Minggu, 01 Juni 2014

SELAYANG PANDANG KOPI ARABIKA JAVA IJEN RAUNG

A. SEJARAH KOPI BONDOWOSO Informasi yang tepat tentang kapan kopi Arabika mulai ditanam di kawasan dataran tinggi Ijen dan Raung sangat berkaitan dengan sejarah masuknya bibit kopi pertama kali ke Indonesia atau Hindia Belanda kala itu. Pada abad ke-16 tepatnya pada kisaran waktu antara 1686-1696 Mayor of Amsterdam, Nicholas Witsen meminta Komandan Belanda yang bertugas di Selat Malabar untuk mendatangkan bahan tanam kopi dari Malabar di India untuk membawanya ke Hindia Belanda. Bibit kopi pertama yang didatangkan saat itu ditanam di Kadawoeng dekat Batavia. Gempa bumi dan banjir yang terjadi saat itu menggagalkan usaha introduksi bahan tanam kopi pertama tersebut. Pada tahun 1699, Henricus Zwaardecroon kembali membawa bahan tanam kopi Arabika yang kedua dari Malabar. (download file) Bahan tanam inilah yang kemudian menjadi cikal bakal seluruh perkebunan kopi Arabika di Hindia Belanda.
Dua belas tahun kemudian tepatnya tahun 1711, dilakukanlah ekspor pertama kopi dari Jawa ke Eropa melalui perusahaan perdagangan milik pemerintah Hindia Belanda atau Dutch East Indies Trading Company atau yang lebih terkenal dengan istilah Vereninging Oogst Indies Company (VOC). Ekspor tercatat 116,687 pounds di tahun 1720 dan 1396,486 pounds di tahun 1724. Ekspor tersebut menjadikan Indonesia sebagai daerah pertama di luar Ethiopia dan Arabia yang mengusahakan kopi dalam jumlah yang cukup banyak. Pada tahun 1725 pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan eksploitasi pada profit bisnis komoditas perkebunan seperti kopi, gula, teh dan karet. Raja Wilem I di Belanda kemudian memperkenalkan Cultivation system dan terkenal dengan Cultuur stelsel atau tanam paksa, eksploitasi terhadap lahan dan manusia mulai dilakukan pada tahun 1830-1870 setelah krisis ekonomi yang melanda Belanda kala itu
Gambar 1. Gunung Raung dan Ijen (1874) digambar oleh Emil Stohr, ahli sketsa dari Frankfurt, Jerman. “Die Vulkangruppe Idjen-Raun van Banjuwangi aus gesehen”, “Jajaran gunung berapi Ijen-Raung dilihat dari kawasan Banyuwangi. (Sumber : Wikipedia, Jerman). Sejak saat itulah kopi mulai ditanam di seluruh wilayah Hindia Belanda. Para pedagang di Amerika dan Eropa saat itu, bahkan mengenali daerah Besoeki dan Pasoeroean sebagai penghasil kopi Arabika di Jawa, karena kopi dari daerah tersebut mendominasi 85% dari produksi kopi Jawa. Beberapa daerah lain yang juga dikenal sebagai penghasil kopi saat itu adalah Preanger, Cheribon, Kadoe, Semarang, Soerabaya dan Tegal. Penanaman pertama di daerah Besoekih atau kawasan dataran tinggi Ijen-Raung saat ini, dimulai dari Mount Blau sekarang Blawan, tercatat rumah administratur di Blawan dibangun pada tahun 1895 seiring dengan pembangunan pabrik disebelahnya. Tercatat setelah Blawan, kebun Jampit juga mulai didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1927.
Sampai dengan abad 18, Java Coffee dipercaya sebagai salah satu kopi terbaik dan menjadi bagian coffee-blend klasik Mocha-Java. Mocha-Java merupakan kopi hasil blending antara kopi yang berasal dari kota Al-Mukha di Yaman dengan kopi Jawa (Java coffee). Pada tahun 1880 hanya jenis Arabika yang tumbuh di dataran Hindia Belanda, sampai 1878 penyakit karat daun, Hemiliea vastatrix menyeleksi secara alami dan hanya tanaman Arabika yang tumbuh didataran tinggi yang mampu bertahan hidup. Kopi Arabika yang tumbuh di dataran rendah mati akibat serangan penyakit tersebut. Pemerintah Hindia Belanda selanjutnya mulai menanam kopi Jenis Robusta dan Liberika untuk mengganti tanaman kopi Arabika yang mati di dataran rendah tersebut. Kopi Arabika yang dikelola perkebunan-perkebunan Hindia Belanda tersebut merupakan cikal bakal bagi perkebunan rakyat di kawasan Ijen-Raung. Sekitar tahun 1920, penanaman terbatas dipekarangan dilakukan pertama kali oleh rakyat di daerah Kayumas, Sukorejo dan Darungan. Buruh-buruh tani yang saat itu juga bekerja di perkebunan-perkebunan milik pemerintah Hindia Belanda membawa biji-biji kopi untuk ditanam di pekarangan. Varietas-varietas baru kopi Arabika mulai diperkenalkan setelah revitalisasi dan nasionalisasi perkebunan-perkebunan besar milik Hindia Belanda tersebut pada tahun 1950. Pada awalnya istilah kopi Arabika kurang dikenal masyarakat di kawasan Ijen dan Raung. Mereka lebih mengenal “kopi Padang”, dinamakan demikian karena setelah meminum kopi ini, maka pandangan menjadi terang atau “padang” dalam bahasa Jawa. Proyek PRPTE tahun anggaran 1978/1979 melalui Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur mulai berusaha untuk membangkitkan kembali budidaya kopi di Bondowoso melalui Proyek Rehabilitasi dan Pengembangan Tanaman Ekspor (PRPTE). Kegiatan tersebut secara tidak langsung meningkatkan motivasi untuk mengembangkan varietas kopi Arabika di kawasan Ijen-raung. Pertimbangan pengembangan Kopi Arabika Java Ijen-Raung bukan hanya didasarkan pada kepentingan ekspor, akan tetapi perkebunan kopi di dataran tinggi juga dipandang mempunyai peran strategis dalam melestarikan fungsi hidrologis. PRPTE di Bondowoso telah mampu mengembalikan dan menambah luas areal perkebunan.
Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) untuk membangun agribisnis kopi Arabika di kawasan Ijen-Raung dengan pendekatan pemberdayaan kelembagaan di tingkat petani. Dalam kerjasama ini fungsi Dinas Perkebunan lebih ditekankan pada penggarapan di sektor petani, sedangkan fungsi PPKKI lebih ditekankan pada penggarapan masalah pasar, pengawalan teknologi, perbaikan mutu, dan pembangunan sistem agribisnis. Teknologi hilir mulai diintroduksikan dengan memberikan fasilitas mesin pengelupasan kulit merah (pulper) dan mesin cuci (washer). Pada awal tahun 2009 mulai dilakukan sosialisasi pentingnya mutu terhadap harga jual kopi Arabika kepada para petani. Selain itu juga dimulai penyelenggaraan pelatihan yang dikemas dalam bentuk sekolah lapang mengenai prosedur pengolahan basah pada kopi Arabika untuk memperoleh mutu citarasa yang baik dengan menggunakan mesin yang tersedia. Pada tahun 2010 Dinas Perkebunan Provinsi Jatim memfasilitasi para-para untuk penjemuran kopi berkulit tanduk (kopi HS) dan memberikan bantuan bibit sambungan sekitar 15 ribu bibit kopi Arabika dengan batang bawah yang tahan terhadap nematoda parasit. Sejak tahun 2010 situasi ini telah berubah. Semakin banyak konsumen yang ingin membeli kopi Arabika basah, dan permintaan ini bisa dipenuhi oleh UPH-UPH yang difasilitasi oleh Dinas Perkebunan yang terus menyediakan peralatan-peralatan kepada Kelompoktani, dan oleh beberapa pembeli yang juga menyediakan beberapa peralatan selama tahun-tahun terakhir ini. Beberapa Kelompoktani juga ada yang membeli peralatan sendiri. Sampai saat ini terdapat 37 UPH yang mampu untuk memproduksi kopi olah basah. Keadaan ini mendorong seluruh petani yang telah mengembangkan petik gelondong merah sebagai upaya peningkatan mutu citarasa kopi. Selain konsumen dari domestik dan manca negara, konsumen Kopi Arabika Java Ijen-Raung sekarang ini juga mencakup para pecinta kopi yang menganggap kopi jenis ini sebagai “origin coffee”, yang bersedia membayar kopi ini dengan harga tinggi. Para konsumen ini bisa ditemukan di Bondowoso atau di seluruh Indonesia, bahkan di Amerika, Australia dan beberapa negara Eropa, dimana kopi ini telah diekspor selama kurang lebih lima tahun sampai sekarang. B. AREAL Luas areal tanaman kopi tahun 2013 di Kabupaten Bondowoso, baik yang terdapat dalam dan luar kawasan hutan disajikan sebagaimana tabel 1. berikut:
Read more.....

Selasa, 06 Mei 2014

SOSIALISASI PROGRAM KLASTER BAMBU KABUPATEN BONDOWOSO

Setelah berhasil mengembangkan sistem kluster pada padi organik, kopi dan tembakau, Pemerintah Kabupaten Bondowoso segera mengembangkan kluster untuk tanaman bambu. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bondowoso, Matsakur mengatakan, selain potensial dari sisi ekonomi, pengembangan kluster bambu ini juga merupakan program konservasi alam. Menurutnya, Bondowoso memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah untuk mengembangkan tanaman bambu.
“Ini untuk meningkatkan potensi bambu yang ada di Bondowoso. Perlu penanganan supaya punya nilai yang tinggi, sehingga masyarakat akan senang menanam dan memelihara bambu ini. Karena di Bondowoso, potensi bambu tinggi,” kata Matsakur saat ditemui dalam acara Sosialisasi Program Kluster Bambu Berbasis Konservasi dan Ekonomi di Aula Dishutbun, Selasa (6/5). Menurut Matsakur, berdasarkan perencanaan yang telah disusun, pengembangan kluster tanaman bambu ini akan mulai dilaksanakan pada 2015 mendatang, dengan lahan percontohan seluas 40 hektare. Selain itu, Pemkab Bondowoso juga bekerja sama dengan Dewan Bambu Nasional, untuk terus mendampingi petani dan memberikan petunjuk tentang pangsa pasar produksi bambu. Sementara itu, Retno Widiastuti dari Dewan Bambu Nasional mengatakan, Bondowoso memiliki potensi sangat besar untuk menjadi produsen bambu berkualitas. Menurut Retno, ini terlihat dari adanya beberapa industri di Bondowoso yang menggunakan bambu sebagai bahan baku seperti pabrik sumpit dan anyaman. “Semangat dan komitmennya bagus, kemudian sumber daya alamnya yang melimpah. Selain itu juga sudah mulai ada industri seperti anyaman dan sumpit, saya sudah menyampaikan nantinya ada industri lain yang bisa dikembangkan,” kata Retno Widiastuti. Mengenai pangsa pasar, Retno meyakini hasil industri bambu asal Bondowoso nantinya tidak akan mengalami kesulitan untuk dipasarkan. Pihaknya akan membantu untuk membuka pasar ke wilayah Bali dan sekitarnya. Selain itu, Bondowoso bias menggunakan Kawah Ijen sebagai pintu masuk untuk memperkenalkan hasil kerajinan bambu kepada dunia internasional. Sumber: www.portalkbr.com/nusantara/jawabali/3236236_4262.html
Read more.....

PELUANG KERJASAMA KEMITRAAN DALAM USAHA TANI KOPI

Peluang kemitraan usahatani kopi terbuka cukup lebar. Empat indikasi yang menjadikan kopi sebagai bisnis yang menjanjikan, 1) potensi produktifitas kopi yang mencapai 1 ton ose per hektar, 2) Pemeliharaan tanaman yang intensif, Download file selengkapnya Click here3) pengolahan berdasarkan SOP dengan pengawasan mutu secara kontinyu dan 4) pemasaran bersama mitra dengan menjaga komitmen.
Read more.....

INDUSTRI KECIL MENENGAH BERBASIS BAMBU DALAM PERSPEKTIF MP3EI- MASTER PLAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA

Oleh: Dr.Ir.Retno Widiastuti,MM Balai Besar Kerajinan dan Batik Jl.Kusumanegara 7 Yogyakarta Tlp. 0274-546111;546333/ HP 0816686965 Email: retnowidiastuti@yahoo.com Disampaikan pada Sosialisasi ”PROSPEK PENGEMBANGAN ANEKA USAHA PRODUK KERAJINAN BAMBU DAN PELUANG PASAR” Selasa 6 Mei 2014 Di Aula Java Ijen Raung Diselenggarakan oleh : DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN BONDOWOSO PROSPEK PENGEMBANGAN ANEKA USAHA PRODUK KERAJINAN BAMBU DAN PELUANG PASAR” A. Pendahuluan Pertumbuhan industri non migas yang lebih besar dari pertumbuhan ekonomi nasional di tengah krisis Eropa dan Amerika pada beberapa tahun terakhir telah memberikan harapan baru bagi tercapainya pembangunan industri nasional ke depan. Perkembangan perekonomian dunia yang dinamis serta persaingan yang semakin kompetitif menuntut perlunya peningkatan profesionalisme, integritas, kerja keras, serta sinergi dari semua pemangku kepentingan sektor industri agar tercapai tujuan strategis pembangunan industri nasional yaitu peningkatan kesejahteraan, penciptaan lapangan pekerjaan, peningkatan daya saing, kepedulian lingkungan dan pengembangan inovasi. Hal tersebut akan dapat tercapai jika tersedia informasi yang memadai, mudah diperoleh, dan adil bagi masyarakat (Widiastuti, 2012(C))Download file : Click Here!
Kementerian Perindustrian berperan besar dan bertanggung jawab untuk mengangkat industri kecil menjadi kekuatan ekonomi berbasis masyarakat. Salah satu komoditi yang ditangani Kementerian Perindustrian adalah bambu. Perkembangan teknologi dan inovasi produk bambu beberapa tahun terakhir meningkat sangat pesat dan cepat. Bambu merupakan ”the tree of life” karena hampir semua sendi kehidupan mampu dipenuhi oleh bambu. Bambu menjadi bahan paling dibutuhkan masyarakat lapisan bawah (pro poor)
karena tersedia sepanjang musim, murah, dan mudah diperoleh. Dengan teknologi sederhana bambu mampu menciptakan lapangan kerja bagi ribuan penduduk Indonesia (pro job). Melalui kemampuan inovasi dan kreatifitas bambu mampu menjadi kekuatan ekonomi dari
produk-produk yang dihasilkan (pro growth). Bambu mampu tumbuh 40 - 60 cm per hari dan tergolong tanaman yang cepat tumbuh. Pada umur 3 - 4 tahun bambu sudah bisa dipanen batang pada musim kemarau dan bisa dipanen rebungnya pada musim hujan. Bambu menyerap Carbon disoksida lebih banyak dan menghasilkan Oksigen lebih banyak dibanding tanaman lain. Perakaranya yang kompak mampu menjadi tanaman penahan erosi dan penyimpan air di musim kemarau, sehingga bambu adalah jenis yang ramah lingkungan (pro environment). Bambu mampu menjadi kelompok industri yang perlu didorong perkembangannya karena memenuhi directive president karena bersifat pro poor, pro job, pro growth, dan pro environment(Widiastuti,2012 (B)) Dahulu orang menggunakan bambu karena kurang mampu dan dianggap sebagai barang inferior, namun sekarang bambu telah bergeser menjadi barang seni yang dibeli karena keindahannya. Perlengkapan rumah tangga seperti meja, kursi, dipan, sekat, pot, almari, rak, kap lampu, aneka anyaman dari bambu sudah masuk hotel-hotel berbintang. Keberadaannya sudah bukan sebagai pelengkap lagi, namun sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kesatuan interior (Widiastuti,2012 (A). Bahan baku yang tersedia sepanjang musim dan tidak mengandung komponen impor, serta ketrampilan turun temurun menjadikan industri ini menunjukkan eksistensinya di saat krisis ekonomi melanda negeri kita. Sifat-sifat bambu yang unggul tersebut mengakibatkan gejala “ booming” pemanfaatan bambu yang nampak saat dimana para perajin mendapati hasil produknya terserang hama bubuk. Hal tersebut menunjukkan terjadinya eksploitasi bambu tanpa memandang daya dukung alam. Saat ini bukan saja sulit untuk memperoleh jenis bambu dengan kualitas yang diinginkan, harganyapun sudah terbilang tidak murah lagi. Permintaan yang sangat tinggi dengan pasokan yang sangat terbatas memaksa para perajin bambu mamanfaatkan bambu yang belum siap tebang dan dipanen tidak pada saat tebang. Menghadapi tekanan permintaan produk kayu yang semakin meningkat, sementara pasokan kayu di hutan produksi jati yang dikelola PT Perhutanani, dan hutan hujan tropika di luar Jawa semakin menipis, maka pada tanggal 2 - 4 April 2012 bertempat di Hotel Grand Quality Yogya, Direktorat Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan mengadakan Lokakarya untuk pengembangan bambu di Indonesia. Direncanakan seluruh Balai Penelitian Daerah Aliran Sungai se Indonesia akan melakukan penanaman secara besar-besaran terutama di pinggir-pinggir sungai, pinggir bukit . Diharapkan penanaman tersebut dapat berfungsi menjaga ekosistem sebagai penahan erosi sekaligus secara berkala ditebang untuk memperoleh manfaat secara ekonomi. Para pengambil kebijakan di Kementerian Kehutanan meminta dukungan Kementerian Perindustrian untuk mengambil langkah penting guna menyusun rencana pengembangan industri berbasis bambu. B. Perkembangan Pertemuan Untuk Revitalisasi Kebangkitan Bambu Sepanjang tahun 2012 dan 2013 sejumlah pertemuan melibatkan beberapa kementerian, LSM, Perguruan tinggi, Pemda telah dilangsungkan di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Bogor, Magelang, Malang, Bali dan mendeklarasikan serta segera mendesak kementerian terkait untuk menyusun program/kegiatan berbasis bambu. Beberapa agenda seminar/workshop/semiloka 2 (dua) tahun terakhir yang semakin memperkokoh perlunya peran seluruh pemangku kepentingan untuk menjadikan bambu sebagai sokoguru perekonomian dan kesejahteraan rakyat, serta kelestarian lingkungan antara lain ” 1. Seminar ” Tribute to Prof. Morisco dan Prof Mardjono” seminar yang mengupas tentang berbagai aspek pengunaan bambu terutama untuk konstruksi bangunan sebagai penghormatan ilmiah terhadap kedua Prof Teknik sipil yang setia dan tekun mengembangkan bambu untuk material bangunan. Diselenggarakan pada bulan Januari 2012 di Gedung UC Universitas Gadjahmada. Dihadiri oleh para peneliti fakultas Kehutanan; Fakultas Teknik jurusan Sipil dan Arsitektur ; Kementerian Kehutanan; Kementerian PU; Balai Litbang; IKM berbasis bambu. 2. Rakornis Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu diselenggarakan oleh Ditjen BPDAS dan Perhutanan Sosial tanggal 3-4 April 2012 di Hotel Quality Yogyakarta dengan pembicara dari Dirjen Ditjen BPDAS dan Perhutanan Sosial; Direktur IKM Kemenperin; CV Bambu Nusa Verde; dihadiri oleh Kepala Dinas Kehutanan dan kepala BPDAS seluruh Indonesia; Kepala Taman Nasional; para Kapus Balitbanghut; pelaku industri dan terjadi komitmen penanaman bambu di sepanjang aliran sungai yang termasuk DAS masing-masing untuk penaham erosi dan memperbaiki lingkungan/ekologi. 3. Seminar ”Pengembangan Industri Bambu Nasional” diselenggarakan oleh Ditjen KII di Hotel Sahira Bogor tanggl 20 Juni 2012 dengan pembicara Dr. Sarwono Kusumaatmaja; Dr. I. PK Diah Kencana; Dr. Retno Widiastuti; Dr. Setiono; dihadiri para peneliti, pelaku usaha; Kemenhut; Kemenperin. 4. Festival industri kreatif bambu oleh Kemenparekraft di JCC Jakarta tanggal 1 September 2012, menampilkan musik tradisi bambu dan industri kreatif berbasis bambu. 5. Peringatan 3 Tahun World Bamboo Day diselenggarakan Seminar oleh Kemenhut di Hotel Yogyakarta Plaza tanggal 17 September 2013 dan Temu Usaha di Desa Wringin putih, kecamatan Borobudur,Magelang tanggal 18 September 2013 menghasilkan deklarasi Borobudur yang berisi komitmen bersama untuk mengangkat bambu sebagai sokoguru perekonomian bangsa Indonesia, terbentuk Gerakan Kebangkitan Bambu Nusantara 6. Seminar dan Pameran Pengembangan industri bambu oleh Kemenperin tgl 23-25 Oktober 2013 di ruang Garuda dan plaza Kemenperin, menghasilkan deklarasi Garuda oleh 14 Kementerian terkait yang mendorong segera dibentuknya Dewan Bambu Nasional. 7. Seminar Bamboo Platform for green Industry oleh Kedubes RI Belgia tanggal 18-19 Nopember 2012 di Hotel Melia Purosani Yogyakarta yang memperkuat perlunya dibentuk Dewan Bambu Nasional 8. Sarasehan bambu di Saung Mang Udjo Bandung tgl 25-26 Nopember 2012 oleh Kementerian KLH, menghasilkan deklarasi Bambu pertiwi. 9. Semiloka bambu oleh Kemenhut di Hotel Inna Garuda Yogyakarta tanggal 31 Januari 2013, menghasilkan komitmen untuk segera menyusun organisasi sebagai wadah bersatunya penggiat bambu dan menjadikan DIY sebagai basis dan rujukan keistimewaan pengembangan bambu nasional. 10. Beberapa seminar di Malang, Yogya, Denpasar, Bandung diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi, Ikatan Arsitek, Komunitas bambu, Balitbang 11. Seminar Bamboo Platform for green Industry oleh Kedubes RI Belgia di Hotel Aston Denpasar tanggal 3-5 Juli 2013 yang memperkuat perlunya diwujudkanya Dewan Bambu Nasional 12. Terbentuknya Pengurus Dewan Bambu Indonesia yang dikukuhkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana X pada acara Seminar Bambu di Jayakarta Hotel pada tanggal 28-30 Nopember 2013. C. Bambu dan Sifat-sifat alamiahnya Gambar : Bambu sebagai penahan talud dan salah satu bahan kerajinan anyaman Bambu adalah sejenis rumput-rumputan yang tumbuh tegak, berkayu, berakar rimpang, dan akarnyapun berkayu, batangnya berbuku-buku, berongga, pertulangan daun sejajar, bentuk bunga malai. Perbanyakan bambu dengan cara stek batang, stek cabang, biji, kultur jaringan maupun akar rimpangnya. Bambu termasuk tanaman yang tergolong cepat pertumbuhannya. Menurut Widiastuti, 1988 bambu mampu tumbuh 50 cm dalam sehari semalam. Tinggi batang bisa mencapai 25 m dan saat pertumbuhannya paling cepat antara bulan 2 dan 3. Percabangan bawah terjadi pada bulan ke 4 dan cabang atas terjadi pada tahun 2 dan 3, kemudian pada tahun ke 3 terjadi ligno- silikasi (penebalan dinding sel). Oleh karena itu setelah umur 2 tahun bambu umumnya sudah bisa dimanfaatkan untuk anyaman karena relatif tidak membutuhkan kekuatan serat, sedangkan untuk keperluan konstruksi dan mebel sebaiknya menggunakan bambu yang telah berumur lebih dari 4 tahun, dimana bambu sudah cukup keras dan lebih tahan terhadap serangan hama bubuk. Berdasarkan sifat pertumbuhannya bambu dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan : 1. Sympodial (menggerombol) : contoh Gigantochloa apus Kurz (bambu apus), G. Atter Kurz ex Munro ((bambu wulung). 2. Monopodial (tumbuh satu-satu): contoh Phillostachys reticula e. Koch yang banyak tumbuh di negeri China dan Jepang. 3. Memanjat. Contoh Denochloa scandens o. Kuntz yang banyak tumbuh di Sabah. Menurut Reilligh (1921) dalam Hildebrand (1954) terdapat 600-700 species bambu yang mewakili + 60 genera (marga). Kira-kira 300 species terdapat di Asia. Di Indonesia terdapat + 35 jenis; India 136 jenis, Burma 34 Jenis, Philipina 30 jenis, Malaysia 29 jenis, Jepang 9 jenis. Dari 35 jenis yang ada di Indonesia baru 13 species yang selalu ditanam rakyat dan bernilai komoditi . Umur bambu yang bisa dipanen lebih kurang dua sampai lima tahun. Bila dipanen kurang dari dua tahun bambu akan mudah berkerut, mudah terserang hama bubuk dan kekuatannya berkurang (Kaseno, 1965). Bambu adalah tanaman yang luwes karena bisa tersedia sepanjang tahun untuk keperluan industri(Anonimus, 1984, Pulle, 1952). Selain itu bambu mempunyai manfaat/nilai yang tidak terhitung yaitu sebagai tanaman pencegah erosi terutama di sepanjang sungai yang sering dilanda banjir, karena perakarannya yang kompak sehingga tidak mudah dihanyutkan air. Hal itu telah dibuktikan di Jepang dan Philipina (Lessard dan Chouinard, 1980). Sebagai tanaman jenis penghijauan bambu cukup memenuhi syarat karena tidak menuntut persyaratan kesuburan tanah yang tinggi, cepat tumbuhnya dan mempunyai manfaat yang besar. Dengan demikian bambu mempunyai nilai ekologis yang penting sebagai jenis yang membantu memelihara keseimbangan ekologi lingkungan (Anonimus, 1984). D. JENIS-JENIS BAMBU DI INDONESIA Persebaran bambu secara horisontal dan vertikal sangat luas. Penyebaran horisontal terutama di daerah Tropis dan Sub Tropis, tetapi ada juga yang tumbuh di daerah beriklim sedang, misalnya China, Jepang, Chili, USA. Sedangkan penyebaran bambu secara vertikal pada ketinggian 0 - 1500 m dpl , bahkan ada yang dijumpai pada ketinggian 2000 - 3750 m dpl (Hildebrand, 1954). Di seluruh dunia terdapat + 1300 species bambu yang sudah diidentifikasi mewakili + 60 genera. Kira-kira separonya terdapat di Asia dan paling banyak terdapat di Indo-Burmese. Di Indonesia terdapat + 65 species dan baru 35 species dari 11 genera/genus/marga yang sudah diidentifikasi, yaitu : 1. Arundinaria (1 species). 2. Bambusa (12 species). 3. Dendrocalamus (3 species). 4. Dinochloa (1 species). 5. Gigantochloa (6 species). 6. Melocanna (2 species). 7. Nastus (1 species). 8. Oxytenanthera (1 species). 9. Phyllostachys (1 species). 10. Schizostachyum (6 species). 11. Thyrsostachys (1 species). Berikut nama ke 35 jenis bambu yang sudah diidentifikasi dan penyebarannya di Indonesia. No Nama Latin Nama Lokal Persebaran 1 Arundinaria japonica Sieb & Suce.ex.Steud - Jawa 2 Bambusa atra Lindl Buluh luleba, ute aul Maluku,Sulawesi 3 Bambusa arundinacea (Retz) Willd Bambu duri, ori Jawa 4 Bambusa balcoa Roxb - Jawa 5 Bambusa bamboos Backer trieng meduroi,aur duri, pring ori Jawa 6 Bambusa blumeana Bl.ex. Schult.f. Bambu duri Jawa 7 Bambusa glaucescens (Willd) Sieb.ex.Munro Bambu pagar Jawa 8 Bambusa horsfieldii Munro Bambu embong Jawa 9 Bambusa multiplex Raeusch pring cendani, awi krisik Jawa 10 Bambusa polymorpha Munro - Jawa 11 Bambusa spinosa Bl bambu duri kecil Jawa 12 Bambusa tulda Munro - Jawa 13 Bambusa vulgaris Schard trieng gading, pring ampel, tiing ampel, tahaki, bambu tutul Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi,Maluku 14 Dendrocalamus asper Backer oloh otong,betong,pring petung,tiing petung Sumatera,Kal,Jabar,Sul 15 Dendrocalamus giganteus Bambu sembilang Jawa 16 Dendrocalamus strictus (Roxb).Nees Bambu batu,pring peting Jawa 17 Dinochloa scandens U.K pring kadalan, cangkoreh Jawa 18 Gigantochloa apus Kurz awi tali,pring apus, tiing tali, pereng tale Jawa,Madura, Bali 19 Gigantochloa atter (Harsk) Kurs ex Munro Bambu ater,bambu hitam,pring wulung Jawa 20 Gigantochloa hasskarliana Backer Awi lengka tali Jawa 21 Gigantochloa kurzii Gambel Bambu ulet Jawa 22 Gigantochloa nigrociliata Kurz Awi lengka Jawa 23 Gigantochloa verticillata Munro Awi andong, pring surat Jawa 24 Melocanna humulis Kurz Bambu wulu, bulu Jawa 25 Melocanna baccifera (Roxb).Kurz - Jawa 26 Nastus elegantissimus (Hassk) Holtt Bambu eul-eul Jawa 27 Oxytenanthera nigrocilliata Munro Bambu watu,benel Jawa 28 Phyllostachys aurea A.&C.Riviera Bambu uncue Jawa 29 Scizostachyum blumei Nees Bambu tamiang, awi bunar, pring wuluh, hamia, utelauit Sum, Jawa,Kal,NTB 30 Schizostachyum brachycladium Kurz buluh nehe,awi buluh,utewanat,tomula Sum,Jawa,Mal, Sul 31 Schizostachyum caudatum Backer buluh bungkok Sumatera 32 Schizostachyum lima (Blanco) Merr Bambu toi Sul, Mal, Irian 33 Schizostachyum longispiculatum Kurz bambu jalur Jawa,Sum,Kal 34 Schizostachyum zollingeri Kurz buluh jalar,awi cakeutreuk Sum, Jawa 35 Thysostachys siamensis Gamble - Jawa Sumber : Hildebrand, 1954; Sulthoni, 1983. Di antara yang sudah diidentifikasi , menurut Hildebrand, 1954 kira-kira 13 species yang paling banyak diusahakan di Indonesia yaitu: 1. Bambusa arundinacea (Retz) Willd 2. Bambusa bamboos Backer 3. Bambusa blumeana Bl.ex. Schult.f. 4. Bambusa glaucescens (Willd) Sieb.ex.Munro 5. Bambusa horsfieldii Munro 6. Bambusa multiplex Raeusch 7. Bambusa vulgaris Schard 8. Dendrocalamus asper Backer 9. Dendrocalamus strictus (Roxb).Nees 10. Gigantochloa apus Kurz 11. Gigantochloa atter (Harsk) Kurs ex Munro 12. Gigantochloa nigrociliata Kurz 13. Scizostachyum blumei Nees E. PENGOLAHAN BATANG BAMBU 1. Pengeringan: * Tradisional : Dengan Sinar Matahari * Modern : Dengan alat pengering 2. Pengawetan : *Tradisional : Perendaman - Air Mengalir - Air Menggenang * Modern /Dengan Bahan Pengawet - Metode Pelaburan - Metode Perendaman - Metode tekan - Metode vacum tekan -Metode Bouchery-Morisco 3. Pewarnaan - Pemutihan : Perhidrol - Pewarna Sintetis: basis, naphtol - Pewarna Alami : jambal , tegeran, kayu mahoni ,dll 4. Peralatan Pengolah Bambu - Alat Pemotong : Parang, gergaji potong, circular saw. - Alat Pembelah : Besi bintang, mesin belah - Alat Irat : Pisau irat, mesin irat - Alat Penyama Lebar Iratan - Alat Penyama Tebal Iratan - Alat Pelidian : Pisau raut, mesin raut - Alat Pelubang Batang - Mesin Bubut : -Alat Pengering : Oven -Alat Tenun Bukan Mesin F. Beberapa Hasil Kerajinan Anyaman Bambu dari Moyudan Sleman G. Contoh Penggunaan Produk Kerajinan Anyaman Bambu H. Penutup Berbagai gambaran mengenai bambu di Indonesia dapat dilihat bagaimana keberadaan bambu saat ini • Dahulu beberadaan bambu dianggap penting tapi inferior Sejak lahir sampai mati – Welat/sembilu Untuk Pemotongan tali pusat; geridan saat bayi belajar berjalan; mainan egrang – Membangun rumah : reng, usuk, dinding, lantai; tiang ; pagar; tangga, dll – Peralatan Rumah Tangga : irus, siwur; tambir, tampah; bakul nasi; kursi, meja, almari; dipan; dll – Konstruksi rumah dan jembatan, perahu – Saat mati : keranda • Saat Pembentukan kampung-kampung di Yogyakarta : Seruan Sri Sultan HB I – Bambu sebagai tanaman wajib – Bambu sebagai penerapan agroforestry – Bambu sebagai arsitektur lanscap • Saat Krisis Ekonomi – Industri yang tahan krisis : berbasis pada sumber daya alam setempat; ketrampilan & seni turun temurun – Benda seni yang dibeli karena keindahannya • Permasalahan Bambu Saat ini sebagai Sumber Daya Alam : – Jenis yg pertama dipinggirkan – Belum / tidak ada usaha budidaya – Hanya sebagai hasil hutan ikutan – Peneliti masih terbatas • Keunggulan Bambu Untuk Pemberdayaan Ekonomi Rakyat - Relatif mudah diperoleh - Banyak Jenisnya - Tersedia sepanjang tahun - Murah Harganya - Mudah dikerjakan (mudah dibelah, dibengkokkan, dipotong, dianyam, diirat) • Keunggulan Bambu dari Segi Ekologis : - Membentuk iklim mikro - Membentuk agregat tanah penahan longsor dan erosi - Menguraikan tanah menjadi gembur DAFTAR PUSTAKA Anonimus.1984. The Philippines Recommends for Bamboo. Philippine Council For Agriculture and Resources Research and Development. Los Banos, Laguna (PCARRD). Technical Bulletine Series No. 53. Anonimus, 2005. Profil Usaha Kecil dan Menegah Tidak Berbadan Hukum Indonesia Tahun 2004. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Anonimus, 2005. Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga Tahun 2004. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Anonimus, 2006. Pembinaan dan Pengembangan IKM Kerajinan. Direktorat Jendral Industri kecil dan Menengah. Jakarta. Anonimus, 2005.Pendataan Potensi Industri Dagang Kecil dan Menengah tahun 2004 di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, DIY. Hildebrand,F.H. 1954. Catatan Tentang Bambu di Jawa. Laporan Balai Penyelidikan Kehutanan No.66. Bogor. Kaseno,S. 1965. Gigantochloa apus Kurz (bambu apus). Penyelidikan Mengenai Pengaruh Umur Terhadap Sifat-sifat Fisis,Morphologis, dan kimia. K. Heyne, 1987. Tumbuhan berguna Indonesia vol I – IV, cetakan I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Penerbit Yayasan Sarana Warna Jaya, Jakarta Lessard,G and A. Chouinard.1980. Proceeding of A Workshop Held In Singapore 28 - 30 May 1980. Organized By The International Union of Forestry Research Organizations. Morisco. 1999. Rekayasa Bambu. Nafiri Offset. Yogyakarta. Morisco, F. Mardjono dan T.A. Prayitno. 2005. Pembuatan Balok Laminasi Kualitas Tinggi Bambu. Laporan Hibah Bersaing.UGM. Yogyakarta. Prayitno,T.A. 2005. Pidato Dies Natalis ke 42 Fakultas Kehutanan. UGM . Yogyakarta. Pulle,A.A.1952. Compendium Van De Terminologie Nomenclature En Systematiek Der Zaadplanten.3.De Druk N.V.A. Oosthoe’s-Mastchappij.Utrecht. Sulthoni,A. 1983. Petunjuk Ilmiah Pengawetan Bambu Tradisionil Dengan Perendaman Dalam Air. International Development Research Center Ottawa. Canada Widiastuti, Retno. 1988. Pengaruh Beberapa Faktor Lingkungan Terhadap Riap Tinggi Rebung Gigantochloea apus Kurz. Studi Kasus di DIY. Problema Kehutanan. Fakultas Kehutanan.UGM. Yogyakarta. Widiastuti, R. 2001. Peralatan dan Pengolahan Serat Alam Non Tekstil. Makalah pada training programme on Production Process of Non Textile Natural Fiber for Small and Medium Scale Weaving and Knitting Industries. Kerjasama BBKB dan JICA. Widiastuti, R. 2002. Bambu Sebagai Bahan Baku Kerajinan .Makalah pada Sarasehan” The Art of Bamboo”,2002 di Univ. Kristen Duta Wacana Yogyakarta Widiastuti, R. 2012.(A) Mendedah Industri Kerajinan Berbasis Serat Alam Non Tekstil. Disertasi. Program Studi Ilmu Kehutanan UGM. Widiastuti,R.2012.(B) Pemanfaatan Bambu Sebagai Bahan Baku Produk KerajinanMakalah Disampaikan pada Forum Pengembangan Produk-produk Bambu Nasional Selasa 19 Juni 2012.Di Ruang Rapat Hotel Sahira Bogor, Diselenggarakan oleh :Direktorat Jenderal Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian R.I Widiastuti,R.2012(C) Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Bambu Untuk Produk Kerajinan. Makalah Disampaikan pada Temu Usaha Dalam Rangka Perayaan Bambu se Dunia Di Kawasan Mandala Borobudur 18 September 2012. Diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan R.I http://downloads.ziddu.com/download/23749971/Makalah-bambu-Bondowoso-2014.doc.html
Read more.....

Rabu, 23 April 2014

PERATURAN BERSAMA MENTERI KEHUTANAN RI DAN KEPALA BKN

PERATURAN BERSAMA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA NOMOR : PB.1/Menhut - I X/2014 NOMOR : 5 TAHUN 2014 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2013 TENTANG JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH KEHUTANAN DAN ANGKA KREDITNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentua n Pasal 43 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik I ndonesia Nomor 27 Tahun 2013 tent ang Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutana n dan Angka Kredit nya , perlu menetapkan Peraturan Bersama Menteri Kehutanan dan Kepala Ba dan Kepegawaian Negara tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reform asi Birokrasi Repub lik I ndonesia Nomor 27 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Kehutanan dan Angka Kreditnya ; (DOWNLOAD FILE, CLICK HERE) Mengingat : 1. Undang - Undang N omor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik I ndonesia Nomor 3000) sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang - Undang N omor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang - Undang (Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lem baran Negara Republik I ndonesia Nomor 4412);
Read more.....

Rabu, 16 April 2014

SOP OLAH BASAH KOPI ARABIKA JAVA IJEN RAUNG

Berikut ini adalah langkah-langkah proses pengolahan dimaksud yang merupakan persyaratan khusus untuk kopi IG Arabika Java Ijen-Raung. 1. Pengolahan Basah Giling Kering (Wet Process, Dry Hulling)
a. Panen • Persiapkan sarana panen dengan baik dan bersih seperti wadah buah, tangga, lembaran plastik, dan kantong untuk buah kering, hitam dan cacat. • Hampari tanah di bawah tajuk kopi dengan lembaran plastik agar buah yang jatuh mudah diambil. • Untuk dapat diolah dengan baik, maka panen harus dilakukan secara pilih. • Petik buah yang telah matang/merah saja. • Pisahkan buah hijau, kuning, kering di pohon, kotoran dll. (selanjutnya olah buah jelek/inferior tersebut secara kering). • Batas minimum kopi buah merah segar sehat (BMSS) yang akan diolah adalah minimal 95 persen. • Jaga kebersihan buah. • Jangan menyimpan buah matang lebih dari 24 jam karena dapat membusuk, segera kupas pada hari yang sama saat panen • Petani membawa buah kopi ke UPH, menimbang dan mencatat jumlah buah kopi yang diserahkan kepada UPH. • UPH mencatat jumlah buah kopi yang dikirimkan oleh petani untuk diolah. Catatan dibuat per hari penerimaan buah gelondong merah b. Pengupasan Kulit Buah (Depulping) • Buah kopi merah yang diterima dari anggota Kelompoktani , dicatat nama pemilik buah dan jumlah buah kopi merah yang serahkan. Selanjutnya buah kopi merah siap untuk diproses. • Sebelum dikupas, buah merah dirambang dalam air, diaduk dan dipisahkan dari buah yang mengapung (buah terserang hama penggerek buah kopi, buah yang pengisian bijinya tidak penuh, dll.), selanjutnya buah yang mengapung diolah secara kering bersama dengan buah-buah hijau, kuning, dan kering di pohon. • Periksa jangan sampai terikut batu, besi dan benda keras lainnya, karena akan merusak mesin pengupas kulit buah (pulper). • Segera kupas kulit buah merah segar dari buah buah kopi yang tidak mengambang pada saat perambangan (jangan ditunda). • Bersihkan mesin pulper sebelum digunakan. • Pastikan mesin pulper berfungsi dengan baik. • Setel mesin pulper sampai hasil pengupasan baik, tidak pecah, bagian kopi HS tidak banyak tercampur kulit, dan sebaliknya bagian kulit tidak tercampur biji. • Cuci/bersihkan alat setelah dipakai. • Pisahkan kulit yang berwarna merah (pulp) yang terikut pada biji kopi berkulit tanduk (kopi HS). • Pisahkan biji kopi HS yang ringan dengan merendam dalam air dan aduk merata. • Biji kopi HS yang tenggelam dalam proses perendaman selanjutnya siap untuk difermentasi c. Fermentasi dan Pencucian Sisa Lendir • Proses fermentasi dimaksudkan untuk meluruhkan lendir agar mudah dicuci dan juga untuk mendapatkan citarasa yang bagus. • Sebelum difermentasi, pisahkan sisa kulit buah (pulp) dari kopi HS karena kulit yang terikut selama fermentasi akan menjadi busuk dan mencemari citarasa kopi. • Proses fermentasi dapat dilakukan dalam ember plastik (berlubang di bagian bawah) atau karung plastik anyaman atau bak fermentasi dari semen yang diberi lubang drainase agar cairan lendir dapat meniris keluar. • Wadah yang digunakan harus bersih dan bebas dari bau tajam (misal: minyak tanah, pestisida, karet, dll.). • Jangan menggunakan wadah dari kayu atau bambu karena dapat menimbulkan aroma kayu lapuk (woody). • Lama proses fermentasi 12 – 36 jam (jangan lebih dari 36 jam), tergantung saat mulai fermentasi. • Apabila dimulai sore hari maka fermentasi dilakukan selama 12 atau 36 jam, tetapi bila dimulai pada waktu pagi hari maka fermentasi dilakukan selama 24 jam, sehingga bisa langsung dijemur pada pagi hari setelah waktu fermentasi tercapai. • Apabila fermentasi akan dilakukan selama 36 jam maka siram dan aduk biji HS pada jam ke-18 atau ke-24, kemudian tiriskan dan tutup kembali untuk melanjutkan proses fermentasi sampai 36 jam. • Cuci bersih sisa lendir setelah fermentasi selesai kemudian dilanjutkan dengan penjemuran. d. Penjemuran • Pengeringan kopi merupakan tahap yang paling kritis untuk mendapatkan mutu fisik dan citarasa yang baik. Adanya kesalahan pada tahap ini akan merusak mutu hasil. Untuk mendapatkan mutu yang baik pada kopi arabika maka pengeringan harus dilakukan secara perlahan-lahan terutama pada saat awal atau pada saat 1– 4 hari pertama. • Waktu penjemuran sampai kadar air akhir mencapai sekitar 12 % diperlukan selama ± 15 hari. • Atur ketebalan biji antara 5 cm sampai 10 cm, jangan terlalu tipis. Khusus hari pertama bisa diatur lebih tipis (5 cm) untuk memudahkan penguapan air di permukaan kulit, namun mulai hari kedua harus dipertebal (minimum 7,5 cm) untuk menghindari pengeringan yang terlalu cepat. • Gunakan alas terpal plastik bersih, lantai jemur dari semen atau yang terbaik menggunakan para-para. • Untuk menghindari serangan jamur dan mikroba kopi harus dibolak-balik secara rutin setiap 1 – 2 jam. Pada saat awal penjemuran (1 – 2 hari pertama) pembalikan harus lebih sering karena kopi masih sangat basah. • Tutuplah kopi pada malam hari dengan terpal. Penutupan akan lebih baik kalau terpal tidak langsung menempel pada biji, diberi jarak antara biji dan penutup untuk mencegah pengembunan, tutup diatur dengan posisi miring sehingga tetesan air hasil pengembunan (dibagian dalam terpal di atas kopi) mengalir ke samping dan tidak jatuh ke kopi. • Hindarikan dari tetesan air atau hujan. Kopi yang sudah (agak) kering akan rusak apabila terkena air. • Hentikan penjemuran kopi apabila kadar air sudah mencapai sekitar 12 %. • Cek dengan alat pengukur kadar air pada pagi hari, atau untuk pendekatan dapat diperkirakan dengan menimbang satu kaleng minyak (volume 19 liter) bila sudah mencapai berat yang tetap/tidak berkurang lagi setiap hari selama 3 hari (kira-kira 8.0 kg/19 liter) maka penjemuran dapat dihentikan. • Biji kopi berkulit tanduk (kopi HS) kering selanjutnya dapat disimpan dan dimintakan pengujian kualittas oleh Tim Pengawas Mutu PMPIG Kopi Arabika Java Ijen-Raung untuk menentukan dapat tidaknya menggunakan tanda IG Kopi Arabika Java Ijen-Raung. • Selain itu kopi HS dapat digiling untuk menghilangkan kulit tanduk sehingga menghasilkan kopi biji Ose (green bean). e. Pengemasan dan Penyimpanan Biji Kopi HS • Kopi yang akan diambil oleh pembeli (eksportir) biasanya dalam bentuk kopi berkulit tanduk (kopi HS) kering dengan kadar air 12 %, karena eksportir akan melakukan penggilingan sesuai dengan jadwal pengapalan. • Kopi yang akan dikemas benar-benar sudah kering (k.a. 12 %) dan telah mendapatkan engujian mutu oleh Tim Pengawas Mutu PMPIG Kopi Java Arabika Ijen-Raung. • Pengemasan dilakukan dengan karung plastik baru/bersih dan bebas dari bau menyengat • Karung yang digunakan menggunakan tanda IG Kopi Arabika Java Ijen-Raung, kode keterunutan dan label lain yang diperlukan. • Simpan sementara dalam gudang yang bersih, dengan ventilasi yang baik, bebas bau menyengat, bebas asap, bebas puntung rokok dan obat nyamuk, serta tidak lembab. • Gunakan palet (alas) kayu di bawah tumpukan karung untuk menghindari kelembaban dari permukaan lantai, dan jangan sampai karung menyentuh dinding tembok. f. Penggilingan biji kopi HS kering (dehulling) • Penggilingan biji kopi HS kering dilakukan untuk menghilangkan kulit tanduk (hornschill) dengan menggunakan mesin huller khusus kopi HS kering. • Siapkan mesin penggiling (huller) yang dapat berfungsi dengan baik, bersihkan bagian dalam dan luar mesin sebelum digunakan. • Lakukan pengecekan kembali kadar air biji kopi kualitas IG Kopi Arabika Java Ijen-Raung sebelum digiling. Kadar air harus sekitar 12 %. • Lakukan penyetelan mesin dengan baik untuk menghindarkan terjadinya biji pecah yang berlebihan. Maksimum biji pecah yang dapat ditoleransi adalah 3%. • Pengontrolan hasil penggilingan harus dilakukan secara rutin, hentikan segera jika terjadi biji pecah terlalu banyak dan lakukan penyetelan ulang mesin yang digunakan. g. Pemilahan (grading) Ukuran dan Sortasi Biji • Biji kopi yang akan diekspor harus memenuhi persyaratan mutu kopi ekspor SNI 01-2907-2008. • Biji kopi arabika tidak dipersyaratkan mengenai jenis ukuran, namun demikian kesegaman ukuran sangat diharapkan oleh pembeli. Bila dikehendaki ayak biji menurut ukuran Besar (L), Sedang (M), dan Kecil (S) masing-masing dengan susunan ayakan dengan diameter lubang 7,5 mm, 6,5 mm dan 5,5 mm. • Sortasi biji-biji cacat (biji hitam, pecah, lubang, dll.) dengan menggunakan tangan untuk mencapai kelas mutu (grade) yang dikehendaki. • Lakukan pengujian kualitas biji oleh Tim Pengawas Mutu PMPIG Kopi Arabika Java Ijen-Raung untuk dapat menggunakan tanda IG Kopi Arabika Java Ijen-Raung. h. Pengemasan dan Penyimpanan Kopi Biji (Green Bean) • Kemas biji kopi seberat 60 kg (netto) dalam karung baru yang telah diberi tanda IG Kopi Arabika Java Ijen Raung, kode keterunutan dan label lain yang diperlukan. • Gunakan karung baru yang food grade (layak untuk tempat bahan pangan) bebas minyak mineral (non-mineral oil based jute-bag), beri label dengan tinta larut air (water based marker). • Simpan sementara kopi dalam gudang bersih, berventilasi baik, bebas bau menyengat, bebas puntung rorkok dan obat nyamuk, serta tidak lembab. • Gunakan palet kayu di bawah tumpukan karung untuk menghindari kelembaban dari permukaan lantai dan karung jangan menyentuh dinding. 2. Pengolahan Basah Giling Basah (Wet Process, Wet Hulling) a. Panen • Persiapkan sarana panen dengan baik dan bersih seperti wadah buah, tangga, lembaran plastik, dan kantong untuk buah kering, hitam dan cacat. • Hampari tanah di bawah tajuk kopi dengan lembaran plastik agar buah yang jatuh mudah diambil. • Untuk dapat diolah dengan baik, maka panen harus dilakukan secara pilih. • Petik buah yang telah matang/merah saja. • Pisahkan buah hijau, kuning, kering di pohon, kotoran dll. (selanjutnya olah buah jelek/inferior tersebut secara kering). • Batas minimum kopi buah merah segar sehat (BMSS) yang akan diolah adalah minimal 95 persen. • Jaga kebersihan buah. • Jangan menyimpan buah merah lebih dari 24 jam karena dapat membusuk, segera kupas pada hari yang sama saat pemetikan. • Petani membawa buah kopi ke UPH, menimbang dan mencatat jumlah buah kopi yang diserahkan kepada UPH. • UPH mencatat jumlah buah kopi yang dikirimkan oleh petani untuk diolah. Catatan dibuat per hari penerimaan buah gelondong merah b. Pengupasan Kulit Buah (Depulping) • Buah kopi merah yang diterima dari anggota Kelompoktani , dicatat nama pemilik buah dan jumlah buah kopi merah yang serahkan. Selanjutnya buah kopi merah siap untuk diproses. • Sebelum dikupas, buah merah dirambang dalam air, diaduk dan dipisahkan buah yang mengapung (buah terserang hama penggerek buah kopi, buah yang pengisian bijinya tidak penuh, dll.). Selanjutnya buah yang mengambang diolah secara kering bersama dengan buah-buah hijau, kuning, dan kering di pohon. • Periksa jangan sampai terikut batu, besi dan benda keras lainnya, karena akan merusak mesin pengupas kulit buah (pulper). • Segera kupas kulit buah merah segar (jangan ditunda). • Bersihkan mesin pulper sebelum digunakan. • Pastikan mesin pulper berfungsi dengan baik. • Setel mesin pulper sampai hasil pengupasan baik, tidak pecah, bagian kopi HS tidak banyak tercampur kulit, dan sebaliknya bagian kulit tidak tercampur biji. • Cuci/bersihkan alat setiap kali setelah dipakai. • Pisahkan kulit yang berwarna merah (pulp) yang terikut pada biji kopi berkulit tanduk (kopi HS). • Pisahkan biji kopi HS yang ringan dengan merendam dalam air dan aduk merata. • Kopi biji HS yang tenggelam dalam proses perendaman, siap untuk difermentasi. c. Fermentasi dan Pencucian Sisa Lendir • Proses fermentasi dimaksudkan untuk meluruhkan lendir agar mudah dicuci dan juga untuk mendapatkan citarasa kopi yang bagus. • Sebelum difermentasi, pisahkan sisa kulit buah (pulp) dari kopi HS karena kulit yang terikut selama fermentasi akan menjadi busuk dan mencemari citarasa kopi. • Proses fermentasi dapat dilakukan dalam ember plastik (berlubang di bagian bawah) atau karung plastik anyaman atau bak dari semen yang diberi lubang drainase agar cairan lendir dapat meniris keluar. Wadah yang digunakan harus bersih dan bebas dari bau tajam (misal: minyak tanah, pestisida, karet, dll.). • Jangan menggunakan wadah dari kayu atau bambu karena dapat menimbulkan aroma kayu lapuk (woody). • Lama proses fermentasi sekitar 12 - 18 jam (satu malam). • Cuci bersih sisa lendir setelah fermentasi kemudian dilanjutkan dengan penjemuran. d. Penjemuran Kopi HS • Gunakan alas terpal plastik bersih, lantai jemur dari semen atau para-para (lebih baik). • Selama penjemuran harus dilakukan pembalikan secara rutin setiap 1–2 jam, dalam kondisi sinar matahari penuh penjemuran cukup dilakukan 8 jam (satu hari), jika sinar tidak penuh penjemuran dapat dilakukan 2 – 3 hari (tergantung panjang penyinaran). • Tutuplah kopi pada malam hari dengan terpal. Penutupan akan lebih baik kalau terpal tidak langsung menempel pada biji, diberi jarak antara biji dan penutup untuk mencegah pengembunan, tutup diatur dengan posisi miring sehingga tetesan air hasil pengembunan (di bagian dalam di atas kopi) mengalir ke samping, tidak jatuh ke kopi. Hindarikan dari tetesan air atau hujan. • Hentikan penjemuran apabila kulit tanduk sudah mulai nampak merekah (tanda bahwa biji kopi sudah siap digiling). • Pada kondisi ini kadar air biji mencapai sekitar 30 %- 40%, sehingga disebut dengan istilah kopi HS basah. e. Penggilingan biji kopi HS basah (dehulling) • Penggilingan biji kopi HS basah dilakukan untuk menghilangkan kulit tanduk dengan menggunakan mesin huller khusus untuk kopi HS basah. • Siapkan mesin penggiling (huller) yang dapat berfungsi dengan baik, bersihkan bagian dalam dan luar mesin sebelum digunakan. • Lakukan penyetelan mesin dengan baik untuk menghindarkan terjadinya biji pecah yang berlebihan. Maksimum biji pecah yang dapat ditoleransi adalah 3%. • Pengontrolan hasil penggilingan harus dilakukan secara rutin, hentikan segera jika terjadi biji pecah terlalu banyak dan lakukan penyetelan ulang mesin yang digunakan. f. Penjemuran (lanjutan) kopi biji basah (“kopi labu”) • Kopi biji hasil giling basah kopi HS (k.a. sekitar 30 %-40%) seringkali disebut dengan nama “kopi labu”. • Penjemuran lanjutan terhadap kopi labu dilakukan sampai kadar air kopi biji mencapai sekitar 12 %. Penjemuran dilakukan di atas lantai jemur, alas terpal, alas ayaman bambu atau para-para. Sangat dianjurkan menggunakan para-para karena proses kering angin masih dapat berlangsung pada saat malam hari maupun pada saat hari hujan, yaitu dengan cara menumpuk para-para dan bagian paling atas ditutup dengan terpal plastik. • Mengingat kopi yang dijemur sudah tidak memiliki kulit tanduk, maka selama penjemuran harus dijaga kebersihannya dengan baik. g. Pemilahan (Grading) Ukuran dan Sortasi Biji • Biji kopi yang akan diekspor harus memenuhi persyaratan mutu kopi ekspor SNI 01-2907-2008. • Biji kopi arabika tidak dipersyaratkan mengenai jenis ukuran, namun demikian kesegaman ukuran sangat diharapkan oleh pembeli. Bila dikehendaki ayak biji menurut ukuran Besar (L), Sedang (M), dan Kecil (S) masing-masing dengan susunan ayakan dengan diameter lubang 7,5 mm, 6,5 mm dan 5,5 mm. • Sortasi biji-biji cacat (biji hitam, pecah, lubang, dll.) dengan menggunakan tangan untuk mencapai kelas mutu (grade) yang dikehendaki. • Pada proses giling basah seringkali terdapat biji pecah sedikit di bgian ujung (seperti tergencet) sehingga menyerupai “kuku kambing”. Biji cacat “kuku kambing” yang hanya sedikit (tidak terlalu menganga) digolong biji utuh. • Biji kopi Ose kering selanjutnya diuji kualitasnya oleh Tim Pengawas Mutu PMIG Kopi Arabika Java Ijen-Raung. • Kopi yang memenuhi syarat kualitas Kopi Arabika Java Ijen-Raung, diperkenankan menggunakan kemasan bertanda IG Kopi Arabika Java Ijen-Raung dan kode keterunutan serta tanda tanda lain yang diperlukan. h. Pengemasan dan Penyimpanan Kopi Biji (Green Bean) • Kemas biji kopi seberat 60 kg (netto) dalam karung baru yang telah diberi tanda IG Kopi Arabika Java Ijen-Raung dan kode keterunutan serta label lainnya yang diperlukan. • Gunakan karung baru yang food grade (layak untuk tempat bahan pangan) bebas minyak mineral (non-mineral oil based jute-bag), beri label dengan tinta larut air (water based marker). • Simpan sementara kopi dalam gudang bersih, berventilasi baik, bebas bau menyengat, bebas puntung rorkok dan obat nyamuk, serta tidak lembab. • Gunakan palet kayu di bawah tumpukan karung untuk menghindari kelembaban dari permukaan lantai, dan dalam menyusun karung jangan menyentuh dinding. Diagram alir pengolahan buah kopi merah dengan cara OBGK dan OBGB menjadi biji kopi HS kering dan biji kopi Ose kering kualitas IG Kopi Arabika Java Ijen-Raung, terdapat pada Gambar 4. Diagram alir pengolahan biji kopi HS Kering dan biji kopi Ose kering kualitas IG Kopi Arabika Java Ijen-Raung menjadi kopi sangrai dan kopi bubuk kualitas IG Kopi Arabika Java Ijen-Raung, terdapat pada Gambar 5.
Read more.....

PROFIL CITA RASA KOPI ARABIKA JAVA IJEN RAUNG

Read more.....

Kamis, 10 April 2014

BUKU PERSYARATAN INDIKASI GEOGRAFIS KOPI ARABIKA JAVA IJEN RAUNG

Indonesia merupakan negara penghasil kopi ke-4 setelah Brazil, Kolombia dan Vietnam, dengan volume ekspor mencapai lebih dari 500 ribu ton per tahun. Komoditas kopi merupakan komoditas andalan perkebunan yang mempunyai kontribusi cukup nyata dalam perekonomian Indonesia, yaitu sebagai penghasil devisa ekspor, sumber pendapatan dan kesejahteraan petani, penghasil bahan baku industri, penciptaan lapangan kerja dan untuk pengembangan wilayah. Sebagai komoditas hasil perkebunan, kopi merupakan komoditas ekspor penting bagi Propinsi Jawa Timur, baik kopi Robusta maupun kopi Arabika. Sampai saat ini sebagian besar ekspor kopi kualitas baik dari Propinsi Jawa Timur masih dihasilkan dari Perkebunan Besar (negara maupun swasta) dan sebagian kecil berasal dari perkebunan rakyat.
Kawasan pegunungan Ijen dan Raung yang terletak di wilayah administrasi kabupaten Bondowoso, Situbondo dan Banyuwangi terkenal sebagai daerah penghasil utama kopi rakyat di wilayah Propinsi Jawa Timur dengan luas 4.367 Ha. Dari luasan tersebut 1.351 Ha di antaranya merupakan areal pertanaman kopi Arabika dan sisanya adalah kopi Robusta dengan tingkat produktivitas 500 - 750 kg/ha. Pengembangan agribisnis komoditas kopi Arabika kawasan Ijen dan Raung masih cukup terbuka terutama kawasan yang termasuk ke dalam wilayah administrasi kabupaten Banyuwangi. Selain itu, pengembangan agribisnis komoditas kopi Arabika kawasan pegunungan Ijen dan Raung dapat dilakukan melalui program intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas, maupun perbaikan mutu dan pengembangan sampai industri hilir. Kopi arabika rakyat sebagian besar ditanam di dalam kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani.(Download File, Click Here!) Di kawasan Ijen-Raung juga terdapat kopi arabika PTPN XII. Dari perusahaan inilah, kopi arabika menyebar ke wilayah sekitar Ijen-Raung sebagai kopi rakyat. Dalam era pasar global dan persaingan yang semakin ketat, seperti yang terjadi saat ini dan pada tahun-tahun yang akan datang, diferensiasi produk merupakan sarana penting untuk menarik perhatian konsumen. Indikasi Geografis memegang peranan penting untuk menarik minat konsumen dengan cara memberikan nilai tambah pada produk ini, yaitu kualitas produk yang berasal dari kawasan khusus, dengan teknik yang tersendiri. Karakteristik-karakteristik khusus produk dengan perlindungan Indikasi Geografis dengan mutunya yang baik bisa meningkatkan daya saing produk ini. Oleh sebab itu, pemerintah di berbagai negara di seluruh dunia mendorong perlindungan Indikasi Geografis untuk produk spesifik lokasi. Berdasarkan kondisi dan pertimbangan-pertimbangan di atas, masyarakat petani kopi Arabika yang berada di kawasan pegunungan Ijen dan Raung berkeinginan meningkatkan nilai tambah dari usaha budidaya dan pengolahan kopi untuk mendapatkan pengakuan atas mutu dan ke-khasan produk kopi dan sebagai salah satu cara untuk melestarikan tradisi produksi kopinya. Untuk mencapai keinginan ini, masyarakat petani kopi Arabika di kawasan pegunungan Ijen dan Raung bermaksud mendapatkan perlindungan hukum atas nama produknya serta mengajukan permohonan pendaftaran perlindungan Indikasi Geografis bagi produk kopi “Arabika Java Ijen-Raung”. Pemberian perlindungan Indikasi Geografis kepada Kopi Arabika Java Ijen-Raung dapat dipertimbangkan dengan alasan-alasan sebagai berikut : 1. Kopi Arabika Java Ijen-Raung berasal dari kawasan spesifik dengan ketinggian tempat diatas 900 meter dpl. Agro ekosistem di kawasan kopi Arabika yang tumbuh di pegunungan Ijen dan Raung cocok bagi pertanaman kopi jenis Arabika. 2. Kawasan Kopi Arabika Java Ijen-Raung berada di kawasan yang mempunyai iklim yang spesifik dengan udaranya yang dingin (kisaran suhu 18 – 24 0C) dan kering dengan fluktuasi temperatur yang cukup tinggi. 3. Musim hujan biasanya berlangsung 5 – 6 bulan dan musim kering yang tegas berlangsung 5 – 6 bulan. Iklim ini menjadi kekhasan kawasan pegunungan dataran tinggi Ijen dan Raung. 4. Tanah di kawasan ini adalah tanah vulkanik dengan jenis tanah ordo Andisol dengan kadar alofan yang cukup tinggi. Dengan kondisi ini kawasan tersebut memiliki potensi produksi 2.000 ton/Ha/tahun dan kopi yang dihasilkan memiliki kekhasan tersendiri dengan potensi mutu yang tinggi. 5. Kopi Arabika Java Ijen-Raung adalah produk yang memiliki mutu dan reputasi tinggi karena ditanam oleh masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap mutu. Masyarakat ini tergabung dalam kelembagaan petani tradisional yang disebut Kelompoktani . Sedangkan untuk pengolahanya tergabung dalam UPH (Unit Pengolahan Hasil) Kopi. 6. Kopi Arabika Java Ijen-Raung telah memiliki sejarah yang cukup panjang dan dengan tradisi budaya lokal serta mutu kopinya yang tinggi, menyebabkan Kopi Arabika Java Ijen-Raung mendapatkan reputasi yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu dari “origin of coffee” (asal kopi) di Indonesia. 7. Para petani Kopi Arabika Java Ijen-Raung telah memiliki kelembagaan yang cukup kuat (Kelompoktani ) sehingga manajemen pertanian menjadi khas dan relatif homogen yang didasarkan pada pengetahuan tradisional. Dengan demikian, masyarakat petani dapat saling berbagi pengetahuan dan ketrampilan dalam melakukan usaha taninya. 8. PTPN XII yang terdiri atas kebun Kalisat, Belawan, Pancur Angkrek dan Kayumas mempunyai kesamaan sejarah dan karakter serta dapat diharapkan membina kebun kopi arabika rakyat dan menjaga kemurnian yang berada di sekitar perkebunan PTPN XII. Dalam upaya untuk mendapatkan perlindungan tersebut, masyarakat petani Kopi Arabika Java Ijen-Raung dan PTPN XII telah bergabung dalam sebuah organisasi yang bernama Perhimpunan Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (PMPIG) Kopi Arabika Java Ijen-Raung. Kelompok ini mengajukan permohonan perlindungan Indikasi Geografis kepada Pemerintah Republik Indonesia. Di dalam dokumen permohonan tersebut, dijelaskan tentang pemohon dan Buku Persyaratan Kopi Arabika Java Ijen-Raung. Buku Persyaratan ini telah dibahas bersama dalam beberapa kali pertemuan pada tahun 2011 dan 2012. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut dihadiri oleh 30 sampai 50 anggota yang terdiri atas Kelompoktani , PTPN XII, Perhutani, dan pihak yang terkait. Semua hal yang berhubungan dengan buku persyaratan ini telah dibahas dan telah diambil keputusan-keputusan secara demokratis maupun pemungutan suara.
Read more.....

Rabu, 09 April 2014

ROAD MAP PENGEMBANGAN KLASTER KOPI ARABIKA KABUPATEN BONDOWOSO

Read more.....

Senin, 07 April 2014

IDENTIFIKASI KAWASAN KLASTER KOPI ARABIKA JAVA IJEN RAUNG

Komoditi tanaman yang berada dibawah binaan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bondowoso meliputi 5 komoditi terdiri atas kelompok tanaman tahunan, tanaman semusim, dan tanaman rempah penyegar. Namun demikian, komoditi yang diprioritaskan pengembangannya saat ini adalah Kopi Arabika. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa komoditas tersebut yang termasuk dalam kelompok tanaman rempah penyegar termasuk salah satu komoditas unggulan baik lokal, regional maupun nasional bahkan memiliki citarasa nomor 3 (tiga) sedunia.

Di sisi lain dengan ekspor kopi maka kopi mempunyai kontribusi yang sangat penting dalam pembangunan pertanian meliputi penerimaan devisa negara (ekspor, peningkatan pendapatan petani, penyediaan kesempatan kerja, penyediaan bahan baku industri, konservasi lahan dan air, dan pengembangan wilayah. Perbandingan luas areal komoditi utama dan komoditi lainnya disajikan pada tabel 5. (download file lengkap: click here) Penetapan Kawasan Sentra Produksi
Penentuan kawasan sentra produksi kopi arabika Kabupaten Bondowoso dilakukan dengan syarat mempunyai luas areal mencapai 80% dari luas areal provinsi. Komparasi Luas areal kopi arabika Kabupaten Bondowoso dengan kabupaten lain di wilayah Provinsi Jatim disajikan pada tabel 6.
Syarat Kawasan sentra produksi kopi arabika Jawa Timur terpenuhi, apabila terdapat lahan kopi arabika minimal 80% dari luas total kopi arabika di Jatim (7.497,68 Ha). Untuk memenuhi luas tersebut maka dibutuhkan gabungan dari beberapa sentra produksi kopi arabika di Jawa Timur, yaitu meliputi Kabupaten: Pasuruan, Bondowoso, Probolinggo, Situbondo, Pacitan, Jember dan Ngawi). Sentra produksi Kabupaten Bondowoso tersebar di 6 Kecamatan, sebagaimana pada gambar di bawah ini Gambar sentra produksi kopi arabika di Kabupaten Bondowoso
Sentra produksi kopi arabika di Kabupaten Bondowoso yang paling luas adalah Kecamatan Sumber Wringin 513,15 Ha atau 41,72% dari total luas kopi arabika di Kabupaten Bondowoso. Selain itu, Kecamatan Sumber Wringin juga memiliki produktivitas kopi yang paling bagus yaitu 512,5 Kg/Ha/Th. Sedangkan sentra produksi yang memiliki areal paling kecil adalah Kecamatan Maesan dengan luas areal hanya 18,35 Ha (1,49%), selanjutnya diikuti dengan Kecamatan Pakem 23,5 Ha (1,91%). Sekalipun Kecamatan Pakem dan Kecamatan Maesan termasuk dalam sentra produksi kopi arabika di Kabupaten Bondowoso, akan tetapi terletak di luar kawasan sentra produksi kopi arabika dengan jarak berkisar 35 Km. Dua kecamatan inin juga menasbiskan sebagai sentra produksi dengan memiliki produktivitas yang paling rendah pula. Dengan tidak membedakan antara kopi arabika dengan robusta maka akan terjadi jumlah komposisi kecamatan dan prosentase yang berbeda. Sentra produksi kopi tersebar di 7 (tujuh) Wilayah Kecamatan, dengan sentra produksinya berada di Kecamatan Sumber Wringin 51% dari total luas areal tanaman kopi atau mencapai 3.545 Ha. Selanjutnya disusul kecamatan Maesan yang mencapai luas areal kopi 1.115 Ha atau 16%, akan tetapi wilayah ini jauh dari kawasan utama. Kecamatan yang termasuk dalam kawasan utama (hinter land) pengembangan meliputi Sempol, Botolinggo, Cermee dan Tlogosari. Selengkapnya luas areal tanaman kopi disajikan dalam bentuk Phi chart sebagai berikut: Gambar 1. Luas areal kopi per kecamatan Salah satu kebijakan dan program pembangunan daerah bidang pertanian dan perkebunan adalah peningkatan kesejahteraan petani dengan sasaran: 1. Terwujudnya kemitraan antara petani, kelembagaan tani, dan pengusaha pertanian daerah yang berkesinambungan. 2. Meningkatkan pemanfaatan Sumberdaya Alam (SDA) daerah secara optimal dan berkesinambungan. Penetapan kawasan sentra produksi kopi arabika di Kabupaten Bondowoso mengacu kepada Perencanaan tata ruang wilayah Kabupaten Bondowoso didasarkan pada kajian yang bersifat obyektif dan menjadi dasar dari sinergitas pengembangan Kabupaten Bondowoso dengan memperhatikan isu pengembangan wilayah, potensi yang dapat dikedepankan, persoalan-persoalan yang dapat menghambat dalam proses pengembangan wilayah yang dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal wilayah, serta prospek pengembangan wilayah Kabupaten Bondowoso. Untuk menjamin kelestarian lingkungan dan keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam di Kabupaten Bondowoso sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), maka perlu dimantapkan bagian-bagian wilayah yang akan atau tetap memiliki fungsi lindung. Strategi pengembangan kawasan budidaya diarahkan pada: • pemanfaatan ruang untuk kegiatan-kegiatan budidaya baik produksi maupun permukiman secara optimal sesuai dengan kemampuan daya dukung lingkungan. Secara umum pengembangan kawasan budidaya diarahkan untuk mengakomodasi kegiatan pertanian (perkebunan, pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan darat), permukiman serta pariwisata. • Pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan budidaya diarahkan agar tidak terjadi konflik antar kegiatan. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bondowoso Tahun 2007 – 2026, Kabupaten Bondowoso dibagi menjadi 8 (tiga) Sub Satuan Wilayah Pengembangan (SSWP). Penetapan Kecamatan Sumber Wringin sebagai kawasan sentra produksi kopi arabika sudah sesuai dengan RTRW yang ada. Daerah tersebut termasuk dalam Sub Satuan Wilayah Pengembangan (SSWP) IV yang merupakan kawasan strategis pengembangan pertanian (agropolitan) dengan fungsi utama sebagai kawasan permukiman, pelayanan sosial dan pemerintahan, perdagangan dan jasa khusus komoditas pertanian (agropolitan), pariwisata, perkebunan, kehutanan, pertanian lahan kering dan basah, peternakan dan perikanan, serta kawasan lindung. 3.3. Kawasan Sentra Utama Pengembangan Selanjutnya dengan penetapan sentra utama pengembangan kopi arabika. Sentra utama pengembangan kopi arabika ditetapkan 50% dari luas areal sentra produksi kabupaten. Untuk memenuhi kondisi ini maka diperlukan 2 (dua) kecamatan sentra produksi, yaitu Kecamatan Sumber Wringin dan Kecamatan Botolinggo dengan luas areal 797,15 Ha (64,80%). Selain hal tersebut penentuan lokasi sentra utama pengembangan budidaya kopi arabika di Kabupaten Bondowoso, didasarkan juga atas pertimbangan kesesuaian lahan, agroklimat, serta sosial budaya masyarakat petani yang telah secara turun-temurun melakukan kegiatan budidaya tanaman kopi arabika. Tidak dipungkiri bahwa di Kecamatan Botolinggo terdapat tanaman kopi arabika dibawah penguasaan PTPN XII. Hal ini mengindikasikan bahwa sosio kultur dan teknologi budidaya kopi arabika sudah melekat pada masyarakat di wilayah Kecamatan Botolinggo dan sekitarnya. 3.4. Daerah Pengembangan Potensial Daerah pengembangan potensial adalah wilayah yang tidak masuk dalam daerah sentra produksi, tetapi memiliki produktivitas tanaman kopi yang lebih tinggi (10% di atas rata-rata provinsi) di atas 660 Kg/Ha/Th., dan cadangan lahan untuk pengembangan kopi arabika serta mempunyai potensi untuk mampu memenuhi skala ekonomi. Pengembangan potensial kopi arabika di Kabupaten Bondowoso diarahkan di Kecamatan Tlogosari terutama untuk desa Gunosari, Kembang dan Brambang Darussalam. Beberapa desa ini memiliki kesesuaian agroklimat dengan ketinggian berkisar 1000 m dpl. Secara mendetai daerah pengembangan potensial disajikan pada lampiran 3.. 3.5 Daerah Perluasan Areal Baru Daerah perluasan areal baru adalah daerah baru yang memiliki tingkat kesesuaian lahan dan agroekologi tergolong sesuai (kelas S1, S2 dan S3) untuk tanaman kopi arabika serta menjadi program pembangunan daerah yang didukung oleh rencana tata ruang wilayah dan memiliki cadangan lahan dengan luasan memenuhi skala ekonomi wilayah, disamping faktor pendukung lainnya. Daerah yang masuk pada wilayah ini adalah Kecamatan Grujugan, yang merupakan kecamatan penghubung antara daerah sentra produksi Pakem dan Maesan. Sekalipun belum ditemukan populasi tanaman kopi arabika, tetapi secara spesifik tinggi tempat sudah memenuhi syarat untuk budidaya tanaman kopi arabika. Dengan demikian tidak berlebihan apabila kegiatan yang akan dipilih adalah Pengembangan daerah baru kopi Arabika. Kegiatan ini juga akan mendukung upaya untuk : (1) pengembangan potensi daerah dengan basis usaha komoditas kopi arabika yang produktif dan bermutu tinggi untuk di ekspor, (2) Meningkatkan produksi kopi arabika dengan menambah luas areal kebun dan intensifikasi kebun yang ada, (3) Meningkatkan pendapatan pekebun dan meningkatkan ekspor daerah, (4) Mendukung upaya konservasi lahan kritis. Beberapa pilihan kegiatan yang akan dilakukan pada upaya pengembangan Kopi Arabika rakyat: a. Rehabilitasi lahan tanaman kopi seluas 1.585 ha dengan kebutuhan bibit 3.487.000 batang. b. Konversi Lahan 36.000 ha, diantaranya yang memungkinkan untuk pengembangan (baru) tanaman kopi arabika 700 ha, kopi robusta 900 ha dengan kebutuhan bibit 3.520.000 btg c. Menyediakan Tenaga kerja dari keluarga petani dalam umlah yang cukup. d. Menyediakan pupuk kandang cukup dengan harga relatif murah sehinggga kebutuhan terhadap pupuk organik dapat terpenuhi. e. Menyediakan Benih/bibit kopi yang diperoleh dari kerjasama Pemda Bondowoso dengan Puslit Koka Jember (30 km dari Bondowoso). Proyek PRPTE tahun anggaran 1978/1979 melalui Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur mulai berusaha untuk membangkitkan kembali budidaya kopi di Bondowoso melalui Proyek Rehabilitasi dan Pengembangan Tanaman Ekspor (PRPTE). Kegiatan tersebut secara tidak langsung meningkatkan motivasi untuk mengembangkan varietas kopi Arabika di kawasan Ijen-raung. Pertimbangan pengembangan kopi Arabika Java Ijen_Raung bukan hanya didasarkan pada kepentingan ekspor, akan tetapi perkebunan kopi di dataran tinggi juga dipandang mempunyai peran strategis dalam melestarikan fungsi hidrologis. PRPTE di Bondowoso telah mampu mengembalikan dan menambah luas areal perkebunan Namun, peningkatan produksi tersebut rupanya belum diikuti dengan perolehan mutu yang baik. Untuk mengatasi hal ini Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) untuk membangun agribisnis kopi Arabika di kawasan Ijen-Raung dengan pendekatan pemberdayaan kelembagaan di tingkat petani. Dalam kerjasama ini fungsi Dinas Perkebunan lebih ditekankan pada penggarapan di sektor petani, sedangkan fungsi PPKKI lebih ditekankan pada penggarapan masalah pasar, pengawalan teknologi, perbaikan mutu, dan pembangunan sistem agribisnis. Mesin yang difasilitasikan kepada UPH-UPH berupa pengelupasan kulit merah (pulper) dan mesin cuci (washer) Pada tahun 2009 PPKKI telah mulai menjajagi pasar dengan cara mendatangkan calon pembeli PT. Indokom Citra Persada, Sidoarjo. Pada awal tahun 2009 tersebut mulai dilakukan sosialisasi pentingnya mutu terhadap harga jual kopi Arabika kepada para petani. Selain itu juga dimulai penyelenggaraan pelatihan yang dikemas dalam bentuk sekolah lapang mengenai prosedur pengolahan basah pada kopi Arabika untuk memperoleh mutu citarasa yang baik dengan menggunakan mesin yang tersedia. Pelatihan dipandu langsung oleh peneliti senior dari PPKKI. Pada tahun 2010 Dinas Perkebunan memfasilitasi para-para untuk penjemuran kopi berkulit tanduk (kopi HS). Setelah pelatihan para petani sudah mulai mau mengolah kopi dengan proses basah, walaupun dengan sikap sangat hati-hati. Harapan adanya perbaikan harga ini rupanya telah mendorong para petani untuk menanam kopi kembali. Hal ini nampak dari animo petani untuk minta bantuan bibit kopi kepada Dinas Perkebunan. Pada tahun 2010 telah membantu bibit sambungan sekitar 15 ribu bibit kopi Arabika dengan batang bawah yang tahan terhadap nematoda parasit. Sejak tahun 2010 situasi ini telah berubah. Semakin banyak konsumen yang ingin membeli kopi Arabika basah, dan permintaan ini bisa dipenuhi oleh UPH-UPH yang di fasilitasi oleh Dinas Perkebunan yang terus menyediakan peralatan-peralatan kepada kelompok tani, dan oleh beberapa pembeli yang juga menyediakan beberapa peralatan selama tahun-tahun terakhir ini. Beberapa kelompok tani juga ada yang membeli peralatan sendiri. Sampai saat ini terdapat 28 UPH yang mampu untuk mempoduksi kopi olah basah. Keadaan baru ini semakin mendorong seluruh petani yang telah mengembangkan petik gelondong merah untuk meningkatkan luas perkebunan mereka. Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur dan Dinas bidang Perkebunan kabupaten Bondowoso juga menyediakan pohon-pohon kopi (S795) dengan tujuan untuk membantu mereka untuk mengembangkan perkebunan-perkebunan ini. 4.3.1 Sumber Dana Sumber Dana APBN. Sumber Dana Dekon APBN melalui program Pengembangan Intensifikasi kopi specialty seluas 1.200 Ha. Program berupa Bantuan Pupuk NPK, pupuk organik, Insektisida dan gunting pangkas yang dialokasikan pada kawasan utama 800 Ha dan sisanya dialokasikan pada daerah potensi dan pengembangan meliputi kecamatan Cermee, Botolinggo, Tlogosari dan Maesan. Selain hal tersebut, masih ada program Sharing Anti Property Program (APP) Bidang Perkebunan berupa 1 unit pengolah kopi basah (UPH) dan kopi gelondong basah 1.500 kg. Untuk mendukung Kawasan kopi Arabika Sumber Wringin, Pemerintah Daerah mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2012 pada Kegiatan Pembangunan Instalasi Biogas 1 unit, Pembangunan unit Rumah Kompos (24 m2) bak kompos (@ 3m2), Pengadaan Cooper, Pengadaan Cruser, Pengadaan Motor Roda Tiga (masing-masing 1 unit) dan optimalisasi lahan seluas 120 Ha. Sumber Dana APBD Provinsi Kawasan sentra produksi kopi arabika Sumber Wringin sudah dikenal di manca Negara, untuk hal tersebut maka Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan tujuan akselerasi ekspor kopi arabika HS (Horn Skin) telah mengucurkan anggaran antara lain: (a) Program bantuan keuangan (BK) berupa Unit Pengolah Hasil Kopi (UPH Kopi) dengan peralatan : (Pulper, Huller, Washer Vertikal, Terpal Serba Guna, Timbangan Duduk, Timabangan Kecil, Tester, Parapara, BakVermentasi, Tandon air, Ember, Generator, Palet Viber, Kopi Glondong) (8 unit), dan Alat sangrai kopi, alat pembubuk kopi, siler masing-masing sebanyak 2 unit. (b) Melalui Dana APBD Provinsi Jawa Timur murni juga mengalokasikan UPH kopi basah, bantuan Kopi gelondong basah 1.500 Kg, dan pengembangan tanaman kopi. (c) melalui dan Tugas Pembantuan (TP) Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengalokasikan kegiatan berupa: Pelatihan petani kopi untuk penumbuhan kebersamaan (90 orang petani kopi arabika), Kegiatan intensifikasi kopi specialty (3 unit), Bantuan Pasca panen ( Pulper 3 silider, Washer, Huller), Pengembangan mutu kopi (2 unit), dan Konservasi air dan antisipasi anomali iklim pengembangan embung/dam parit. Sumber Dana APBD Kabupaten Alokasi dana yang bersumber dari APBD Kabupaten Bondowoso nilainya sangat kecil dan hanya bersifat pendampingan untuk program yang didanai oleh pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Dana APBD Kabupaten tersebut lebih diarahkan untuk kegiatan Peningkatan Kemampuan Kelembagaan Pertanian Organik serta Sharing Anti Property Program (APP) Bidang Perkebunan. Sumber Dana Masyarakat. Yang dimaksud dengan Dana masyarakat adalah dana yang bersumber dari swadaya masyarakat atau petani dalam upaya membangun kebunnya untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Kegiatan intensifikasi tanaman yang bersumber dari masyarkat dalam 5 tahun ini digunakan untuk perawatan tanaman. Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah (RTRWD) Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembangunan wilayah di Kabupaten Bondowoso sesuai dengan karakteristik wilayah dan ragam kegiatan potensial yang dapat dikembangkan Kabupaten Bondowoso dibagi menjadi 8 Sub Satuan Wilayah Pengembangan (SSWP). Kawasan sentra produksi kopi arabika Sumber Wringin termasuk dalam SSWP VI yang mempunyai fungsi wilayah sebagai kawasan strategis pengembangan pertanian (agropolitan) dengan fungsi utama sebagai kawasan permukiman, pelayanan sosial dan pemerintahan, perdagangan dan jasa khusus komoditas pertanian (agropolitan), pariwisata, perkebunan, kehutanan, pertanian lahan kering dan basah, peternakan dan perikanan, serta kawasan lindung. Sarana Produksi, alat dan mesin pertanian Benih unggul bersertifikat Keberhasilan pengembangan perkebunan kopi sangat ditentukan oleh tersedianya sarana dan prasarana produksi terutama benih unggul bersertifikat yang mampu berproduksi tinggi. Jenis tanaman kopi arabika yang diusahakan oleh petani di wilayah Kecamatan Sumber Wringin pada umumnya belum bersertifikat dan sangat bervariasi. Bahkan tanaman yang sudah berumur lebih dari 25 (dua puluh lima) tahun. Produktivitas tertinggi dicapai hanya 0,7 ton per Ha. Kondisi ini sangat membutuhkan rehabilitasi, sebagaimana yang telah diajukan bantuan pendanaan untuk rehabilitasi ke pemerintah pusat melalui Dirjenbun. Pupuk Sarana produksi yang paling menentukan keberhasilan usahatani kopi arabika setelah benih unggul adalah pemberian pupuk berimbang yang diaplikasikan sesuai dengan teknologi anjuran berdasarkan rekomendasi. Dosis standar penggunaan pupuk untuk tanaman yang berumur lebih dari 10 tahun: N=160 gram; P2O5 = 80 gram; K2O = 160 gr per batang. Sesuai dengan perkembangan jaman dan tuntutan masyarakat akan organik, maka sebagian besar kelompoktani sudah mengubah dari sistem budidaya anorganik menjadi organik. Untuk hal tersebut maka sebagian besar anggota kelompoktani lebih inten mengalokasikan pupuk organik dengan porsi berkisar 80%, dan sisanya dipenuhi dengan pupuk anorganik. salah satu faktor pembatas dalam meningkatkan produksi tanaman kopi arabika adalah adanya gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Salah satu organisme pengganggu Tanaman (OPT) yang menyerang tanaman kopi dan yang paling sangat merugikan adalah penggerek buah kopi (PBKo) (Hypothenemus hampei). Serangan hama PBKo menyebabkan penurunan prodduktivitas dan kualitas hasil secara nyata. Serangan pada stadia buah muda dapat menyebabkan keguguran buah sebelum buah masak, sedangkan serangan pada stadia buah masak (tua) menyebabkan biji berlubang sehingga terjadi penurunan berat.dan kualitas biji. Untuk hal tersebut maka diperlukan strategi pengendaliannya. Salah satu strategi pengendalian hama PBKo yaitu dengan system pengendalian hama terpadu (PHT, yang memadukan anatara komponen bahan tanam tahan hama, agen hayati dan menajemen lingkungan. Secara kultur teknis pengendalian hama PBKo dapat dilakukan untuk memutusdaur hidup kumbang PBKo dengan cara melakukan petik bubuk (petik buah merah 15-30 hari menjelang panen besar, lelesan (tindakan pemungutan buah-buah yang terjatuh di tanah, dan racutan (pemetikan buah-buah yang masih tersisa pada akhir masa panen). Pengelolaan tanaman penaung yang tepat, yaitu menjaga kondisi penanung yang tidak terlalu gelap juga dapat menekan perkembangan kumbang Hypothenemus hampei. Pengendalian secara biologisdapat menggunkan parasitoid cephalonomia stepanoderis Betr., Propops nasuta, dan Heterospilus coffeicola Schm. Pestisida salah satu faktor pembatas dalam meningkatkan produksi tanaman kopi arabika adalah adanya gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Salah satu organisme pengganggu Tanaman (OPT) yang menyerang tanaman kopi dan yang paling sangat merugikan adalah penggerek buah kopi (PBKo) (Hypothenemus hampei). Serangan hama PBKo menyebabkan penurunan prodduktivitas dan kualitas hasil secara nyata. Serangan pada stadia buah muda dapat menyebabkan keguguran buah sebelum buah masak, sedangkan serangan pada stadia buah masak (tua) menyebabkan biji berlubang sehingga terjadi penurunan berat.dan kualitas biji. Alat dan Mesin Pertanian Dengan mempertimbangkan kondisi geografis areal kebun kopi arabika rakyat yang pada umumnya berada pada lahan kemiringan di atas 20% menjadikan penggunaan alat-alat mesin pertanian berat seperti traktor kurang begitu dibutuhkan. Alat dan mesin pertanian yang lebih sesuai adalah dari jenis alat pertanian kecil seperti Hand sprayer, mist blower, gunting pangkas, gaet, cangkul, parang dan garpu tanah. Akan tetapi untuk meningkatkan pendapatan petani, salah satu caranya dengan meningkatkan kualitas hasil produksi dengan cara mengolah produksinya menjadi hasil olahan. Dengan demikian diperlukan oleh petani saat ini adanya pabrik pengolahan hasil skala kelompok. Karena selama petani masih menjual hasilnya dalam bentuk produk primer (gelondong/HS) petani tidak akan memperoleh nilai tambah (Added value) Prasarana Pendukung Sarana pendukung yang sangat erat kaitannya dengan keberhasilan pembangunan pertanian khususnya subsektor perkebunan diperlukan adanya gudang penyimpanan hasil olahan, kemudian sarana jalan dan jembatan yang baik, baik jalan Kabupaten, jalan produksi maupun jalan usahatani. Akses terhadap pasar Saluran pemasaran kopi arabika di Kawasan sentra produksi kopi arabika Sumber Wringin, ada 2 saluran yaitu: petani kopi langsung pedagang pengepul dan dari petani kopi ke koperasi langsung ke eksportir (PT. Indokom Citra Persada). Petani anggota kelompoktani yang memiliki kualitas kopi yang baik, maka akan disetorkan ke koperasi, sedangkan kopi yang berkualitas 2 langsung dijual ke pedagang pengepul. Petani anggota kelompoktani menikmati harga ekspor sejak bulan juni tahun 2011. Tingkat efisiensi pemasaran kopi arabika belum optimal, hal ini dimaklumi Karena kopi dijual dalam bentuk Horn Skin (HS) atau kopi kulit tanduk. Petani anggota kelompoktani akan memperoleh efisiensi yang optimal apabila dapat meningkatkan nilai tambah dari kopi itu sendiri. Nilai tambah dapat diperoleh dengan menjual kopi dalam bentuk bubuk, walau UPH sudah di milikki petani tetapi masih belum berani menjual dalam bentuk kopi bubuk. Akses Terhadap Pembiayaan Sumber-sumber pembiayaan yang dapat diakses oleh petani atau kelompok tani untuk pengembangan usaha pertanian dalam hal ini budidaya kopi arabika ada yang berasal dari Dana APBN baik yang maupun bersifat Bansos, atau dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten dalam bentuk bantuan stimulant. Akan tetapi sumber-sumber dana seperti tersebut diatas kemampuannya sangat terbatas baik dari aspek nilai maupun sebaran alokasinya. Sementara dana Perbankan untuk pembiayaan usahatani khususnya yang bergerak di sector perkebunan sangat sulit untuk diakses oleh petani karena disamping ketatnya persyaratan jaminan juga dalam system pembayaran kembali pinjaman yang harus dilakukan setiap bulan sementara usahatani komiditi perkebunan baru bisa berproduksi setelah minimal berjalan 3 tahun. Akan tetapi anggota kelompoktani di Kawasan sentra produksi kopi arabika Sumber Wringin yang tergabung dalam koperasi telah memperoleh kucuran dana lunak sebanyak 2 (dua) kali, kucuran dana yang pertama dinikmati anggota kelompoktani pada tahun 2011 sebesar Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah), dan tahun ke-2 (tahun 2012) kelompoktani mendapat kucuran anggaran sebesar 1,2 Milyar rupiah dari Bank Jatim. Di samping BPD Jatim, Bank Indonesia Cabang Jember juga berpartisipasi dalam akselerasi program ekspor kopi arabika ke Negara Swiss melalui eksportir Indokom Citra Persada. Melalu dana coorporate social responsibility (CSR) BI Cabang Jember berpartisipasi pertama mengajak kelompok studi banding ke Petani kopi arabika Bangli, Bali. Kedua menerapkan program zerro farming dengan memberikan bantuan domba beserta kandang komunalnya, ketiga membiayai kelompok dalam mengurus hak paten produk kopi bubuk arabika “Java Coffee Ijeng Raung” 4.4. Sumberdaya Manusia Dari hasil registrasi penduduk akhir tahun 2011, jumlah penduduk Bondowoso mencapai 745.267 jiwa yang terdiri dari 364.491 jiwa laki-laki dan 380.776 jiwa perempuan. Sex Ratio merupakan perban¬dingan jumlah.penduduk laki-laki per 100 penduduk perempuan. Sex Ratio penduduk Kabupaten Bondowoso tahun 2011 adalah 95,72 yang artinya setiap 100 penduduk perempuan terdapat sekitar 96 penduduk laki-laki, hal ini menunjukkan penduduk perempuan di Kabupaten Bondowoso lebih banyak dibanding dengan penduduk laki-laki. Kepadatan penduduk di Kabu¬paten Bondowoso tahun 2011 sebesar 487 jiwa/Km2 mengalami kenaikan bila dibanding dengan kepadatan tahun 2010 yaitu sebesar 475 Jjwa/Km2. Di antara 23 kecamatan yang ada di Kabupaten Bondowoso, Kecamatan Bondowoso mempunyai jumlah penduduk paling banyak yaitu sebesar 73.987 jiwa dengan kepadatan penduduk 3.454 jiwa/Km2. Sementara itu kecamatan yang penduduknya paling sedikit adalah Kecamatan sempol dengan jumlah penduduk sebesar 11.377 jiwa, dengan kepadatan 113 jiwa/Km2 Masalah ketenagakerjaan tidak lepas dari pencari kerja, permintaan, dan penempatan tenaga kerja. Jumlaah pencari kerja di Kabupaten Bondowoso pada tahun 2011 mencapai 1.879 orang, mengalami penurunan 36,90 persen dibanding dengan tahun 2010. Sedangkan jumlah lowongan pekedaan yang tersedia 4.867 orang. Jumlah tenaga kerja yang ditempatkan hanya 1.102 orang. Sedangkan sisanya sebanyak 209 belum ditempatkan. Data keluarga atau penduduk yang melakukan transmigrasi tahun 2011 mengalami kenaikan sebesar 150 persen yaitu dari 12 keluarga pada tahun 2010 menjadi 30 keluarga di tahun 2011. Jika dilihat menurut Jenis transmigrasi di Kabupaten Bondowoso jenis transmigrasi umum paling banyak yaitu sekitat- 100 persen Penduduk kecamatan Sumber Wringin hanya berkisar 4,32% dari penduduk Kabupaten Bondowoso sebesar 32.208 jiwa. Potensi sumber tenaga kerja yang produktif pada usia 15 sampai dengan 60 tahun berjumlah 21.626 jiwa atau 67,14%. Penduduk terpadat terdapat pada Desa Tegal Jati dan yang paling sedikit pada Desa Sumber Wringin dengan tingkat 13,63%. Jumlah penduduk Kecamatan Sumber Wringin disajikan pada tabel berikut. SDM Petugas Lapangan Jumlah SDM petugas lapangan di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bondowoso masih sangat terbatas. Petugas lapangan yang berstatus sebagai pejabat fungsional kehutanan hanya terpenuhi 45,83% dari jumlah formasi 72 (berdasar Peraturan Bupati no 29 tahun 2009). Jumlah petugas lapangan sampai dengan keadaan Bulan Oktober tersisa 33 orang, dan diperkirakan pada tahun 2015 hanya tersisa 8 orang petugas, apa bila tambahan jumlah petugas secara berkala tidak dilakukan. 4.5. Sumberdaya Teknologi 4.5.1. Penggunaan benih unggul bersertifikat Penggunaan benih unggul belum pernah dilakukan, hal ini mengingat umur tanaman kopi di Kawasan sentra produksi kopi arabika Sumber Wringin rata-rata berumur di atas 30 tahun. Di sisi lain, Dinas Kehutanan dan Perkebunan membuat skala prioritas menangani off farm dengan program utama akselerasi penambahan jumlah kopi ekspor. Sesuai dengan rencana pengembangan, secara berkala tingkat usahatani / di tingkat budidaya mulai dibenahi secara perlahan dengan target rehabilitasi tanaman kopi arabika dengan bibit unggul 100%. 4.5.2. Tingkat aplikasi budidaya yang baik dan benar (GAP / Good Agricultural Practices) GAP Budidadaya kopi arabika di Kawasan sentra produksi kopi arabika Sumber Wringin sesuai dengan anjuran tim ahli sebagai pendamping dari Pusat Penelitian kopi dan kakao (Puslitkoka) Jember, antara lain: Penyiapan lahan yang tepat: Pemilihan varietas: • Citarasa baik • Mutu fisik biji baik • Produksi tinggi dan stabil • Tahan/toleran terhadap hama dan penyakit utama Penyiapan Bibit • Bibit kopi dapat berasal dari biji, setek, atau sambungan. • Proses pembuatan bibit sebaiknya paralel dengan proses persiapan lahan. • Umur bibit yang optimal untuk ditanam antara 8 – 12 bulan. • Untuk areal yang endemik nematoda parasit sebaiknya disiapkan bibit sambungan dengan batang bawah tahan. Penanaman • Tanam awal musim hujan (curah 200 mm) • Potong pangkal polibag dan buka • Untuk bibit yang telah berumur > 1 tahun sebaiknya tidak ditanam • Setelah tanam buat petak miring agar bibit kopi tidak tergenang setelah penanaman Pangkasan: Batang tunggal • Perlu didahului dengan pangkas bentuk dan biasanya dibuat secara bertingkat (etape) • Produksi kopi sangat bertumpu pada manajemen reproduksi cabang produksi. • Pangkasan pemeliharaan meliputi:  Pangkasan lepas panen (PLP)  Pangkasan tunas air, baik cabang plagiotrof (wiwil halus) dan cabang ortotrof (wiwil kasar) Pengelolaan pohon penaung • Diversifikasi dengan tanaman produktif (misal Jeruk) • Tanaman penaung sebaiknya dipilih jenis yang dapat dipangkas lamtoro, dadap dll.) • Tanaman penaung yang tidak dapat dipangkas sebaiknya ditanam agak jarang dan dikombinasikan dengan tanaman lain yang dapat dipangkas (misal kelapa dengan lamtoro) • Pemangkasan naungan perlu dilakukan pada saat menjelang datangnya hari pendek untuk merangsang pembentukan primordia bunga.
Read more.....

RENCANA GRAND DESIGN KLASTER BAMBU KABUPATEN BONDOWOSO

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai bagian dari pembangunan wilayah sampai saat ini masih menghadapi berbagai masalah yang kompleks dan saling terkait, antara lain ditunjukkan dengan masih belum adanya keterpaduan antar sektor, antar instansi dan antar daerah serta partisipasi masyarakat yang belum optimal dalam pengelolaan DAS, yang berujung pada
kerusakan DAS yang semakin mengkhawatirkan. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Degradasi dan erosi tanah tak terelakkan lagi, sehingga berakibat semakin seringnya terjadi peristiwa banjir di daerah hilir, tanah longsor dan kekeringan.
Gambar 1. Peta Erosi (Overlay indeks RKLSCP(USLE) Kondisi tersebut tak terkecuali terjadi di Kabupaten Bondowoso, dimana erosi tanah kategori berat dan sangat berat mencapai 95.425,32 Ha atau 74,96% dari luas wilayah DAS Sampean Bondowoso, dan hanya 31.884,07 ha atau 25,04% kategori erosi sedang dan ringan. (Gambar peta disajikan pada gambar 1). Oleh karena itu perlu penanganan yang serius, diantaranya dengan metode vegetatif yaitu memanfaatkan vegetasi / tanaman untuk mengurangi erosi dan sebagai penyediaan air. Salah satu alternatif Tanaman / vegetasi yang akan dikembangkan di hulu DAS dan Sub DAS adalah tanaman bambu. Bambu sebagai tanaman alternatif, karena memiliki beberapa keunggulan, antara lain: a. Peran penting ekologis & lingkungan, tanaman hijau sepanjang tahun dengan perakaran cukup kuat untuk menahan erosi (baik untuk konservasi tanah) b. Pertumbuhan lebih cepat daripada fast growing Species (sehingga memiliki kemampauan deposit carbon tinggi) c. Produktivitas biomassa tinggi d. memiliki seperti kayu, dapat untuk substitusi fungsi kayu e. Mampu menyerap CO2 dan melepas CO2 30% lebih banyak ke atmosfer dibandingkan pohon-pohon lainnya f. Tumbuhan multiguna sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi g. Umur panen singkat 4-5 th. Sekali tanam terus dapat dipanen h. Iklim dan se-wilayah Bondowoso cocok untuk tanaman bambu Di sisi lain, kerajinan keranjang wadah ikan (bernyet) dan gedek, serta kerajinan berbahan baku bambu lainnya, yang di produksi oleh masyarakat mencapai Rp. 131,99 Milyar (Data Primer, Dishutbun 2014). Tersebar di 15 Desa dan 10 Kecamatan, yang semua input produksinya berasal dari luar daerah.(Data daerah sentra pengrajin bambu,tertera pada lampiran 1) Kondisi yang sama juga dialami PT. Bonindo, setiap hari membutuhkan bahan baku bambu berkisar 1.000 batang (data tahun 2011), dimana pemenuhan kebutuhan input produksinya juga di datangkan dari luar daerah. Sementara bahan baku bambu yang tersedia di wilayah Kabupaten Bondowoso sebesar 4,1 juta batang bambu dianggap belum memenuhi kebutuhan industri yang ada. Kondisi ini ditunjukkan dengan terjadinya kekurangan pasokan bahan baku bambu, sehingga berapapun bambu yang ditawarkan ke industri bambu di Bondowoso maka akan diterima. Hal ini perlu menjadi bahan pemikiran yang perlu ditawarkan kepada stakeholders untuk merintis pengembangan klaster bambu di wilayah DAS/Sub DAS hulu yang kritis (Gambaran Umum Sungai Sampean disajikan pada Gambar 2). Ide kegiatan ini memiliki manfaat ganda, disamping sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK)untuk pemasok bahan baku bernyet dan sumpit (PT. Bonindo) serta untuk bahan baku lainnya (ekspor tampah penjemur dendeng), juga sebagai vegetasi yang mampu menahan sumber air sekaligus mengurangi laju degradasi dan erosi lahan. Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai resultan peningkatan nilai tambah dari klaster bambu baik di hulu dan hilir serta terjaganya vegetasi yang mempertahankan keseimbangan lingkungan.
(Gambar 2.Gambaran Umum Sungai Sampean) Tujuan pengembangan klaster bambu: a. Menekan laju degradasi lahan dan erosi tanah, b. Memenuhi permintaan bahan baku industri berbahan baku bambu c. Meningkatkan pendapatan petani. d. Memanfaatkan lahan curam dan lahan yang tidak produktif untuk pengembangan klaster bambu. Sasaran pengembangan klaster bambu, ditujukan pada: a. Daerah Aliran Sungai (Das) dan Subdas Sasaran potensial penanaman berada di kanan kiri sungai dengan panjang 905,54 Km(sumber: Dinas Pengairan Kabupaten Bondowoso, 2013). (Gambar 3). Sungai yang terpanjang terletak di Kecamatan Bondowoso dengan panjang 332, 14 Km atau sebaliknya sungai yang terpendek berada di Kecamatan Pujer (5 Km). b. Daerah curam dengan kemiringan di atas 45o c. Sumberdaya manusia pertanian dan kehutanan yang berada di lokasi program. Sumberdaya manusia di tingkat produk hilir bambu/UMKM sebanyak 1.402 kelompok unit usaha.
Read more.....