Minggu, 22 Februari 2009

Cara Menentukan Harga Bayangan (Shadow price) Input Produksi

Guna menentukan harga aktual input dan output dalam penelitian ini digunakan harga rata-rata yang diterima petani responden untuk harga input dan pedagang untuk harga output ditingkat petani. (download file, click here)Sedangkan harga bayangan dapat ditaksir sebagai berikut :
1). Bibit
Bibit kedelai yang digunakan berasal

dari lokal daerah penelitian, dimana tidak dikenakan pajak atau subsidi dari pemerintah. Harga aktual bibit kedelai sebesar Rp. 2.672 per kilogram yang mencerminkan harga sosialnya.

2).Tenaga Kerja
Sebagai faktor produksi primer tenaga kerja yang digunakan dalam aktivitas produksi dan agroindustri kedelai meliputi tenaga kerja dibidang bercocok tanam, pasca panen dan agroindustri. Tenaga kerja yang termasuk dalam kelompok pekerja dinyatakan sebagai tenaga kerja terlatih, dan buruh tani sebagai tenaga kerja tak terlatih.
Dalam keadaan pasar persaingan sempurna harga faktor produksi sama dengan nilai produk marjinalnya. Di negara maju keadaan pasar persaingan sempurna berlaku pula untuk tenaga kerja terlatih. Keadaan pasar tenaga kerja terlatih di negara berkembang dianggap berlaku persaingan sempurna. Dengan demikian tingkat upahnya yang diterima sama dengan tingkat upah keseimbangan, sehingga biaya faktor tenaga kerja terlatih itu sudah mencerminkan biaya sosialnya.

Tingkat upah tenaga kerja tak terlatih yang berlaku di negara berkembang pada umumnya tidak mencerminkan tingkat upah sosial yang sesungguhnya. Penyimpangan itu disebabkan oleh adanya kebijaksanaan pemerintah. Ketentuan tentang tingkat upah minimum menyebabkan tingkat upah yang diterima lebih tinggi dari tingkat upah yang sebenarnya. Berarti biaya faktor tenaga kerja tak terlatih atas dasar tingkat upah yang berlaku tidak mengukur biaya sosial yang sesungguhnya dikorbankan dalam aktivitas yang bersangkutan. Pendugaan terhadap harga bayangan tingkat upah tenaga kerja tak terlatih diperlukan untuk menentukan besarnya biaya sosial faktor produksi primer tersebut.
Ketentuan umum tentang pendugaan harga bayangan tenaga kerja tak terlatih belum ada di Indonesia. Karena itu dalam beberapa studi evaluasi proyek digunakan berbagai harga bayangan yang berbeda-beda. Hal itu menunjukkan adanya perbedaan tentang pengorbanan produksi sebagai akibat dipekerjakannya sejumlah tertentu tenaga kerja tak terlatih dalam aktivitas atau proyek dan lokasinya.
Untuk menyederhanakan analisis, harga bayangan faktor produksi tenaga kerja tak terlatih dinilai sama dengan tingkat upah yang berlaku. Ketidakcermatan dalam pendugaan harga bayangannya dipelajari dalam analisis kepekaan. Pada umumnya upah tenaga kerja satu hari kerja pria dilokasi penelitian sebesar Rp. 15.000,- untuk pria sedangkan untuk wanita Rp. 12.500,- perhari. Penetuan harga bayangan upah tenaga kerja pertanian yaitu sebesar 0,8 persen dari harga aktualnya.

3).Harga Bayangan Bunga Modal
Aktivitas produksi kedelai dan agroindustri meliputi pengusahaan tanaman kedelai di lahan dan pengolahan hasil kedelai (agroindustri), yang merupakan satu kesatuan aktivitas ekonomi. Pertanaman kedelai di daerah penelitian diusahakan dengan sistem tugal di areal sawah beririgasi teknis, semi teknis dan tegal. Modal kerja yang digunakan berasal dari modal sendiri. Namun pajak atau pungutan dan bunga modal merupakan pemindahan uang dari masyarakat satu ke masyarakat lain. Meskipun dasarnya bagi petani sebagai pengeluaran, namun hasil dari pengeluaran tersebut tidak dirasakan secara riil oleh petani, yang mana pengeluaran tersebut akan dirasakan oleh masyarakat umum. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan penaksiran harga sosialnya karena dalam analisis ekonomi, pajak, pungutan dan bunga modal ini tidak diperhitungkan walaupun dalam analisis finansial merupakan pengeluaran.
Agroindustri kedelai dilaksanakan oleh masyarakat/ pengarajin, yang menggunakan sejumlah modal kerja. Data tentang nilai bunga yang dapat dikumpulkan dari masing-masing responden yang disertai dengan tingkat bunga yang berlaku apabila modal kerja berasal dari pinjaman. Karena itu untuk menyederhanakan analisis, maka besarnya bunga tersebut dianggap telah mencerminkan nilai sosialnya.
4).Harga Bayangan Lahan
Lahan merupakan faktor produksi primer, nilai penerimaan yang diperoleh dari alternatif terbaik penggunaannya, dinyatakan sebagai nilai ekonominya. Nilai hasil bersih produksi merupakan harga bayangan faktor produksi lahan. Harga bayangan lahan dapat dihitung dengan mengurangkan total hasil bersih produksi, semuanya dinilai atas dasar harga bayangan.
Memperkirakan harga bayangan lahan merupakan hal penting terutama untuk usaha pertanian, karena penilaian atas lahan sangat berbeda, tergantung pihak yang memanfaatkannya, tujuan serta lokasinya. Lahan yang sama bisa berbeda nilainya bagi orang/pihak yang berbeda.
Menurut Soetriono et al, 2002, kalau lahan berfungsi untuk faktor produksi seperti tenaga kerja, valuta asing dan modal, maka nilai dan harganya harus mencerminkan kegunaannya untuk menghasilkan sesuatu, yaitu nilai produksi bersih lahan tersebut selama jangka waktu tertentu. Lain halnya dengan disewakan, maka harga sewanya dapat dianggap mencerminkan nilai lahan tersebut.
Soetriono (2003) mengatakan bahwa harga banyangan tanah, misal ditanami tebu maka dicari opportunity cost penggunaan tanah selain ditanami tebu, maka harga sosial lahan usahatani tebu adalah pendapatan yang diperoleh jika ditanami selain tebu. Gittenger (1986) menaksir harga bayangan lahan dengan menggunakan nilai sewa yang diperhitungkan tiap musim. Sedangkan Word Bank dalam Budiharsono (1989) menaksir harga bayangan lahan sebesar 85 persen dari sewa yang berlaku dengan asumsi sewa lahan finansial lebih tinggi dibandingkan secara ekonomi karena adanya subsidi input dari pemerintah. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan Gittenger yaitu sesuai dengan harga sewa lahan pada saat penelitian.
5).Harga Bayangan Pupuk dan Pestisida
Harga bayangan pupuk buatan (Urea, TSP, ZA, KCL) didasarkan pada asumsi bahwa sekalipun sebagian besar telah diproduksi didalam negeri, namun masih menggunakan komponen yang bersumber dari luar negeri, sehingga pupuk organik merupakan input tradeable, harga bayangan yang digunakan adalah harga CIF dan FOB. Harga pupuk buatan rata-rata sama dengan harga pasar, hal ini sejalan dengan adanya kebijakan pemerintah mengenai subsidi input terhitung sejak 2 Desember 1998 subsidi harga pupuk dalam negeri dihapus. Sedangkan harga pasar pupuk kandang telah mencerminkan harga sosialnya.
6).Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah
Dalam perdagangan internasional dikenal nilai tukar resmi yang ditetapkan pemerintah terhadap mata uang luar negeri, misalnya terhadap US dollar. Nilai komoditas impor dan ekspor ditetapkan menurut nilai tukar resmi itu. Jika keadaan perdagangan bebas berlaku untuk suatu komoditas, maka besarnya nilai tukar resmi sama dengan nilai tukar keseimbangannya, harga impor atau harga ekspornya merupakan pengukur nilai sosialnya. Gittinger (1986) mengemukakan bahwa nilai tukar resmi pada umumnya lebih rendah dari harga bayangannya.
Ketentuan pemerintah terhadap komoditas impor misalnya, berupa bea masuk, pajak penjualan impor dan pemberian jatah ijin impor biasanya untuk menekan barang impor. Nilai tukar yang sesungguhnya berlaku dalam perdagangan internasional menjadi lebih tinggi dibanding nilai tukar resmi yang ditetapkan pemerintah.
Dalam beberapa studi yang dilakukan pemerintah atau konsultan swasta tentang evaluasi proyek di Indonesia digunakan harga bayangan nilai tukar rupiah terhadap US dollar sama dengan nilai tukar resminya. Hal itu menunjukkan adanya kecenderungan digunakannya nilai tukar resmi sebagai harga bayangan seperti pendapat Gittinger (1986). Menurut Kadariah, 1988, penyesuaian neraca finansial menjadi neraca ekonomi ditentukan oleh nilai premium yang tepat bagi valuta asing. Penentuan premium diperlukan sebagai akibat adanya kebijakkan perdagangan, sehingga orang harus membayar premium untuk barang-barang yang diperdagangkan. Premium menggambarkan kesanggupan para pemakai barang-barang yang diperdagangkan secara rata-rata dari seluruh perekonomian untuk membayar sejumlah tambahan, guna memperoleh satu unit tambahan barang yang dipergagangkan. Dalam Kadariah (1988) dan Gittinger (1986) hubungan antara nilai tukar resmi ( OERt ), premium valuta asing (Fx premium), nilai tukar bayangan (SER) dan factor konversi baku (SCF) adalah sebagai berikut :


OERt x (1 + Fx Premium ) = SERt
________________________________
1
1 + Fx Premium = SCRt

OERt / SCFt = SERt

Penentuan premium valuta asing biasanya dihitung oleh suatu badan pusat, karena dalam membandingkan berbagai alternatif dalam kesempatan – kesempatan investasi di seluruh negara harus dipakai premium valuta asing yang sama. Kalau tidak demikian, maka tidak dapat diadakan perbandingan dan alternatif. Cara lain untuk menghitung besarnya harga banyangan valuta asing adalah dengan menghitung factor konversi baku.

7).Harga Bayangan Faktor Produksi Antara

Faktor produksi antara yang digunakan dalam produksi kedelai misalnya, pupuk, pestisida dan “karung goni”. Nilai ekonomi faktor produksi antara yang berasal dari impor didasarkan pada harga C.I.F yang dinyatakan sebagai komponen biaya luar negeri.
Faktor produksi antara yang berasal dari hasil produksi dalam negeri, harga bayangannya ditentukan berdasarkan unsur-unsur produksinya. Masing-masing unsur produksi dihitung nilai ekonominya, yang dipisahkan menurut komponen biaya dalam dan luar negeri.

A.Kebijakan Pemerintah Terhadap Output


Kebijakan ini dapat diterangkan dengan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO), Nominal Protection Rate on Output (NPRO) dan Output Transfer (OT). Nilai NPCO menunjukkan dampak insensif dari kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output yang diukur dengan harga privat dan harga sosial. Nilai NPCO juga merupakan indikasi dari transfer output, dimana NPCO lebih kecil dari 1 menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga privat lebih kecil dari harga di pasar dunia atau dengan kata lain ada kebijakan pemerintah yang menghambat ekspor output.

B.Kebijakan Pemerintah Terhadap Input Tradeable

Digunakan untuk mengetahui seberapa besar campur tangan pemerintah terhadap petani / agroindustri juga untuk melihat seberapa besar subsidi yang diberikan pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dalam usahatani dan agroindustri kedelai. Indikator yang digunakan adalah Transfer Input (IT) dan Nominal Protection Coefficient Input (NPCI) serta Nominal Protection Rate on Input (NPRI).

Nilai NPCI merupakan ratio harga privat dari input yang diperdagangkan secara internasional dengan harga sosialnya. Nilai NPCI lebih besar dari satu menunjukkan adanya proteksi terhadap produsen input sedang sektor yang mempergunakan input tersebut dirugikan dengan tingginya biaya produksi.

C.Kebijakan Pemerintah Terhadap Input non Tradeable

Untuk mengetahui perbedaan harga sosial dan harga privat yang diterima agroindustri kedelai, terutama untuk input produksi yang tidak diperdagangkan pada pasar internasional (Input Domestik) digunakan indikator Transfer Faktor (TF). Apabila nilai transfer faktor bernilai positif berarti biaya usahatani untuk barang-barang domestik dibayar dengan harga yang lebih mahal dari harga riil. Selain itu digunakan indikator Net Policy Transfer yang bila memberikan nilai negatif berarti kebijakan pemerintah tersebut belum memberi nilai tambah pada pengembangan agroindustri kedelai. Nilai transfer bersih dapat menunjukkan tingkat ketidak efisienan dalam sistem pertanian/agroindustri yang disebabkan oleh adanya kebijaksanaan pemerintah.

Untuk melihat kebijakan pemerintah yang dapat meningkatkan daya saing guna mendorong kegiatan agroindustri dapat digunakan Effective Protection Coefficient (EPC), EPC merupakan indikator yang memberikan nilai tambah terhadap komoditas kedelai. Bila EPC bernilai lebih kecil atau sama dengan 1 berarti insentif pemerintah tidak efektif atau tidak ada insentif pemerintah.

Nilai Profitability Coefficient (PC) digunakan untuk mengukur pengaruh insentif dari seluruh kebijakan pemerintah. PC menunjukkan perbedaan tingkat keuntungan privat dan keuntungan sosial. Ratio ini menunjukkan pengaruh keseluruhan dari kebijakan yang menyebabkan keuntungan privat berbeda dengan keuntungan sosial.

Nilai Subsidy Ratio to Producers (SRP) merupakan ratio antara transfer bersih dengan penerimaan sosial (nilai output tanpa adanya gangguan kegagalan pasar atau kebijakan pemerintah). SRP memberikan indikasi tentang seberapa besar kebijakan pemerintah meningkatkan/mengurangi biaya produksi. Nilai SRP yang bertanda positif menunjukkan kebijakan pemerintah berperanan dalam meningkatkanbiayaproduksi.


Tidak ada komentar: