hares melihat wilayah pedesaan dan sektor pertanian sebagai fokus dan target pembangunan. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan di negara berkembang bisa dilihat dari perkembangai, di wilayah pedesaan sendiri. Bila mayoritas penduduk di pedesaan bisa melakukan mobilitas sosial-ekonomi (pembangunan), maka bisa disimpulkan pembangunan di negara berkembang telah menjangkau sebagian besar warga negaranya; demikian sebaliknya.

Pembangunan Pedesaan dan Masalah Modal
Wilayah pedesaan di dunia ketiga biasanya dideskripsikall sebagai tempat bagi orang-orang untuk bekerja di sektor pertanian. Sementara itu dalam pengertian yang sempit, desa adalah suatu masyarakat pars petani yang mencukupi hidup sendiri (swasembada) [Boeke, 1983:16]. Dengan gambaran tersebut, adalah benar jika sebagian besar penduduk desa merupakan kelompok masyarakat miskin. Ciri penting dari penduduk di pedesaan ini adalah masalah kepemilikan tanah. Tanah masih merupakan dasar utama dari kesejahteraan dan kekuatan politik di wilayah dalam pertanian, dapat dilihat dari tingkat keterlibatan rumah tangga tersebut dalam aktivitas lain dan mengamati struktur pendapatan dari sumber-sumber yang lebih lugs. Beberapa penulis menggunakan istilah "household survival strategies" sebagai cara bagi penduduk desa untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul. Jumlah tenaga kerja yang tersedia akan berubah karena faktor kelahiran, kematian, perkawinan, sakit, kehamilan, dan migrasi. Begitulah gambaran umum tentang wilayah pedesaan dengan dinamika penduduknya (Dixon, 1990:1-2).

Dalam perspektif pembangunan, Boeke yang pernah melakukan penelitian di Hindia Belanda- menyimpulkan bahwa perekonomian di Indonesia (Hindia Belanda), Jaws khususnya, terbagi dalam dua sektor tradisional dan modern yang Baling tidak berhubungan. Untuk mengatasi ketidakseimbangan akibat perekonomian dualistik tersebut, menurut Boeke, sektor tradisional perlu dirangsang melalui insentif ekonomi dan peningkatan teknologi produksi, meskipun hasilnya tak akan segera tampak. Sebaliknya, Geertz menyatakan upaya perbaikan macam apapun tidak akan berhasil dilakukan. Menurut Scott, persoalan yang berlaku pada masyarakat pedesaan adalah rasionalitas social yang lebih mementingkan kebersamaan ketimbang persaingan. Prinsip moral lebih dominan daripada rasionalitas ekonomi sehingga pendekatan ekonomi akan sulit "bekerja" pada masyarakat desa. Penetrasi dari luar, baik menyangkut aspek kelembagaan maupun teknologi, malahan akan menimbulkan resistensi. Ketidakmampuan untuk menangkap kultur dan nilai-nilai masyarakat desa inilah yang membuat banyak kebijakan pembangunan pedesaan gagal diterapkan di lapangan (Marshus, 1995:20-21).
Ide dualisme ekonomi yang diinisiasi oleh Boeke tersebut pada akhirnya, diakui atau tidak, menjadi diskursus penting dalam proses pembangunan pedesaan di negara¬negara berkembang. Seperti yang telah disarikan oleh Ellis dan Biggs (2001:444; lihat juga Tabel 1), model dualisme ekonomi menjadi isu strategic pembangunan pedesaan di negara-negara berkembang pada tahun 1950-an. Pada face pertama ini, tujuan pembangunan pedesaan diarahkan dari semula pembangunan komunitas (tahun 1950-an) ke penekanan pertumbuhan usahatani kecil (small-farm) [tahun 1960-an]. Kedua, pertumbuhan usahatani kecil (tahun 1960-an) dilanjutkan kepada upaya pembangunan pedesaan yang terintegrasi (tahun 1960-an), diantaranya melalui kebijakan transfer teknologi, mekanisasi, dan penyuluhan pertanian. Ketiga, pergeseran pembangunan pedesaan yang dipandu negara (state-led) [tahun 1970-an] menuju liberalisasi pasar (tahun 1980-an) melalui kebijakan penyesuaian struktural dan pasar bebas. Keempat, pembangunan pedesaan diarahkan untuk penguatan pendekatan proses, partisipasi, pemberdayaan, dan pelaku (actor) [tahun 1980-an dan 1990-an]. Kelima, pentingnya penghidupan yang berkesinambungan sebagai sebuah kerangka kerja yang terintegrasi dalam pembangunan pedesaan (tahun 1990-an), diantaranya lewat, penguatan kredit mikro, faring pengaman pedesaan, dan peran perempuan dalam pembangunan. Keenam, menempatkan pembangunan pedesaan sebagai strategi untuk mengurangi kemiskinan (tahun 2000-an).
Dari fase-fase tersebut, bisa diidentifikasi bahwa proses komersialisasi sektor pedesaan (lebih tepat lagi sektor pertanian) sudah terjadi pada tahun 1960-an, melalui serangkaian kebijakan yang berupaya meningkatkan, pertumbuhan sektor pertanian, revolusi hijau, dan penciptaan petani yang rasional. Sungguh pun begitu, menurut Scott (1976:57), proses pertumbuhan pertanian komersial tersebut malah kian menjepit posisi petani dari beberapa cara, seperti: (i) kaum tani menjadi tidak terlindungi dari ketidakpastian baru yang disebabkan oleh ekonomi pasar yang memperbesar variasi penghasilannya; (ii) terjadinya erosi nilai-nilai yang hidup, di desa dan kekerabatan sebagai pemberi perlindungan dan memikul risiko secara bersama-sama; (iii) berbagai "katub pengaman" subsistensi tradisional atau pekerjaan tambahan untuk menyambung hidup menjadi berkurang atau hilang sama sekali; (iv) pemilik tanah yang sebelumnya memikul sebagian risiko pertanian dapat mengutip lebih banyak lagi dari petani lewat sews dan memungut bagian penghasilan penggarap; dan (v) negara sering menaikkan penerimaan pajak melalui pungutan dari kegiatan pertanian. Dengan deskripsi tersebut, kondisi penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan justru mengalami kemerosotan daya hidup secara terus-menerus karma tekanan dari dua ujung: kebijakan pemerintah yang semakin bias perkotaan dan tekarian pasar (yang dikuasai oleh pelaku ekonomi di sektor industri/jasa) yang kian deras.
Dengan demikian, setiap upaya komersialisasi pertanian tidak mesti akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani apabila sifat dari komersialisasi pasar meletakkan petani dalam posisi subordinat. Skenario seperti ini banyak dijumpai di negara berkembang, di mans setiap upaya modernisasi (komersialisasi) pertanian justru meletakkan petani dalam posisi yang selalu kalah. Keuntungan ekonomi pertanian lebih banyak jatuh pada pemilik modal atau kelas pedagang yang relatif memiliki posisi tawar lebih tinggi dibandingkan dengan petani. Posisi pemilik modal (tuan tanah, industri pengolahan, pedagang) yang relatif tinggi tersebut bukan cuma disebabkan oleh adanya penetrasi pasar, tetapi juga disumbangkan oleh karakteristik produk pertanian yang cepat rusak sehingga petani tidak mungkin menahan produk tersebut untuk sementara waktu demi mendongkrak harga. Persoalan ini sebenarnya bisa diatasi apabila terdapat fasilitas penyimpanan yang memungkinkan petani menimbun barang tanpa menimotlkan kerusakan, tetapi hal ini hampir mustahil bisa dilakukan karena, petani tidak memiliki modal untuk niernbeli fasilitas tersebut.
Jadi, dari penjelasan tersebut, salah satu persoalan paling rumit di wilayah pedesaan adalah penyediaan dan aksesibilitas modal. Keterbatasan modal menyebabkan sirkulasi kegiatan ekonomi tidak berjalan; sebaliknya, tanpa ada perputaran aktivitas ekonomi proses akumulasi kapital juga tidak bisa terjadi. Berbekal situasi yang seperti itu, para perumus kebijakan pembangunan pedesaan akhirnya meluncurkan program kredit mikro sebagai instrumen pengembangan kelembagaan sektor finansial di pedesaan, khususnya pada sejak tahun 1990-an. Berbagai macam kelembagaan sektor finansial, formal maupun semi-formal, didesain untuk menggerakkan kegiatan ekonomi di wilayah pedesaan, khususnya sektor pertanian dan usaha kecil (small firm). Strategi ini diadopsi oleh sebagian besar negara berkembang, seperti Bangladesh, Indonesia, India, Thailand, Malaysia, Pakistan, Nigeria, Zambia, dan lain-lain. Walaupun model dan prosedur lembaga keuangan tersebut berbeda-beda, namun semangatnya sama: menyediakan modal di wilayah pedesaan sebagai pemicu aktivitas ekonomi. Beberapa negara yang menerapkan lembaga keuangan (kredit mikro) tersebut dianggap telah berhasil, misalnya Bangladesh dengan Grameen Bank-nya, namun sebagian (besar) negara-negara lain ditengarai mengalami kegagalan akibat kemiskinan konsep berdasarkan karakteristik sosial/budaya/politik/ekonomi masyarakat pedesaan.

Sektor Pertanian Dan Persoalan Kelembagaan
Pembangunan sektor pertanian secara umum diarahkan untuk mengerjakan semua aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan produktivitas faktor-faktor yang dipakai dalam produksi pertanian dan sektor agribisnis yang berkaitan dengannya. Secara spesifik, produksi pertanian merupakan fungsi dari:panen (yield) X lahan yang ditanami (cultivated area) intensitas penanaman (cropping frequency). Faktor-faktor terbesar yang dapat meningkatkan produksi pertanian biasanya diidentifikasi dalam beberapa poin berikut (Zeller, 2002:60-61):
- Ekspansi lahan
- Ekspansi lahan irigasi dan perbaikan produktivitas air
- Introduksi varietas unggul
- Peningkatan frekuensi penanaman
- Introduksi teknologi untuk pengolahan lahan dan panen
- Aplikasi pupuk dan pestisida
- Pengurangan kehilangan paska-panen melalui program perbaikan penyimpanan, pengolahan, dan teknik pemasaran
- Intensifikasi program integrasi sistem peternakan-tanaman

Dalam konteks Indonesia, peningkatan produktivitas dan kesejahteraan pelaku ekonomi di sektor pertanian tersebut tidak mudah dilakukan karena terdapat dua masalah dasar yang sampai kini belum ada kebijakan yang serius untuk memecahkannya. Pertama, rumah tangga pertanian di Indonesia, khususnya di Jawa, hanya menguasai lahan rata-rata 0,25 hektar saja hingga sangat sulit untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi. Dengan kondisi semacam itu, sangat sulit untuk mengembangkan sektor pertanian di Indonesia (atau lebih luas lagi sektor pedesaan pada umumnya) karena keadaannya yang serba subsisten. Dalam kategori seperti ini setiap kebijakan di sektor pertanian pertama-tama harus bersinggungan dengan perbaikan "kondisi dasar" dari petani, sebelum menyentuh kebijakan-kebijakan Yang bersifat lanjutan. Kondisi dasar di sini adalah fakta yang berkaitan dengan keberadaan petani yang memiliki lahan sangat sempit sehingga tidak memungkinkan bisa melakukan kegiatan produksi secara komersial. Hasil penelitian Departemen Pertanian tahun 2000 menunjukkan bahwa 88 persen rumah tangga petani hanya menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 hektar (Kompas, 21/5/2002).
Kedua, menyingkirkan kondisi-kondisi yang menyebabkan sektor pertanian (petani) selama ini sebagai pihak yang selalu kalah dan tersingkirkan. Deere dan Janvry (dalam Ellis, 1988:55-56) setidaknya mengidentifikasi tujuh mekanisme yang membuat petani terjerembab secara mengenaskan, yakni: (i) rent in labour services, di mana hal ini menggambarkan adanya kesulitan petani untuk mendapatkan akses terhadap jasa tenaga kerja; (ii) rent in kind, misalnya sews bagi hasil (share cropping) yang dalam praktiknya menunjukkan kedaulatan tuan tanah (landlord) dalam memutuskan porsi bagi hasil; (iii) rent in cash, di mana petani harus menyewa secara tunai untuk mendapatkan akses mengolah lahan; (iv) appropriation ofsurplus value via the wage, di mana terdapat pengambilan surplus atas produksi dengan jalan pemberian upah sangat kecil; (v) appropriation via prices, di mana petani dirugikan akibat harga output yang anjlok dipasaran atau harga input yang membumbung, atau akibat keduanya sekaligus; (vi) appropriation via usury, di mana pendapatan petani direnggus akibat tingkat suku bunga pinjaman yang lebih besar dari harga pasar nasional maupun internasional; dan (vii) peasant taxation, di mana negara biasanya memajaki secara tidak langsung terhadap produk pertanian. Pajak ekspor untuk komoditi pertanian, misalnya, merupakan mekanisme umum yang menyebabkan terjadinya transfer pendapatan dari petani ke negara.

Jika dilihat secara lebih mendalam, tiga masalah peminggiran pertama petani itu ditempuh lewat mekanisme sewa, kemudian tiga berikutnya melalui pasar, dan satu yang terakhir karena faktor negara. Ketujuh mekanisme tersebut hampir seluruhnya bisa dijumpai dalam realitas pertanian di Indonesia, sehingga agenda mendesak sebelum membicarakan tentang transformasi sektor pertanian adalah menyelesaikan problem mendasar tersebut. Problem tersebut tidak lain adalah masalah kelembagaan (aturan main), baik pada level kebijakan (institutional environment) maupun kesepakatan antarpelakunya (institutional arrangement). Williamson (dalam Tian, 2001:387; Kherallah and Kirstcn, 2001:4) mendeskripsikan institutional environment sebagai seperangkat struktur aturan politik, sosial, dan legal yang memapankan kegiatan produksi, pertukaran, dan distribusi. Sebaliknya, level m'alisis mikro berkutat dengan masalah tata kelola kelembagaan (institutions of governance). Singkatnya, institutional arrangement merupakan kesepakatan antara unit ekonomi untuk mengelola dan mencari jalan agar hubungan antarunit tersebut bisa berlangsung, baik lewat cara kerjasama maupun kompetisi. SebuLh kesepakatan kepemlikan merupakan institutional arrangement, karena di dalamnya mengalokasikan hak-hak kepemilikan kepada individu, kelompok, atau pemerintah.

Dari beberapa kasus di sektor pertanian, persoalan kelembagaan (institutions) yang mengemuka biasanya bisa dilokalisir menjadi empat masalah kelembagaan berikut. Pertama, tidak ada kesetaraan kekuatan antarpelaku ekonomi di sektor pertanian (misalnya antara petani dengan tengkulak atau lembaga pemberi kredit lainnya). Kedua, pemanfaatan asosiasi petani untuk tujuan-tujuan yang bersifat elitis (kasus APTR dalam industri gala). Ketiga, interaksi yang asimetris antara principal dan agent untuk membuat kesepakatan ikatan kerja (seperti kontrak antara petani tebu dan pabrik gula). Keempat, ketimpangan kekuatan dalam mendesakkan dan mempengaruhi kebijakan publik (kasus pajak dan subsidi untuk sektor industri dan pertanian). Keempat persoalan tersebut adalah fenomena kelembagaan yang terjadi di sektor pertanian, yang pada akhirnya meletakkan pelaku ekonomi (baca: petani) selalu dalarn posisi sebagai pecundang (the losers). Tanga ads strategi kelembagaan untuk mengatasi persoalan tersebut, transformasi sektor pertanian akan lebih banyak dinikinati oleh pelaku sektor pertanian pada level hilir, sementara petaninya sendiri tetap miskin dan susbisten.
Secara teroritis, akibat karakteristik pasar (input dan output) sektor pertanian yang tidak sempurna, diperlukan intervensi pemerintah agar sektor tersebut bisa berkembang dan menguntungkan bagi setiap pelakunya, khususnya petani. Secara umum, kebijakan pembanguan pertanian dapat dibedakan dalarn tiga klasifikasi (Schickele; dalam Jatileksono, 1996:8). Pertama, program-program yang ditujukan untuk memperbaiki alokasi sumberdaya sehingga produktivitas tanah meningkat, antara lain berupa penyediaan kredit produksi, konservasi lahan, pengelolaan hutan, pembangunan irigasi, pewilayahan pedesaan, dan program perencanaan tats guns tanah pertanian. Kedua, kebijakan harga produk pertanian, antara lain berupa penetapan harga pembelian produk oleh pemerintah (support price), program pengendalian produksi, pembelian surplus produk, pemberian subside ekspor, pembayaran defisiensi harga, penerapan tarif dan kuota impor, perencanaan konsumsi dan penggunaan surplus produk yang dihasilkan. Ketiga, program-program yang dipersiapkan untuk memperbaiki distribusi pendapatan, seperti pemberian tanah secara gratis kepada pars petani, pengembangan koperasi petani, pelayanan jasa konsultasi dan supervise kredit, program perb,ilkan penyakapan tanah, Berta penyediaan dana untuk pemilikan, perluasan, dan rchabilluisl tanah pertanian.
Masalahnya adalah, desain lembaga keuangan di sektor pertanian selama ini cenderung menempatkan petani dalarri posisi subordinat, baik akibat informasi yang asimetris (asymmetric information) ma-apun posisi tawar yang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Yustika (2005:104) menunjukkan bahwa petani tebu dibebani dengan biaya transaksi yang besar pada saat memperoleh kredit dari skema bantuan pemerintah. Dalam kasus petani tebu di Jawa Timur, misalnya, kredit yang diberikan oleh pemerintah sebetulnya hanya berbunga 12%, tetapi koperasi mengenakan kredit sebesar antara 16-20% (selisih bungs kredit itu tidak lain adal biaya transaksi). Demikian pula, waktu pengueuran kredit itu biasanya terlambat dua bulan dari perjanjian sehingga mengakibatkan petani tidak bisa membeli pupuk dan berakibat kepada penurunan produktivitas tebu. Nilai penurunar. produktivitas inilah yang bisa dianggap sebagai biaya transaksi akibat keterlambatan pengucuran kredit. Jika ditambah dengan ongkos oportunitas (opportunity costs) yang hilang dalam pengurusan kredit, maka total biaya pengurusan kredit (bunga/selisih bunga, waktu yang hilang, dan keterlambatan pengucuran) menyumbang sekitar 20% dari seluruh total biaya transaksi petani tebu di Jawa Timur. Tentu saja, desain kelembagaan (aturan main) seperti itu tidak bisa dipertahankan bila hendak memperbaiki posisi petani dalam mengakses modal.

Penguatan Ketahanan Pangan
Isu pangan sangat serius di Indonesia karena proporsi pendapatan rumah tangga yang dibelanjakan untuk pangan pada dekade 1980-an mencapai 70% dan sekarang sudah menurun menjadi 50%. Walaupun penurunan ini cukup berarti, tapi secara urmun masih cukup besar karena separuh pendapatan habis digunakan untuk konsumsi pangan. Ini tentu berbeda dengan, misalnya, AS yang warga negaranya pada 2003 hanya membelanjakan sekitar 10% pendapatan riilnya (disposable income) untuk konsumsi pangan (food). Angka ini merupakan yang terendah di AS sejak 1929, apalagi jika dibandingkan dengan puncaknya pada 1933 yang mencapai 25,2%. Secara keseluruhan sejak tahun-tahun itu sampai kini persentase pendapatan yang dibelanjakan untuk konsumsi pangan di AS terns merosot. Jadi, mestinya antara Indonesia dan AS desain kebijakan pang,mnya berbeda sebab karakteristik pola pengeluaran pendapatan penduduknya sangat berlainan.
Menariknya, dalam situasi seperti itu pemerintah AS tetap memberlakukan kebijakan pangan murah (cheap food) meskipun proporsi pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan tidak besar. Di sini, yang dimaksud dengan kebijakan pangan murah adalah upaya menurunkan harga pangan di bawah harga keseimbangan kompetitif. Di AS, kebijakan tersebut memproduksi banyak perdebatan karena dianggap menimbulkan efek negatit', di antaranya meningkatkan penderita obesitas. Pada 1971 jumlah penderita obesitas mencapai 14,61% dan pada 2002 telah melonjak menjadi 31.3% (Miller dan Coble, 2007). Hasil studi yang sama juga menunjukkan kebijakan subsidi langsung di AS terhadap pangan (sehingga menjadi murah) tidak lantas memerbaiki keter angkauan warganya terhadap pangan tersebut, baik pada kelompok pangan secara keseluruhan maupun komoditas pangan yang spesifik. Walaupun begitu, hingga kini secara umum pemerintah AS masih memberikan proteksi terhadap pangan.
Jadi, mengacu pengalaman AS, kebijakan pangan murah an sick, tanpa diimbangi dengan kebijakan lainnya (seperti penguatan daya beli masyarakat dan distribusi yang Hgus) ddak menjamin setiap warga negara dapat mengakses pangan. Lebih dari itu, kebijakan pangan murah di negara berkembang, seperti di Indonesia, selalu bertendensi subsidi kepada kelompok kaya yang tinggal di perkotaan (urban bias) sehingga menindih petani (orang desa) dalam dua hentakan sekaligus. Pertama, petani dirugikan karena insentif laba menjadi sangat kecil akibat kebijakan pangan murah. Kedua, petani harus membayar harga yang mahal untuk membeli komoditas nonpertanian karena pemerintah menyerahkan mekanisme penentuan harga berdasarkan mekanisme pasar. Sungguh tidak sulit untuk memahami perkara sederhana ini, namun dalam sejarahnya sukar untuk mengimplementasikan pondasi kebijakan ini karena, kuatnya aspek politik yang bermain dalam arena pengambilan keputusan.
Lebih lanjut, proteksi terhadap komoditas pangan (atau sektor pertanian secara umum) sebetulnya sebagian dipicu oleh ketakutan kelangkaan yang bakal terjadi jika sektor tersebut berjalan tanpa kawalan. Dengan jiwa itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan perlindungan terhadap sektor pertanian sebagai antisipasi atas kemungkinan kelangkaan. Paarlberg (1982) mendeskripsikan sindrom kelangkaan (scarcity syndrome) sebagai kritik atas tiga bentuk kebijakan pemerintah untuk menjaga harga komoditas pangan tetap rendah, yakni embargo perdagangan (trade embargoes), kontrol harga langsung (direct price controls), dan manajemen persediaan (management of stocks). Menurut Paarlberg, sekurangnya muncul empat konsekuensi dari kebijakan pangan murah yang diterapkan oleh AS: (i) rendahnya harga dan pendapatan petani akibat disinsentif produksi; (ii) mengurangi penerimaan ekpsor; (iii) kehilangan pasar ekspor; dan (iv) merusak reputasi AS dalam perdagangan global.
Pertanyaannya, bagaimana sikap yang harus diambil Indonesia untuk meiiciptakaii kedaulatan pangan'? Apakah Indonesia harus mengambil pola kebijakan yang sama dengan AS (seperti diuraikan di depan), ataukah mendesain kebijakan yang sama sekah lain'? Tampaknya, kebijakan harga pangan murah juga bukan solusi yang baik, bagi Indonesia karena menjadikan petani sebagai korban (victim of development). Namun, meniadakan sama sekali k,;bljakan tersebut juga bermasalah karena proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap pangan masih cukup besar (50%) dan pendapatan per kapita penduduk rendah pula. Di sinilah diperlukan kebijakan ganda (dual policies)
sebagai jalan kompromi untuk menyatukan dug kepentingan tersebut. Pertama, subsidi harga produk dihilangkan (khususnya dalam jangka menengah/panjang) untuk diganti subsidi input (bibit, pupuk, penyuluhan, irigasi, dan lain-lain). Kedua, stabilitas pasar harus dibangun untuk menjamin kepastian bagi konsumen komoditas pangan.
Khusus untuk kebijakan stabilitas pasar (market stability) dapat dicapai melalui perubahan struktural sehingga mampu memerbaiki sektor pertanian dengan cara: (i) peningkatan diversifikasi konsumsi pangan sehingga ticlak terkonsentrasi pada komoditas tertentu (misalnya beras); (ii) penyebaran surplus komoditas pangan ke tempat lain yang mengalami defisit; dan (iii) interaksi strategic antara sektor publik dan swasta untuk n,e-icegah instabilitas pasar dan krisis pangan. Secara spesifik, goal diversifikasi konsumsi pangan memang penting karena mempermudah proses penguatan kedaulatan pangan. Pengalaman di Afrika Timur dan Selatan juga menunjukkan hal itu, di mans ketergantungan konsumsi yang sangat besar terhadap jagung (dan beras) membuat kedaulatan pangan di sana menjadi rapuh (Jayne, et. al, 2006). Jadi, pemerintah harus merintis program diversifikasi pangan mulai sekarang juga. Dengan jalan inilah kedaulatan pangan bisa terwujud clan bukan sebatas sebagai retorika politik.

Selain dua hal khusus tersebut, memang banyak jalan keluar yang bisa dilakukan oleh pemerintah, namun salah satu yang dapat diupayakan saat ini adalah dengan melakukan proses transformasi sektor pertanian secara utuh. Proses transformasi itu sendiri bisa diletakkan dalam tiga level. Pertama, pemerintah menyediakan dan memperbaiki infrastruktur dasar yang diperlukan bagi pembangunan pertanian, misalnya pengadaan jalan, jembatan, sistem irigasi, penelitian dan pengembangan, penyuluhan, dan (tentu saja) reformasi tanah. Kedua, memperkuat pasar sebagai media yang akan mempertemukan transaksi antara sektor hulu dan hilir di sektor pertanian. Pada level ini setidaknya terhadap tiga pekerjaan yang harus dilakukan oleh pemerintah, yakni mendesain sistem kuangan yang sesuai dengan kebutuhan pelaku di sektor pertanian (musimam), sistem pasokan input, dan pasar output lokal. Ketiga, menggandeng pelaku ekonomi swasta (private sector) untuk mengeksekusi kegiatan lanjutan di sektor pertanian, khususnya pemasaran dan pengolahan komoditas pertanian, sehingga memiliki keterkaitan dengan sektor non-pertanian

Sedangkan dalam pendekatan ekonomi kelembagaan, secara umum ada dua poros strategi kelembagaan yang bisa diupayakan untuk memajukan sektor pertanian (sekaligus menjadi alas program revitalisasi sektor pertanian). Pertama, kebijakan tidak langsung (indirect policies) dengan jalan membenahi infrastruktur sektor pertanian yang tidak laik. Pengertian infrastruktur yang tidak layak di sini adalah situasi ketidaksepadanan antarpelaku ekonomi, baik oleh karena kemampuan nilai tawar yang berbeda maupun kepemilikan aset produktif yang tidak proporsional. Dengan begitu, beberapa agenda jalur politik yang dapat dikerjakan adalah: (a) menerbitkan statuta hubungan antarpelaku ekonomi yang lebih menjanjikan kesetaraan (misalnya kasus petani penggarap dan tuan tanah dalam hubungan sharecropping, dan relasi peternak susu-tengkulak-pemilik toko); (b) menata kembali kepemilikan aset produktif yang sudah sangat timpang, yakni lewat kebijakan land reform (Pendekatan reformasi tanah ini memang kelihatannya sulit ditempuh karena adanya hambatan psikologis dan politis. Walaupun kesan itu tidak bisa dipungkiri, tetapi ada baiknya mulai dibicarakan dan dihitung untung ruginya jika dibandingkan dengan mengeluarkan kebijakan lainnya. Beberapa pengalaman negara lain yang pernah melakukannya terbukti dapat mengatasi persoalan kepemilikan lahan tersebut. ri Jepang, misalnya, reformasi tanah sudah dilakukan seusai Perang Dunia 11 dan berhasil memengaruhi pemerataan pendapatan. Program reformasi tanah di Jepang ini berhasil karena terdapat dua titik temu, disatu sisi rakyat menuntut dengan kuat dan di sisi lain pemerintah mempunyai kemauan politik yang tidak kalah kukuh. Lihat Yujiro Hayami, Develoment Economics: From the Poverty to the Wealth of Nations, Clarendon Press, Oxford, 1997, hal. 175) dan (c) transparansi dalam pengambilan kebijakan sehingga tidak terbuka kesempatan bagi pemilik modal (pelaku ekonomi skala besar) menelikung kebijakan yang hendak dirumuskan oleh pomerint& Melalui upa.va inaya inilah diharapkan pencapaian pertumbuhan sektor pertanian ekonomi lebih dapat diprediksi dan kesejahteraan pelaku ekonomi di sektor hulu lebih bisa dipastikan.
Kedua, kebijakan langsung (direct policies) yang mengaitkan kelembagaan dengan strategi pembangunan pertanian. Dalam praktik kebijakan ekonomi, yang bisa memengaruhi kualitas pertumbuhan ekonomi dan distribusi (pendapatan) adalah jenis kelembagaan dan kebijakan (ekonomi). Berbeda dengan pendekatan neoklasik, yang menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan akan mengalir dengan sendirinya melalui jalur pasar (market mechanism), maka pendekatan kelembagaan beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi dan distribusi tidak bisa diserahkan kepada pasar. Dua negara, misalnya, mungkin memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang sama, tapi bisa dipastikan akan memiliki dampak distribusi pendapatan yang berlainan bila kelembagaan dan kebijakan yang dipilih berbeda. Dalam kasus ini, pilihan kebijakan ekonomi semacam perdagangan internasional (pengenaan tarif untuk produk pertanian), fleksibilitas nilai tukar (disesuaikan dengan daya saing produksi nasional), penciptaan lapangan kerja (lewat public expenditure), pajak progresif, dan sistem pengupahan yang adil di sector pertanian (Deolalikar, et. al, 2002:7); akan menjamin bahwa setiap tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai akan lebih banyak dinikmati oleh kelompok miskin (pro poorgrowth) di sektor pertanian.

Daftar Pustaka

Boeke, J.H. 1983. Prakapitalisme di Asia. Sinar Harapan. Jakarta

Deolalikar, et. al. 2002. Poverty Reduction and the Role of Institutions in Developing Countries. ERD Working Paper. No. 10. Asian Development Bank

Dixon, Chris. 1990. Rural Development in the Third World. Routledge. London

Dorward, Andrew, et, al, 2004. A Policy Agenda for Pro-Poor Agricultural Growth, World Development. Vol. 32, No. 1

Ellis, Frank dan Stephen Biggs. 2001. Evolving Themes in Rural Development 1950s
2000s. Development Policy Review, Vol. 19, No. 4: 437-448
. 1988. Peasant Economics Farm Households and Agrarian Development. Cambridge University Press

Hayami, Yujiro Hayami. 1997. Development Economics: From the Poverty to the Wealth of Nations. Clarendon Press. Oxford

Jatileksono, Tumari. 1996. Pasar Terkelola dalam Sektor Pertanian: Isu Teoritis dan Hasil Sludi Empiric. Makalah disampaikan dalam Kongres ISEI XIII, 10¬12 Oktober 1996. Medan. Tidak dipublikasikan

Kherallah, Mylene and Johann Kirsten. (2001). The New Institutional Economics: Application for Agricultural Policy Research in Developing Countries. MSSD Discussion Paper. No. 41. June. IFPRI. Washington DC

Kompas, 21 Mei 2002

Marshus Bun-Y anin. 1995. Industri PAdesaan Menghindari Perangkap Involusi dan Stagnasi Pendapatan. Prisma. No. 8, Tahun XXIV

Miller, J. Corey and Keith H. Coble. 2007. Cheap Food Policy: Fact or Rhetoric?. Food Policy. Vol. 32. 2007: 98-111

Scott, James C. 1976. The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. Yale University Press. USA

Tian, Guoqiang. (2001). A Theory of Ownership Arrangements and Smooth T it'!!! ~rs I I ~10 to a Free Market Economy. Journal of Institutional and Theoretical Economics. Vo. 157. No. 3 September: 380-412

Yustika, Ahmad Erani. 2003. Economic Analysis of Small Farm Households. Brawijaya University Press. Malang

_________2005. Transaction Cost Economics of the Sugar Industry in Indonesia. Wissenschaftsverlag Vauk Kiel KG. Germany

Zeller, Manfred. 2002. Socioeconomics of Rural Development. Institute of Rural Development. University of Gottingen. Germany

)* Disampaikan Oleh Ahmad Erani Yustika, Ph.D pada Seminar Nasional Bertajuk Kebangkitan Pertanian Menghadapi Krisis Global di Unej
Read more.....

PERANAN INDUSTRI SAWIT DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI REGIONAL: MENUJU PERTUMBUHAN PARTISIPATIF BERKELANJUTAN

PENDAHULUANKehadiran Industri Sawit (Perusahaan Perkebunan Sawit) telah lama ada di Indonesia dan tidaklah berlebihan jika Sumatera Utara mempunyai perhatian yang paling besar, karena merupakan tempatkelahiranya di Indonesia. Perkembangan perkebunan sawit pada dewasa ini telah menjadi milik Nusantara, karena terbukti sesuai dengan kondisi iklim Indonesia serta didukung oleh prasyarat ketersediaan (Download dalam bentuk file, Click Here)lahan luas untuk
mendukung pengusahaanya.Dari segi pembudidayaanya Indonesia telah berhasil mengantar budidaya ini kepada masyarakat luas yang memungkinkan ketersediaan trampil yang cukup bagi pengembangan industri berbasis sawit.

2. Daya tarik dan dukungan yang kondusif inilah yang menjadikan sawit berkembang dengan pesat di Indonesia dan yelah membawa industri tersebut sebagai bentuk usaha yang semula menjadi symbol enclave economy, kini telah menjadi usaha dengan beragam format dan corak pola pengusahaan. Perkembangan terkahir ini juga telah menambah khasanah baru dalam kehidupan Industri berbasisi sawit yakni berlakunya theory dualisme ekonomi ala Boeke (Mubyarto, 2000).

3. Industri sawit yang berkembang meluas, beragam dan masuk dari hulu ke hilir telah menjadikan sawit sebagai industri yang paling dahulu masuk ke dalam pasar modal selain pulp. Keterkaitan semakin panjang tidak mudah menjawab manfaat kehadiranya secara luas. Tidak dipungkiri sawit telah hadir dengan pengaruh yang nyata terhadap perkembangan ekonomi setempat (Regional) di mana mereka berada, tetapi masalah lain ternyata juga muncul bersamaan dengan perkembangan itu.

4. Pada makalah ini sengaja dibatasi pada kupasan secara, makro mengenai kedudukan industri minyak sawit, baik sebagai perusahaan perkebunan, industri penghasil bahan makanan (minyak makan) maupun bahan baku industri dan terakhir kaitan dengan tekad memabngun industri bio-energi. Demikian juga peran penting sebagai penghasil komoditas ekspor dan kompetisi dengan penggunaan industri domestic untuk tujuan ketahanan pangan. Pada sisi lain juga ingin dilihat dimensi lain soal dualisme pengusahaan yang diharapkan dapat menemukan jalan keluar untuk menata menuju industri sawit yang berkeadilan.

POTRET INDUSTRI SAWIT HINGGA SAAT INI

5. Industri sawit di Indonesia telah berkembang pesat dengan dukungan pertumbuhan perkebunan yang sangat pesat pula hingga menca[pai lebih dari 6.3 juta hektar yang terdiri dari sekitar 60% yang diusahakan oleh perkebinan besar dan 40% oleh perkebunan rakyat. Pertumbuhan perkebunan sawit ini tidak terlepas dari politik ekspansi pada akhir 1970an disertai pengenalan PIR sebagai sarana untuk menggerakkan keikut sertaan rakyat dalam budidaya perkebunan sawit. Sejak program peningkatan perkebunan sawit digelorakan pertumbuhan perkebunan sawit mencapai rata-rata diatas 7%/tahun, bahkan pada PELITA III, IV dan V tumbuh diatas 10%/tahun hingga menjelang krisis ekonomi 1997. Setelah krisis pertumbuhan arela juga semakin pesat dengan persentase yang tetap tinggi antara 8-10%/tahun. Pertumbuhan pesat juga terjadi pad ke dua jenis pengusahaan yaitu perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Sampai dengan tahun 2007 tercatat 965 perusahaan dengan luas perkebunan 3.753 juta hektar yang dimiliki oleh perkebunan Negara swasta nasional dan asing. Sementara perkebunan rakyat telah mencapai 2,565 juta hektar, suatu perkembangan yang luar biasa mengingat pada awal pengenalanya hanya 3.125 hektar (1979) yang hanya mewakili 1,20% saja dari total perkebunan sawit yang ada ketika itu.

6. Di lihat dari aspek lain, yaitu penyebaran pengusaahn sawit pada saat ini telah meluas hampir ke semua kepulauan besar di Indonesia yang tersedia lahan yang luas. Bahkan di Jawa akhir-akhir ini juga telah mengikuti mengembangkan sawit, meskipun perkembanganya sangat terbatas karena keterbatas lahan dengan harga dan luasan yang sesuai. Posisi Indonesia memang menempatkan kita pada kawasan yang mempunyai prospek baik untuk pengembangan sawit dilihat dari berbaagai aspek termasuk potensi permintaan domestic.

7. Perkembangan perkebunan sawit ini sudah barang tentu membuka lapangan usaha baru, karena pada umumnya perkebunan sawit diusahakan diatas tanah yang baru dibuka atau belum diusahakan sebelumnya. Dampak langsung yang akan segera terlihat terhadap kehadiran perkebunan sawit adalah terjadinya investasi yang menambaha kapasitas produksi sector pertanian (perkebunan), dengan berbagai kesempatan yang timbul yakni lapangan kerja baru. Pertumbuhan areal yang masih terjadi jelas sumber pertumbuhan pertama yang muncul segera setelah investasi ke dalam industri sawit diputuskan. Secara keseluruhan industri sawit memang sangat menguntungkan karena dilihat dari segi pengusahaan perkebuinan Daya Penyebaran (backward linkage) Pertanian cukup tinggi 1,3399 dan Derajad Kepekaan (forward linkage) 1,5176 berdasarkan perhitungan BPS dari Tabel I-O untuk tahun 2005 (BPS, 2008). Sementara untuk Industri Pengolahan masing-masing 1,7273 dan 3,0627. Dengan demikian secara aggregate memang cukup besar alas an untuk mendorong industri sawit dengan karakter industri semacam itu. Namun jika dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja industri sawit adalah penopang kelangsungan kesempatan kerja di sector perkebunannya dengan angka yang cukup besar dibandingkan dengan industri makanan lainya, terutama minyak goreng.

8. Hal ini tidak terlepas dari kacamata historis pengembanganya yang mengusahakan industri sawit sebagai Perusahaan Perkebunan. Salah satu alasan yang paling kuat adalah sifat biji sawit yang mudah rusak memerlukan kecepatan pengolahan menjadi minyak sawit, sehingga menjadikan pengintegrasian perkebunan dan pengolahan menjadi model yang dikembangkan sejak awal. Banyak pandangan yang menempatkan pengintegrasian antara perkebunan dan industri pengolahan menjadi prasyarat bagi efisiensi dari industri sawit. Analisis lebih rinci untuk industri sawit sebagaimana dilaporkan oleh berbagai penelitian juga menemukan rekomendasi yang sama (Amang dkk, 1996).

9. Untuk melihat peranan yang lebih besar dari kehadiran industri sawit pada tahap selanjutnya adalah dampak peningkatan pendapatan pada para pelaku, terutama pada kelompok lemah, yakni para pekerja perkebunan dan industri serta petani pekebun rakyat yang mempunyai posisi khusus. Dampak terhadap ekonomi regional memang dapat dikatakan terlihat segera (immediate), tetapi memelihara peran yang berkelanjutan menjadi lebih penting lagi. Karena persoalan kesejahteraan yang berlanjut, keadilan dan dampak lingkungan akan muncul kemudian dalam jangka panjang (setelah satu dasawarsa). Hal ini pasti melampaui batas control mekanisme demokrasi yang kita kembangkan dengan siklus lima tahunan yang melahirkan politik anggaran (fiscal) maupun kebijakan pengembangan industrinya. Inilah aspek penting yang harus menjadi perhatian Perguruan Tinggi dan Lembaga yang mempunyai kepedulian dan visi jangka panjang.

10. Di lihat dari sumbangan devisa sudah barang tentu sangat menentukan, meskipun patut dicatat keduudkan sawit sebelum dasawarsa 1990an dan pasca 1990an mempunyai kedudukan yang berbeda. Hal ini terkait dengan peran minyak sawit yang hingga decade pertengahan 1980an hanya ditujukan untuk pasaran ekspor, maka sejak itu orientasi untuk bahan baku industri minyak goreng di dalam negeri juga penting. Sampai dengan krisis minyak goring 1976 minyak goreng dari bukan kelapa, termasuk sawit hanya menempati kurang dari 30 persen, karena sebagian terbesar 70% diisi oleh minyak kelapa. Tetapi kini sebaliknya minyak goreng dari sawit mengisi sekitar duapertiga penyediaan minyak domestic.

11. Perolehan devisa dari ekspor minyak sawit sejak pulih kembalinya perekonomian kita setelah krisis memang mengalami peningkatan yang sangat luar biasa (abnormal) karena di samping volume yang terus bertambah akhir-akhir ini juga mengalami peningkatan harga dan nilai tukar. Secara keseluruhan ekspor diatas 10 juta ton sudah berhasil dilalui sejak 2005 dengan perolehan devisa yang pada tahun 2008 ini telah melewati USD 10juta meskipun realisasi ekspor tahun ini masih berlanjut. Hal ini terjadi karena factor volume dan harga. Secara keseluruhan kedudukan perolehan devisa dari minyak sawit terhadap totel nilai ekspor hasil industri juga meningkat mencapai diatas 5% sejak 2003 dan pada tahun 2007 mencapai diatas 10%. Hal ini terjadi bersamaan dengan tekanan untuk mengerem ekspor melalui penggunaan dalam negeri untuk kebutuhan minyak goreng.

DUALISME SISTEM PERKEBUNAN SAWIT

12. Aspek ini termasuk aspek yang jarang dibahas dalam membahas industri sawit, kecuali para peneliti yang mempunyai kepedulian mendalam terhadap isu partisipasi masyarakat dalam industri berperolehan nilai tambah tinggi. Industri sawit pada awalnya adalah diperkenalkan mellaui industri perkebunan besar seperti lazimnya tanaman ekspor lain seperti gula, coklat, the, kopi karet dan sawit. Tetapi mungkin hanya dua industri yasng memiliki kemiripan ketika kita ingin mengikut sertakan masyarakat sekitar kebun ke dalam skema industri pertaniuan bernilai tambah tinggi ini yakni gula dan sawit. Kedua-duanya mempunyai corak yang sama diperkenalkan melalui industri besar kemudian diganti dan/atau diperkenalkan perkebunan rakyat. Dalam pengenalan ini ternyata tidak secara serta merta memenuhi harapan dan asumsi yang digambarkan dalam “PERANCANGAN KEBIJAKAN”, tetapi banyak discrepancy yang muncul akibat kekurang pahaman di awal pengenalan (belum ada referensi).

13. Pada industri sawit yang menghadirkan perkebunan besar berdampingan dengan perkebunan rakyat dan berkompetisi dalam pemanmfaatan kapasitas pengolahan terbatas yang berada di tangan industri besar mempunyai corak tersendiri yang melahirkan dualisme dan kesenjangan yang cukup melelahkan penyelesainya. Kompisisi perkebunan besar dan rakyat pada saat ini yang telah mencapai perbandingan 60:40 membesarkan hati, tetapi dependency industri pada industri pengolahan besar (negara apalagi swasta) akan menimbulkan masalah yang semakin besar, terutama dalam suasana abnormal dalam bentuk pergantianmusim dan gangguan pasar.

14. Dilihat dari kinerja kebun isu produktivitas akan mengedepan. Kesan yang muncul perkebunan besar selalu menghasilkan produktivitas yang tinggi, bahkan sampai ke efisiensi pengolhan dalam bentuk hasil minyak sawit per hektar. Padahal produktivitas kebun dan hasil akhir tidak selalu secara transfaran dapat diterjemahkan secara langsung. Banyak factor ekonomis maupun non-ekonomis berbicara dari soal jarak, kecepatan penanganan dan juga mutu asaln bahan baku sendiri. Tanpa melihat keseluruhan ini maka kita dapat menemukan kesimpulan yang salah. Dari studi yang dikumpulkan, menyimpulkan bahwa produktivitas murni minyak sawit per hektar tidak secara menonjol dapat dibedakan oleh [pengelolaan kebun (PN, PSB, PR) tetapi lebih disebabkan oleh hubungan yang baik (time management) dengan industri pengolahan (Dauhari dan Pasaribu, 1996). Sehingga prinsip kelayakan industri sawit tetap menganut kesatuan industri.

15. Kondisi dualistic juga menimbulkan persoalan akan kemampuan pelaku untuk merespons pasar yang dapat merugikan petani pekebun. Dengan pesatnya perkembangan perkebunan rakyat pemikiran untuk mengembangkan penyatuan antara usaha perkebunan dengan pengolahan menjadi agenda relevan dan memerlukan upaya sistimatik. Jembatan penghubung kesenjangan itu berada di industri pengolahan, karena industri sawit mensyaratkan kesatuan industri. Format korporatisasi Perusahaan (Perseroan) Rakyat menjadi pilihan model yang dapat dikembangkan. Korporatisasi semacam ini dapat menciptakan jembatan untuk mengatasi kesenjangan antara industri pengolahan dengan perkebunan.

16. Dalam pengembangan ekonomi yang berbasis kegiatan yang melibatkan banyak pihak yang lemah, memang biasanya dikaitkan dengan keinginan membangun system ekonomi kerakyatan. Ada dua elemen dasar yang harus diperhatikan dalam hal ini, karena sawit sudah teruji keunggulan komperatifnya, maka langkah yang paling tepat adalah menjembatani kesenjangan dengan dua dukungan pokok yaitu promosi dan proteksi terbatas/terencana (Radhi, 2008). Oleh karena, kegiatan pengembangan industri sawit adalah kegiatan yang mempunyai nilai daya tarik bagi perbankan dan lembaga keuangan., maka yang diperlukan adalah “jasa fasilitasi pengembangan bisnis dan investasi”. Business Development Aspects memang kurang menjadi perhatian kita, karena kita sering melompat kepada pemberdayaan pelaku sebagai bentuk keberpihakan. Investasi dan pengembangan bisnis adalah bentuk langsung optimasi antara komponen promosi dan proteksi ke dalam system pasar (mainstream). Jika Negara hadir dalam bentuk langsung maupun tidak langsung akan memberikan nilai lebih bagi kestabilan peran kerjasama pasar, bentuk yang ideal melalui partisipoasi investasi atau pioneering stage.

17. Dualisme system perkebunan sawit pada kenyataannya belum diikuti oleh pengembangan industri pengolahan yang akab menjadikan pasar input industri menjadi sehat, karena pasar monopsoni akan dapat dihindari dan partisipasi dimungkinkan. Hal ini akan menyumbang kehandalan industri pada skala daerah maupun secara nasional. Oleh karena itu aspek penting dalam melihat keberadaan system ganda ini akan menyehatkan persaingan pasar CPO kalau masing dikembangkan secara setara. Inovasi yang diperlukan bukan skala industri lagi, tetapi lebih pada skala pengembangan bisnis. Dalam system anggaran seperti sekarang ini daerah dan perusahaan Negara dapat berperan, tetapi entry terbaik tetap melalui investasi.

KOMPETISI ORIENTASI INDUSTRI DAN KETERGANTUNGAN FINANSIAL

18. Sebagaimana diuraikan di muka industri sawit di Indonesia pada saat ini menghadapi persimpangan jalan dalam mengarahkan industri ini untuk tujuan ekspor dan konsumsi domestic, serta tarikan global oleh industri energi alternatif dan pasar keuangan (modal) global. Sensitifitas ini memerlukan penelusuran secara lebih baik agar mampu menentukan kebijakan yang tidak merugikan arah pengembangan industri sawit untuk kesejahteraan rakyat (pelaku dari hulu sampai ke hilir). Pada saat ini kebutuhan pasokan minyak goreng dalam negeri sekitar dua-pertiga dipasok dari sawit, sehingga dalam dirinya dibebani tugas ketahanan pangan yang mengedepankan aksesibilitas konsumen yang menyesuaikan dengan daya beli. Sementara eksplorasi pasar menghendaki arah pemasaran pada pasar yang menghasilkan keuntungan tertinggi bagi pelakunya.

19. Formula keseimbangan orientasi ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1978 untuk mengatasi krisis minyak goreng 1976 yang berintikan pada kewajiban penyediaan DN bagi produsen CPO serta Jumlah penyediaan dan harga ditetapkan Pemerintah yaitu Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan (Amang dkk, 1996). Selanjutnya pada tahun 1994 ketika krisis minyak goreng terjadi lagi akibat musim kekeringan tahun sebelumnya, pembatasan penggunaan dianggap tidak sejalan dengan instrument yang disediakan dalam kerangka tetap mengedepankan dorongan ekspor dan sejak saat itu diperkenalkan pajak ekspor. Dari pungutan pajak ekspor ini diharapkan dapat dikembalikan untuk mendukung pengembangan industri minyak goreng. Akhir-akhir ini instrument pajak ekspor dianggap belum cukup mengurangi beban keluarga miskin, karena masih tetap tinggi, maka diperkenalkan subsidi harga bagi keluarga miskin atau operasi pasar tertentu dengan dukungan APBN. Di masa lalu operasi pasar dilakukan tidak dengan target konsumen, tetapi untuk stabilisasi harga memalui BULOG pada masa krisis 1998 dan masa-masa sebelumnya yang menjadi beban biaya operasi BULOG. Dengan demikian hingga saat ini kita memiliki tiga model untuk menjaga keseimbangan pasokan DN dan ekspor melalui kewajiban penyediaan pasokan DN langsung, pengenaan pajak ekspor dan subsidi harga bagi konsumen. Yang terakhir lebih ditujukan pada aspek ketahanan pangan ketimbang stabilisasi harga dalam negeri, karena minyak goreng adalah sumber lemak bagi gizi masyarakat bawah selain untuk bahan memasak.

20. Sejak 2006 posisi minyak sawit kembali menghadapi kompetisi orientasi baru setelah dikumandangkanya garis baru gerakan penyediaan energi alternative dengan mengembangkan bio energi. Minyak sawit adalah sumber utama yang telah siap untuk produksi bio-disel bagi Negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia dan Negara Pengimpor yang akan mengembangkanya.. Jika kompetisi orientasi konsumsi pangan dan ekspor dinilai disincentive bagi industri sawit, maka tumbuhnya industri bio-diesel di dunia adalah peluang baru dan merupakan insentif baru bagi perluasan industri dan perkebunan sawit. Guncangan harga sawit dunia selama dua tahun terakhir telah menjadikan momentum revaluasi investasi perkebunan yang menjadikan investasi perkebunan sawit menjadi mahal.

21. Sebagaimana dimaklumi perkebunan sawit adalah padat modal dibandingkan usaha pertanian lainya dan secara keseluruhan (kesatuan industri layak) memerlukan pengerahan investasi yang besar. Oleh karena itu sejak awal hubungan perbankan menonjol, termasuk ketika kita memperkenalkan PIR-BUN dan PIR-TRANS. Pada level industri perbankan dan industri pengolahan besar (milik negara maupun swasta), industri sawit adalah bagian dari investasi yang pembiayaanya telah memasuki pasar modal. Oleh karena itu kaitan industri sawit menjadi semakin terkait dengan perkembangan pasar keuangan domestic dan global melalui tingkat bunga, harga saham, nilai tukar dan ketersediaan dana murah. Hal ini akan menambah sensitivitas keputusan investasi di sector perkebunan yang mahal dan waktu menunggu sampai menghasilkan yang lebih lama.

22. Ke depan peranan penyediaan jasa fasilitasi investasi di sektor industri sawit akan semakin penting dan besar, padahal jasa ini tidak bias ditunggu tetapi harus ditumbuhkan. Di masa lalu jasa ini disediakan oleh Lembaga Keuangan Internasional yang mendukung Perbankan dan/atau Pemerintah, dengan semakin dilonggarkanya campur tangan pemerintah dalam proyek investasi maka jasa semacam ini akan diadakan melalui pasar. Sayang pada saat ini belum tersedia secara memadai analisis permintaan jasa oleh industri sawit dalam bentuk jasa keuangan dan jasa perusahaan. Pada tahun 2008 berdasarkan perkiraan sementara sumbangan Sector Jasa Keungan, Persewaan dan Jasa Perusahaan mencapai 7,40%, terdiri dari Bank 2,52%, Lembaga Keuangan Bukan Bank 0,83%, Jasa Penunjang Keuangan 0,06%, Real Estat 2,66% dan Jasa Perusahaan 1,33%. Data ini menunjukkan betapa semakin pentingnya komponen pendukung untuk mendorong penciptaan nilai tambah di berbagai sector riel.

MENATA INDUSTRI SAWIT YANG PARTISIPATIF DAN BERKELANJUTAN

23. Dengan komposisi penguasaan kebun yang hampir seimbang antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat (60:40) serta penguasaan industri pengolahan hanya pada industri besar, maka resiko gangguan produktivitas minyak sawit menjadi semakin besar, akibat disharmoni yang muncul antara tahap pemanenan dan pengolahan. Di samping secara potensial akan selalu muncul persoalan keadilan dalam system bagi hasil atau penetapan harga. Gangguan semacam ini akan semakin besar pengaruhnya terhadap produksi dan peningkatan daya saing kita, padahal sebagimana diuraikan di muka efisiensi industri sawit sangat ditentukan derajad integrasi dari Industri Perkebunan Sawit. Maka agenda terdepan penataan industri sawit adalah memecahkan ketimpangan penguasaan industri pengolahan.

24. Berbagai gagasan yang pernah dikembangkan dan diuji pada skala penelitian atau tahap pengembangan perlu dilanjutkan. Format pengembangan harus bertumpu pada fakta struktur penguasaan kebun yang kecil dan prinsip kelayakan harus tetap dikedepankan. Bentuk yang cocok adalah format pelibatan banyak pelaku dalam suatu investasi industri pengolahan. Pada masa lalu koperasi pernah dicoba dikedepankan, tetapi akhirnya hampir semuanya gagal, karena tidak kompatibel dengan struktur penguasaan kebun dan struktur pasar industri pengolahan yang terlanjur tidak tertata dengan baik. Persaingan tidak sehat dalam penetapan harga oleh industri pengolahan, kedudukan kebun rakyat dengan berbagai model kepemilikan, serta hubungan yang sangat longgar antara keputusan membuka kebun dengan keputusan mengembangkan industri oleh perusahaan di luar Industri Perkebunan Sawit Besar.

25. Model yang dapat dikembangkan adalah mengembangkan industri pengolahan buah sawit skala kecil yang dapt dimiliki oleh skala invidu maupun perusahaan dalam bentuk perseroan. Pengalaman industri penggilingan padi dapat menjadi referensi untuk mengembangkan industri pengolahan yang meningkat nilai tambah bagi perkebunan rakyat skala kecil, sehingga model industri keseluran akan mengandung corak partisipasi yang lebih besar. Dalam hal melibatkan banyak orang, peluang untuk memanfaatkan model perseroan dengan pemegang saham yang banyak sepanjang kurang dari 300 pemegang saham dapat dilakukan. Model ini merupakan bentuk pengembangan perusahaan koperatif yang sulit menggunakan mekanisme koperasi, karena kekakuan instrument pengaturan yang tidak berhasil mengedepankan insentif partisipasi modal dan pembagian resiko bisnis.

26. Pada skala regional untuk mengatasi eksploitasi akibat struktur pasar yang ada maka diperlukan instrument untuk pengenalan modalitas infrastruktur pasar seperti sarana lelang yang lebih terbuka bagi semua pelaku secara setara, tidak terbatas pada industri besar. Meskipun pekerjaan ini sulit, namun pemikiran ke arah itu perlu dipersiapkan. Karena semakin meluasnya industri sawit dengan corak penguasaan yang sangat dualistic sangat rentan terhadap ketimpangan.

27. Pada skala nasional pengembangan kebijakan untuk menjaga keseimbangan orientasi konsumsi domestic dan ekspor, kebijakan yang dikembangkan yang transparan dan ramah pasar. Hal ini penting mengingat kaitan antara industri sawit dengan pasar keuangan semakin tinggi. Selanjutnya pengembangan industri hilir yang mengembangkan produk derivative minyak sawit di luar untuk minyak goreng juga merupakan pilihan pengembangan dan telah menjadi bagian dari strategi pengembangan industri unggulan nasional.

PENUTUP

28. Industri sawit di Indonesia telah tumbuh pesat dan menyebar secara luas ke berbagai propinsi yang mampu membuka lapangan kerja di daearh, baik yang segera maupun jangka panjang. Peran perkebunan rakyat secara mengesankan juga telah tumbuh mengejar perkebunan besar, namun perkembangan ini tidak diikuti oleh penguasaan industri pengolahan. Padahal kesatuan industri bagi industri sawit merupakan kunci untuk efisiensi dan daya saing. Oleh karena itu pengembangan industri pengolahan yang lebih partisipatif oleh produsen bahan baku akan menjadi agenda penting dan perlu disertai dukungan fasilitasi investasi dan jasa perusahaan yang kuat. Sementara secara makro instrument kebijakan untuk menjaga keseimbangan orientasi konsumsi domestic dan ekspor perlu dikembangkan dengan pendekatan ramah pasar.
Semoga bermanfaat.
Disampaikan Oleh Dr. Noer Soetrisno pada Seminar Nasional Bertajuk: Kebangkitan Pertanian Menghadapi Krisis Global

Read more.....