pada komoditi padi tegolong sangat diminati petani. Diantara Umur, pendidikan, luas lahan dan pengalaman bekerja yang paling berpengaruh terhadap adopsi inovasi petani terhadap penyuluhan pemanfaatan mikroorganisme lokal pada komoditi padi adalah variabel pendidikan.Melalui kegiatan penyuluhan dan pembinaan secara, rutin, teratur dan berkesinambungan dapat mendukung dan meningkatkan peran serta aktif petani. Dengan demikian dapat membangkitkan kreatifitas guna terwujudnya petani mandiri dan tangguh yang memiliki keterampilan dan respontif terhadap penerapan inovasi.Diharapkan pada petani untuk lebih giat lagi dan mencoba dalam menerapkan teknologi baru sehingga akan memaksimalkan pendapatan petani.
Read more.....
Tampilkan postingan dengan label Kajian Ilmiah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kajian Ilmiah. Tampilkan semua postingan
Selasa, 14 Juni 2011
Hubungan Tingkat Adopsi Inovasi Petani Terhadap Penyuluhan Pemanfaatan Mikroorganisme Lokal.
Labels:
Kajian Ilmiah
Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Usaha Sapi Potong Sistem Kereman
Labels:
Kajian Ilmiah

Penelitian dilaksanakan pada Bulan Juli sampai Agustus 2010, dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi usaha penggemukan sapi potong sistem kereman.Sampel yang digunakan 70 peternak, terdiri dari peternak sapi lokal 42 orang dan peternak sapi hasil kawin suntik sebanyak 28 orang. Metode penelitian yang (download file) digunakan dengan cara suvey. Hasil komputasi dengan menggunakan perangkat lunak SPSS versi 17 menunjukkan koefisien determinasi (adjusted R2) 0.672 berarti 67,2% pendapatan (Y) dipengaruhi oleh variasi pengalaman (X1), jumlah keluarga (X2), biaya bibit (X3) dan biaya pembuatan kandang (X4),
sedangkan 32,8% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar model yang terangkum dalam kesalahan random. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis estimasi Uji F hitung diperoleh nilai 29,27 dengan taraf signifikan α < 0,01
Hasil analisis regresi parsial pengaruh pengalaman peternak (X1) terhadap pendapatan diperoleh koefisien 9976,151 dengan taraf signifikansi 0,096 atau α < 0,100, berarti pengalaman peternak berpengaruh nyata terhadap pendapatan, dengan kata lain bahwa kenaikan pengalaman berusahatani ternak sapi kereman selama 1 tahun dengan asumsi variabel lain tetap maka akan diikuti kenaikan pendapatan peternak sebesar Rp. 9.997,15. Koefisien regresi jumlah anggota keluarga (X2) 5.7250,592 dengan taraf signifikansi α = 0.211atau (α > 0,100), berarti variabel jumlah anggota keluarga berpengaruh tidak nyata terhadap perolehan pendapatan peternak. Koefisien regresi harga bibit ternak (X3) 0,251 taraf signifikansi α = 0,000 (α < 0,01), berarti harga bibit ternak berpengaruh nyata terhadap pendapatan peternak. Koefisien tersebut berimplikasi bahwa setiap kenaikan biaya pembelian bibit satu rupiah maka akan meningkatkan pendapatan peternak sebesar Rp 0,251 dengan asumsi faktor lain konstan. Sedangkan koefisien biaya pembuatan kandang (X4) -0.202 dengan taraf signifikansi α = 0.097 (α < 0,100) berarti biaya pembuatan kandang berpengaruh nyata terhadap pendapatan peternak. Sifat hubungan negatif, berarti setiap kenaikan biaya kandang Rp. 1,00 maka akan menurunkan pendapatan peternak sebesar Rp. 0,202. Hal ini terjadi karena peternak pada umumnya mengaplikasikan biaya pembuatan kandang yang berlebihan, padahal kandang ternak sapi kereman tidak membutuhkan ukuran yang terlalu besar, karena untuk mengurangi gerak dari sapi. Hasil analisis regresi variabel dummy kawin suntik didapat t hitung 4.5412 dengan taraf signifikansi α = 0.000) (α < 0, 01) berarti sapi kereman hasil kawin suntik berbeda dengan kawin alam dalam perolehan pendapatan peternak.
Read more.....
Hasil analisis regresi parsial pengaruh pengalaman peternak (X1) terhadap pendapatan diperoleh koefisien 9976,151 dengan taraf signifikansi 0,096 atau α < 0,100, berarti pengalaman peternak berpengaruh nyata terhadap pendapatan, dengan kata lain bahwa kenaikan pengalaman berusahatani ternak sapi kereman selama 1 tahun dengan asumsi variabel lain tetap maka akan diikuti kenaikan pendapatan peternak sebesar Rp. 9.997,15. Koefisien regresi jumlah anggota keluarga (X2) 5.7250,592 dengan taraf signifikansi α = 0.211atau (α > 0,100), berarti variabel jumlah anggota keluarga berpengaruh tidak nyata terhadap perolehan pendapatan peternak. Koefisien regresi harga bibit ternak (X3) 0,251 taraf signifikansi α = 0,000 (α < 0,01), berarti harga bibit ternak berpengaruh nyata terhadap pendapatan peternak. Koefisien tersebut berimplikasi bahwa setiap kenaikan biaya pembelian bibit satu rupiah maka akan meningkatkan pendapatan peternak sebesar Rp 0,251 dengan asumsi faktor lain konstan. Sedangkan koefisien biaya pembuatan kandang (X4) -0.202 dengan taraf signifikansi α = 0.097 (α < 0,100) berarti biaya pembuatan kandang berpengaruh nyata terhadap pendapatan peternak. Sifat hubungan negatif, berarti setiap kenaikan biaya kandang Rp. 1,00 maka akan menurunkan pendapatan peternak sebesar Rp. 0,202. Hal ini terjadi karena peternak pada umumnya mengaplikasikan biaya pembuatan kandang yang berlebihan, padahal kandang ternak sapi kereman tidak membutuhkan ukuran yang terlalu besar, karena untuk mengurangi gerak dari sapi. Hasil analisis regresi variabel dummy kawin suntik didapat t hitung 4.5412 dengan taraf signifikansi α = 0.000) (α < 0, 01) berarti sapi kereman hasil kawin suntik berbeda dengan kawin alam dalam perolehan pendapatan peternak.
Rabu, 12 Januari 2011
Peningkatan perekonomian Masyarakat Kabupaten Bondowoso melalui Penanganan Pasca Panen Produk Ubi kayu dan Pengolahannya menjadi Tepung Tapioka
Labels:
Kajian Ilmiah

Namun sebagai manusia yang diberi kemampuan untuk berpikir, kita tidak boleh pasrah dengan keadaan seperti ini. Peningkatan perekonomian suatu masyarakat dapat ditempuh dengan meningkatkan usaha penanganan pasca panen hasil pertanian, walaupun secara geografis letak suatu wilayah menghasilkan produk pertanian yang dianggap kurang baik. Seperti halnya di Kabupaten Bondowoso, peningkatan ekonomi masyarakatnya dapat ditempuh dengan penanganan pasca panen yang lebih baik serta diversifikasi produk pertanian yang berlimpah di daerah tersebut.
Penanganan pasca panen hasil pertanian memiliki peranan yang sangat penting, karena sifat dari produk-produk pertanian itu sendiri yang mudah rusak, musiman, kamba (voluminous), tersebar atau terpusat di suatu wilayah, dan harga yang berfluktuasi sangat tinggi. Dengan pengolahan hasil pertanian menggunakan teknologi yang tepat diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama para petani.
Ubi kayu / singkong / ketela pohon atau dalam Bahasa Inggris disebut sebagai cassava, merupakan salah satu komoditi pertanian yang cukup banyak dijumpai di Kabupaten Bondowoso. Ubi kayu merupakan salah satu komoditi pertanian yang mempunyai sifat kamba. Pengolahan ubi kayu dalam suatu agroindustri dapat menghasilkan produk seperti tapioka, gaplek, keripik, serta sirup hasil hidrolisis pati seperti sirup glukosa, sirup maltosa dan sirup fruktosa.
Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu pengolahan produk ubi kayu menjadi produk lain yang mempunyai nilai tambah yang tinggi menggunakan teknologi yang tepat guna, sehingga dapat meningkatkan taraf perekonomian masyarakat Kabupaten Bondowoso pada umumnya, serta para petani ubi kayu pada khususnya.
Read more.....
Penanganan pasca panen hasil pertanian memiliki peranan yang sangat penting, karena sifat dari produk-produk pertanian itu sendiri yang mudah rusak, musiman, kamba (voluminous), tersebar atau terpusat di suatu wilayah, dan harga yang berfluktuasi sangat tinggi. Dengan pengolahan hasil pertanian menggunakan teknologi yang tepat diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama para petani.
Ubi kayu / singkong / ketela pohon atau dalam Bahasa Inggris disebut sebagai cassava, merupakan salah satu komoditi pertanian yang cukup banyak dijumpai di Kabupaten Bondowoso. Ubi kayu merupakan salah satu komoditi pertanian yang mempunyai sifat kamba. Pengolahan ubi kayu dalam suatu agroindustri dapat menghasilkan produk seperti tapioka, gaplek, keripik, serta sirup hasil hidrolisis pati seperti sirup glukosa, sirup maltosa dan sirup fruktosa.
Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu pengolahan produk ubi kayu menjadi produk lain yang mempunyai nilai tambah yang tinggi menggunakan teknologi yang tepat guna, sehingga dapat meningkatkan taraf perekonomian masyarakat Kabupaten Bondowoso pada umumnya, serta para petani ubi kayu pada khususnya.
PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT KABUPATEN BONDOWOSO
Labels:
Kajian Ilmiah

sebagai manusia yang diberi kemampuan untuk berpikir, kita tidak boleh pasrah dengan keadaan seperti ini. Peningkatan perekonomian suatu masyarakat dapat ditempuh dengan meningkatkan usaha penanganan pasca panen hasil pertanian, walaupun secara geografis letak suatu wilayah menghasilkan produk pertanian yang dianggap kurang baik. Seperti halnya di Kabupaten Bondowoso, peningkatan ekonomi masyarakatnya dapat ditempuh dengan penanganan pasca panen yang lebih baik serta diversifikasi produk pertanian yang berlimpah di daerah tersebut.
Penanganan pasca panen hasil pertanian memiliki peranan yang sangat penting, karena sifat dari produk-produk pertanian itu sendiri yang mudah rusak, musiman, kamba (voluminous), tersebar atau terpusat di suatu wilayah, dan harga yang berfluktuasi sangat tinggi. Dengan pengolahan hasil pertanian menggunakan teknologi yang tepat diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama para petani.
Read more.....
Penanganan pasca panen hasil pertanian memiliki peranan yang sangat penting, karena sifat dari produk-produk pertanian itu sendiri yang mudah rusak, musiman, kamba (voluminous), tersebar atau terpusat di suatu wilayah, dan harga yang berfluktuasi sangat tinggi. Dengan pengolahan hasil pertanian menggunakan teknologi yang tepat diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama para petani.
Senin, 06 Juli 2009
POLA PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERTANIAN BERORIENTASI AGRIBISNIS PADA ERA OTONOMI DAERAH
Labels:
Kajian Ilmiah
Penyuluhan pertanian diakui telah banyak memberikan sumbangan pada keberhasilan pembangunan pertanian di Indonesia. Penyuluhan telah berhasil menyampaikan berbagai inovasi pertanian kepada petani dengan segala metodenya sehingga para petani meningkat pengetahuan dan ketrampilannya serta dapat mengubah sikap petani menjadi mau dan mampu menerapkan inovasi baru.
Perjalanan pengembangan penyuluhan pertanian di Indonesia yang dimulai sejak akhir abad 19 ternyata mengalami pasang surut dan liku-liku yang dinamik sesuai dengan perkembangan jaman. Dari romantika perjalanan penyuluhan pertanian dapat ditarik hikmah dan pelajaran yang sangat berharga bagi pengembangan penyuluhan di masa kini dan masa mendatang (“lebih dikenal dengan era agribisnis”).
Revitalisasi dan reformasi penyuluhan pertanian di era agribisnis merupakan suatu tuntutan jaman yang tidak dapat dihindarkan. Oleh karena itu maka pembenahan dan pemberdayaan kelembagaan penyuluhan serta peningkatan kemampuan penyuluh harus menjadi bahan kajian bagi para pakar yang akan dijadikan kebijakan bagi pemerintah.
Penyuluhan pertanian pada era PJP I lebih dikenal dengan penyuluhan “better farming” yaitu penyuluhan untuk memperbaiki cara-cara bertani saja. Hampir tidak pernah dilakukan penyuluhan secara serius dalam memeperoleh modal usaha, pemasaran hasil, perbaikan mutu hasil, akuntansi pertanian dan sebagainya. Penyuluhan pertanian yang dilakukan pada waktu itu terutama agar petani mempratekan cara-cara bertani baru seperti yang dianjurkan oleh pemerintah (Departemen Pertanian).
Pada Era PJP II atau era agribisnis, penyuluhan pertanian harus lebih difokuskan agar para petani diajari bagaimana meraih keuntungan yang layak atau disebut "“better business” . Maka penyuluh pertanian harus benar-benar seorang analis usahatani, dengan menerapkan efisisensi yang maksimal dalam berusahatani, memahami arti pengembangan usaha, pemasaran hasil, penerapan standar mutu, mampu menjadi mediator dalam bermitra usaha.
Sejak urusan penyuluhan pertanian diserahkan kepada pemerintah daerah sering ditemulan adanya permasalahan yang merugikan petani maupun bagi para penyuluh pertanian di lapangan. Permasalahan yang ditemukan antara lain rendahnya tingkat profesionalme penyuluh pertanian, lemahnya administrasi penyuluh pertanian, dan kurangnya kemampuan manajerial penyuluh pertanian.
Adanya permasalahan-permasalahan tersebut berakibat pada rendahnya tingkat penyelenggaraan penyuluh pertanian kepada petani sehingga tingkat produktifitas usahatani dan pendapatan petani tidak berkembang.
Dengan diterbitkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, jelas semakin kuat peran Pemerintah Daerah dalam menangani penyuluhan pertanian. Atas dasar itulah maka diperlukan adanya Pola Pengembangan Penyuluhan Pertanian yang berorientasi Agribisnis sebagai jawaban dicanangkannya era otonomi daerah.
II. TUJUAN DAN OUTPUT
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain :
1. Mengidentifikasi penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang berorientasi agribisnis pada era otonomi daerah.
2. Dirumuskannya pola pengembangan penyuluhan pertanian berorientasi agribisnis pada era otonomi daerah.
3. Output yang akan dihasilkan dari penelitian ini yaitu Rumusan Pola Pengembangan Penyuluhan Pertanian Berorientasi Agribisnis pada era Otonomi Daerah.
III.KERANGKA PIKIR
Pada hakekatnya dinamika kemajuan pertanian sepanjang sejarah peradaban manusia adalah pengetahuan, Otak dan kekuatan (otot). Kecerdasan manusia yang secara akumulatif menghasilkan pengetahuan yang diperlukannya untuk beradaptasi dengan bahkan “menguasai” lingkungannya, adalah energi abadi dari dinamika perubahan atau kemajuan peradaban manusia (tidak terkecuali pertanian). Keunggulan dan kertertinggalan dari suatu masyarakat ditentukan oleh kemajuan, kekayaan dan relevansi pengetahuan yang dimiliki dan dikuasainya.
Bertolak dari proposisi diatas dapat dengan mudah kita pahami bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian adalah kegiatan publik (pemerintah) yang menentukan kemajuan pertanian di negaranya. Pengetahuan sebagai daya otak, menampilkan manfaat praktisnya (operasionalnya) melalui prilaku manusia; terkandung dalam proses, barang dan jasa (produk) teknologi; dan termanifestasikan dalam kelembagaan. Maka pendidikan berarti memperkaya pengetahuan dari manusia; penelitian berarti mencari/menemukan pengetahuan tenyang proses, sarana, alat, mesin dan perlengkapan baru; sedangkan penyuluhan berarti pelembagaan aplikasi atau adopsi inovasi dan iptek dalam pengelolaan usahatani yang harus selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan tuntuan internal maupun eksternalnya (lingkungan).
Usahatani sebagai lembaga yang mengusahakan optimasi dari manfaat faktor produksi (alam, tenaga, modal, organisasi) untuk meraih keunggulan konperatif dan konpetitif, dengan pengetahuan dan adopsi inovasi (iptek) itu akan tampil dengan keputusan yang cermat dan tepat, kemampuan melaksanakan keputusannya, serta kemampuannya mengendalikan arus pekerjaan, barang dan dana sesuai kebutuhan usahataninya; seraya menangkal berbagai resiko yang merugikannya. Itulah adanya penyuluhan pertaniani yang melembaga. Artinya dengan memanfaatkan jasa lembaga penyuluhan pertanian, petani meningkatkan kapasitas dan mutu oleh ataknya.
Pertanian yang berorientasi yaitu usaha dibidang pertanian dimana para pelakunya selalu mendambakan nilai tambah yang optimal tersebut para pelakunya harus mempunyai posisi tawar yang kuat apabila berhadapan dengan pasar (pembelinya). Apabila posisi tawar petani menjadi kuat nilai maka manfaat inovasi (iptek) akan memberikan nilai tambah. Salah satu upaya dalam kegiatan penyuluhan pertanian adalah mengembangkan kebersamaan menumbuhkan kelembagaan-kelembagaan petani. Kebersamaan petani dalam wadah kelompoktani (kelembagaan) adalah wujud dari upaya memperkokoh posisi tawar petani.
IV. HIPOTESIS
Pola penyuluhan pertanian yang tidak jelas untuk berbagai strata wilayah akan melemahkan kinerja penyuluh pertanian, sehingga para petani tidak dapat memecahkan permasalahan di tingkat usahatani dan tidak dapat mengikuti perkembangan modernisasi pertanian atau lebih dikenal dengan era agribisnis.
Dengan dirumuskannya pola pengembangan penyuluhan pertanian berorientasi agribisnis diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan atau dijadikan bahan acuan bagi penyelenggaraan pertanian pada era otonomi daerah.
V. PENUTUP
Rencana penelitian ini diajukan dalam rangka mengikuti mata kuliah falsafah ilmu program strata 3 Penyuluhan Pembangunan pada Institut Pertanian Bogor. Dari hasil penelitian ini diharapkan mampu menjawab tantangan pengembangan penyuluhan pertanian yang berorientasi agribisnis pada era otonomi daerah.
Mudah-mudahan rencana ini mendapat ridho dari Allah Subhanahuwataala.
Sebagai rasa hormat saya Kepada Bpk Ir. Mulyono Machmur, Ms saya tampilkan tulisan Beliau pada Blog saya yang barusan meninggalkan pos lamanya sebagai Kepala Pusat Penyuluhan Pertanian selamat Bertugas di tempat yang baru semoga sukses...Bravo ketua Perhiptani Pusat......
Senin, 23 Februari 2009
PROSPEK PENGEMBANGAN AGRIBISNIS WORTEL
Labels:
Kajian Ilmiah

Kebutuhan sayur sayuran wortel terus mengalami peningkatan yang ditandai dengan kenaikan jumlah produksinya. Pada tahun 1990 jumlah produksi wortel tercatat 172 ribu ton dan pada tahun 1991 meningkat menjadi 176 ribu ton. Jumlah tersebut akan terus bertambah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, pengetahuan dan kebutuhan masyarakat akan makanan yang bergizi.Adanya peluang usaha dibidang komoditi (Download dalam bentuk file, Click Here)tersebut ditangkap
oleh PT JORO (PMA Belanda) dan PTPN XII (Persero) untuk menjalain kerjasama mendirikan perusahaan yang bergerak dibidang hortikultura yang bernama PT ROLAS INDUSTRI AGRO NUSANTARA (RIAN) yang berlokasi di Bondowoso. Dengan kemampuan menejerial standart PMA, teknis pengendalian mutu, serta penguasaan hasil yang baik, sebenarnya bagaimanakah prospek budidaya wortel di PT ROLAS INDUSTRI AGRO NUSANTARA (RIAN)?
Umum
1.1Sejarah Singkat
Wortel (Daucus carrota) dikenal hampir di setiap negara termasuk Indonesia. Sayuran ini cukup popular di kalangan masyarakat. Di hampir setiap daerah terutama wortel banyak dijual di pasar sehingga mudah di peroleh. Tak heran jika di tanah air, wortel lebih dikenal masyarakat dibandingkan dengan sayuran umbi lainnya misalnya lobak.
Wortel/carrots (Daucus carota L.) bukan tanaman asli Indonesia, berasal dari negeri yang beriklim sedang (sub-tropis) yaitu berasal dari Asia Timur Dekat dan Asia Tengah. Ditemukan tumbuh liar sekitar 6.500 tahun yang lalu. Rintisan budidaya wortel pada mulanya terjadi di daerah sekitar Laut Tengah, menyebar luas ke kawasan Eropa, Afrika, Asia dan akhirnya ke seluruh bagian dunia yang telah terkenal daerah pertaniannya, selanjutnya berkembang ke Eropa, Afrika Utara, Amerika Selatan dan Amerika Utara. Kalangan Internasional menyebutnya Carrot.
Wortel merupakan tanaman sayuran umabi semusim berbentuk semak. Sayuran ini dapat tumbuh sepanjang tahun, penghujan maupun kemarau. Wortel memiliki batang pendek yang hampir tidak tampak. Akarnya berupa akar tunggang yang berubah bentuk dan fungsi menjadi bulat dan memanjang yang selanjutnya dinamakan umbi. Bagian umbi inilah yang dimanfaatkan untuk konsumsi makanan sehari-hari.
1.2Sentra Penanaman
Di Indonesia budidaya wortel pada mulanya hanya terkonsentrasi di Jawa Barat yaitu daerah Lembang dan Cipanas. Namun dalam perkembangannya menyebar luas ke daerah-daerah sentra sayuran di Jawa dan Luar Jawa. Berdasarkan hasil survei pertanian produksi tanaman sayuran di Indonesia (BPS, 1991) luas areal panen wortel nasional mencapai 13.398 hektar yang tersebar di 16 propinsi yaitu; Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bali, NTT, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian Jaya.
1.3Taksonomi Tanaman Wortel
Dalam dunia tumbuhan, klasifikasi tanaman wortel selengkapnya adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Klas : Angiosspermae
Subklas : Dycotyledoneae
Ordo : Umbelliferae/Apiaceae/Ammiaceae
Genus : Daucus
Spesies : Daucus carrota
1.4 Kandungan Gizi Wortel
Umbi wortel berwarna kuning kemerahan yang disebabkan oleh kandungan karoten yang tinggi, yakni suatu senyawa kimia pembentuk vitamin A atau provitamin A, kulitnya tipis, memiliki rasa manis dan renyah. Wortel memiliki kandungan gizi yang banyak diperlukan oleh tubuh terutama sebagai sumber vitamin A. Dibandingkan dengan sayuran lainnya, nilai vitamin A wortel 12.000 SI, nilai ini lebih rendah dari daun pepaya 18.250 SI, dan daun singkong 13.000 SI.
Selain vitamin A, wortel mempunyai kandungan gizi yang lain Tabel 1 mencantumkan komposisi gizi wortel yang disusun Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI.
1.5 Tipe dan varietas yang dibudidayakan
Wortel dapat dibedakan menurut panjang umbinya menjadi 3 macam, yakni wortel yang berumbi pendek, berumbi sedang, dan berumbi panjang.(Nur Berlian A.V. dan Estu R.,2000)Secara lebih spesifik wortel di Belanda di kelompokkan berdasarkan bentuk dan kegunaan sebagaimana table 2.
PT. RIAN Divisi Jampit sekarang membudidayakan 3 type yaitu type nantes dengan varietas Newton dan nevis, type berlikum dengan varietas Bradford dan type flakee dengan varietas kamaran.Selain type dan varietas tersebut, pernah pula dibudidayakan 4 type lainnya yaitu type chantenee dengan varietas Carson, type paris dengan varietas parmex, type amsterdamse bak dengan varietas mokum dan type baby dengan varietas mignon.
Varietas yang dibudidayakan tersebut merupakan varietas yang sesuai dengan kondisi iklim dan struktur tanah di Jampit karena sebelum diusahakan dalam skala besar di lahan telah dilakukan uji coba di lahan R&D. Kesesuaian tersebut dapat dibuktikan dengan resistannya varietas tersebut terhadap hama dan penyakit yang ada seerta hasil yang optimal.
Iklim Dan Kondisi Tanah Sebagai Syarat Tumbuh
Unsur-unsur yang berperan dalam pertumbuhan tanaman wortel meliputi curah hujan, temperatur, dan ketinggian tempat, kelembaban, sinar matahari dan angin.
a.Curah Hujan
Tanaman wortel membutuhkan air yang banyak dalam pertumbuhannya. Kebutuhan air secara alami dapat dipenuhi dari air hujan. Air yang berlebih menyebabkan tanaman mudah terserang penyakit dan sebaliknya kekurangan air menyebabkan tanaman kering dan akhirnya mati.
Berdasarkan penggolongan Schmid-Ferguson, iklim yang cocok untuk pertumbuhan tanaman wortel adalah iklim A (sangat basah), B (basah), dan C (agak basah). Curah hujan di afdeling Jampit rata-rata 1857 mm/tahun dengan bulan basah selama 10 bulan dan bulan kering selama 2 buln. Kondisi tersebut termasuk iklim B berdasarkan penggolongan Schmid-Ferguson. Curah hujan 6 tahun terakhir sebagai berikut:
b.Temperatur dan Ketinggian
Tanaman wortel akan tumbuh dengan optimal pada daerah bertempetatur rendah. Oleh karenanya lebih cocok di tanam di daerah dataran tinggi, yakni daerah yang mempunyai ketinggian lebih dari 700 m di atas permukaan air laut. Namun demikian wortel dapat ditanam di daerah yang lebih rendah misalnya 400 m di atas permukaan air laut tetapi hasil produksinya lebih sedikit. Tanaman wortel akan tumbuh dengan optimal pada ketinggian 1200-1500 m di atas permukaan air laut.
c.Kelembaban
Tanaman wortel memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kelembaban. Semakin tinggi letak tempat semakin tinggi pula kelembaban sehingga tanaman wortel tidak terlalu banyak penguapan. Begitupun sebaliknya, semakin rendah letak tempat semakin rendah pula kelembaban dan akan banyak sekali penguapan.
d.Sinar matahari
Pada pertumbuhannya, tanaman wortel membutuhkan sinar matahari secara penuh (tidak ternaungi) sebagai sumber energi untuk pembentukan gula melalui proses fotosintesis dan pembentukan umbi tanaman. Tanaman yang kurang sinar matahari pertumbuhannya akan terhambat dan memanjang.
e.Angin
Angin membantu tanaman dalam melakukan penyerbukan. Angin dengan kisaran kecepatan 19-35 km/ jam dapat menerbangkan serbuk sari. Angin menjadi sangat penting perannya bagi budidaya tanaman wortel yang diambil benihnya
f.Kondisi tanah
Menurut klasifikasinya, beberapa jenis tanah yang sesuai untuk budidaya tanaman wortel antara lain regosol, latosol, dan andosol dengan kisaran pH 5,5-6,5.
Berdasarkan data analisis tanah, jenis tanah di Jampit adalah regosol, struktur tanah remah, tekstur lempung berpasir dengan prosentase pasir lebih banyak dan sedikit debu. Tanah ini banyak mengandung kalium dengan pH tanah 5,5-6. Topografi lahan datar yang berada di lembah gunung dengan lapisan olah tanah 4 sampai 5 meter.
Keadaan iklim menurut klasifikasi Schmid-Ferguson termasuk type B (basah) dengan 10 bulan basah (Oktober-Juli) dan 2 bulan kering (Agustus-September). Rata-rata curah hujan untuk 6 tahun terakhir (1997-2002) adalah 1857,5 mm/tahun. Temperatur minimum 50C dan maksimiu 200C. Kelembaban udara berkisar antara 90%-95%.
Pedoman Teknis Budidaya
Proses Budidaya Wortel
3.1.1Benih
Tanaman wortel diperbanyak dengan bijinya, Biji untuk penanaman dikenal dengan istilah benih. Benih yang berkualitas tinggi merupakan langkah awal peningkatan produksi. Benih wortel dapat diperoleh dengan 2 jalan yakni membeli dari toko pertanian dan menyiapkan sendiri melalui proses penyerbukan, tanaman dipelihara hingga berbiji untuk diambil benihnya.
Pada budidaya wortel yang dilakukan PT. RIAN Divisi Jampit benih diperoleh dengan jalan membeli. Pembelian dilakukan secara import dari industri benih BEJO ZADEN B.V yang berlokasi di Warmenhuizen Holland. Benih yang diimport tersebut telah diujicoba oleh bagian Research and Development PT. RIAN Divisi Jampit dan terbukti bermutu tinggi. Hal ini terbukti dengan tingginya daya kecambah yang mencapai 98%, tahan terhadap hama dan penyakit serta memberikan hasil produksi yang tinggi.
Menurut Nur Berlian V.A dan Estu R (2000) kebutuhan benih wortel per hektar sebanyak 300.000-400.000 biji atau 1,5 kg-3 kg dengan benih local. Menurut Bejo Zaden B.V Guide Book (TK Tunas Harapan) kebutuhan benih wortel perhektar sebanyak 1 juta-1,5 juta biji untuk type nantes varietas Newton dan 500 ribu- 1 juta biji untuk type flakee varietas kamaran. Kebutuhan benih pada budidaya yang dilaksanakan di PT. RIAN Divisi Jampit setiap hektarnya menggunakan 19 kemasan benih atau sebanyak 0,25 kg.
Benih yang diimport tersebut dikemas dalam bentuk kemasan berukuran 11,5 cm x 17 cm. Terbuat dari kertas minyak di bagian luar dan aluminium foil di bagian dalam. Dalam satu kemasan terdapat 25.000 biji dengan berat rata-rata 10,08 g per 1000 biji. PT. RIAN Divisi Jampit tidak memproduksi benih sendiri dengan jalan membiarkan tanaman hingga berbiji untuk di ambil benihnya karena akan memakan waktu, biaya dan tenaga yang lebih besar. Sedangkan benih import dapat diperoleh dengan mudah dan cepat. Selain itu terdapat suatu keyakinan bahwa benih generasi kedua memiliki perbedaan yang signifikan dalam hasil produksi dan ketahanan terhadap penyakit.
Pengolahan Tanah
a.Penggemburan
Keadaan fisik dan struktur tanah sangat berpengaruh pada pembentukan umbi wortel. Tanaman wortel memerlukan tanah yang berstruktur gembur dan mengandung bahan organic. Tanah yang keras akan sulit ditembus oleh akar sehingga bentuk wortel tidak lurus namun berbelok atau dapat pula bercabang dan kecil.
Pengolahan tanah bertujuan untuk menciptakan kondisi yang sesuai dengan yang dibutuhkan tanaman. Pada pengolahan tanah, struktur tanah dapat di perbaiki, sirkulasi udara menjadi lebih baik, lapisan tanah yang kaya humus dapat dibalik sehingga dapat digunakan oleh tanaman, pupa ulat tanah dan mikroorganisme patogen di dalam tanah dapat mati oleh panas sinar matahari.
Penggemburan tanah dilakukan dengan menggunakan traktor dengan kedalaman 30-40 cm Setelah lahan di bajak selanjutnya dilakukan pengapuran secara manual yang bertujuan membersihkan lahan dari gulma dan menghancurkan bongkahan tanah yang masih tersisa menjadi butiran.
b.Pembuatan bedengan
Tanah yang sudah digemburkan dibuat alur atau bedengan. Arah bedengan sebaiknya dibuat membujur dari timur ke barat, agar tanaman menerima sinar matahari sebanyak-banyaknya. Bedengan dibuat dengan lebar 140 cm, tinggi 30 cm, dan panjang menyesuaikan dengan kondisi lahan, biasanya sepanjang 100 m. Pada kanan dan kiri bedengan dibuat parit selebar 40 cm dengan kedalaman +25 cm. Parit ini berfungsi untuk saluran drainase serta memudahkan penanaman dan pemeliharaan.
Setelah bedengan terbentuk, bagian atas bedengan diratakan dengan alat sederhana yang terbuat dari papan yang memiliki system kerja meratakan permukaan. Hal ini dilakukan agar alat tanam dapat bekerja dengan mudah dan bedengan terlihat lebih rapi. Dalam I ha terdapat 58 bedengan.
Penanaman
a.Waktu tanam
Di Jampit wortel dapat ditanam sepanjang tahun. Di musim penghujan air dapat terpenuhi dari air hujan dan di musim kemarau air dapat diperoleh melalui system irigasi tetes. Tanaman wortel dapat ditanam secara tumpangsari namun di Jampit di tanam secara monokultur.
b.Cara penanaman
Benih wortel ditanam secara langsung tanpa disemai terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar akar tunggang tidak terputus sehingga penampilan wortel tetap lurus. Pertimbangan lain, karena ukuran benih cukup besar (1,6 mm-1,8 mm) sehingga tingkat kerusakan dan hilangnya benih di lahan sangat kecil. Benih ditanam menggunakan alat tanam (earth way). Alat tersebut dilengkapi dengan disc yang telah disesuaikan untuk menyemaikan benih wortel.
Prinsip kerja alat tersebut adalah membuat larikan sebagai penunjuk penanaman. Larikan tersebut memanjang sepanjang bedengan, dengan jarak antar larikan 20 cm sehingga dalam satu bedengan terdapat 4 larikan. Setelah larikan terbentuk maka dibuat lubang tanam dengan kedalaman 1,5 cm. Setelah lubang tanam tertutup benih tertanam, ditutup tanah dan ditekan. Tahapan kerja tersebut dapat dilakukan dalam satu kali jalan.
Penggunaan alat tersebut diawali dengan meletakkan benih pada kotak benih yang ada pada earth way dan mendorongnya. Benih akan tertanam secara otomatis. Semakin cepat laju alat maka jarak semai akan semakin lebar. Satu kemasan benih berisi 25.000 biji, dapat disemai pada 2 bedengan atau 8 larikan. Benih akan berkecambah pada umur 7-10 hari setelah tanam.
3.1.2Pemeliharaan
Pemeliharaan merupakan salah satu hal terpenting dalam budidaya wortel dalam rangka memperoleh hasil yang optimal. Pemeliharaan tanaman meliputi pengairan, pemupukan, penjarangan, penyiangan, dan pengendalian hama dan penyakit.
1.Pengairan
Tanaman membutuhkan air dalam proses prtumbuhannya termasuk wortel . Secara alami kebutuhan air dapat dipenuhi dari air hujan, namun di musim kemarau dimana ketersediaan air sangat terbatas maka diperlukan irigasi. Ketersediaan air yang kurang dan tidak tersedia secara kontinyu menyebabkan kracking pada umbi wortel terutama type nantes varietas nevis. Menurut Larry G. James (TT) irigasi pertanian memiliki fungsi sebagai berikut:
a.Mendinginkan tanah dan tanaman
Pada saat panas terik, suhu lingkungan sekitar tanaman khususnya tanah meningkat begitu pula dengan suhu tanaman. Akhir dari peningkatan suhu adalah penguapan baik tanah maupun tanaman. Untuk menjaga suhu tanah maupun tanaman stabil diperlukan irigasi.
b.Perlindungan dari embun es/fross
Pada saat terjadi fross, daun tanaman tertutup embun es, apabila dibiarkan mencair akibat panas matahari berakibat tanaman mati. Hal ini terjadi karena pada saat fross sitoplasma sel membeku lalu terkena sinar matahari. Suhu sitoplasma meningkat secara drastic akibatnya dinding sel pecah dan tanaman mati. Dengan irigasi terutama system springkel, tanaman yang terkena fross disiram sebelum matahari terbit sehingga embun es mencair sebelum matahari terbit. Oleh karena itu peningkatan suhu dalam sel meningkat secara perlahan sampai matahari terbit.
c.Memacu pertumbuhan vegetatif menunda pembuahan
Pada tanaman sayur berbentuk buah misalnya paprika (Capsicum autuum) tersedianya air yang melimpah mengakibatkan pertumbuhan vegetatif, sebaliknya air yang tidak kontinyu mempercepat pertumbuhan generatif.
d.Mengendalikan erosi yang disebabkan oleh angin
Kecepatan angin mampu menerbangkan butiran-butiran tanah, dengan adanya irigasi tanah menjadi basah dan lebih berat serta solid sehingga tidak mudah terbawa angin.
e.Mempercepat perkecambahan benih
Benih akan berkecambah dengan cepat pada tanah yang lembab dan agak basah.
f.Media penerapan bahan kimia
Melalui irigasi dapat pula dilakukan pemberian fungisida maupun pemberian unsur hara.
g.Pengendalian limbah cair
Melalui irigasi air tidak langsung menuju ke lahan melainkan melalui filter-filter terlebih dahulu sehingga air terbebas dari limbah.
Sistem irigasi yang digunakan PT. RIAN Divisi Jampit dalam budidaya tanaman wortel adalah irigasi tetes dimana air melalui pipa berdiameter + 1,5 cm yang dipasang memanjang, sepanjang bedengan. Air akan keluar dari lubang-lubang yang terdapat pada pipa/selang dalam bentuk tetes-tetes air. Dalam satu bedengan terdapat 2 buah pipa/selang.Menurut Yos Van Der Knaap, lahan seluas 1 ha membutuhkan 35 m3 air per hari atau 3,5 liter air/m2 dalam 1 hari.
Penyiraman dilakukan mulai benih di semai sampai menjelang panen sedangkan waktunya dapat dilakukan pagi atau sore hari tergantung dari sebagian besar kondisi tanah. Larry G. James (TT), terdapat tiga indikasi perlunya dilakukan penyiraman yaitu indikator tanaman, indikator tanah, dan teknik persediaan air. Indikator tanaman dapat dilihat dengan mudah misalnya tanaman layu dan berwarna pucat. Indikator tanah dapat dilihat apabila tanah mulai mongering dan tidak solid.
2.Pemupukan
Selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman memerlukan unsur hara yang dapat diperoleh dari pupuk. Pemupukan pada tanaman wortel dapat dibedakan menjadi 2 berdasarkan waktu pemberiannya yaitu pupuk dasar dan pupuk lanjutan. Menurut Nur Berlian V.A dan Estu R. (2000) pupuk yang diberikan saat tanam adalah pupuk kandangsebanyk 15 ton/ha, SP-36 sebanyak 100 kg/ha, urea sebanyak 100 kg/ha dan KCl sebanyak 30 kg/ha. Untuk mendapatkan produksi umbi yang sempurna tanaman diberi pupuk susulan/lanjutan. Pupuk lanjutan pertama pada umur 2 minggu setelah tanam berupa 50 kg urea. Pupuk lanjutan kedua diberikan pada umur 1-1,5 bulan berupa urea sebanyak 50 kg/ha dan KCl sebanyak 20 kg/ha. Pupuk diberikan dengan jalan ditabur membentuk larikan sepanjang bedengan berjarak 5 cm dari tanaman dan ditutup dengan tanah. Dosis pemupukan dapat berubah sesuai dengan kondisi tanah.
Pemupukan yang dilakukan PT. RIAN Divisi Jampit secara garis besar sama, terdapat pupuk dasar dan pupuk lanjutan. Pupuk dasar diberikan saat tanam terdiri dari pupuk kandang sebanyak 6 m3/ha dan SP-36 sebanyak 500 kg/ha. Pemberian pupuk dilakukan dengan cara menyebarkannya di permukaan bedengan secara merata dan menutupnya dengan tanah. Pupuk lanjutan menggunakan pupuk daun Topsil-D dengan dosis 10-30 gr/10 l air. Intensitas pemberian 1-2 kali seminggu. Pemberian pupuk dapat dilakukan bersama dengan pemberian fungisida dan insektisida.
3.Penyiangan
Gulma adalah tanaman lain yang tumbuh liar di sekitar tanaman. Dalam pertumbuhannya gulma menjadi kompetitor tanaman wortel dalam memperoleh air, cahaya matahari, dan unsur hara.
Penyiangan pertama dilakukan saat tanaman wortel berumur + 15 hari karena pada umur tersebut mulai dapat dibedakan antara tanaman wortel dengan gulma. Penyiangan perlu sekali dilakukan karena pada umur tersebut pertumbuhan gulma lebih cepat di banding pertumbuhan tanaman wortel. Penyiangan kedua dilakukan seiring dengan pertumbuhan gulma. Di bagian tepi, penyiangan dilakukan menggunakan cangkul dan di bagian tengah bedengan digunakan alat sederhana berupa tabung berlapis spon yang terus menerus dibashi herbisida. Herbisida yang sering digunakan adalah Round Up dengan dosis 2 1/1000 liter air /ha. Tabung yang digunakan berdiameter 10 cm dengan panjang + 15 cm. Tabung tersebut mampu bergerak memutar akibat dorongan dan spon yang melapisi tabung yang dibashi dengan herbisida akan membasahi gulma yang tumbuh di antara tanaman wortel yang berbentuk larikan.
4.Penjarangan
Tanaman wortel yang berumur + 1 bulan dengan tinggi + 5 cm perlu dilakukan penjarangan yang bertujuan memberikan jarak antar tanaman sehingga umbi wortel dapat terbentuk dengan sempurna. Dalam penjarangan tanaman yang pertumbuhannya kurang baik dan tumbuhnya terlalu dekat dicabut. Menurut Nur Berlian V.A dan Estu R. (2000) jarak antar tanaman dalam baris menjadi 5-10 cm namun pada Divisi Jampit jarak antar tanaman + 5 cm.
5.Pengendalian Hama Dan Penyakit
Menurut Nur Berlian V.A dan Estu R. (2000) hama yang sering mengganggu tanaman wortel adalah kutu daun (Semiaphis dauci), manggot-manggot (Psila rosae), ulat tritip (Plutella maculipennis), kumbang Bothymus gibbosus, ulat Anagrapha falafera, kumbang Listronatus oregoneuses dan ulat Crocidolomia binotalis. Sedangkan penyakit yang biasa menyerang tanaman wortel adalah bercak daun Cescospora, hawar daun Altenaria dauci dan busuk umbi Altenaria radicina.
Menurut Yos Van Der Knaap penyakit yang menyerang tanaman wortel adalah Altenaria sedangkan hama yang menyerang adalah kutu daun (Aphid), ulat (Caterpillar) dan ulat tanah.Pada budidaya yang dilakukan di Jampit, penyakit yang menyerang tanaman wortel adalah hawar daun. Penyakit ini disebabkan jamur Altenaria dauci (Kuhn)Groves et Skolko. Gejala yang muncul yaitu pada daun terjadi bercak-bercak kecil berwarna coklat tua sampai hitam dengan tepi kuning. Bercak membesar dan bersatu hingga mematikan daun. Infeksi pada tangkai daun menyebabkan bercak memanjang yang berwarna seperti karat.
Pengendalian penyakit tersebut dapat digunakan fungisida dengan bahan aktif Thiram, Iprodion, dan Metalaxyl. Thiram tidak bisa diperoleh di Indonesia. Fungisida yang terbukti efektif adalah Rovral 50 WP dengan bahan aktif Iprodion. Dosis yang digunakan 0,5 gr/l atau 400-800 l/ha. Fungisida ini bersifat kuratif. Fungisida kedua adalah Ridomil Zeta MZ 8/64 WP dengan bahan aktif metalaxyl. Dosis yang digunakan 3-5 gr/l atau 400-800 l/ha. Fungisida ini bersifat kuratif dan untuk hasil optimal perlu dicampur dengan fungisida berbahan aktif mankozeb. Fungisida ketiga adalah Vondozep dengan bahan aktif mankozeb. Dosis yang digunakan 1-2 gr/l atau 400-800/ha. Fungisida ini bersifat preventif.
Hama yang dijumpai mengganggu adalah ulat Crocidolomia binotalis. Ulat kecil dengan panjang + 18 mm berwarna hijau. Menyerang daun bagian dalam dengan meninggalkan bekas gigitan sehingga daun berlubang. Gangguan yang ditimbulkan hama tersebut sangat kecil. Pengendalian hama ini menggunakan insektisida Meothrin 50 EC. Dosis yang digunakan 2-4 ml/liter atau 0,5-1 liter/ha. Insektisida ini bekerja sebagai racun kontak dan lambung.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pestisida adalah caranya sehingga tidak membahayakan jiwa. Selain itu penggunaan pestisida harus tepat waktu, tepat dosis, dan tepat sasaran. Tepat waktu berarti pemberian pestisida pada waktu yang tepat yaitu di pagi hari dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 10.00 WIB atau pada sore hari pukul 15.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Waktu antara pukul 10.00-15.00 WIB, suhu udara tinggi sehingga pestisida akan dengan mudah menguap atau tidak dapat terserap olehta secara sempurna karena stomata mengecil untuk mengurangi penguapan (untuk pestisida sistemik). Tepat waktu berati pula tepat dengan cara kerja pestisida kuratif atau preventif dan kontak atau sistemik. Tepat sasaran berarti pestisida tersebut harus efektif mengendalikan hama dan penyakit. Tepat dosis berarti sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Dosis yang terlalu tinggi dapat membahayakan keseimbangan ekosistem karena predator alami akan ikut mati sedangkan dosis yang terlalu rendah menyebabkan pestisida kurang efektif dan harus digunakan berulang kali. Keduanya merupakan suatu pemborosan biaya dan tenaga. Hal terakhir yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pestisida adalah 2 minggu menjelang panen pestisida tidak boleh digunakan lagi untuk menghindari keracunan pada konsumen. Pada musim penghujan penggunaan pestisida ditambahkan perekat dan perata. Perekat dan perata yang biasa digunakan adalah Agristick dengan dosis 0,25-0,5 ml/liter air.
Panen Dan Pasca Panen
1.Panen
Ciri-ciri tanaman wortel sudah saatnya dipanen adalah sebagai berikut:
a.Tanaman wortel yang telah berumur ± 3 bulan sejak sebar benih atau tergantung varietasnya. Varietas Ideal dipanen pada umur 100-120 hari setelah tanam (hst). Varietas Caroline 95 hst., Varietas All Season Cross 120 hst., Varietas Royal Cross 110 hst., Kultivar lokal Lembang 100-110 hst.
b.Ukuran umbi telah maksimal dan tidak terlalu tua. Panen yang terlalu tua (terlambat) dapat menyebabkan umbi menjadi keras dan berkatu, sehingga kualitasnya rendah atau tidak laku dipasarkan. Demikian pula panen terlalu awal hanya akan menghasilkan umbi berukuran kecil-kecil, sehingga produksinya menurun (rendah).
Khusus bila dipanen umur muda atau "Baby Carrot" dapat dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:
a.umur panen sekitar 50-60 hari setelah tanam.
b.ukuran umbi sebesar ibu jari tangan, panjangnya antara 6-10 cm dan diameternya sekitar 1-2 cm. Dalam pemanenan hal yang harus diperhatikan adalah umur panen dan cara panen. Pemanenan yang tidak tepat waktu menyebabkan mutu produk akan menurun. Misalnya sayuran yang di panen terlalu tua maka komoditi tersebut tidak disukai konsumen dan berharga rendah.
Pada tanaman wortel terdapat dua fase pertumbuhan. Pertumbuhan vegetatif berakhir pada saat wortel berumur 70 hari. Setelah umur tersebut wortel masuk pada masa kematangan (maturity). Pada masa tersebut karakter bentuk dan ukuran umbi mulai terbentuk pada tiap-tiap varietas, kadar gula meningkat, terbentuk karakter rasa dan aroma serta lapisan kulit menjadi lebih cerah. Pada varietas Newton dapat di panen pada umur 100 hari dan varietas nevis dapat di panen pada umur 105 hari.
Cara panen tanaman wortel adalah dengan jalan mencabut batangnya. Pencabutan dilakukan dengan hati-hati agar umbi tidak patah, lalu dimasukkan dalam keranjang. Dalam memasukkan dalam keranjang haruslah hati-hati agar wortel tidak saling berbenturan satu sama lain.
2.Pasca panen
Umbi yang telah di panen selanjutnya di otong tangkainya sepanjang + 5 cm, dibersihkan dari batang daun yang tua dan kurang sehat. Hasil penelitian PT. DIF Nusantara, wortel yang disimpan dengan sedikit batang mampu bertahan lebih lama daripada wortel yang disimpan tanpa batang daun.
Tahap selanjutnya adalah pencucian yang menggunakan bak dengan air yang terus mengalir. Pencucian dilakukan menggunakan kain yang halus sehingga tidak melukai kulit wortel. Pencucian ini dilakukan dengan tujuan mempercantik penampilan wortel. Hasil penelitian yang dilakukan di Belanda, wortel akan lebih tahan lama apabila disimpan dalam cold storage pada suhu 1-2O C tanpa dicuci.
Kegiatan selanjutnya adalah sortasi, grading, dan sizing. Sortasi adalah pemilihan wortel yang baik dan pemisahan dari yang jelek. Grading adalah proses sortasi berdasarkan kualitas dan sizing adalah pengelompokan produk berdasarkan ukuran.
Pada wortel yang tidak termasuk mutu I dan mutu II dikategorikan dalam mutu III dan Baby. Masing-masing mutu ditempatkan dalam keranjang dan tersusun rapi. Khusus mutu III dan Baby dipasarkan melalui PT.DIF Nusantara dengan system konsinyasi. Kedua mutu tersebut terbukti dapat terjual namun memerlukan rentang waktu yang lebih lama jika dibandinagkan dengan mutu I dan II. Di Belanda, wortel yang telah melalui tahapan sortasi, grading dan sizing ditempatkan dalam keranjang kayu. Pada dasarnya keduanya sama namun keranjang yang terbuat dari plastik memiliki keunggulan struktur kuat dan tahan lama, ringan, interior halus dan dapat di cuci.
Walaupun telah dipanen, buah dan sayur tetap melanjutkan proses hidup seperti respirasi dan transpirasi, begitu pula wortel. Respirasi adalah suatu proses oksidasi biokimia pada sel yang hidup. Respirasi menghisap O2 dan mengeluarkan CO2 serta panas, dan merupakan kebalikan dari fotosintesis. Wortel rata-rata mempunyai kandungan air 75-90%. Kehilangan kandungan air sebanyak 5-10% dapat menyebabkan hilangnya rasa. Kedua hal tersebut perlu diperhaitkan untuk memperoleh mutu yang baik walaupun wortel tergolong sayuran yang memiliki daya respirasi rendah. Untuk menghambat kedua proses tersebut perlu dilakukan Pre Cooling, dengan meletakkan pada Cold storage dengan suhu 0,5-10C. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh PT. RIAN Divisi Jampit karena tenaga listrik tidak tersedia secara kontinyu. Wortel yang telah melalui tahapan sortasi, grading dan sizing serta ditempatkan dalam keranjang plastik kemudian ditimbang. Hasil timbangan di catat dalam surat bukti pengiriman sayur. Selanjutnya wortel dikirim ke PT. DIF Nusantara dengan mobil yang dilengakapi cold box.
3.1.3 Rotasi lahan
Rotasi lahan atau pergiliran lahan adalah pengaturan susunan urut-urutan lahan dalam bentuk blok-blok yang sistematis pada suatu tempat dalam luasan areal tertentu. Tujuan rotasi lahan yang dilakukan oleh PT. RIAN Divisi Jampit adalah sebagai berikut:
a.Menjaga struktur dan kesuburan tanah
Suatu tanaman memrlukan unsure hara tertentu dalam jumlah lebih besar dan menyisakan unsur hara lainnya yang diperlukan oleh tanaman lain. Adanya pergiliran lahan, unsur hara pada tiap-tiap blok dapat terjaga keseimbangannya.
b.Menjaga keseimbangan ekosistem.
Budidaya satu jenis tanaman pada satu lahan secara terus menerus dapat menyebabkan pertumbuhan hama dan penyakit tidak terkendali.
c.Mengendalikan hama dan penyakit secara alami.
Budidaya satu jenis tanaman pada satu lahan secara terus menerus dapat menyebabkan pertumbuhan hama dan penyakit tidak terkendali, dengan rotasi lahan populasi hama dan penyakit akan terkontrol secara alami karena tumbuhan yang tumbuh berganti atau hama dan penyakit tersebut kehilangan inangnya.
Manajemen Pemasaran
A.Manajemen Pemasaran PT. RIAN
Menurut Kotler (2000), pemasaran adalah suatu proses social yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain.
Hasil panen yang dihasilakn oleh PT. RIAN Divisi Jampit selanjutnya dipasarkan melalui PT.DIF Nusantara dengan system konsinyasi.
Manajemen Pemasaran PT. DIF Nusantara
Kegiatan pemasaran dilakukan oleh PT. DIF Nusantara yang berlokasi di Denpasar Bali. PT. DIF Nusantara merupakan anak perusahaan dari PT. JORO yang bergerak di bidang pemasaran hortikultura. Kegiatan pemasaran yang dilakukan PT. DIF Nusantara tidak terbatas pada penjualan sayuran saja melainkan juga beberapa jenis buah dan bunga seperti heliconia.
Suplier PT. DIF Nusantara tidak hanya berasal dari PT. RIAN Divisi Jampit untuk sayuran dan Divisi Heliconia untuk bunga. Daftar supplier dan konsumen PT. DIF Nusantara sebagaimana tabel 6 dan 7 terlampir. Wortel yang dikirim oleh PT. RIAN Divisi Jampit menggunakan kendaraan yang dilengkapi cold box di timbang ulang kemudian dimasukkan cold storage dengan suhu 6-7 0C. Proses penimbangan ulang yang dilakukan hanya sebagai cara untuk memeriksa ulang berat sayuran yang bersangkutan. Pengemasan baru dilakukan saat menerima order dari konsumen.
Pengemasan
Pengemasan dilakukan pagi hari setelah order diterima pada hari sebelumnya. Pengemasan wortel dapat dibedakan menjadi 2 bentuk. Bentuk pertama dikemas dalam plastik dan di press yang dikenal dengan kemasan “pepito” berisi 1 kg wortel. Bentuk kedua menggunakan styrofoam yang dibungkus dengan plastik film atau wraping, berisi 1 kg wortel pula. Pengemasan ini bertujuan memperindah penampilan dan mengurangi transpirasi.
Menurut Agrobis (2000), terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan kemasan yaitu:
a.Desain harus menarik, informative, dan memberikan image yang baik, kuat, namun mudah di buka.
b.Informasi dan pelabelan, jelas berisi perihal perusahaan, macam produk, cara penyimpanan, dll.
Menurut Nur Berlian V.A dan Estu R. (2000), pengemasan merupakan suatu cara untuk melindungi atau mengawetkan wortel,juga memperlancar transportasi dan distribusi ke konsumen. Kemasan yang biasa digunakan dibedakan menjadi 2 yaitu:
a.Kemasan karung plastik untuk tujuan ke pasar induk atau grosir.
b.Kemasan film plastik sehingga tampil baik, rapi, dan menarik untuk keperluan dijual di supermarket.
Perkembangan Ekspor Wortel
Jepang merupakan target pasar yang baik untuk komoditas sayur-sayuran di masa yang akan datang. Hal ini terlihat dari tingginya impor komoditas tersebut selama 25 tahun terakhir. Wortel dan lobak misalnya, walaupun produksi dalam negerinya cukup baik, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pada tahun 1993, produksi wortel dan lobak adalah sebesar 709.000 ton akan tetapi Jepang masih mengimpor komoditi tersebut sebesar 9.266 ton, dengan nilai ¥ 677 million. Pada tahun 1994, volume impor malah meningkat menjadi 18.212 ton, dengan nilai ¥ 1.2 billion.
Pada saat ini negara pengekspor wortel dan lobak ke Jepang adalah Taiwan, China, USA, New Zealand and Australia. Indonesia belum berpartisipasi banyak dalam mensuplai komodtitas tersebut ke Jepang. Pada tahun 1993, volume ekspor Indonesia terhadap komoditi tersebut hanya 7 ton, dengan nilai ¥ 1.3 million, tetapi pada tahun 1994 ekspor Indonesia tidak ada sama sekali. Hal ini merupakan fenomena yang kurang baik bagi perdagangan wortel kita mengingat produksi wortel Indonesia sangat baik.
Produksi Dalam Negeri
Luas areal tanam untuk wortel di Jepang terus berkurang dari tahun ke tahun.berkurang dari tahun ke tahun. Kalau pada tahun 1987 luas arealnya adalah 23.000 ha maka pada tahun 1992 luas arealnya hanya 2.300 ha. Namun demikian produksi wortel dalam negeri tidak mengalami penurunan bahkan, sebaliknya. Pada tahun 1987 produksi wortel dalam negeri sebesar 669.300 ton, sedangkan pada tahun 1992 produksinya naik menjadi 690.300 Mts. Ini berarti bahwa ada peningkatan produksi untuk wortel. Bahkan pada tahun 1993 produksi dalam negerinya meningkat menjadi 709.000 ton.
Berbeda dengan lobak, luas areal tanam untuk komoditi ini mengalami penurunan tetapi tidak sedrastis pada tanaman wortel. Demikian juga produksinya mengalami penu-runan dari tahun ke tahun selama periode 1987-1992. Total produksi lobak pada tahun 1992 (197.700 ton) turun sebesar 8,7 % dibandingkan dengan total produksi dalam negeri tahun 1987.
Konsumsi Dalam Negeri
Konsumsi dalam negeri dihitung dengan mengurangi total volume ekspor dariproduksi dalam negeri dan impor. Dari data statistik perdagangan pertanianJepang terlihat bahwa ekspor wortel dan lobak dimulai pada tahun 1994. Oleh karena data produksi pada tahun tersebut tidak tersedia maka angka konsumsi dalam negeri akan dihitung berdasarkan data pada tahun 1992. Pada tahun 1992 produksi dalam negeri wortel dan lobak adalah 888.000 ton. Sedangkan total import untuk komoditas tersebut pada tahun yang sama adalah 2.967 ton. Karena kegiatan ekspor untuk komoditas tesebut pada tahun 19 pada tahun 1992 belum ada, maka konsumsi domestik untuk wortel dan lobak adalah 890.967,4 ton. Jika jumlah penduduk jepang pada tahun tersebut sebanyak 124.452.000 orang, maka konsumsi per kapita untuk komoditas tersebut adalah 7.2 kg.
Sejarah Impor
Pada tahun 1994, Jepang mengimpor sebanyak 18.212,5 ton.wortel dan lobak, baik dalam bentuk segar maupun dalan bentuk dingin, dengan total nilai ¥ 1,2 milyar. Jika dibandingkan dengan total impor pada tahun 1990, maka angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 400 persen. Volume importnya memangpengalami penurunan sebesar 7.039 ton pada tahun 1992 dari angka tahun 1991 (70.3%), tetapi sejak saat itu volume impor bertambah setiap tahun.
Demikian juga untuk nilai impornya, mengalami tren yang sama dengan volume impor. Kalau pada tahun 1990 nilai impornya mencapai ¥ 331,3 juta, maka pada tahun 1991 nilainya bertambah menjadi ¥ 713,5 juta. Nilai impor turun drastis sebesar & yen; 477,5 juta (67.1%) pada tahun 1992 dibandingkan dengan keadaan tahun 1991,tetapi sejak saat itu nilai impor naik sebesar ¥ 981.9 juta.
Market Share Impor
Taiwan adalah pengekspor utama wortel dan lobak ke Jepang, walaupun kontribusinya ke negara tersebut berfluktuasi selama lima tahun terakhir. Pada tahun 1990, Taiwan menguasai hampir seluruh pemasaran wortel dan lobak di pasar Jepang dengan ‘market share’ sebesar 95.4 %. Pada tahun 1994, walaupun dominasi Tailand pun dominasi Taiwan masih tinggi namun market share negara ini terhadap wortel dan lobak hanya sebesar 52 %. China menunjukkan kemajuan yang pesat dalam perdagangan wortel dan lobak ke Jepang. Selama periode 1990-1993 kontribusinya di pasar Jepang masih sangat rendah, yaitu sebesar 1 %. Namun pada tahun 1994, market share negara ini telah mencapai 29 persen. New Zealand and USA adalah negara terbesar ketiga dan keempat mensuplai wortel dan lobak ke Jepang, masing dengan market share sebesar 7.2 % dan 6.2 % pada tahun 1994.
Indonesia baru mulai mengekspor wortel dan lobak ke Jepang pada tahun 1993 sebanyak 7 ton dengan total nilai sebesar ¥ 1,35 juta. Sayangnya kegiatan ekspor initerhenti pada tahun-tahun selanjutnya. Hal ini perlu dirintis lagi mengingat Indonesia adalah negera penghasil wortel dan lobak yang baik. Memang saingan kita adalah negara-negara yang maju, namun bukan tidak mungkin Indonesia dapat menembus pasar Jepang.
Musim Impor
Musim sangat penting diperhatikan bila ingin terjun dalam bisnis sayur-sayuran di pasar Jepang karena hal ini sangat berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi dalam negeri negara Sakura tersebut. Walaupun dari statistik perdagangan terlihat bahwa kegiatan impor wortel dan lobak ini berjalan sepanjang tahun namun ada bulan-bulan tertentu dimana kegiatan impornya sangat intensif sehingga volume impornya pada periode tersebut lebih tinggi dari bulan lainnya.
Pada tahun 1994, total volume impor dari wortel dan lobak adalah 18,212 ton. Dari jumlah tersebut, sebanyak 23.6 % nya disupplai pada bulan Desember. Hal ini disebabkan karena musim dingin pada bulan tersebut yang menyebabkan produksi sayur-sayuran di Jepang terhenti sama sekali. Pada bulan Februari volume impornya sangat rendah, yaitu hanya sebesar 0.01 % dari total impor pada tahun1994 tersebut.
USA, Taiwan, Australia and New Zealand adalah negara yang paling konsisten melakukan kegiatan ekspor selama tahun 1994 . USA (kecuali Januari) dan Taiwan (kecuali Februari) mengeskpor wortel dan lobak sepanjang tahun. New Zealand absen pada bulan Januari dan Oktober dan Australia absen pada bulan Januari dan Februari. Korea Selatan mengekspor wortel dan lobak ke Jepang hanya pada bulan Desember.
Sistem Distribusi
Umumnya semua produk-produk pertanian yang di impor ke Jepang (termasuk wortel dan lobak) melalui sistem pasar induk. Salah satu perusahaan yang bergerak dalam hal ini adalah Seiko yang biasanya membeli produk-produk pertanian melalui importir dan kemudian menjualnya lagi ke pasar induk yang lebih kecil. Dari sini kemudian produk tersebut masuk ke distributor, supermarket dan ke retailer.Beberapa importer menjual produknya langsung ke supermarket.
Harga
Harga di Tingkat Pasar Induk Harga rata-rata per tahun komoditas wortel dan lobak di tingkat pasar induk adalah sebesar ¥122/kg pada tahun 1994, ¥2 lebih rendah dibanding pada tahun 1993. Analisa terhadap perkembangan harga rata-rata di tingkat pasar indukselama tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa secara umum, harga umumnya tinggi selama July-September, yaitu pada saat supplai rendah.
Harga rendah selama periode Oktober-Desember, yaitu pada saat supplai tinggi. Harga rata-rata tahunan wortel ti tingkat pasar induk naik dari ¥123/kg pada tahun 1993 ke ¥168/kg pada tahun 1994. Harga ini lebih stabil dibandingkan dengan harga lobak, tetapi harga ini sedikit tinggi pada bulan Agustus dan September.
3.1Harga per Unit
Harga rata-rata per unit satuan untuk wortel dan lobak yang diimpor selama empat tahun terakhir adalah ¥ 71.9/kg. Pada tahun 1994, hara rata-rata per unit paling tinggi untuk wortel dan lobak USA, diikuti dengan wortel dan lobak Canada, Australia, Vietnam, Singapore, Taiwan dan China yaitu berturut-turut senilai ¥ 153.6/kg, ¥ 90.9/kg, ¥ 83.9/kg, ¥ 81.7/kg, ¥66.2/kg dan ¥45.7/kg .Untuk tahun 1994, rata-rata harga bulanan per unit satuan tertinggi pada bulan, yaitu sebesar ¥ 199.1/kg. Hal ini semata-mata karena pada bulan tersebut hanya USA yang mengekspor wowrtel ke Jepang dan dari keterangan sebelumnya terlihat bahwa harga wortel USA paling tinggi. Namun, secara umum harga per unit untuk komoditas tersebut tinggi selama periode Juli - Oktober (Gambar 7). Hal ini disebabkan karenaebabkan karena pengaruh iklim/ musim dingin yang akan segera tiba pada bulan tersebut dan produksi dalam negeri biasanya sangat rendah pada bulan-bulan tersebut.
Peraturan Impor
Biasanya sayuran segar dijual/ekspor segera setelah waktu panen, sehingga sangat rawan sebagai host dari berbagai penyakit ataupun serangan binatang lainnya. Oleh karena itu untuk jenis komoditas ini perlu penanganan pasca panen yang lebih intensif dan teliti. Bagi negara-negara impotir, kesegaran merupakan prioritas utama yang dilihat pada saat tiba di pelabuhan, baru kemudian pengecekan dilakukan terhadap beberapa faktor seperti : negara asal, nama/perusahaan importir/eksportir, ‘disinfection treatment’, dan (jika ada) prosedur ekspor dari negara asal.
Sampel dari tiap-tiap komoditi secara acak diambil dan diperiksa apakah ada mengandung penyakit atau binatang lainnya. Jika ditemukan hal-hal yang mencurigakan maka akan dilakukan tindakan : desinfeksi atau dihancurkan, atau komoditas tersebut harus segera diangkut keluar nari negara tersebut. Inspeksi terhadap sayuran segar bisanya dilakukan pada tempat-tempat berikut : Pelabuhan laut : Adair, Muroran, Tokyo, Kawasaki, Yokohama, Nagoya, Yokkaichi, Kobe, Osaka, Shimonoseki, Moji, Hakata, Kagoshima, Naha. Pelabuhan Udara : New Chitose Airport, New Tokyo International Airport (Narita Airport), Tokyo International Airport (Haneda Airport), Nagoya Airport (Komaki Airgoya Airport (Komaki Airport), Kansai International Airport, Fukuoda Airport (Itatuke Airport, Nagasaki Airport.
Grades Dan Standar Yang Dikehendaki Konsumen
Uraian secara lengkap untuk informasi ini, misalnya mengenai warna, ukuran (panjang dan besar) untuk wortel sangat terbatas. Untuk lobak, ada tigas jenis ukuran yang beredar di pasar Jepang. Yang pertama adalah yang disebut tipe 2L, yang mempunyai berat sekitar 1.3 kg per buah dan bisanya terdapat 8 buah untuk setiap ukuran 10 kg kardus. Tipe yang kedua adalah tipe L, beratnya berkisar antara 1.0 - 1.3 kg dan biasanya terdapat 10 buah dalam kardus yang sama. Yang ketiga adalah tipe M yang mempunyai kisaran berat antara 0.7 - 1.0 kg dan terdapat 12 buah dalam setiap kardus.
Tariff Rates
Sesuai dengan petunjuk dalam Tariff Rates Schedule, Japanese Finance Ministry, 1995, wartel dan lobak dari Indonesia dikenakan tarif sebesar 5 %.Bagi negara-negara yang tidak termasuk anggota WTO dikenakan tarif sebesar 10 %.
Prospek Ekspor Dari Indonesia
Mengingat produksi wortel di Indonesia sangat baik dan petani kita sudah berpengalaman dalam budidaya wortel, maka terbuka kemungkinan untuk mengarahkan ekspor wortel kita ke Jepang. Untuk itu memang harus dilakukan penelitian akan kriteria/karakteristik yang dikehendaki oleh konsumen Jepang. Khususnya pada saat ini, wortel dan lobak belum termasuk daftar sayuran yang dilarang untuk diimp sayuran yang dilarang untuk diimpor dari Indonesia, sehingga lebih mempermudah proses ekspor komoditi tersebut ke Jepang.
Pada tahun 1993, luas areal pertanaman wortel adalah 15.558 ha dimana hampir separuhnya ada di Jawa, dengan total produksi wortel segar sebesar 201.332 ton. Dari jumlah tersebut yang diekspor baru sejumlah 3.034 ton dengan nilai US$ 402.825. Daerah penghasil utama wortel adalah Jawa Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Reference:
Agrobis, 2002. “Pengemasan Sayur Untuk Ekspor” No. 499 Minggu I Desember 2002.
George N. Agrios, 1996. “ Ilmu Penyakit Tumbuhan” Gajah Mada Universitas Press, Yogyakarta.
Laporan Bulanan Dinas pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Bondowoso Desember 2004
Nur Berlian dan Estu Rahayu, 2000. “ Wortel dan Lobak” Penebar Swadaya, Jakarta.
Philip Kotler, 2000. “Manajemen Pemasaran” PT. Prenhallindo, Jakarta.
Rukmana, Rahmat. 1995 Bertanam wortel. : Kanisius Yogyakarta,
Taufik, R. 2004. Laporan PKL Politeknik Negeri Jember
Read more.....
Umum
1.1Sejarah Singkat
Wortel (Daucus carrota) dikenal hampir di setiap negara termasuk Indonesia. Sayuran ini cukup popular di kalangan masyarakat. Di hampir setiap daerah terutama wortel banyak dijual di pasar sehingga mudah di peroleh. Tak heran jika di tanah air, wortel lebih dikenal masyarakat dibandingkan dengan sayuran umbi lainnya misalnya lobak.
Wortel/carrots (Daucus carota L.) bukan tanaman asli Indonesia, berasal dari negeri yang beriklim sedang (sub-tropis) yaitu berasal dari Asia Timur Dekat dan Asia Tengah. Ditemukan tumbuh liar sekitar 6.500 tahun yang lalu. Rintisan budidaya wortel pada mulanya terjadi di daerah sekitar Laut Tengah, menyebar luas ke kawasan Eropa, Afrika, Asia dan akhirnya ke seluruh bagian dunia yang telah terkenal daerah pertaniannya, selanjutnya berkembang ke Eropa, Afrika Utara, Amerika Selatan dan Amerika Utara. Kalangan Internasional menyebutnya Carrot.
Wortel merupakan tanaman sayuran umabi semusim berbentuk semak. Sayuran ini dapat tumbuh sepanjang tahun, penghujan maupun kemarau. Wortel memiliki batang pendek yang hampir tidak tampak. Akarnya berupa akar tunggang yang berubah bentuk dan fungsi menjadi bulat dan memanjang yang selanjutnya dinamakan umbi. Bagian umbi inilah yang dimanfaatkan untuk konsumsi makanan sehari-hari.
1.2Sentra Penanaman
Di Indonesia budidaya wortel pada mulanya hanya terkonsentrasi di Jawa Barat yaitu daerah Lembang dan Cipanas. Namun dalam perkembangannya menyebar luas ke daerah-daerah sentra sayuran di Jawa dan Luar Jawa. Berdasarkan hasil survei pertanian produksi tanaman sayuran di Indonesia (BPS, 1991) luas areal panen wortel nasional mencapai 13.398 hektar yang tersebar di 16 propinsi yaitu; Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bali, NTT, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian Jaya.
1.3Taksonomi Tanaman Wortel
Dalam dunia tumbuhan, klasifikasi tanaman wortel selengkapnya adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Klas : Angiosspermae
Subklas : Dycotyledoneae
Ordo : Umbelliferae/Apiaceae/Ammiaceae
Genus : Daucus
Spesies : Daucus carrota
1.4 Kandungan Gizi Wortel
Umbi wortel berwarna kuning kemerahan yang disebabkan oleh kandungan karoten yang tinggi, yakni suatu senyawa kimia pembentuk vitamin A atau provitamin A, kulitnya tipis, memiliki rasa manis dan renyah. Wortel memiliki kandungan gizi yang banyak diperlukan oleh tubuh terutama sebagai sumber vitamin A. Dibandingkan dengan sayuran lainnya, nilai vitamin A wortel 12.000 SI, nilai ini lebih rendah dari daun pepaya 18.250 SI, dan daun singkong 13.000 SI.
Selain vitamin A, wortel mempunyai kandungan gizi yang lain Tabel 1 mencantumkan komposisi gizi wortel yang disusun Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI.
1.5 Tipe dan varietas yang dibudidayakan
Wortel dapat dibedakan menurut panjang umbinya menjadi 3 macam, yakni wortel yang berumbi pendek, berumbi sedang, dan berumbi panjang.(Nur Berlian A.V. dan Estu R.,2000)Secara lebih spesifik wortel di Belanda di kelompokkan berdasarkan bentuk dan kegunaan sebagaimana table 2.
PT. RIAN Divisi Jampit sekarang membudidayakan 3 type yaitu type nantes dengan varietas Newton dan nevis, type berlikum dengan varietas Bradford dan type flakee dengan varietas kamaran.Selain type dan varietas tersebut, pernah pula dibudidayakan 4 type lainnya yaitu type chantenee dengan varietas Carson, type paris dengan varietas parmex, type amsterdamse bak dengan varietas mokum dan type baby dengan varietas mignon.
Varietas yang dibudidayakan tersebut merupakan varietas yang sesuai dengan kondisi iklim dan struktur tanah di Jampit karena sebelum diusahakan dalam skala besar di lahan telah dilakukan uji coba di lahan R&D. Kesesuaian tersebut dapat dibuktikan dengan resistannya varietas tersebut terhadap hama dan penyakit yang ada seerta hasil yang optimal.
Iklim Dan Kondisi Tanah Sebagai Syarat Tumbuh
Unsur-unsur yang berperan dalam pertumbuhan tanaman wortel meliputi curah hujan, temperatur, dan ketinggian tempat, kelembaban, sinar matahari dan angin.
a.Curah Hujan
Tanaman wortel membutuhkan air yang banyak dalam pertumbuhannya. Kebutuhan air secara alami dapat dipenuhi dari air hujan. Air yang berlebih menyebabkan tanaman mudah terserang penyakit dan sebaliknya kekurangan air menyebabkan tanaman kering dan akhirnya mati.
Berdasarkan penggolongan Schmid-Ferguson, iklim yang cocok untuk pertumbuhan tanaman wortel adalah iklim A (sangat basah), B (basah), dan C (agak basah). Curah hujan di afdeling Jampit rata-rata 1857 mm/tahun dengan bulan basah selama 10 bulan dan bulan kering selama 2 buln. Kondisi tersebut termasuk iklim B berdasarkan penggolongan Schmid-Ferguson. Curah hujan 6 tahun terakhir sebagai berikut:
b.Temperatur dan Ketinggian
Tanaman wortel akan tumbuh dengan optimal pada daerah bertempetatur rendah. Oleh karenanya lebih cocok di tanam di daerah dataran tinggi, yakni daerah yang mempunyai ketinggian lebih dari 700 m di atas permukaan air laut. Namun demikian wortel dapat ditanam di daerah yang lebih rendah misalnya 400 m di atas permukaan air laut tetapi hasil produksinya lebih sedikit. Tanaman wortel akan tumbuh dengan optimal pada ketinggian 1200-1500 m di atas permukaan air laut.
c.Kelembaban
Tanaman wortel memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kelembaban. Semakin tinggi letak tempat semakin tinggi pula kelembaban sehingga tanaman wortel tidak terlalu banyak penguapan. Begitupun sebaliknya, semakin rendah letak tempat semakin rendah pula kelembaban dan akan banyak sekali penguapan.
d.Sinar matahari
Pada pertumbuhannya, tanaman wortel membutuhkan sinar matahari secara penuh (tidak ternaungi) sebagai sumber energi untuk pembentukan gula melalui proses fotosintesis dan pembentukan umbi tanaman. Tanaman yang kurang sinar matahari pertumbuhannya akan terhambat dan memanjang.
e.Angin
Angin membantu tanaman dalam melakukan penyerbukan. Angin dengan kisaran kecepatan 19-35 km/ jam dapat menerbangkan serbuk sari. Angin menjadi sangat penting perannya bagi budidaya tanaman wortel yang diambil benihnya
f.Kondisi tanah
Menurut klasifikasinya, beberapa jenis tanah yang sesuai untuk budidaya tanaman wortel antara lain regosol, latosol, dan andosol dengan kisaran pH 5,5-6,5.
Berdasarkan data analisis tanah, jenis tanah di Jampit adalah regosol, struktur tanah remah, tekstur lempung berpasir dengan prosentase pasir lebih banyak dan sedikit debu. Tanah ini banyak mengandung kalium dengan pH tanah 5,5-6. Topografi lahan datar yang berada di lembah gunung dengan lapisan olah tanah 4 sampai 5 meter.
Keadaan iklim menurut klasifikasi Schmid-Ferguson termasuk type B (basah) dengan 10 bulan basah (Oktober-Juli) dan 2 bulan kering (Agustus-September). Rata-rata curah hujan untuk 6 tahun terakhir (1997-2002) adalah 1857,5 mm/tahun. Temperatur minimum 50C dan maksimiu 200C. Kelembaban udara berkisar antara 90%-95%.
Pedoman Teknis Budidaya
Proses Budidaya Wortel
3.1.1Benih
Tanaman wortel diperbanyak dengan bijinya, Biji untuk penanaman dikenal dengan istilah benih. Benih yang berkualitas tinggi merupakan langkah awal peningkatan produksi. Benih wortel dapat diperoleh dengan 2 jalan yakni membeli dari toko pertanian dan menyiapkan sendiri melalui proses penyerbukan, tanaman dipelihara hingga berbiji untuk diambil benihnya.
Pada budidaya wortel yang dilakukan PT. RIAN Divisi Jampit benih diperoleh dengan jalan membeli. Pembelian dilakukan secara import dari industri benih BEJO ZADEN B.V yang berlokasi di Warmenhuizen Holland. Benih yang diimport tersebut telah diujicoba oleh bagian Research and Development PT. RIAN Divisi Jampit dan terbukti bermutu tinggi. Hal ini terbukti dengan tingginya daya kecambah yang mencapai 98%, tahan terhadap hama dan penyakit serta memberikan hasil produksi yang tinggi.
Menurut Nur Berlian V.A dan Estu R (2000) kebutuhan benih wortel per hektar sebanyak 300.000-400.000 biji atau 1,5 kg-3 kg dengan benih local. Menurut Bejo Zaden B.V Guide Book (TK Tunas Harapan) kebutuhan benih wortel perhektar sebanyak 1 juta-1,5 juta biji untuk type nantes varietas Newton dan 500 ribu- 1 juta biji untuk type flakee varietas kamaran. Kebutuhan benih pada budidaya yang dilaksanakan di PT. RIAN Divisi Jampit setiap hektarnya menggunakan 19 kemasan benih atau sebanyak 0,25 kg.
Benih yang diimport tersebut dikemas dalam bentuk kemasan berukuran 11,5 cm x 17 cm. Terbuat dari kertas minyak di bagian luar dan aluminium foil di bagian dalam. Dalam satu kemasan terdapat 25.000 biji dengan berat rata-rata 10,08 g per 1000 biji. PT. RIAN Divisi Jampit tidak memproduksi benih sendiri dengan jalan membiarkan tanaman hingga berbiji untuk di ambil benihnya karena akan memakan waktu, biaya dan tenaga yang lebih besar. Sedangkan benih import dapat diperoleh dengan mudah dan cepat. Selain itu terdapat suatu keyakinan bahwa benih generasi kedua memiliki perbedaan yang signifikan dalam hasil produksi dan ketahanan terhadap penyakit.
Pengolahan Tanah
a.Penggemburan
Keadaan fisik dan struktur tanah sangat berpengaruh pada pembentukan umbi wortel. Tanaman wortel memerlukan tanah yang berstruktur gembur dan mengandung bahan organic. Tanah yang keras akan sulit ditembus oleh akar sehingga bentuk wortel tidak lurus namun berbelok atau dapat pula bercabang dan kecil.
Pengolahan tanah bertujuan untuk menciptakan kondisi yang sesuai dengan yang dibutuhkan tanaman. Pada pengolahan tanah, struktur tanah dapat di perbaiki, sirkulasi udara menjadi lebih baik, lapisan tanah yang kaya humus dapat dibalik sehingga dapat digunakan oleh tanaman, pupa ulat tanah dan mikroorganisme patogen di dalam tanah dapat mati oleh panas sinar matahari.
Penggemburan tanah dilakukan dengan menggunakan traktor dengan kedalaman 30-40 cm Setelah lahan di bajak selanjutnya dilakukan pengapuran secara manual yang bertujuan membersihkan lahan dari gulma dan menghancurkan bongkahan tanah yang masih tersisa menjadi butiran.
b.Pembuatan bedengan
Tanah yang sudah digemburkan dibuat alur atau bedengan. Arah bedengan sebaiknya dibuat membujur dari timur ke barat, agar tanaman menerima sinar matahari sebanyak-banyaknya. Bedengan dibuat dengan lebar 140 cm, tinggi 30 cm, dan panjang menyesuaikan dengan kondisi lahan, biasanya sepanjang 100 m. Pada kanan dan kiri bedengan dibuat parit selebar 40 cm dengan kedalaman +25 cm. Parit ini berfungsi untuk saluran drainase serta memudahkan penanaman dan pemeliharaan.
Setelah bedengan terbentuk, bagian atas bedengan diratakan dengan alat sederhana yang terbuat dari papan yang memiliki system kerja meratakan permukaan. Hal ini dilakukan agar alat tanam dapat bekerja dengan mudah dan bedengan terlihat lebih rapi. Dalam I ha terdapat 58 bedengan.
Penanaman
a.Waktu tanam
Di Jampit wortel dapat ditanam sepanjang tahun. Di musim penghujan air dapat terpenuhi dari air hujan dan di musim kemarau air dapat diperoleh melalui system irigasi tetes. Tanaman wortel dapat ditanam secara tumpangsari namun di Jampit di tanam secara monokultur.
b.Cara penanaman
Benih wortel ditanam secara langsung tanpa disemai terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar akar tunggang tidak terputus sehingga penampilan wortel tetap lurus. Pertimbangan lain, karena ukuran benih cukup besar (1,6 mm-1,8 mm) sehingga tingkat kerusakan dan hilangnya benih di lahan sangat kecil. Benih ditanam menggunakan alat tanam (earth way). Alat tersebut dilengkapi dengan disc yang telah disesuaikan untuk menyemaikan benih wortel.
Prinsip kerja alat tersebut adalah membuat larikan sebagai penunjuk penanaman. Larikan tersebut memanjang sepanjang bedengan, dengan jarak antar larikan 20 cm sehingga dalam satu bedengan terdapat 4 larikan. Setelah larikan terbentuk maka dibuat lubang tanam dengan kedalaman 1,5 cm. Setelah lubang tanam tertutup benih tertanam, ditutup tanah dan ditekan. Tahapan kerja tersebut dapat dilakukan dalam satu kali jalan.
Penggunaan alat tersebut diawali dengan meletakkan benih pada kotak benih yang ada pada earth way dan mendorongnya. Benih akan tertanam secara otomatis. Semakin cepat laju alat maka jarak semai akan semakin lebar. Satu kemasan benih berisi 25.000 biji, dapat disemai pada 2 bedengan atau 8 larikan. Benih akan berkecambah pada umur 7-10 hari setelah tanam.
3.1.2Pemeliharaan
Pemeliharaan merupakan salah satu hal terpenting dalam budidaya wortel dalam rangka memperoleh hasil yang optimal. Pemeliharaan tanaman meliputi pengairan, pemupukan, penjarangan, penyiangan, dan pengendalian hama dan penyakit.
1.Pengairan
Tanaman membutuhkan air dalam proses prtumbuhannya termasuk wortel . Secara alami kebutuhan air dapat dipenuhi dari air hujan, namun di musim kemarau dimana ketersediaan air sangat terbatas maka diperlukan irigasi. Ketersediaan air yang kurang dan tidak tersedia secara kontinyu menyebabkan kracking pada umbi wortel terutama type nantes varietas nevis. Menurut Larry G. James (TT) irigasi pertanian memiliki fungsi sebagai berikut:
a.Mendinginkan tanah dan tanaman
Pada saat panas terik, suhu lingkungan sekitar tanaman khususnya tanah meningkat begitu pula dengan suhu tanaman. Akhir dari peningkatan suhu adalah penguapan baik tanah maupun tanaman. Untuk menjaga suhu tanah maupun tanaman stabil diperlukan irigasi.
b.Perlindungan dari embun es/fross
Pada saat terjadi fross, daun tanaman tertutup embun es, apabila dibiarkan mencair akibat panas matahari berakibat tanaman mati. Hal ini terjadi karena pada saat fross sitoplasma sel membeku lalu terkena sinar matahari. Suhu sitoplasma meningkat secara drastic akibatnya dinding sel pecah dan tanaman mati. Dengan irigasi terutama system springkel, tanaman yang terkena fross disiram sebelum matahari terbit sehingga embun es mencair sebelum matahari terbit. Oleh karena itu peningkatan suhu dalam sel meningkat secara perlahan sampai matahari terbit.
c.Memacu pertumbuhan vegetatif menunda pembuahan
Pada tanaman sayur berbentuk buah misalnya paprika (Capsicum autuum) tersedianya air yang melimpah mengakibatkan pertumbuhan vegetatif, sebaliknya air yang tidak kontinyu mempercepat pertumbuhan generatif.
d.Mengendalikan erosi yang disebabkan oleh angin
Kecepatan angin mampu menerbangkan butiran-butiran tanah, dengan adanya irigasi tanah menjadi basah dan lebih berat serta solid sehingga tidak mudah terbawa angin.
e.Mempercepat perkecambahan benih
Benih akan berkecambah dengan cepat pada tanah yang lembab dan agak basah.
f.Media penerapan bahan kimia
Melalui irigasi dapat pula dilakukan pemberian fungisida maupun pemberian unsur hara.
g.Pengendalian limbah cair
Melalui irigasi air tidak langsung menuju ke lahan melainkan melalui filter-filter terlebih dahulu sehingga air terbebas dari limbah.
Sistem irigasi yang digunakan PT. RIAN Divisi Jampit dalam budidaya tanaman wortel adalah irigasi tetes dimana air melalui pipa berdiameter + 1,5 cm yang dipasang memanjang, sepanjang bedengan. Air akan keluar dari lubang-lubang yang terdapat pada pipa/selang dalam bentuk tetes-tetes air. Dalam satu bedengan terdapat 2 buah pipa/selang.Menurut Yos Van Der Knaap, lahan seluas 1 ha membutuhkan 35 m3 air per hari atau 3,5 liter air/m2 dalam 1 hari.
Penyiraman dilakukan mulai benih di semai sampai menjelang panen sedangkan waktunya dapat dilakukan pagi atau sore hari tergantung dari sebagian besar kondisi tanah. Larry G. James (TT), terdapat tiga indikasi perlunya dilakukan penyiraman yaitu indikator tanaman, indikator tanah, dan teknik persediaan air. Indikator tanaman dapat dilihat dengan mudah misalnya tanaman layu dan berwarna pucat. Indikator tanah dapat dilihat apabila tanah mulai mongering dan tidak solid.
2.Pemupukan
Selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman memerlukan unsur hara yang dapat diperoleh dari pupuk. Pemupukan pada tanaman wortel dapat dibedakan menjadi 2 berdasarkan waktu pemberiannya yaitu pupuk dasar dan pupuk lanjutan. Menurut Nur Berlian V.A dan Estu R. (2000) pupuk yang diberikan saat tanam adalah pupuk kandangsebanyk 15 ton/ha, SP-36 sebanyak 100 kg/ha, urea sebanyak 100 kg/ha dan KCl sebanyak 30 kg/ha. Untuk mendapatkan produksi umbi yang sempurna tanaman diberi pupuk susulan/lanjutan. Pupuk lanjutan pertama pada umur 2 minggu setelah tanam berupa 50 kg urea. Pupuk lanjutan kedua diberikan pada umur 1-1,5 bulan berupa urea sebanyak 50 kg/ha dan KCl sebanyak 20 kg/ha. Pupuk diberikan dengan jalan ditabur membentuk larikan sepanjang bedengan berjarak 5 cm dari tanaman dan ditutup dengan tanah. Dosis pemupukan dapat berubah sesuai dengan kondisi tanah.
Pemupukan yang dilakukan PT. RIAN Divisi Jampit secara garis besar sama, terdapat pupuk dasar dan pupuk lanjutan. Pupuk dasar diberikan saat tanam terdiri dari pupuk kandang sebanyak 6 m3/ha dan SP-36 sebanyak 500 kg/ha. Pemberian pupuk dilakukan dengan cara menyebarkannya di permukaan bedengan secara merata dan menutupnya dengan tanah. Pupuk lanjutan menggunakan pupuk daun Topsil-D dengan dosis 10-30 gr/10 l air. Intensitas pemberian 1-2 kali seminggu. Pemberian pupuk dapat dilakukan bersama dengan pemberian fungisida dan insektisida.
3.Penyiangan
Gulma adalah tanaman lain yang tumbuh liar di sekitar tanaman. Dalam pertumbuhannya gulma menjadi kompetitor tanaman wortel dalam memperoleh air, cahaya matahari, dan unsur hara.
Penyiangan pertama dilakukan saat tanaman wortel berumur + 15 hari karena pada umur tersebut mulai dapat dibedakan antara tanaman wortel dengan gulma. Penyiangan perlu sekali dilakukan karena pada umur tersebut pertumbuhan gulma lebih cepat di banding pertumbuhan tanaman wortel. Penyiangan kedua dilakukan seiring dengan pertumbuhan gulma. Di bagian tepi, penyiangan dilakukan menggunakan cangkul dan di bagian tengah bedengan digunakan alat sederhana berupa tabung berlapis spon yang terus menerus dibashi herbisida. Herbisida yang sering digunakan adalah Round Up dengan dosis 2 1/1000 liter air /ha. Tabung yang digunakan berdiameter 10 cm dengan panjang + 15 cm. Tabung tersebut mampu bergerak memutar akibat dorongan dan spon yang melapisi tabung yang dibashi dengan herbisida akan membasahi gulma yang tumbuh di antara tanaman wortel yang berbentuk larikan.
4.Penjarangan
Tanaman wortel yang berumur + 1 bulan dengan tinggi + 5 cm perlu dilakukan penjarangan yang bertujuan memberikan jarak antar tanaman sehingga umbi wortel dapat terbentuk dengan sempurna. Dalam penjarangan tanaman yang pertumbuhannya kurang baik dan tumbuhnya terlalu dekat dicabut. Menurut Nur Berlian V.A dan Estu R. (2000) jarak antar tanaman dalam baris menjadi 5-10 cm namun pada Divisi Jampit jarak antar tanaman + 5 cm.
5.Pengendalian Hama Dan Penyakit
Menurut Nur Berlian V.A dan Estu R. (2000) hama yang sering mengganggu tanaman wortel adalah kutu daun (Semiaphis dauci), manggot-manggot (Psila rosae), ulat tritip (Plutella maculipennis), kumbang Bothymus gibbosus, ulat Anagrapha falafera, kumbang Listronatus oregoneuses dan ulat Crocidolomia binotalis. Sedangkan penyakit yang biasa menyerang tanaman wortel adalah bercak daun Cescospora, hawar daun Altenaria dauci dan busuk umbi Altenaria radicina.
Menurut Yos Van Der Knaap penyakit yang menyerang tanaman wortel adalah Altenaria sedangkan hama yang menyerang adalah kutu daun (Aphid), ulat (Caterpillar) dan ulat tanah.Pada budidaya yang dilakukan di Jampit, penyakit yang menyerang tanaman wortel adalah hawar daun. Penyakit ini disebabkan jamur Altenaria dauci (Kuhn)Groves et Skolko. Gejala yang muncul yaitu pada daun terjadi bercak-bercak kecil berwarna coklat tua sampai hitam dengan tepi kuning. Bercak membesar dan bersatu hingga mematikan daun. Infeksi pada tangkai daun menyebabkan bercak memanjang yang berwarna seperti karat.
Pengendalian penyakit tersebut dapat digunakan fungisida dengan bahan aktif Thiram, Iprodion, dan Metalaxyl. Thiram tidak bisa diperoleh di Indonesia. Fungisida yang terbukti efektif adalah Rovral 50 WP dengan bahan aktif Iprodion. Dosis yang digunakan 0,5 gr/l atau 400-800 l/ha. Fungisida ini bersifat kuratif. Fungisida kedua adalah Ridomil Zeta MZ 8/64 WP dengan bahan aktif metalaxyl. Dosis yang digunakan 3-5 gr/l atau 400-800 l/ha. Fungisida ini bersifat kuratif dan untuk hasil optimal perlu dicampur dengan fungisida berbahan aktif mankozeb. Fungisida ketiga adalah Vondozep dengan bahan aktif mankozeb. Dosis yang digunakan 1-2 gr/l atau 400-800/ha. Fungisida ini bersifat preventif.
Hama yang dijumpai mengganggu adalah ulat Crocidolomia binotalis. Ulat kecil dengan panjang + 18 mm berwarna hijau. Menyerang daun bagian dalam dengan meninggalkan bekas gigitan sehingga daun berlubang. Gangguan yang ditimbulkan hama tersebut sangat kecil. Pengendalian hama ini menggunakan insektisida Meothrin 50 EC. Dosis yang digunakan 2-4 ml/liter atau 0,5-1 liter/ha. Insektisida ini bekerja sebagai racun kontak dan lambung.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pestisida adalah caranya sehingga tidak membahayakan jiwa. Selain itu penggunaan pestisida harus tepat waktu, tepat dosis, dan tepat sasaran. Tepat waktu berarti pemberian pestisida pada waktu yang tepat yaitu di pagi hari dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 10.00 WIB atau pada sore hari pukul 15.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Waktu antara pukul 10.00-15.00 WIB, suhu udara tinggi sehingga pestisida akan dengan mudah menguap atau tidak dapat terserap olehta secara sempurna karena stomata mengecil untuk mengurangi penguapan (untuk pestisida sistemik). Tepat waktu berati pula tepat dengan cara kerja pestisida kuratif atau preventif dan kontak atau sistemik. Tepat sasaran berarti pestisida tersebut harus efektif mengendalikan hama dan penyakit. Tepat dosis berarti sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Dosis yang terlalu tinggi dapat membahayakan keseimbangan ekosistem karena predator alami akan ikut mati sedangkan dosis yang terlalu rendah menyebabkan pestisida kurang efektif dan harus digunakan berulang kali. Keduanya merupakan suatu pemborosan biaya dan tenaga. Hal terakhir yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pestisida adalah 2 minggu menjelang panen pestisida tidak boleh digunakan lagi untuk menghindari keracunan pada konsumen. Pada musim penghujan penggunaan pestisida ditambahkan perekat dan perata. Perekat dan perata yang biasa digunakan adalah Agristick dengan dosis 0,25-0,5 ml/liter air.
Panen Dan Pasca Panen
1.Panen
Ciri-ciri tanaman wortel sudah saatnya dipanen adalah sebagai berikut:
a.Tanaman wortel yang telah berumur ± 3 bulan sejak sebar benih atau tergantung varietasnya. Varietas Ideal dipanen pada umur 100-120 hari setelah tanam (hst). Varietas Caroline 95 hst., Varietas All Season Cross 120 hst., Varietas Royal Cross 110 hst., Kultivar lokal Lembang 100-110 hst.
b.Ukuran umbi telah maksimal dan tidak terlalu tua. Panen yang terlalu tua (terlambat) dapat menyebabkan umbi menjadi keras dan berkatu, sehingga kualitasnya rendah atau tidak laku dipasarkan. Demikian pula panen terlalu awal hanya akan menghasilkan umbi berukuran kecil-kecil, sehingga produksinya menurun (rendah).
Khusus bila dipanen umur muda atau "Baby Carrot" dapat dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:
a.umur panen sekitar 50-60 hari setelah tanam.
b.ukuran umbi sebesar ibu jari tangan, panjangnya antara 6-10 cm dan diameternya sekitar 1-2 cm. Dalam pemanenan hal yang harus diperhatikan adalah umur panen dan cara panen. Pemanenan yang tidak tepat waktu menyebabkan mutu produk akan menurun. Misalnya sayuran yang di panen terlalu tua maka komoditi tersebut tidak disukai konsumen dan berharga rendah.
Pada tanaman wortel terdapat dua fase pertumbuhan. Pertumbuhan vegetatif berakhir pada saat wortel berumur 70 hari. Setelah umur tersebut wortel masuk pada masa kematangan (maturity). Pada masa tersebut karakter bentuk dan ukuran umbi mulai terbentuk pada tiap-tiap varietas, kadar gula meningkat, terbentuk karakter rasa dan aroma serta lapisan kulit menjadi lebih cerah. Pada varietas Newton dapat di panen pada umur 100 hari dan varietas nevis dapat di panen pada umur 105 hari.
Cara panen tanaman wortel adalah dengan jalan mencabut batangnya. Pencabutan dilakukan dengan hati-hati agar umbi tidak patah, lalu dimasukkan dalam keranjang. Dalam memasukkan dalam keranjang haruslah hati-hati agar wortel tidak saling berbenturan satu sama lain.
2.Pasca panen
Umbi yang telah di panen selanjutnya di otong tangkainya sepanjang + 5 cm, dibersihkan dari batang daun yang tua dan kurang sehat. Hasil penelitian PT. DIF Nusantara, wortel yang disimpan dengan sedikit batang mampu bertahan lebih lama daripada wortel yang disimpan tanpa batang daun.
Tahap selanjutnya adalah pencucian yang menggunakan bak dengan air yang terus mengalir. Pencucian dilakukan menggunakan kain yang halus sehingga tidak melukai kulit wortel. Pencucian ini dilakukan dengan tujuan mempercantik penampilan wortel. Hasil penelitian yang dilakukan di Belanda, wortel akan lebih tahan lama apabila disimpan dalam cold storage pada suhu 1-2O C tanpa dicuci.
Kegiatan selanjutnya adalah sortasi, grading, dan sizing. Sortasi adalah pemilihan wortel yang baik dan pemisahan dari yang jelek. Grading adalah proses sortasi berdasarkan kualitas dan sizing adalah pengelompokan produk berdasarkan ukuran.
Pada wortel yang tidak termasuk mutu I dan mutu II dikategorikan dalam mutu III dan Baby. Masing-masing mutu ditempatkan dalam keranjang dan tersusun rapi. Khusus mutu III dan Baby dipasarkan melalui PT.DIF Nusantara dengan system konsinyasi. Kedua mutu tersebut terbukti dapat terjual namun memerlukan rentang waktu yang lebih lama jika dibandinagkan dengan mutu I dan II. Di Belanda, wortel yang telah melalui tahapan sortasi, grading dan sizing ditempatkan dalam keranjang kayu. Pada dasarnya keduanya sama namun keranjang yang terbuat dari plastik memiliki keunggulan struktur kuat dan tahan lama, ringan, interior halus dan dapat di cuci.
Walaupun telah dipanen, buah dan sayur tetap melanjutkan proses hidup seperti respirasi dan transpirasi, begitu pula wortel. Respirasi adalah suatu proses oksidasi biokimia pada sel yang hidup. Respirasi menghisap O2 dan mengeluarkan CO2 serta panas, dan merupakan kebalikan dari fotosintesis. Wortel rata-rata mempunyai kandungan air 75-90%. Kehilangan kandungan air sebanyak 5-10% dapat menyebabkan hilangnya rasa. Kedua hal tersebut perlu diperhaitkan untuk memperoleh mutu yang baik walaupun wortel tergolong sayuran yang memiliki daya respirasi rendah. Untuk menghambat kedua proses tersebut perlu dilakukan Pre Cooling, dengan meletakkan pada Cold storage dengan suhu 0,5-10C. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh PT. RIAN Divisi Jampit karena tenaga listrik tidak tersedia secara kontinyu. Wortel yang telah melalui tahapan sortasi, grading dan sizing serta ditempatkan dalam keranjang plastik kemudian ditimbang. Hasil timbangan di catat dalam surat bukti pengiriman sayur. Selanjutnya wortel dikirim ke PT. DIF Nusantara dengan mobil yang dilengakapi cold box.
3.1.3 Rotasi lahan
Rotasi lahan atau pergiliran lahan adalah pengaturan susunan urut-urutan lahan dalam bentuk blok-blok yang sistematis pada suatu tempat dalam luasan areal tertentu. Tujuan rotasi lahan yang dilakukan oleh PT. RIAN Divisi Jampit adalah sebagai berikut:
a.Menjaga struktur dan kesuburan tanah
Suatu tanaman memrlukan unsure hara tertentu dalam jumlah lebih besar dan menyisakan unsur hara lainnya yang diperlukan oleh tanaman lain. Adanya pergiliran lahan, unsur hara pada tiap-tiap blok dapat terjaga keseimbangannya.
b.Menjaga keseimbangan ekosistem.
Budidaya satu jenis tanaman pada satu lahan secara terus menerus dapat menyebabkan pertumbuhan hama dan penyakit tidak terkendali.
c.Mengendalikan hama dan penyakit secara alami.
Budidaya satu jenis tanaman pada satu lahan secara terus menerus dapat menyebabkan pertumbuhan hama dan penyakit tidak terkendali, dengan rotasi lahan populasi hama dan penyakit akan terkontrol secara alami karena tumbuhan yang tumbuh berganti atau hama dan penyakit tersebut kehilangan inangnya.
Manajemen Pemasaran
A.Manajemen Pemasaran PT. RIAN
Menurut Kotler (2000), pemasaran adalah suatu proses social yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain.
Hasil panen yang dihasilakn oleh PT. RIAN Divisi Jampit selanjutnya dipasarkan melalui PT.DIF Nusantara dengan system konsinyasi.
Manajemen Pemasaran PT. DIF Nusantara
Kegiatan pemasaran dilakukan oleh PT. DIF Nusantara yang berlokasi di Denpasar Bali. PT. DIF Nusantara merupakan anak perusahaan dari PT. JORO yang bergerak di bidang pemasaran hortikultura. Kegiatan pemasaran yang dilakukan PT. DIF Nusantara tidak terbatas pada penjualan sayuran saja melainkan juga beberapa jenis buah dan bunga seperti heliconia.
Suplier PT. DIF Nusantara tidak hanya berasal dari PT. RIAN Divisi Jampit untuk sayuran dan Divisi Heliconia untuk bunga. Daftar supplier dan konsumen PT. DIF Nusantara sebagaimana tabel 6 dan 7 terlampir. Wortel yang dikirim oleh PT. RIAN Divisi Jampit menggunakan kendaraan yang dilengkapi cold box di timbang ulang kemudian dimasukkan cold storage dengan suhu 6-7 0C. Proses penimbangan ulang yang dilakukan hanya sebagai cara untuk memeriksa ulang berat sayuran yang bersangkutan. Pengemasan baru dilakukan saat menerima order dari konsumen.
Pengemasan
Pengemasan dilakukan pagi hari setelah order diterima pada hari sebelumnya. Pengemasan wortel dapat dibedakan menjadi 2 bentuk. Bentuk pertama dikemas dalam plastik dan di press yang dikenal dengan kemasan “pepito” berisi 1 kg wortel. Bentuk kedua menggunakan styrofoam yang dibungkus dengan plastik film atau wraping, berisi 1 kg wortel pula. Pengemasan ini bertujuan memperindah penampilan dan mengurangi transpirasi.
Menurut Agrobis (2000), terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan kemasan yaitu:
a.Desain harus menarik, informative, dan memberikan image yang baik, kuat, namun mudah di buka.
b.Informasi dan pelabelan, jelas berisi perihal perusahaan, macam produk, cara penyimpanan, dll.
Menurut Nur Berlian V.A dan Estu R. (2000), pengemasan merupakan suatu cara untuk melindungi atau mengawetkan wortel,juga memperlancar transportasi dan distribusi ke konsumen. Kemasan yang biasa digunakan dibedakan menjadi 2 yaitu:
a.Kemasan karung plastik untuk tujuan ke pasar induk atau grosir.
b.Kemasan film plastik sehingga tampil baik, rapi, dan menarik untuk keperluan dijual di supermarket.
Perkembangan Ekspor Wortel
Jepang merupakan target pasar yang baik untuk komoditas sayur-sayuran di masa yang akan datang. Hal ini terlihat dari tingginya impor komoditas tersebut selama 25 tahun terakhir. Wortel dan lobak misalnya, walaupun produksi dalam negerinya cukup baik, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pada tahun 1993, produksi wortel dan lobak adalah sebesar 709.000 ton akan tetapi Jepang masih mengimpor komoditi tersebut sebesar 9.266 ton, dengan nilai ¥ 677 million. Pada tahun 1994, volume impor malah meningkat menjadi 18.212 ton, dengan nilai ¥ 1.2 billion.
Pada saat ini negara pengekspor wortel dan lobak ke Jepang adalah Taiwan, China, USA, New Zealand and Australia. Indonesia belum berpartisipasi banyak dalam mensuplai komodtitas tersebut ke Jepang. Pada tahun 1993, volume ekspor Indonesia terhadap komoditi tersebut hanya 7 ton, dengan nilai ¥ 1.3 million, tetapi pada tahun 1994 ekspor Indonesia tidak ada sama sekali. Hal ini merupakan fenomena yang kurang baik bagi perdagangan wortel kita mengingat produksi wortel Indonesia sangat baik.
Produksi Dalam Negeri
Luas areal tanam untuk wortel di Jepang terus berkurang dari tahun ke tahun.berkurang dari tahun ke tahun. Kalau pada tahun 1987 luas arealnya adalah 23.000 ha maka pada tahun 1992 luas arealnya hanya 2.300 ha. Namun demikian produksi wortel dalam negeri tidak mengalami penurunan bahkan, sebaliknya. Pada tahun 1987 produksi wortel dalam negeri sebesar 669.300 ton, sedangkan pada tahun 1992 produksinya naik menjadi 690.300 Mts. Ini berarti bahwa ada peningkatan produksi untuk wortel. Bahkan pada tahun 1993 produksi dalam negerinya meningkat menjadi 709.000 ton.
Berbeda dengan lobak, luas areal tanam untuk komoditi ini mengalami penurunan tetapi tidak sedrastis pada tanaman wortel. Demikian juga produksinya mengalami penu-runan dari tahun ke tahun selama periode 1987-1992. Total produksi lobak pada tahun 1992 (197.700 ton) turun sebesar 8,7 % dibandingkan dengan total produksi dalam negeri tahun 1987.
Konsumsi Dalam Negeri
Konsumsi dalam negeri dihitung dengan mengurangi total volume ekspor dariproduksi dalam negeri dan impor. Dari data statistik perdagangan pertanianJepang terlihat bahwa ekspor wortel dan lobak dimulai pada tahun 1994. Oleh karena data produksi pada tahun tersebut tidak tersedia maka angka konsumsi dalam negeri akan dihitung berdasarkan data pada tahun 1992. Pada tahun 1992 produksi dalam negeri wortel dan lobak adalah 888.000 ton. Sedangkan total import untuk komoditas tersebut pada tahun yang sama adalah 2.967 ton. Karena kegiatan ekspor untuk komoditas tesebut pada tahun 19 pada tahun 1992 belum ada, maka konsumsi domestik untuk wortel dan lobak adalah 890.967,4 ton. Jika jumlah penduduk jepang pada tahun tersebut sebanyak 124.452.000 orang, maka konsumsi per kapita untuk komoditas tersebut adalah 7.2 kg.
Sejarah Impor
Pada tahun 1994, Jepang mengimpor sebanyak 18.212,5 ton.wortel dan lobak, baik dalam bentuk segar maupun dalan bentuk dingin, dengan total nilai ¥ 1,2 milyar. Jika dibandingkan dengan total impor pada tahun 1990, maka angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 400 persen. Volume importnya memangpengalami penurunan sebesar 7.039 ton pada tahun 1992 dari angka tahun 1991 (70.3%), tetapi sejak saat itu volume impor bertambah setiap tahun.
Demikian juga untuk nilai impornya, mengalami tren yang sama dengan volume impor. Kalau pada tahun 1990 nilai impornya mencapai ¥ 331,3 juta, maka pada tahun 1991 nilainya bertambah menjadi ¥ 713,5 juta. Nilai impor turun drastis sebesar & yen; 477,5 juta (67.1%) pada tahun 1992 dibandingkan dengan keadaan tahun 1991,tetapi sejak saat itu nilai impor naik sebesar ¥ 981.9 juta.
Market Share Impor
Taiwan adalah pengekspor utama wortel dan lobak ke Jepang, walaupun kontribusinya ke negara tersebut berfluktuasi selama lima tahun terakhir. Pada tahun 1990, Taiwan menguasai hampir seluruh pemasaran wortel dan lobak di pasar Jepang dengan ‘market share’ sebesar 95.4 %. Pada tahun 1994, walaupun dominasi Tailand pun dominasi Taiwan masih tinggi namun market share negara ini terhadap wortel dan lobak hanya sebesar 52 %. China menunjukkan kemajuan yang pesat dalam perdagangan wortel dan lobak ke Jepang. Selama periode 1990-1993 kontribusinya di pasar Jepang masih sangat rendah, yaitu sebesar 1 %. Namun pada tahun 1994, market share negara ini telah mencapai 29 persen. New Zealand and USA adalah negara terbesar ketiga dan keempat mensuplai wortel dan lobak ke Jepang, masing dengan market share sebesar 7.2 % dan 6.2 % pada tahun 1994.
Indonesia baru mulai mengekspor wortel dan lobak ke Jepang pada tahun 1993 sebanyak 7 ton dengan total nilai sebesar ¥ 1,35 juta. Sayangnya kegiatan ekspor initerhenti pada tahun-tahun selanjutnya. Hal ini perlu dirintis lagi mengingat Indonesia adalah negera penghasil wortel dan lobak yang baik. Memang saingan kita adalah negara-negara yang maju, namun bukan tidak mungkin Indonesia dapat menembus pasar Jepang.
Musim Impor
Musim sangat penting diperhatikan bila ingin terjun dalam bisnis sayur-sayuran di pasar Jepang karena hal ini sangat berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi dalam negeri negara Sakura tersebut. Walaupun dari statistik perdagangan terlihat bahwa kegiatan impor wortel dan lobak ini berjalan sepanjang tahun namun ada bulan-bulan tertentu dimana kegiatan impornya sangat intensif sehingga volume impornya pada periode tersebut lebih tinggi dari bulan lainnya.
Pada tahun 1994, total volume impor dari wortel dan lobak adalah 18,212 ton. Dari jumlah tersebut, sebanyak 23.6 % nya disupplai pada bulan Desember. Hal ini disebabkan karena musim dingin pada bulan tersebut yang menyebabkan produksi sayur-sayuran di Jepang terhenti sama sekali. Pada bulan Februari volume impornya sangat rendah, yaitu hanya sebesar 0.01 % dari total impor pada tahun1994 tersebut.
USA, Taiwan, Australia and New Zealand adalah negara yang paling konsisten melakukan kegiatan ekspor selama tahun 1994 . USA (kecuali Januari) dan Taiwan (kecuali Februari) mengeskpor wortel dan lobak sepanjang tahun. New Zealand absen pada bulan Januari dan Oktober dan Australia absen pada bulan Januari dan Februari. Korea Selatan mengekspor wortel dan lobak ke Jepang hanya pada bulan Desember.
Sistem Distribusi
Umumnya semua produk-produk pertanian yang di impor ke Jepang (termasuk wortel dan lobak) melalui sistem pasar induk. Salah satu perusahaan yang bergerak dalam hal ini adalah Seiko yang biasanya membeli produk-produk pertanian melalui importir dan kemudian menjualnya lagi ke pasar induk yang lebih kecil. Dari sini kemudian produk tersebut masuk ke distributor, supermarket dan ke retailer.Beberapa importer menjual produknya langsung ke supermarket.
Harga
Harga di Tingkat Pasar Induk Harga rata-rata per tahun komoditas wortel dan lobak di tingkat pasar induk adalah sebesar ¥122/kg pada tahun 1994, ¥2 lebih rendah dibanding pada tahun 1993. Analisa terhadap perkembangan harga rata-rata di tingkat pasar indukselama tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa secara umum, harga umumnya tinggi selama July-September, yaitu pada saat supplai rendah.
Harga rendah selama periode Oktober-Desember, yaitu pada saat supplai tinggi. Harga rata-rata tahunan wortel ti tingkat pasar induk naik dari ¥123/kg pada tahun 1993 ke ¥168/kg pada tahun 1994. Harga ini lebih stabil dibandingkan dengan harga lobak, tetapi harga ini sedikit tinggi pada bulan Agustus dan September.
3.1Harga per Unit
Harga rata-rata per unit satuan untuk wortel dan lobak yang diimpor selama empat tahun terakhir adalah ¥ 71.9/kg. Pada tahun 1994, hara rata-rata per unit paling tinggi untuk wortel dan lobak USA, diikuti dengan wortel dan lobak Canada, Australia, Vietnam, Singapore, Taiwan dan China yaitu berturut-turut senilai ¥ 153.6/kg, ¥ 90.9/kg, ¥ 83.9/kg, ¥ 81.7/kg, ¥66.2/kg dan ¥45.7/kg .Untuk tahun 1994, rata-rata harga bulanan per unit satuan tertinggi pada bulan, yaitu sebesar ¥ 199.1/kg. Hal ini semata-mata karena pada bulan tersebut hanya USA yang mengekspor wowrtel ke Jepang dan dari keterangan sebelumnya terlihat bahwa harga wortel USA paling tinggi. Namun, secara umum harga per unit untuk komoditas tersebut tinggi selama periode Juli - Oktober (Gambar 7). Hal ini disebabkan karenaebabkan karena pengaruh iklim/ musim dingin yang akan segera tiba pada bulan tersebut dan produksi dalam negeri biasanya sangat rendah pada bulan-bulan tersebut.
Peraturan Impor
Biasanya sayuran segar dijual/ekspor segera setelah waktu panen, sehingga sangat rawan sebagai host dari berbagai penyakit ataupun serangan binatang lainnya. Oleh karena itu untuk jenis komoditas ini perlu penanganan pasca panen yang lebih intensif dan teliti. Bagi negara-negara impotir, kesegaran merupakan prioritas utama yang dilihat pada saat tiba di pelabuhan, baru kemudian pengecekan dilakukan terhadap beberapa faktor seperti : negara asal, nama/perusahaan importir/eksportir, ‘disinfection treatment’, dan (jika ada) prosedur ekspor dari negara asal.
Sampel dari tiap-tiap komoditi secara acak diambil dan diperiksa apakah ada mengandung penyakit atau binatang lainnya. Jika ditemukan hal-hal yang mencurigakan maka akan dilakukan tindakan : desinfeksi atau dihancurkan, atau komoditas tersebut harus segera diangkut keluar nari negara tersebut. Inspeksi terhadap sayuran segar bisanya dilakukan pada tempat-tempat berikut : Pelabuhan laut : Adair, Muroran, Tokyo, Kawasaki, Yokohama, Nagoya, Yokkaichi, Kobe, Osaka, Shimonoseki, Moji, Hakata, Kagoshima, Naha. Pelabuhan Udara : New Chitose Airport, New Tokyo International Airport (Narita Airport), Tokyo International Airport (Haneda Airport), Nagoya Airport (Komaki Airgoya Airport (Komaki Airport), Kansai International Airport, Fukuoda Airport (Itatuke Airport, Nagasaki Airport.
Grades Dan Standar Yang Dikehendaki Konsumen
Uraian secara lengkap untuk informasi ini, misalnya mengenai warna, ukuran (panjang dan besar) untuk wortel sangat terbatas. Untuk lobak, ada tigas jenis ukuran yang beredar di pasar Jepang. Yang pertama adalah yang disebut tipe 2L, yang mempunyai berat sekitar 1.3 kg per buah dan bisanya terdapat 8 buah untuk setiap ukuran 10 kg kardus. Tipe yang kedua adalah tipe L, beratnya berkisar antara 1.0 - 1.3 kg dan biasanya terdapat 10 buah dalam kardus yang sama. Yang ketiga adalah tipe M yang mempunyai kisaran berat antara 0.7 - 1.0 kg dan terdapat 12 buah dalam setiap kardus.
Tariff Rates
Sesuai dengan petunjuk dalam Tariff Rates Schedule, Japanese Finance Ministry, 1995, wartel dan lobak dari Indonesia dikenakan tarif sebesar 5 %.Bagi negara-negara yang tidak termasuk anggota WTO dikenakan tarif sebesar 10 %.
Prospek Ekspor Dari Indonesia
Mengingat produksi wortel di Indonesia sangat baik dan petani kita sudah berpengalaman dalam budidaya wortel, maka terbuka kemungkinan untuk mengarahkan ekspor wortel kita ke Jepang. Untuk itu memang harus dilakukan penelitian akan kriteria/karakteristik yang dikehendaki oleh konsumen Jepang. Khususnya pada saat ini, wortel dan lobak belum termasuk daftar sayuran yang dilarang untuk diimp sayuran yang dilarang untuk diimpor dari Indonesia, sehingga lebih mempermudah proses ekspor komoditi tersebut ke Jepang.
Pada tahun 1993, luas areal pertanaman wortel adalah 15.558 ha dimana hampir separuhnya ada di Jawa, dengan total produksi wortel segar sebesar 201.332 ton. Dari jumlah tersebut yang diekspor baru sejumlah 3.034 ton dengan nilai US$ 402.825. Daerah penghasil utama wortel adalah Jawa Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Reference:
Agrobis, 2002. “Pengemasan Sayur Untuk Ekspor” No. 499 Minggu I Desember 2002.
George N. Agrios, 1996. “ Ilmu Penyakit Tumbuhan” Gajah Mada Universitas Press, Yogyakarta.
Laporan Bulanan Dinas pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Bondowoso Desember 2004
Nur Berlian dan Estu Rahayu, 2000. “ Wortel dan Lobak” Penebar Swadaya, Jakarta.
Philip Kotler, 2000. “Manajemen Pemasaran” PT. Prenhallindo, Jakarta.
Rukmana, Rahmat. 1995 Bertanam wortel. : Kanisius Yogyakarta,
Taufik, R. 2004. Laporan PKL Politeknik Negeri Jember
Rabu, 18 Februari 2009
Upaya Peningkatan Kualitas Proses Pemindangan Pada Usaha Rakyat Di Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi
Labels:
Kajian Ilmiah

Ikan merupakan hasil tangkapan laut yang sangat penting bagi penduduk pantai di Indonesia, disamping sebagai sumber makanan utama protein hewani juga obyek mata pencaharian pokok bagi nelayan. Permintaan ikan laut segar untuk kebutuhan pasar lokal maupun pasar eksport semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menuntut nelayan untuk tetap
menjaga kesegaran ikan yang diperolehnya dengan tehnik-tehnik yang semakin diperbaiki.Adapun yang dimaksud ikan segar adalah, ikan yang masih mempunyai sifat yang sama seperti ikan hidup, baik rupa, bau, rasa maupun teksturnya. Karenanya diperlukan upaya-upaya tertentu untuk mempertahankan kesegaran ikan hingga sampai ketangan konsumen, mengingat ikan segar mempunyai sifat-sifat mudah rusak yaitu menjadi berbau anyir/amis, membusuk, daging menjadi rusak/koyak dan kulit berlendir karena aktivitas mikroorganisme atau terjadinya proses kimiawi dalam tubuh ikan itu sendiri.
Pentingnya aktivitas kualitas dalam organisasi telah berkembang bersama dengan pentingnya pelanggan, artinya perusahaan yang digerakan pelanggan dan pasar sebagai sesuatu yang berjanji menyediakan kualitas yang sangat baik serta produk dan jasa yang kompetitif untuk memuaskan kebutuhan dan keingnan segmen pasar yang telah ditentukan dengan baik. Pendekatan tersebut secara kontras berbeda dari organisasi tradisional.
Proses dan tehnik mempertahankan kesegaran ikan yang banyak dikenal dikalangan masyarakat secara tradisionil adalah pemindangan. Tehnik ini biasanya dipergunakan bagi kebutuhan ikan segar untuk pasar lokal. Sedangkan untuk kebutuhan pasar eksport, tehnik yang dipergunakan lebih canggih dan modern seperti suhu rendah, suhu tinggi, pengurangan kadar air, penambahan zat antiseptik dan ruang hampa udara . Pada prinsipnya semua cara penanganan yang dilakukan tersebut adalah untuk menghentikan atau menghambat pertumbuhan mikriorganisme dan aktivitas enzim pada tubuh ikan segar yang dapat menyebabkan kerusakan.
Pemindangan adalah salah satu cara pengolahan ikan segar dengan kombinasi perlakuan antara penggaraman dan perebusan. Proses ini dimaksudkan agar produk bisa tahan lebih lama sehingga dapat dipasarkan ke daerah yang cukup jauh, karena ketahananan produk ikan dengan tahnik ini mencapai 3- 4 hari, dan lebih dari masa itu ikan akan mengalami proses pembusukan. Proses ini banyak dilakukan oleh masyarakat di sekitar pantai dengan skala usaha rumahtangga ( kecil ) sampai dengan sedang yang melibatkan tenaga kerja diluar rumah tangga dengan tehnologi yang sederhana, tetapi proses ini juga tetap memiliki nilai tambah yang akan dinikmati olah masyarakat Namun demikian, dalam proses pemindangan yang dilakukan masyarakat masih cukup besar tingkat kerusakan yang terjadi, sehingga tidak memenuhi standard kuwalitas produk untuk dipasarkan. Kerusakan ini meliputi, produk cacat atau ikan hasil olahan cacat seperti ekor patah, terlalu masak ( lunak ) sampai kepala ikan patah, dimana biasanya ikan dianggap tidak layak untuk dipasarkan.
Kerusakan pada proses pemindangan dapat terjadi pada setiap tahapan proses yang dilakukan, mulai dari seleksi bahan yang akan diproses sampai tahapan penirisan dan pemindahan pada pak-pak yang siap dipasarkan. Hal ini karena dalam rangkaian proses pemindangan sepenuhnya dikerjakan oleh tenaga manusia ( manual ), sehingga ketrampilan, ketekunan dan ketelitian sangat diperlukan untuk menjaga agar tingkat kerusakan yang terjadi dapat ditekan. Oleh karena itu diperlukan pengawasan kualitas produk pada setiap tahapan proses pemindangan. Artinya jika produk yang dihasilkan rusak atau cacat atau yang dapat dianggap akan rusak jika diikutkan dalam proses berikutnya pada satu tahapan, tidak diikutkan lagi pada proses tahapan berikutnya . Dengan demikian tidak terjadi kumulatif kerusakan pada akhir proses dan pula pengawasan kwalitas dapat dilakukan pada setiap tahapan proses pemindangan.
Pemindangan yang banyak dilakukan oleh masyarakat selama ini adalah proses yang sifatnya tradisionil, artinya tehnologi yang dipergunakan sederhana dan pengetahuan tehnis itu diperoleh secara turun temurun tanpa evaluasi dan pembaharuan terhadap kelemahan-kelemahan yang terjadi. Tingkat kerusakan yang terjadi juga dipahami sebagai resiko yang pasti dihadapi dan wajar, tanpa berusaha meneliti penyebab dan memperbaiki proses manualnya. Oleh karena itu diperlukan tehnik pengawasan kualitas yang mudah dipahami dan dijalankan oleh masyarakat, mengingat pelaku pemindangan adalah sebagian besar masyarakat yang tingkat pendidikannya tidak tinggi.
Daerah Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi merupakan daerah penghasil ikan terbesar di wilayah Indonesia bagian timur. Ikan segar yang dihasilkan nelayan, selain menjadi pasokan utama pabrik pengalengan ikan, juga diolah menjadi produk-produk olahan lain yaitu ikan asin, ikan pindang, tepung ikan dan produk sampingan terasi dan petis. Pemindangan juga merupakan kegiatan yang banyak dilakukan masyarakat yang hasilnya dikirim keluar daerah sampai ke pasar-pasar di Surabaya ( ± 300 km ).
Dalam proses pemindangan di daerah Muncar, juga dapat dijumpai tingkat kerusakan produk hasil olahan yang cukup berarti. Mengingat produk ini akan dipasarkan didaerah yang jauh dan memerlukan waktu lama dalam perjalanan, maka kondisi produk yang tetap terjaga kualitasnya sampai dipasar bergantung pada bagaimana pendekatan kalitas pada setiap tahapan proses pemindangan yang dilakukan .
Permasalahan yang dihadapai adalah, apakah dalam proses pemindangan yang telah mentradisi di Muncar juga dilakukan pengawasan kualitas produk, mengingat hasil produk ini dipasaran masih banyak mengalami kerusakan dan kurang tahan jika disimpan dalam waktu agak lama ( lebih dari 4 hari ) dan metode tradisionil yang bagaimana yang telah dilakukan masyarakat dalam menjamin kualitas hasil pindang dan juga mengidentifikasi kelemahan dari setiap proses yang kurang mendukung terjaminnya kualitas ikan pindang, sehingga kelak metode-metode tersebut dapat dikembangkan lebih jauh menjadi metode yang cukup efektif dan efisien untuk menekan tingkat kerusakan.
Tujuan dan Kegunaan pembuatan makalah ini adalah
1.Untuk mengidentifikasi metode pengawasan kualitas dalam proses pemindangan di daerah Muncar.
2.Untuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahan dan kekuatan dari metode yang telah dipergunakan masyarakat dalam proses pemindangan.
3.Untuk mengidentifikasi kemungkinan peningkatan dan pengembangan dari metode yang telah dipergunakan dalam proses pemindangan di daerah Muncar.
Kegunaan :
1.Sebagai bahan masukan masyarakat dalam memeperbaiki proses pemindangan.
2.Sebagai salah satu syarat pemenuhan tugas Mata Kuliah Manajemen Agribis 2 yang diasuh DR.Ir Tejasari. MSc
II . Proses Pemindangan dan Kualitas Produk Yang Dihasilkan.
Pengertian kualitas adalah :
1.Kualitas terdiri dari jumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk itu.
2.Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan.
Dengan memperhatikan pengertian kualitas tersebut diatas , maka jika diaplikasikan pada proses pemindangan diharapkan menghasilkan kualitas yang benar-benar memenuhi kepuasan pelanggan ,yaitu yang bercirikan:
ikan yang masih mempunyai sifat yang sama seperti ikan hidup, baik rupa, bau, rasa maupun teksturnya. Atau ciri tersebut dapat diindikatorkan : segar, bentuknya utuh, bau masih segar/tidak busuk, rasanya tidak anyir dan teksturnya mengkilat.
Untuk menjamin dihasilkannya ikan pindang sesuai dengan kualitas yang dikenhendaki tersebut maka dibutuhkan cara yang berciri manajemen kualitas, yaitu : suatu cara meningkatkan perfomansi terus menerus pada setiap level operasi atau proses, dalam setiap fungsional organiasi, dengan menggunakan semua sumberdaya manusia dan modal yang tersedia.
1. Proses Produksi Ikan Pindang ( Pemindangan ).
Ikan adalah binatang berdarah dingin yang hidup didalam air dan mempunyai sirip sebagai penggerak tubuh serta bernafas dengan insang. Ikan merupakan sumber makanan yang mengandung protein, dikenal sebagai protein hewani, yang merupakan bahan gizi penting ( esensial ) bagi tubuh manusia.
Berdasar hasil penelitian, ternyata daging ikan memepunyai komposisi kimia sebagai berikut :
Air : 60,0 - 84,0 %.
Protein : 18,0 – 30,0 %
Lemak : 0,1 - 2,2 %
Karbohidrat : 0,0 - 1,0 %
Vitamin & Mineral : sisanya.
Selanjutnya dalam penelitian tersebut juga dijelaskan beberapa kelemahan ikan :
1.Tubuh ikan mempunyai kadar air yang tinggi ( 80 % ) dan pH tubuh mendekati netral, sehingga merupakan media yang baik bagi petumbuhan bakteri pembusuk maupun mikroorganisme lain, karenanya ikan merupakan komoditi yang sangat cepat membusuk ( perishabel ).
2.Daging ikan mengandung sedikit sekali tenunan pengikat ( tendon ), sehingga sangat mudah dicerna oleh enzim autolisis. Hasil pencernakan ini menyebabkan daging menjadi sangat lunak yang merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme.
3.Daging ikan banyak mengandung asam lemak tak jenug yang sifatnya sangat mudah mengalami proses oksidasi yang menimbulkan bau tengik.
Jenis ikan yang biasa digunakan sebagai bahan baku pemindangan adalah ikan air laut seperti tongkol (Euthynnus sp), tengiri (Scomberomorus sp), kembung (Scomber sp), layang (Decapterus sp) dan ikan air tawar misalnya mas (Ciprius carpio) dan nila (Tilapia nilotica) serta ikan air payau seperti bandeng (Chanos chanos). Di daerah Muncar, sebagian besar (98%) ikan yang digunakan dalam pemindangan adalah jenis layang.
Pemindangan ikan merupakan salah satu cara pengolahan ikan dengan kombinasi perlakuan antara penggaraman dan perebusan. Dengan adanya garam, maka produk ini bisa tahan lebih lama, sehingga dapat dipasarkan ke daerah yang cukup jauh. Hasil olahan pemindangan merupakan produk yang banyak disukai oleh masyarakat
Ikan pindang dapat dibuat dengan berbagai cara, tergantung jenis ikan dan wadah yang digunakan. Namun demikian , secara garis besar proses pembuatan ikan pindang ( pemindangan ) yang dilakukan masyarakat di Kecamatan Muncar, mempunyai prinsip yang hampir sama yaitu sebagai berikut:
1.Penyiangan dan pencucian.
Tahapan proses ini adalah mengelompokan ikan berdasar pada jenis, ukuran dan tingakat kesegarannya. Kemudian ikan disiangi dengan membuang sisik, sirip, insang , isi perut dan kotoran lainnya. Kebanyakan pemindang tidak melakukan proses penyiangan ini, karena dianggap pemborosan kerja dan waktu, mengingat ikan toh selanjutnya akan dimasak, juga memperkecil resiko kerusakan karena penyiangan.
2.Penyusunan ikan.
Ikan disusun secara teratur ke dalam periuk, untuk menjamin bahwa proses kematangan ikan merata. Periuk yang digunakan terbuat dari tanah liat, disamping untuk meneralisir panas yang terlalu tinggi juga menyebarkan panas secara merata keseluruh bagian. Pada proses ini tidak dilakukan seleksi ikan yang baik dan yang sudak mendekati jelek/rusak. Pemindang beranggapan ikan yang tidak terlalu baik, jika dimasak, masih menampakan kesegarannya.
3.Penggaraman ikan.
Penggaraman dalam proses pemindangan berfungsi untuk memberikan rasa gurih, menurunkan kadar cairan dalam tubuh ikan, dan mencegah atau menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk maupun organisme lain. Kecepatan penetrasi garam kedalam daging ikan dipengaruhi oleh konsentrasi garam, kemurnian garam, jenis dan ukuran ikan, kadar lemak dan suhu . Garam yang ditaburkan pada ikan banyaknya bergantung pada berat ikan. Kebiasaan masyarakat dalam pemberian garam tanpa ditimbang sesuai dengan berat ikan dan pula kualitas garam yang digunakan tidak terjamin kemurniannya.
4.Perebusan ikan.
Perebusan berfungsi untuk membuat ikan menjadi masak. Pada proses ini api yang digunakan sekitar 600 selama 2 – 12 jam. Lama perebusan ini bergantung pada ukuran ikan yang dipindang.Semakin besar ukurang ikan , semakin lama waktu perebusan . Tanda ikan telah maska pada proses perebusan adalah, terdapat retakan-retakan, terutama pada bagian daging, kepala dan ekor. Untuk melihat apakah ikan sudah masak atau belum, kebiasaan yang dilakukan masyarakat adalah dengan melihat kedalam periuk, dan dengan pijitan tangan pada tubuh ikan, maka dapat diperkirakan apakah ikan tersebut masak atau belum. Sering terjadi bahwa ikan yang direbus terlalu masak, sehingga pada saat diangkat ada bagian-bagian yang lepas (ikan tidak utuh lagi)
5.Penyimpanan.
Penyimpanan ikan pindang yang telah masak harus diletakan ditempat yang kering (tidak lembab) dengan temperatur ruangan yang cukup rendah, hal ini untuk mencegah meningkatnya aktivitas bakteri maupun mikroorganisme lain, yang akan menurunkan kwalitas ikan pindang.
Secara garis besar proses pemindangan tersebut dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut untuk memperjelas aktivitas setiap fungsi (Gambar 1):
Dari proses tersebut , hasil produk akhir ikan pindang rata-rata mengalami kerusakan anatar 10 % - 15 %. Kerusakan tersebut
2. Langkah-langkah Peningkatan Proses Pemindangan.
Tenner dan DeToro ( 1992 ) mengemukakan suatu model peningkatan proses terus menerus yang terdiri dari enam langkah sebagai berikut :
1.Mendifinisikan Masalah dalam Konteks Proses.
2.Identifikasi dan Dokumentasi Proses.
3.Mengukur Kinerja.
4.Memahami Mengapa suatu masalah dalam Konteks Proses Terjadi.
5.Mengembangkan dan Menguji Ide-ide.
6.Implementasi, Solusi dan Evaluasi
Dalam mengevaluasi proses pemindangan yang dilakukan masyarakat di Kec. Muncar, langkah urutan ke 1 s/d ke 3, dari langkah tersebut data diperoleh dari lapoan penelitian yang dilakukan mahasiswa dan selanjutnya akan digambarkan langkah ke 4 dalam proses tersebut.
Memahami mengapa suatu masalah dalam konteks proses terjadi pada akhirnya akan mengetahui akar penyebab dari masalah yang digambarkan dalam diagram sebab akibat. Diagram yang dikembangkan oleh Dr. Kaoru Ishikawa digunakan untuk mengetahui akibat dari suatu masalah untuk selanjutnya diambil tindakan perbaikan. Dari akibat tersebut kemudian dicari beberapa kemungkinan penyebabnya. Penyebab inipun dapat berasal dari sumber utama, misalnya metode kerja, bahan, pengukuran, karyawan, lingungan dan seterusnya.
Dengan demikian dalam proses pemindangan seperti yang telah diterangkan diatas diketahui penyebab masalah, sebagai berukut :
Pada awal Proses ==> ikan segar, sebagai bahan input belum terseleksi dengan baik.
Pencucian dan penyiangan ==> pencucian kurang hati-hati dan penyiangan tidak dilakukan.
Penyusunan ikan ==> tidak dilakukan lagi seleksi terhadap ikan yang rusak.akibat pencucian yang kurang hati-hati.
Penggaraman ==> tidak ditimbang sesuai dengan ukuran, bahan garam kurang murni.
Perebusan==> derajat panas tidak diukur dan lama perebusan hanya kira-kira.
Penyimpanan ==> tidak diperhatikan kelembaban ruangan.
Dari gambaran masalah tersebut dapat digambarkan kedalam diagram tulang ikan sebagai berikut (Gambar 2):
III. Kesimpulan :
1.Ikan pindang dikatakan berkualitas apabila kreteria kualitas ikan terpenuhi, yaitu: segar; utuh;tidak bau dan mengkilat.
2.Kemampuan usaha pemindangan rakyat dalam memenuhi kepuasan pelanggan masih perlu ditingkatkan terutama dalam hal, penyediaan bahan-bahan baik ikan atau yang lain; prosedur-prosedur kerja; pelatihan thd karyawan, dan penyediaan alat-alat yang cukup serta penyimpanan yang benar.
3.Proses pemindangan adalah proses yang berpengaruh besarterhadap kualitas ikan pindang yang dihasilkan.
IV. Rekomendasi.
Untuk pengkajian lanjutan sebaiknnya dilkaukan lebih konperhensif dimulai dari mengetahui keinginan konsumen sampai strategi yang diperlukan oleh pemindang untuk memenuhi kepuasan pelanggan, dimana proses implentasi dari penerapan manajemen kualitas harus didampingi untuk dapat mengevaluasi terus-menerus.
V. Daftar Pustaka:
A.H.Purnomo, dkk, Analisa Sosio Ekonomi Terhadap Praktek Penanganan Mutu Ikan Pelagis Kecil Di Tempat Pelelangan Ikan Blanakan dan Pekalongan, Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.Vol.8 No.7.2002.
Darmorejo S,dkk, Pengolahan Pindang Ikan yang Digarami Di Laut, Jurnal Penelitian Tehnologi Perikanan ,LPTP, Jakarta, 1972.
Dorothea Wahyu Ariani, Pengendalian Kualitas Statistik ( Pendekatan Kuantitatif dalam Manajemen Kualitas, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2004.
Dwi Siwi Santy Wardani, Proses Pembuatan Ikan Pindang dalam Rangka Meningkatkan Nilai Tambah dan Penghasilan Masyarakat Nelayan, Skripsi S1, Untag,Banyuwangi, 2001.
Gaspersz Vincent, Total Quality Management, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
, Metode Analisa untuk Peningkatan Kualitas, Penerbit Gramedia Pustaka Utama , Jakarta, 2004.
Heruwati.E., Mikrobiologi Pengolahan Ikan Secara Tradisional, Laporan Lokakarya Tehnologi Pengolahan Ikan Secara Tradisionil, No 1, LTP B3P, Jakarta, 1979.
Sonny Koeshendrayana,dkk,Analisis Budidaya Udang Galah di Kabupaten Gianyar, Bali, Jurnal Penelitian Perikanan,Vol 8- No 7, Jakarta, 2002.
T.J.Moedjiharto, Peningkatan Mutu Gizi Protein Pindang Ikan Ikan Layang dengan Optimasi Proses Pemindangan , Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati,Vol 14-No 1, Jakarta 2002.
Thomas Pysdek, The Six Sigma Handbook, Penerbit Salemba 4, Jakarta,2002.
Read more.....
Pentingnya aktivitas kualitas dalam organisasi telah berkembang bersama dengan pentingnya pelanggan, artinya perusahaan yang digerakan pelanggan dan pasar sebagai sesuatu yang berjanji menyediakan kualitas yang sangat baik serta produk dan jasa yang kompetitif untuk memuaskan kebutuhan dan keingnan segmen pasar yang telah ditentukan dengan baik. Pendekatan tersebut secara kontras berbeda dari organisasi tradisional.
Proses dan tehnik mempertahankan kesegaran ikan yang banyak dikenal dikalangan masyarakat secara tradisionil adalah pemindangan. Tehnik ini biasanya dipergunakan bagi kebutuhan ikan segar untuk pasar lokal. Sedangkan untuk kebutuhan pasar eksport, tehnik yang dipergunakan lebih canggih dan modern seperti suhu rendah, suhu tinggi, pengurangan kadar air, penambahan zat antiseptik dan ruang hampa udara . Pada prinsipnya semua cara penanganan yang dilakukan tersebut adalah untuk menghentikan atau menghambat pertumbuhan mikriorganisme dan aktivitas enzim pada tubuh ikan segar yang dapat menyebabkan kerusakan.
Pemindangan adalah salah satu cara pengolahan ikan segar dengan kombinasi perlakuan antara penggaraman dan perebusan. Proses ini dimaksudkan agar produk bisa tahan lebih lama sehingga dapat dipasarkan ke daerah yang cukup jauh, karena ketahananan produk ikan dengan tahnik ini mencapai 3- 4 hari, dan lebih dari masa itu ikan akan mengalami proses pembusukan. Proses ini banyak dilakukan oleh masyarakat di sekitar pantai dengan skala usaha rumahtangga ( kecil ) sampai dengan sedang yang melibatkan tenaga kerja diluar rumah tangga dengan tehnologi yang sederhana, tetapi proses ini juga tetap memiliki nilai tambah yang akan dinikmati olah masyarakat Namun demikian, dalam proses pemindangan yang dilakukan masyarakat masih cukup besar tingkat kerusakan yang terjadi, sehingga tidak memenuhi standard kuwalitas produk untuk dipasarkan. Kerusakan ini meliputi, produk cacat atau ikan hasil olahan cacat seperti ekor patah, terlalu masak ( lunak ) sampai kepala ikan patah, dimana biasanya ikan dianggap tidak layak untuk dipasarkan.
Kerusakan pada proses pemindangan dapat terjadi pada setiap tahapan proses yang dilakukan, mulai dari seleksi bahan yang akan diproses sampai tahapan penirisan dan pemindahan pada pak-pak yang siap dipasarkan. Hal ini karena dalam rangkaian proses pemindangan sepenuhnya dikerjakan oleh tenaga manusia ( manual ), sehingga ketrampilan, ketekunan dan ketelitian sangat diperlukan untuk menjaga agar tingkat kerusakan yang terjadi dapat ditekan. Oleh karena itu diperlukan pengawasan kualitas produk pada setiap tahapan proses pemindangan. Artinya jika produk yang dihasilkan rusak atau cacat atau yang dapat dianggap akan rusak jika diikutkan dalam proses berikutnya pada satu tahapan, tidak diikutkan lagi pada proses tahapan berikutnya . Dengan demikian tidak terjadi kumulatif kerusakan pada akhir proses dan pula pengawasan kwalitas dapat dilakukan pada setiap tahapan proses pemindangan.
Pemindangan yang banyak dilakukan oleh masyarakat selama ini adalah proses yang sifatnya tradisionil, artinya tehnologi yang dipergunakan sederhana dan pengetahuan tehnis itu diperoleh secara turun temurun tanpa evaluasi dan pembaharuan terhadap kelemahan-kelemahan yang terjadi. Tingkat kerusakan yang terjadi juga dipahami sebagai resiko yang pasti dihadapi dan wajar, tanpa berusaha meneliti penyebab dan memperbaiki proses manualnya. Oleh karena itu diperlukan tehnik pengawasan kualitas yang mudah dipahami dan dijalankan oleh masyarakat, mengingat pelaku pemindangan adalah sebagian besar masyarakat yang tingkat pendidikannya tidak tinggi.
Daerah Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi merupakan daerah penghasil ikan terbesar di wilayah Indonesia bagian timur. Ikan segar yang dihasilkan nelayan, selain menjadi pasokan utama pabrik pengalengan ikan, juga diolah menjadi produk-produk olahan lain yaitu ikan asin, ikan pindang, tepung ikan dan produk sampingan terasi dan petis. Pemindangan juga merupakan kegiatan yang banyak dilakukan masyarakat yang hasilnya dikirim keluar daerah sampai ke pasar-pasar di Surabaya ( ± 300 km ).
Dalam proses pemindangan di daerah Muncar, juga dapat dijumpai tingkat kerusakan produk hasil olahan yang cukup berarti. Mengingat produk ini akan dipasarkan didaerah yang jauh dan memerlukan waktu lama dalam perjalanan, maka kondisi produk yang tetap terjaga kualitasnya sampai dipasar bergantung pada bagaimana pendekatan kalitas pada setiap tahapan proses pemindangan yang dilakukan .
Permasalahan yang dihadapai adalah, apakah dalam proses pemindangan yang telah mentradisi di Muncar juga dilakukan pengawasan kualitas produk, mengingat hasil produk ini dipasaran masih banyak mengalami kerusakan dan kurang tahan jika disimpan dalam waktu agak lama ( lebih dari 4 hari ) dan metode tradisionil yang bagaimana yang telah dilakukan masyarakat dalam menjamin kualitas hasil pindang dan juga mengidentifikasi kelemahan dari setiap proses yang kurang mendukung terjaminnya kualitas ikan pindang, sehingga kelak metode-metode tersebut dapat dikembangkan lebih jauh menjadi metode yang cukup efektif dan efisien untuk menekan tingkat kerusakan.
Tujuan dan Kegunaan pembuatan makalah ini adalah
1.Untuk mengidentifikasi metode pengawasan kualitas dalam proses pemindangan di daerah Muncar.
2.Untuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahan dan kekuatan dari metode yang telah dipergunakan masyarakat dalam proses pemindangan.
3.Untuk mengidentifikasi kemungkinan peningkatan dan pengembangan dari metode yang telah dipergunakan dalam proses pemindangan di daerah Muncar.
Kegunaan :
1.Sebagai bahan masukan masyarakat dalam memeperbaiki proses pemindangan.
2.Sebagai salah satu syarat pemenuhan tugas Mata Kuliah Manajemen Agribis 2 yang diasuh DR.Ir Tejasari. MSc
II . Proses Pemindangan dan Kualitas Produk Yang Dihasilkan.
Pengertian kualitas adalah :
1.Kualitas terdiri dari jumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk itu.
2.Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan.
Dengan memperhatikan pengertian kualitas tersebut diatas , maka jika diaplikasikan pada proses pemindangan diharapkan menghasilkan kualitas yang benar-benar memenuhi kepuasan pelanggan ,yaitu yang bercirikan:
ikan yang masih mempunyai sifat yang sama seperti ikan hidup, baik rupa, bau, rasa maupun teksturnya. Atau ciri tersebut dapat diindikatorkan : segar, bentuknya utuh, bau masih segar/tidak busuk, rasanya tidak anyir dan teksturnya mengkilat.
Untuk menjamin dihasilkannya ikan pindang sesuai dengan kualitas yang dikenhendaki tersebut maka dibutuhkan cara yang berciri manajemen kualitas, yaitu : suatu cara meningkatkan perfomansi terus menerus pada setiap level operasi atau proses, dalam setiap fungsional organiasi, dengan menggunakan semua sumberdaya manusia dan modal yang tersedia.
1. Proses Produksi Ikan Pindang ( Pemindangan ).
Ikan adalah binatang berdarah dingin yang hidup didalam air dan mempunyai sirip sebagai penggerak tubuh serta bernafas dengan insang. Ikan merupakan sumber makanan yang mengandung protein, dikenal sebagai protein hewani, yang merupakan bahan gizi penting ( esensial ) bagi tubuh manusia.
Berdasar hasil penelitian, ternyata daging ikan memepunyai komposisi kimia sebagai berikut :
Air : 60,0 - 84,0 %.
Protein : 18,0 – 30,0 %
Lemak : 0,1 - 2,2 %
Karbohidrat : 0,0 - 1,0 %
Vitamin & Mineral : sisanya.
Selanjutnya dalam penelitian tersebut juga dijelaskan beberapa kelemahan ikan :
1.Tubuh ikan mempunyai kadar air yang tinggi ( 80 % ) dan pH tubuh mendekati netral, sehingga merupakan media yang baik bagi petumbuhan bakteri pembusuk maupun mikroorganisme lain, karenanya ikan merupakan komoditi yang sangat cepat membusuk ( perishabel ).
2.Daging ikan mengandung sedikit sekali tenunan pengikat ( tendon ), sehingga sangat mudah dicerna oleh enzim autolisis. Hasil pencernakan ini menyebabkan daging menjadi sangat lunak yang merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme.
3.Daging ikan banyak mengandung asam lemak tak jenug yang sifatnya sangat mudah mengalami proses oksidasi yang menimbulkan bau tengik.
Jenis ikan yang biasa digunakan sebagai bahan baku pemindangan adalah ikan air laut seperti tongkol (Euthynnus sp), tengiri (Scomberomorus sp), kembung (Scomber sp), layang (Decapterus sp) dan ikan air tawar misalnya mas (Ciprius carpio) dan nila (Tilapia nilotica) serta ikan air payau seperti bandeng (Chanos chanos). Di daerah Muncar, sebagian besar (98%) ikan yang digunakan dalam pemindangan adalah jenis layang.
Pemindangan ikan merupakan salah satu cara pengolahan ikan dengan kombinasi perlakuan antara penggaraman dan perebusan. Dengan adanya garam, maka produk ini bisa tahan lebih lama, sehingga dapat dipasarkan ke daerah yang cukup jauh. Hasil olahan pemindangan merupakan produk yang banyak disukai oleh masyarakat
Ikan pindang dapat dibuat dengan berbagai cara, tergantung jenis ikan dan wadah yang digunakan. Namun demikian , secara garis besar proses pembuatan ikan pindang ( pemindangan ) yang dilakukan masyarakat di Kecamatan Muncar, mempunyai prinsip yang hampir sama yaitu sebagai berikut:
1.Penyiangan dan pencucian.
Tahapan proses ini adalah mengelompokan ikan berdasar pada jenis, ukuran dan tingakat kesegarannya. Kemudian ikan disiangi dengan membuang sisik, sirip, insang , isi perut dan kotoran lainnya. Kebanyakan pemindang tidak melakukan proses penyiangan ini, karena dianggap pemborosan kerja dan waktu, mengingat ikan toh selanjutnya akan dimasak, juga memperkecil resiko kerusakan karena penyiangan.
2.Penyusunan ikan.
Ikan disusun secara teratur ke dalam periuk, untuk menjamin bahwa proses kematangan ikan merata. Periuk yang digunakan terbuat dari tanah liat, disamping untuk meneralisir panas yang terlalu tinggi juga menyebarkan panas secara merata keseluruh bagian. Pada proses ini tidak dilakukan seleksi ikan yang baik dan yang sudak mendekati jelek/rusak. Pemindang beranggapan ikan yang tidak terlalu baik, jika dimasak, masih menampakan kesegarannya.
3.Penggaraman ikan.
Penggaraman dalam proses pemindangan berfungsi untuk memberikan rasa gurih, menurunkan kadar cairan dalam tubuh ikan, dan mencegah atau menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk maupun organisme lain. Kecepatan penetrasi garam kedalam daging ikan dipengaruhi oleh konsentrasi garam, kemurnian garam, jenis dan ukuran ikan, kadar lemak dan suhu . Garam yang ditaburkan pada ikan banyaknya bergantung pada berat ikan. Kebiasaan masyarakat dalam pemberian garam tanpa ditimbang sesuai dengan berat ikan dan pula kualitas garam yang digunakan tidak terjamin kemurniannya.
4.Perebusan ikan.
Perebusan berfungsi untuk membuat ikan menjadi masak. Pada proses ini api yang digunakan sekitar 600 selama 2 – 12 jam. Lama perebusan ini bergantung pada ukuran ikan yang dipindang.Semakin besar ukurang ikan , semakin lama waktu perebusan . Tanda ikan telah maska pada proses perebusan adalah, terdapat retakan-retakan, terutama pada bagian daging, kepala dan ekor. Untuk melihat apakah ikan sudah masak atau belum, kebiasaan yang dilakukan masyarakat adalah dengan melihat kedalam periuk, dan dengan pijitan tangan pada tubuh ikan, maka dapat diperkirakan apakah ikan tersebut masak atau belum. Sering terjadi bahwa ikan yang direbus terlalu masak, sehingga pada saat diangkat ada bagian-bagian yang lepas (ikan tidak utuh lagi)
5.Penyimpanan.
Penyimpanan ikan pindang yang telah masak harus diletakan ditempat yang kering (tidak lembab) dengan temperatur ruangan yang cukup rendah, hal ini untuk mencegah meningkatnya aktivitas bakteri maupun mikroorganisme lain, yang akan menurunkan kwalitas ikan pindang.
Secara garis besar proses pemindangan tersebut dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut untuk memperjelas aktivitas setiap fungsi (Gambar 1):
Dari proses tersebut , hasil produk akhir ikan pindang rata-rata mengalami kerusakan anatar 10 % - 15 %. Kerusakan tersebut
2. Langkah-langkah Peningkatan Proses Pemindangan.
Tenner dan DeToro ( 1992 ) mengemukakan suatu model peningkatan proses terus menerus yang terdiri dari enam langkah sebagai berikut :
1.Mendifinisikan Masalah dalam Konteks Proses.
2.Identifikasi dan Dokumentasi Proses.
3.Mengukur Kinerja.
4.Memahami Mengapa suatu masalah dalam Konteks Proses Terjadi.
5.Mengembangkan dan Menguji Ide-ide.
6.Implementasi, Solusi dan Evaluasi
Dalam mengevaluasi proses pemindangan yang dilakukan masyarakat di Kec. Muncar, langkah urutan ke 1 s/d ke 3, dari langkah tersebut data diperoleh dari lapoan penelitian yang dilakukan mahasiswa dan selanjutnya akan digambarkan langkah ke 4 dalam proses tersebut.
Memahami mengapa suatu masalah dalam konteks proses terjadi pada akhirnya akan mengetahui akar penyebab dari masalah yang digambarkan dalam diagram sebab akibat. Diagram yang dikembangkan oleh Dr. Kaoru Ishikawa digunakan untuk mengetahui akibat dari suatu masalah untuk selanjutnya diambil tindakan perbaikan. Dari akibat tersebut kemudian dicari beberapa kemungkinan penyebabnya. Penyebab inipun dapat berasal dari sumber utama, misalnya metode kerja, bahan, pengukuran, karyawan, lingungan dan seterusnya.
Dengan demikian dalam proses pemindangan seperti yang telah diterangkan diatas diketahui penyebab masalah, sebagai berukut :
Pada awal Proses ==> ikan segar, sebagai bahan input belum terseleksi dengan baik.
Pencucian dan penyiangan ==> pencucian kurang hati-hati dan penyiangan tidak dilakukan.
Penyusunan ikan ==> tidak dilakukan lagi seleksi terhadap ikan yang rusak.akibat pencucian yang kurang hati-hati.
Penggaraman ==> tidak ditimbang sesuai dengan ukuran, bahan garam kurang murni.
Perebusan==> derajat panas tidak diukur dan lama perebusan hanya kira-kira.
Penyimpanan ==> tidak diperhatikan kelembaban ruangan.
Dari gambaran masalah tersebut dapat digambarkan kedalam diagram tulang ikan sebagai berikut (Gambar 2):
III. Kesimpulan :
1.Ikan pindang dikatakan berkualitas apabila kreteria kualitas ikan terpenuhi, yaitu: segar; utuh;tidak bau dan mengkilat.
2.Kemampuan usaha pemindangan rakyat dalam memenuhi kepuasan pelanggan masih perlu ditingkatkan terutama dalam hal, penyediaan bahan-bahan baik ikan atau yang lain; prosedur-prosedur kerja; pelatihan thd karyawan, dan penyediaan alat-alat yang cukup serta penyimpanan yang benar.
3.Proses pemindangan adalah proses yang berpengaruh besarterhadap kualitas ikan pindang yang dihasilkan.
IV. Rekomendasi.
Untuk pengkajian lanjutan sebaiknnya dilkaukan lebih konperhensif dimulai dari mengetahui keinginan konsumen sampai strategi yang diperlukan oleh pemindang untuk memenuhi kepuasan pelanggan, dimana proses implentasi dari penerapan manajemen kualitas harus didampingi untuk dapat mengevaluasi terus-menerus.
V. Daftar Pustaka:
A.H.Purnomo, dkk, Analisa Sosio Ekonomi Terhadap Praktek Penanganan Mutu Ikan Pelagis Kecil Di Tempat Pelelangan Ikan Blanakan dan Pekalongan, Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.Vol.8 No.7.2002.
Darmorejo S,dkk, Pengolahan Pindang Ikan yang Digarami Di Laut, Jurnal Penelitian Tehnologi Perikanan ,LPTP, Jakarta, 1972.
Dorothea Wahyu Ariani, Pengendalian Kualitas Statistik ( Pendekatan Kuantitatif dalam Manajemen Kualitas, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2004.
Dwi Siwi Santy Wardani, Proses Pembuatan Ikan Pindang dalam Rangka Meningkatkan Nilai Tambah dan Penghasilan Masyarakat Nelayan, Skripsi S1, Untag,Banyuwangi, 2001.
Gaspersz Vincent, Total Quality Management, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
, Metode Analisa untuk Peningkatan Kualitas, Penerbit Gramedia Pustaka Utama , Jakarta, 2004.
Heruwati.E., Mikrobiologi Pengolahan Ikan Secara Tradisional, Laporan Lokakarya Tehnologi Pengolahan Ikan Secara Tradisionil, No 1, LTP B3P, Jakarta, 1979.
Sonny Koeshendrayana,dkk,Analisis Budidaya Udang Galah di Kabupaten Gianyar, Bali, Jurnal Penelitian Perikanan,Vol 8- No 7, Jakarta, 2002.
T.J.Moedjiharto, Peningkatan Mutu Gizi Protein Pindang Ikan Ikan Layang dengan Optimasi Proses Pemindangan , Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati,Vol 14-No 1, Jakarta 2002.
Thomas Pysdek, The Six Sigma Handbook, Penerbit Salemba 4, Jakarta,2002.
Senin, 02 Februari 2009
Model Kemitraan: Antara Petani – Pabrik Gula – Investor, Alternatif Strategi Pergulaan Nasional
Labels:
Kajian Ilmiah

Permasalahan makro pergulaan nasional dari tahun ke tahun,berkisar pada penurunan produksi dalam negeri dan karena itu ketergantungan terhadap impor semakin meningkat (Purwono,2004). Berdasarkan data Sugar World Market and Trade, pada tahun 1998-1999, produksi gula dalam negeri sekitar 1,5 juta ton, sedangkan kebutuhan domestik gula sekitar 2,8 juta ton atau kemampuan pemenuhan produksi dalam negeri sekitar 53,5%, (Download dalam bentuk file, Click Here)sisanya
dipenuhi dari impor. Sedangkan pada tahun 2002-2003 produksi gula 1,8 juta ton dan kebutuhan domestik 3,8 juta ton atau kemampuan pemenuhan produksi dalam negeri sekitar 51%.Dengan kondisi tersebut, peran gula impor semakin meningkat dari tahun 1998-1999 sebesar 35,6% menjadi 49% pada tahun 2002 – 2003.
Penurunan produksi gula secara nasional merupakan suatu akibat yang komplek, baik ditinjau dari segi tehnologi, ekonomi dan sosial budaya. Secara tehnis penurunan produksi gula diakibatkan karena semakin rendahnya produktifitas lahan dan rendahnya efisiensi pabrik-pabrik gula dalam negeri, yang selanjutnya akan mengakibatkan daya saing gula domestik di pasar gula internasional rendah. Dari sisi ekonomi dapat diamati bahwa kurangnya modal petani dan ditambah sering terlambatnya pencairan kredit semakin menambah rendahnya mutu pengusahaan tebu oleh petani sedangkan dari sisi sosial, yang sebenarnya merupakan akibat dari kedua hal diatas, adalah menurunya tingkat kepercayaan petani pada model pengelolaan kelompok hamparan maupun pada semua hal yang dianggap prakarsa pabrik gula.
Permasalahan diatas menuntut adanya upaya peningkatan kemampuan produksi dalam negeri yang dijamin kuantitas dan kualitas pasokan tebu serta produksi dan produktifitas pabrik gula.
Kajian terhadap faktor pendukung keberhasilan pergulaan pada zaman kolonial mengungkapkan bahwa terdapat dua hal yang menjadi faktor utama, yaitu jaminan ketersediaan lahan dan tenaga kerja yang murah (Cahyono,1991,LKEP Indikator,2001, Arifin,174,2004). Disamping itu,juga ditentukan oleh sistim pengusahaan yang terpadu, yaitu tanaman tebu yang dimiliki dan dikelola sendiri oleh pabrik gula,ditanam diatas lahan yang dimilik atau disewa oleh pabrik, sehingga pabrik dapat merencanakan dan mengelola proses produksi gula. Dari hal ini tersirat bahwa sumber permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan produksi gula tidak menjadi signifikan, yang pada akhirnya proses produksi menjadi efisien.
Faktor lahan merupakan faktor penting dalam menjamin pasokan kuantitas dan kualitas tebu bagi pabrik gula. Jaminan pasokan tebu berasal dari dua pihak,yaitu kebun petani dan kebun pabrik gula sendiri. Peran kebun petani dalam memasok tebu bagi pabrik gula lebih besar dari pada kebun pabrik gula sendiri. Data nasional menunjukan bahwa luas kebun petani sekitar 54 %,sedangkan kebun pabrik gula sekitar 46 %. Dengan kemampuan finansiil pabrik gula yang semakin terbatas,maka pasokan tebu dari lahan milik pabrik sendiri yang berasal dari lahan sewa menjadi terbatas. Dengan demikian keberlanjutan pasokan tebu bagi pabrik gula akan semakin bergantung pada kebun petani, terutama bagi pabrik gula yang tidak mempunyai lahan hak guna usaha ( HGU ). Dalam kaitan inilah penataan kelembagaan dan kebijakan menjadi penting. Bukti-bukti menunjukan dengan kemitraan yang baik antara perusahaan gula dengan petani tebu merupakan faktor strategis yang dapat menekan unit cost,karena manajemen kebun tebu terlepas dari manajemen pabrik, tetapi tetap secara fungsionil sebagai suatu kesatuan manajemen. (Pakpahan.107,2004).
Berdasarkan kondisi industri pergulaan saat ini, pendanaan merupakan salah satu permasalahan penting yang sangat mempengaruhi kinerja dari sisi on farm, dan pengolahan tebu. Dari sisi on farm, keterlambatan penyediaan saprotan karena kekurang mampuan pendanaan petani maupun pengadaan yang dilakukan pabrik gula, menyebabkan turunya produktifitas tebu (baik dalam hasil maupun rendemen gula). Dari sisi pengolahan, kemampuan pabrik gula dalam pemeliharaan dan rehabilitasi mesin-mesin sangat rendah. Permasalahan pendanaan dalam industri gula dapat dipecahkan dengan melakukan suatu model kemitraan dengan investor, yang dapat berasal dari pihak Pemerintah Daerah maupun swasta.
Petani dengan kepemilikan lahannya mempunyai posisi yang penting dalam mempengaruhi keberlanjutan aktivitas pabrik gula melalui jaminan pasokan tebu. Sedangkan tingkat produksi, produktivitas dan efisiensi pabrik gula berpengaruh langsung terhadap pasokan gula bgi kebutuhan domestik. Dengan demikian, baik petani tebu maupun pabrik gula, berperan penting dalam upaya peningkatan kemampuan produksi gula dalam negeri. Oleh karena itu pengembangan kemitraan antara petani dan pabrik gula menempati posisi penting dalam pembangunan pergulaan nasional. Salah satu bentuk kemitraan antara petani dan pabrik gula adalah pola kerjasama yang memungkingkan petani untuk mengambil peran proposional dalam perusahaan gula. Lahan sebagai faktor produksi penting, dapat menjadi salah satu titik temu dalam mengembangkan pola kemitraan antara petani dan pabrik gula. Dengan adanya jaminan pasokan tebu bagi pabrik gula melalui pola kemitraan tersebut diharapkan performance pabrik gula meningkat.
Selama ini telah dikembangkan berbagai model kemitraan anta petani dan pabrik gula. Beberapa pola kemitraan yang dimaksud antara lain sistim sewa lahan petani oleh pabrik gula dan sistim pembelian tebu petani oleh pabrik gula. Selain itu, Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor (2002) menyarankan sistim kelembagaan yang memungkinkan petani mempunyai sharing kepemilikan dalam pabrik gula. Dua sistim kemitraan tersebut diatas selama ini telah diterapkan ,namun masih banyak menghadapi kendala dan belum memperlihatkan hasil yang menguntungkan bagi semua pihak. Pola kemitraan yang ketiga belum banyak diterapkan ataupun dikembangkan, namun sekali gus menjadi model kemitraan alternatif dari pola kemitraan yang ada. Model kerjasama antara petani,pabrik gula dan investor dilakukan dalam bentuk sharing kepemilikan perusahaan gula. Perusahaan gula ini akan melakukan bisnis dibidang onfarm ( penyiapan lahan, perawatan, pemanenan dan agroinput ), kegiatan tebang muat angkut, pengolahan/penggilingan tebu, serta pemasaran, sehingga diharapkan nilai tambah dari berbagai kegiatan dalam industri gula semaksimal mungkin diperoleh.
Permasalahan Pergulaan Nasional
Sejak terjadinya penurunan harga gula dunia, pabrik gula menghadapi permaslahan yang rumit. Penurunan harga gula menyebabkan penurunan insentif dan daya saing budidaya tebu oleh petani, sehngga tidak lagi menjamin pasokan tebu bagi pabrik. Indikasi dari permasalahan tersebut adalah penurunan luas areal tanaman tebu baik di Jawa maupun di Luar Jawa (Tabel 1). Kompetisi pemakaian lahan sangat tinggi, sehingga manakala terjadi penurunan manfaat pemakaian lahan, dengan cepat terjadi alih fungsi lahan.
Selain itu pabrik gula menghadapi inefisiensi operasi. Sebagai gambaran, rata-rata biaya produksi gula saat ini ( 2004 ) Rp. 3.100/kg, namun harga gula ditingkat petani dipatok Rp. 3.410/kg. Margin yang tersisa dari selisih harga tersebut adalah Rp. 310/kg atau ± 10 % yang dinikmati baik oleh petani maupun pabrik. Margin tersebut sangat kecil karena inefisiensi di tingkat pabrik. Selain diakibatkan oleh kondisi mesin pabrik gula yang sudah tua, inefisiensi tersebut juga diakibatkan oleh skala ekonomi kapasitas giling yang belum terpenuhi. Disamping itu, bagi pabrik gula BUMN, permasalahan manajerial menjadi kendala tersendiri dalam upaya mencapai efisiensi produksi. Dengan permasalahan yang dihadapi tersebut , maka kemampuan finansiil pabrik gula juga semakin menurun. Hal ini tercermin pada penurunan sejumlah pabrik gula di Jawa seperti tampak pada tabel 2.
Dalam kondisi permasalahan diatas, produksi gula nasional menghadapi kenyataan terjadinya penurunan jumlah pabrik gula dan penurunan kapasitas produksi. Dilihat dari penyebarannya baik areal perkebunan maupun pabrik gula masih terpusat di Jawa,walaupun telah terjadi penurunan jumlah pabrik dari 57 menjadi 47 ,turun 17,54 %.Demikian pula dengan perkembangan kontribusi hablur masing-masing wilayah terhadap produksi hablur nasional, seperti tampak pada tabel 3 :
Dari Tabel tersebut diatas, menunjukkan penurunan kontribusi produksi hablur Jawa terhadap produksi nasional dari 77% (1994) menjadi 57 % (2000), sedangkan Luar Jawa meningkat dari 23% (1994) menjadi 43% (2000). Dari sisi pengelolaan, peranan pengelola swasta bertambah besar yaitu dari 26 % (1994) meningkat menjadi 42% (2000) , sedangkan BUMN peranannya semakin menurun dari 74% (1994) menjadi 58% (2000). Secara sepintas terlihat bahwa pabrik yang dikelola swasta memiliki produktivitas lebih tinggi dibanding pabrik yang dikelola BUMN.
Kepemilikan lahan (kebun tebu) di Jawa didominasi oleh kebun petani yakni sekitar 81,82%, sedangkan di Luar Jawa justru sebaliknya, kepemilikan kebun tebu lebih didominasi oleh pabrik gula yakni sekitar 95,01% dan kebun tebu milik petani hanya sekitar 4,09% (Tabel 4). Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebun tebu petani memegang peranan penting dalam memasok tebu bagi pabrik gula di Jawa. Disamping itu pula , diperoleh gambaran bahwa peran Jawa masih lebih besar (57% > 43%) dibandingkan Luar Jawa. Dengan kondisi keterbatasan finansiil pabrik gula selama ini dan pula relatif sedikitnya pabrik gula yang ber HGU, maka ketergantungan pabrik gula pada petani relatif tinggi.
Fenomena diatas adalah masalah-masalah yang bersifat tehnis, yang selama ini penanganannya cenderung lebih serius. Walaupun belum mewujudkan hasil yang memuaskan, karena implementasinya dilapangan sering terkendala hambatan kelembagaan dan kebijakan. Sementara permasalahan kelembagaan dan kebijakan belum banyak tersentuh, lebih-lebih dibangun diatas situasi, kondisi dan sistim nilai masyarakat.
Ketergantungan pabrik gula terhadap petani relatif tinggi dalam rangka pemenuham pasokan tebu, namun sistim kelembagaan yang mendukung hubungan petani dengan pabrik gula belum menghasilkan manfaat yang salaing menguntungkan kedua pihak. Oleh karena itu perlu dicarikan alternatif model hubungan tersebut dalam bentuk model kemitraan yang diharapkan mampu menjadi model yang memuaskan semua pihak. Agus Pakpahan (2003), menyarankan , bagi perusahaan yang berciri BUMN tidak perlu dilakukan privatisasi, tetapi dibentuk semacam koorporasi masyarakat dengan menjadikan petani sebagai pemilik pabrik gula. Hal ini berarti melakukan spin off terhadap pabrik gula, yaitu menjual sebagian pemilikan pabrik gula kepada petani, sehingga petani memiliki kewenangan kontrol manajerial terhadap pengelolaan pabrik gula. Dengan demikian, petani akan mengetahui beberapa hal yaitu, hasil yang benar-benar menjadi haknya, faktor-faktor yang menyebabkan inefisiensi pabrik dan kondisi pasar gula, dimana semua faktor tersebut menentukan hasil yang akan diterima petani dan pabrik gula. Dengan pengetahuan ini, diharapkan muncul saling ketergantungan antara petani dan pabrik yang hal ini akan menjamin kelangsungan perkembangan industri pergulaan nasional.
Kerangka Pemikiran.
1.Kemitraan dari sisi mikroekonomi
Hubungan antara petani tebu dan pabrik gula ditinjau dari aspek mikro pada dasarnya adalah hubungan antara penjual dan pembeli, dalam hal ini komoditi yang diperdagangkan adalah tebu. Dengan asumsi bahwa petani tidak bebas menjual tebunya ke sembarang pabrik, maka situasi yang dihadapi petani sama halnya menghadapi pasar yang beciri monopsoni. (Bilas, 292.1993), yaitu struktur pasar faktor produksi, dimana terdapat pembeli tunggal yang menghadapi banyak penjual. Sebagai penjual, posisi tawar petani sangat lemah, lebih-lebih jika berkaitan dengan informasi mengenai penentuan berapa perolehan harga tebu petani, karena harga tersebut dihitung berdasarkan indek berupa rendemen, yang tehnologi ini sepenuhnya dikuasai pabrik. Oleh karena itu dalam beberapa tahun terakhir ini, dalam rangka memperkuat posisi tawar petani terhadap pabrik, petani membentuk asosiasi diantara mereka (APTR = Asosiasi Petani Tebu Rakyat). Asosiasi ini secara teoritis berfungsi menaikan posisi tawar petani , dengan beberapa cara, merundingkan tingkat pengawasan rendemen, jadwal tebang dan merundingkan tingkat pebiayaan yang dibutuhkan petani, bahkan akhir-akhir ini sudah dilibatkan pada pengawasan harga gula. Dengan melihat bahwa antara petani dan pabrik gula pada dasarnya pelaku-pelaku dalam satu sistim agribisnis, maka asosiasi-asosiasi yang terbentuk pada petani adalah upaya untuk memperkuat posisi penawaran petani dalam menghadapi pabrik gula (gambar 1)
Penjelasan gambar : Jumlah tebu yg ditawarkan petani dan dibeli pabrik adalah Te, dan harga yg ditawarkan Pt2. Karena keseimbangan bagi bagi pabrik terjadi saat MRPt = MCt pada Te, maka harga yg wajar bagi pabrik adalah Pt1, tetapi karena pabrik adalah monopsonis, maka harga yang dibayar pabrik adalah Pt2. Pada kasus ini pabrik memperoleh keuntungan karena monopsoni sebesar (Pt1 – Pt2) x Te ( daerah yg diarsir pada gambar ). Secara teoritis untuk menghilangkan diskriminasi ini, adalah dengan melakukan intervensi untuk membuat kurva penawaran tegar (rigid = kaku) pada tingkat harga Pk, sehingga kurva penawaran menjadi PkS. Keseimbangan baru yang terjadi, dan dapat disepakati pabrik, adalah saat MRPt memotong PkS dengan tebu yang ditawarkan petani naik menjadi Tk pada harga Pk. Intervensi yang diperlukan untuk menjamin kondisi tersebut adalah dengan campur tangan pemerintah dan atau memperkuat kemitraan antara petani dengan pabrik.
2.Kemitraan dari sisi Manajemen Agribisnis
Petani dengan kepilikan lahannya mempunyai posisi yang penting dalam mempengaruhi keberlanjutan aktrivitas pabrik gula melalui jaminan pasokan tebu. Sedangkan tingkat produksi, produktifitas dan efisiensi pabrik gula berpengaruh langsung terhadap pasokan gula bagi kebutuhan domestik. Baik petani tebu maupun pabrik gula, dengan demikian, berperan penting dalam upaya peningkatan produksi gula, sehingga pengembangan kemitraan antara petani dan pabrik gula menempati posisi penting dalam pembangunan pergulaan nasional. Salah satu bentuk kemitraan antara petani dan pabrik gula adalah pola kerjasama yang memungkinkan petani mengambil peran proposional dalam perusahaan gula. Model kerjasama ini, pada dasarnya juga mengembangkan koorporasi masyarakat, untuk dalam jangka panjang melakukan kontrol terhadapa pabrik gula oleh masyarakat sebagai salah satu shareholder.
Secara teoritis, pengembagan model kerjasama tersebut adalah tercakup sebagai salah satu strategi pengembangan agribisnis yaitu Strategi dengan Integrasi Vertikal dimana salah satu strateginya mengambil pola perusahaan kemitraan agribisnis yang menguntungkan semua pihak (Imam Syafi’i .2004).
Integrasi vertikal dimaksudkan keterpaduan sistim agribisnis secara vertikal membentuk suatu rangkaian pelaku-pelaku yang terlibat dalam sistim agribisnis mulai dari penyedia input,usaha tani, pedagang pengumpul, usaha pengolahan hasil, sampai dengan konsumen baik dalam negeri ataupun luar negeri (Gumbira, 27,2001). Dengan demikian, dalam kasus petani tebu dengan pabrik gula, kerjasama melalui kemitraan diantara mereka , akan menjamin keterpaduan sub sistim agribisnis usaha tani sebagai penyedia input dengan pabrik sebagai pengolah hasil sekaligus sebagai pelaku pemasaran produk gula. Keterpaduan sub sistim agribisnis tersebut dalam satu rangkaian yang membentuk perusahaan gula akan menjamin dinikmatinya nilai tambah tiap sub sistim oleh petani maupun pabrik gula.
Model kerjasama dengan kemitraan antara petani dan pabrik gula yang mengarah pada terpadunya sub sistim agribisnis pengusahaan gula sebagai strategi integrasi vertikal, hanya dapat terselenggara pada akhirnya bergantung pada jaminan pemenuhan hak-hak dan kebutuhan para pelaku. Hal inilah yang sampai saat ini menjadi permasalahan antara petani dan pabrik gula.
3. Kemitraan dari sisi pengalaman lapangan
Pengamatan lapangan yang dilaporkan Agus Pakpahan , menyimpulkan bahwa, kasus pergulaan nasional yang melibatkan pabrik gula terutama yang BUMN dengan petani, secara strategis dapat dicarikan alternatif dengan membentuk koorporasi masyarakat, dimana petani sebagai pemilik utama pabrik. Argumentasi yang disampaikan ( Agus. 2004 ) :
a. Komposisi biaya dalam industri gula sekitar 60%-70% berada di kebun, karena itu kepentingan petani sangat besar.
b. Memudarnya persenyawaan kepentingan antara “ kepentingan rakyat “ sebagai pemilik negara, pemerintah sebagai shareholder tunggal (principal) dan manajemen sebagai “ agent “ dalam struktur BUMN.
c. Kelemahan BUMN gula, dalam melakukan reinvestasi untuk dapat membangun pabrik besar.
d. Desakan untuk membangun pabrik pengolahan yang dapat memanfaatkan seluruh kandungan yang terdapat dalam tebu.
e. Perlu bangunan institusi yang mampu menyelesaikan dampak dari asymetric power atau control antara petani dan pabrik gula.
f. Ada anggapan The best product hanya akan mungkin dihasilkan oleh The best community.
g. Koefisien fixity dari pabrik sangat tinggi, tetapi sebaliknya dengan lahan, fakta riil menunjukan bahwa pasokan bahan baku tergantung dari tebu petani, dimana petani sebenarnya memiliki banyak pilihan untuk memanfaatkan lahannya.
Selanjutnya untuk memperkuat pendapatnya, Agus Pakpahan juga memberikan contoh yang dapat dijadikan pelajaran adalah pengalaman empiris dibelinya American Crystal Sugar Company (ACSC), yang sahamnya terdaftar pada New York Stock Exchange, pada tahun 1973, oleh 1300 petani dengan nilai $ 86 juta atau Rp. 731 milyar dengan nilai tukar sekarang (2004). Perubahan ini telah menyelamatkan komoditas vital bagi wilayah tersebut dan juga menciptakan jalan bagi industri gula bit untuk lebih berkembang dan maju pesat.
Sejak 1973, ACSC telah memperluas areal tanamannya dari sekitar 80 ribu hektar menjadi 202 ribu hektar, rata-rata pertambahan areal pertahun 4000 ha. Para petani telah berhasil meningkatkan rendemen gula dari 14 % menjadi 18 %. Sedangkan bobot meningkat dari 4.8 ton/ha menjadi 7.6 ton /ha, dan kapasitas olah meningkat dari 16.400 ton per hari menjadi 36.000 ton per hari. Pada saat ini, ACSC memiliki pangsa 15 % dari seluruh produksi gula di AS atau sebanyak 1.12 juta ton pada tahun 2002/2003, dan dimiliki sekitar 3000 petani, dimana perusahaan semakin berkembang dengan berbagai perusahaan baru berupa joint venture seperti : United Sugar Corporation, Midwest Agricommodities, Progold LLC dan Crystech LLC.
Dengan kerangka pemikiran dan pengalaman empiris yang telah disampaikan tersebut diatas, setidaknya diupayakan untuk mencari alternatif kelembagaan dan kebijakan yang selama ini menjadi permasalahan pokok yang muncul di lapangan, yaitu dengan model kerjasama melalui kemitraan antara petani dan pabrik gula.
Model Pola Kemitraan
1.Kemitraan yang ada saat ini.
Selama ini telah dikembangkan berbagai model pola kemitraan antara petani dan pabrik gula antara lain :
a. sistim sewa lahan petani oleh pabrik.
b. Sistim sewa lahan oleh pihak ketiga.
c. Sistim kemitraan dengan pabrik gula sebagai avalist.
d. Sistim pembelian tebu oleh pihak ketiga.
e. Sistim TRI mandiri.
Dari berbagai sistim kemitraan yang telah dikembangkan dan diterapkan selama ini, masih menghadapai kendala dan belum memperlihatkan hasil yang menguntungkan bagi semua pihak. Hal ini karena dengan sistim kemitraan tersebut posisi petani tebu dalam sistim industri gula masih lemah, bahkan sistim kemitraan yang ada sekarang lebih banyak merugikan petani ( Laporan Lemlit IPB ).
2.Model kemitraan Alternatif.
Berdasarkan kerangka pemikiran dan pengalaman empiris negara lain serta pandangan yang telah disampaikan tersebut diatas, maka perlu dipikirkan suatu pola kerjasama alternatif antara petani dan pabrik gula berdasar pada pemilikan saham ( shareholder ) pada perusahaan gula . Sharing kepemilikan ini dapat diperluas dengan melibatkan investor diluar petani dan pabrik sebagai penjamin dana segar. Hal ini untuk menjamin kondisi awal, dimana manajemen baru pengusahaan gula memerlukan pendanaan yang cukup besar. Namun dalam jangka panjang, peranan investor ini dapata digantikan oleh petani atau untuk sementara oleh pemerintah daerah.
Manajemen baru ini akan melakukan bisnis dalam bidang on-farm (penyiapan lahan, perawatan, pemanenan dan agro input), kegiatan tebang muat angkut, pengolahan dan penggilingan tebu, serta pemasaran, sehingga nilai tambah dari berbagai kegiatan dalam industri gula semaksimal mungkin dapat dinikmati pelaku .
Peranan masing-masing pihak dalam pola kerjasama tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Petani :
Kontribusi petani dalam model ini adalah lahan tebu. Lahan petani akan dihargai dengan sewa lahan sebagai share mereka terhadap pemilikan pabrik. Sewa ini diterimakan kepada petani walaupun kelak ternyata hasil tebu yang diolah rugi.Tetapi diatas sewa ini petani mungkin memperoleh hasil bagi pendapatan ,jika terdapat keuntungan dari penjualan gula, yang sistim bagi hasilnay dapat dirundingkan terus menerus antara pelaku-pelaku yang lain. Jadi besarnya bagi hasil dari sharing ini memerlukan perbaikan terus-menerus, sehingga tercapai keseimbangan diantara pelaku.
Investor.
Peran investor adalah menyediakan dana segar untuk digunakan sebagai modal operasi. Sedangkan dana-dana untuk investasi, dalam jangka pendek belum diperlukan, karena dianggap sudah tersedia pabrik dan lahan. Di harapkan peran investor didalam sharing pengusahaan ini juga pada waktu yang akan datang dapat digantikan oleh petani sendiri dan atau bersama-sama pabrik.
Resiko yang akan diterima investor adalah resiko modal operasi, oleh karenanya atas kontribusi dana ini, investor juga berhak atas deviden yang setidaknya lebih besar dari opportunity dari modal saat itu. Kebutuhan modal operasi termasuk didalamnya adalah , dana talangan kepada petani sebagai sewa dan biaya- biaya produksi tebu dan operasi pabrik yang harus ditutup. Besarnya dividen yang diterima investor, juga harus diperhitungkan dengan kemungkinan jika pengusahaan itu rugi, karena investor akan menerima resiko yang besar.
Pabrik Gula.
Peran Pabrik Gula adalah kontribusinya terhadap pengolahan dengan menyediakan mesin dan peralatan juga tenaga-tenaga manusia yang terlatih juga dana yang diperlukan untuk pengusahaan tebu petani. Atas kontribusinya ini PG akan menerima bagi hasil dalam bentuk deviden yang besarnya ditentukan dengan mempertimbangkan resiko yang akan diterima jika pengusahaan mengalami kerugian. Pertimbangan juga harus dilakukan terhadap kebutuhan akan re investasi atau rehabilitasi mesin dan peralatan PG, dimana untuk kedua hal ini dapat disisihkan dari keuntungan bersama yang diperoleh sebelum dibagikan sebagai deviden. Dengan demikian dalam jangka panjang manajemen akan benar-benar merupakan komponen profesional yang digaji, sedangkan pemilikan terpisah dari manajemen tersebut.
Dengan alternatif kemitraan tersebut adalah merupakan pemikiran awal yang untuk mewujudkannya diperlukan kajian yang terus menerus, bahkan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menjadi sempurna. Kajian ini sudah dimulai dilakukan oleh Fakultas Pertanian IPB dengan mengambil dua obyek kajian pada th 2004, dengan sebatas pada tahapan pemetaan masyarakat dan pemetaan pabrik gula. Pengenalan model kemitraan dan langkah lebih jauh terhadap kemungkinan pembentukan pola kerjasama dengan pembentukan manajemen baru perusahaan gula masih belum dilakukan. Oleh karena itu dengan pemikiran ini, setidaknya diharapkan banyak pihak yang diharapkan ikut berperan dalam menyelesaikan permasalahan pergulaan secara nasional.
Kesimpulan:
1. Bahwa permasalahan pergulaan nasional adalah disamping masalah terus- menerus turunya produksi dan produktifitas serta harga gula yang semakin murah, sehingga insentip bagi pengusahaan tebu berkurang, juga masalah kelembagaan dan kebijakan kurang mendapat perhatian yang serius dari semua pelaku yang terlibat dalam pengusahaan gula.
2. Bahwa penanganan masalah kelembagaan dan kebijakan dalam rangkaian industri gula , juga merupakan faktor yang dapat mendorong , kelangsungan aktivitas industri gula tetap terjamin dimasa yang akan datang (sustainability), yaitu dengan mencari model alternatip pola kemitraan antara petani dan pabrik gula.
3. Diperlukan kajian yang terus menerus dan berjangka panjang untuk menjadikan model kemitraan yang benar-benar dapat menguntungkan semua pihak serta terbangunya integrasi sistim agribisnis pergulaan.
Daftar Pustaka
Agus Pakpahan, DR, Petani Menggugat, Max Havelaar & Gaperindo , Jakarta,2004.
__________________.Penataan Kelembagaan Pertanian Menuju Kemandirian Agribisnis, Makalah pada Seminar Nasional Dan Rapat Kerja Nasional Ikatan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan, Jember 23- 27 Mei 2004.
Arifin,Bustanul, DR, Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia, Kompas, Jakarta, 2004.
Bilas, Richard.A Teori Mikroekonomi, edisi kedua, Erlangga, Jakarta 1993.
E. Gumbira Said, dan A Harizt Intan, Manajemen Agribisnis, Ghalia Indonesia, & MMA IPB, 2001.
Imam Syafi’i.Ir.Msi, Bahan Kuliah Manajemen Agribisnis, Fakultas Pasca Sarjana PS Agribisnis,2004.
Purwono, DR, Kebijakan Industri Gula Pandangan Dari Sisi Agronomi,Makalah untuk Sugar Observer, tidak dipubli kasikan Bogor, 2004
Lampiran-lampiran dan Tabel Menyusul
Created by Soeseno, Drs
Read more.....
Penurunan produksi gula secara nasional merupakan suatu akibat yang komplek, baik ditinjau dari segi tehnologi, ekonomi dan sosial budaya. Secara tehnis penurunan produksi gula diakibatkan karena semakin rendahnya produktifitas lahan dan rendahnya efisiensi pabrik-pabrik gula dalam negeri, yang selanjutnya akan mengakibatkan daya saing gula domestik di pasar gula internasional rendah. Dari sisi ekonomi dapat diamati bahwa kurangnya modal petani dan ditambah sering terlambatnya pencairan kredit semakin menambah rendahnya mutu pengusahaan tebu oleh petani sedangkan dari sisi sosial, yang sebenarnya merupakan akibat dari kedua hal diatas, adalah menurunya tingkat kepercayaan petani pada model pengelolaan kelompok hamparan maupun pada semua hal yang dianggap prakarsa pabrik gula.
Permasalahan diatas menuntut adanya upaya peningkatan kemampuan produksi dalam negeri yang dijamin kuantitas dan kualitas pasokan tebu serta produksi dan produktifitas pabrik gula.
Kajian terhadap faktor pendukung keberhasilan pergulaan pada zaman kolonial mengungkapkan bahwa terdapat dua hal yang menjadi faktor utama, yaitu jaminan ketersediaan lahan dan tenaga kerja yang murah (Cahyono,1991,LKEP Indikator,2001, Arifin,174,2004). Disamping itu,juga ditentukan oleh sistim pengusahaan yang terpadu, yaitu tanaman tebu yang dimiliki dan dikelola sendiri oleh pabrik gula,ditanam diatas lahan yang dimilik atau disewa oleh pabrik, sehingga pabrik dapat merencanakan dan mengelola proses produksi gula. Dari hal ini tersirat bahwa sumber permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan produksi gula tidak menjadi signifikan, yang pada akhirnya proses produksi menjadi efisien.
Faktor lahan merupakan faktor penting dalam menjamin pasokan kuantitas dan kualitas tebu bagi pabrik gula. Jaminan pasokan tebu berasal dari dua pihak,yaitu kebun petani dan kebun pabrik gula sendiri. Peran kebun petani dalam memasok tebu bagi pabrik gula lebih besar dari pada kebun pabrik gula sendiri. Data nasional menunjukan bahwa luas kebun petani sekitar 54 %,sedangkan kebun pabrik gula sekitar 46 %. Dengan kemampuan finansiil pabrik gula yang semakin terbatas,maka pasokan tebu dari lahan milik pabrik sendiri yang berasal dari lahan sewa menjadi terbatas. Dengan demikian keberlanjutan pasokan tebu bagi pabrik gula akan semakin bergantung pada kebun petani, terutama bagi pabrik gula yang tidak mempunyai lahan hak guna usaha ( HGU ). Dalam kaitan inilah penataan kelembagaan dan kebijakan menjadi penting. Bukti-bukti menunjukan dengan kemitraan yang baik antara perusahaan gula dengan petani tebu merupakan faktor strategis yang dapat menekan unit cost,karena manajemen kebun tebu terlepas dari manajemen pabrik, tetapi tetap secara fungsionil sebagai suatu kesatuan manajemen. (Pakpahan.107,2004).
Berdasarkan kondisi industri pergulaan saat ini, pendanaan merupakan salah satu permasalahan penting yang sangat mempengaruhi kinerja dari sisi on farm, dan pengolahan tebu. Dari sisi on farm, keterlambatan penyediaan saprotan karena kekurang mampuan pendanaan petani maupun pengadaan yang dilakukan pabrik gula, menyebabkan turunya produktifitas tebu (baik dalam hasil maupun rendemen gula). Dari sisi pengolahan, kemampuan pabrik gula dalam pemeliharaan dan rehabilitasi mesin-mesin sangat rendah. Permasalahan pendanaan dalam industri gula dapat dipecahkan dengan melakukan suatu model kemitraan dengan investor, yang dapat berasal dari pihak Pemerintah Daerah maupun swasta.
Petani dengan kepemilikan lahannya mempunyai posisi yang penting dalam mempengaruhi keberlanjutan aktivitas pabrik gula melalui jaminan pasokan tebu. Sedangkan tingkat produksi, produktivitas dan efisiensi pabrik gula berpengaruh langsung terhadap pasokan gula bgi kebutuhan domestik. Dengan demikian, baik petani tebu maupun pabrik gula, berperan penting dalam upaya peningkatan kemampuan produksi gula dalam negeri. Oleh karena itu pengembangan kemitraan antara petani dan pabrik gula menempati posisi penting dalam pembangunan pergulaan nasional. Salah satu bentuk kemitraan antara petani dan pabrik gula adalah pola kerjasama yang memungkingkan petani untuk mengambil peran proposional dalam perusahaan gula. Lahan sebagai faktor produksi penting, dapat menjadi salah satu titik temu dalam mengembangkan pola kemitraan antara petani dan pabrik gula. Dengan adanya jaminan pasokan tebu bagi pabrik gula melalui pola kemitraan tersebut diharapkan performance pabrik gula meningkat.
Selama ini telah dikembangkan berbagai model kemitraan anta petani dan pabrik gula. Beberapa pola kemitraan yang dimaksud antara lain sistim sewa lahan petani oleh pabrik gula dan sistim pembelian tebu petani oleh pabrik gula. Selain itu, Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor (2002) menyarankan sistim kelembagaan yang memungkinkan petani mempunyai sharing kepemilikan dalam pabrik gula. Dua sistim kemitraan tersebut diatas selama ini telah diterapkan ,namun masih banyak menghadapi kendala dan belum memperlihatkan hasil yang menguntungkan bagi semua pihak. Pola kemitraan yang ketiga belum banyak diterapkan ataupun dikembangkan, namun sekali gus menjadi model kemitraan alternatif dari pola kemitraan yang ada. Model kerjasama antara petani,pabrik gula dan investor dilakukan dalam bentuk sharing kepemilikan perusahaan gula. Perusahaan gula ini akan melakukan bisnis dibidang onfarm ( penyiapan lahan, perawatan, pemanenan dan agroinput ), kegiatan tebang muat angkut, pengolahan/penggilingan tebu, serta pemasaran, sehingga diharapkan nilai tambah dari berbagai kegiatan dalam industri gula semaksimal mungkin diperoleh.
Permasalahan Pergulaan Nasional
Sejak terjadinya penurunan harga gula dunia, pabrik gula menghadapi permaslahan yang rumit. Penurunan harga gula menyebabkan penurunan insentif dan daya saing budidaya tebu oleh petani, sehngga tidak lagi menjamin pasokan tebu bagi pabrik. Indikasi dari permasalahan tersebut adalah penurunan luas areal tanaman tebu baik di Jawa maupun di Luar Jawa (Tabel 1). Kompetisi pemakaian lahan sangat tinggi, sehingga manakala terjadi penurunan manfaat pemakaian lahan, dengan cepat terjadi alih fungsi lahan.
Selain itu pabrik gula menghadapi inefisiensi operasi. Sebagai gambaran, rata-rata biaya produksi gula saat ini ( 2004 ) Rp. 3.100/kg, namun harga gula ditingkat petani dipatok Rp. 3.410/kg. Margin yang tersisa dari selisih harga tersebut adalah Rp. 310/kg atau ± 10 % yang dinikmati baik oleh petani maupun pabrik. Margin tersebut sangat kecil karena inefisiensi di tingkat pabrik. Selain diakibatkan oleh kondisi mesin pabrik gula yang sudah tua, inefisiensi tersebut juga diakibatkan oleh skala ekonomi kapasitas giling yang belum terpenuhi. Disamping itu, bagi pabrik gula BUMN, permasalahan manajerial menjadi kendala tersendiri dalam upaya mencapai efisiensi produksi. Dengan permasalahan yang dihadapi tersebut , maka kemampuan finansiil pabrik gula juga semakin menurun. Hal ini tercermin pada penurunan sejumlah pabrik gula di Jawa seperti tampak pada tabel 2.
Dalam kondisi permasalahan diatas, produksi gula nasional menghadapi kenyataan terjadinya penurunan jumlah pabrik gula dan penurunan kapasitas produksi. Dilihat dari penyebarannya baik areal perkebunan maupun pabrik gula masih terpusat di Jawa,walaupun telah terjadi penurunan jumlah pabrik dari 57 menjadi 47 ,turun 17,54 %.Demikian pula dengan perkembangan kontribusi hablur masing-masing wilayah terhadap produksi hablur nasional, seperti tampak pada tabel 3 :
Dari Tabel tersebut diatas, menunjukkan penurunan kontribusi produksi hablur Jawa terhadap produksi nasional dari 77% (1994) menjadi 57 % (2000), sedangkan Luar Jawa meningkat dari 23% (1994) menjadi 43% (2000). Dari sisi pengelolaan, peranan pengelola swasta bertambah besar yaitu dari 26 % (1994) meningkat menjadi 42% (2000) , sedangkan BUMN peranannya semakin menurun dari 74% (1994) menjadi 58% (2000). Secara sepintas terlihat bahwa pabrik yang dikelola swasta memiliki produktivitas lebih tinggi dibanding pabrik yang dikelola BUMN.
Kepemilikan lahan (kebun tebu) di Jawa didominasi oleh kebun petani yakni sekitar 81,82%, sedangkan di Luar Jawa justru sebaliknya, kepemilikan kebun tebu lebih didominasi oleh pabrik gula yakni sekitar 95,01% dan kebun tebu milik petani hanya sekitar 4,09% (Tabel 4). Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebun tebu petani memegang peranan penting dalam memasok tebu bagi pabrik gula di Jawa. Disamping itu pula , diperoleh gambaran bahwa peran Jawa masih lebih besar (57% > 43%) dibandingkan Luar Jawa. Dengan kondisi keterbatasan finansiil pabrik gula selama ini dan pula relatif sedikitnya pabrik gula yang ber HGU, maka ketergantungan pabrik gula pada petani relatif tinggi.
Fenomena diatas adalah masalah-masalah yang bersifat tehnis, yang selama ini penanganannya cenderung lebih serius. Walaupun belum mewujudkan hasil yang memuaskan, karena implementasinya dilapangan sering terkendala hambatan kelembagaan dan kebijakan. Sementara permasalahan kelembagaan dan kebijakan belum banyak tersentuh, lebih-lebih dibangun diatas situasi, kondisi dan sistim nilai masyarakat.
Ketergantungan pabrik gula terhadap petani relatif tinggi dalam rangka pemenuham pasokan tebu, namun sistim kelembagaan yang mendukung hubungan petani dengan pabrik gula belum menghasilkan manfaat yang salaing menguntungkan kedua pihak. Oleh karena itu perlu dicarikan alternatif model hubungan tersebut dalam bentuk model kemitraan yang diharapkan mampu menjadi model yang memuaskan semua pihak. Agus Pakpahan (2003), menyarankan , bagi perusahaan yang berciri BUMN tidak perlu dilakukan privatisasi, tetapi dibentuk semacam koorporasi masyarakat dengan menjadikan petani sebagai pemilik pabrik gula. Hal ini berarti melakukan spin off terhadap pabrik gula, yaitu menjual sebagian pemilikan pabrik gula kepada petani, sehingga petani memiliki kewenangan kontrol manajerial terhadap pengelolaan pabrik gula. Dengan demikian, petani akan mengetahui beberapa hal yaitu, hasil yang benar-benar menjadi haknya, faktor-faktor yang menyebabkan inefisiensi pabrik dan kondisi pasar gula, dimana semua faktor tersebut menentukan hasil yang akan diterima petani dan pabrik gula. Dengan pengetahuan ini, diharapkan muncul saling ketergantungan antara petani dan pabrik yang hal ini akan menjamin kelangsungan perkembangan industri pergulaan nasional.
Kerangka Pemikiran.
1.Kemitraan dari sisi mikroekonomi
Hubungan antara petani tebu dan pabrik gula ditinjau dari aspek mikro pada dasarnya adalah hubungan antara penjual dan pembeli, dalam hal ini komoditi yang diperdagangkan adalah tebu. Dengan asumsi bahwa petani tidak bebas menjual tebunya ke sembarang pabrik, maka situasi yang dihadapi petani sama halnya menghadapi pasar yang beciri monopsoni. (Bilas, 292.1993), yaitu struktur pasar faktor produksi, dimana terdapat pembeli tunggal yang menghadapi banyak penjual. Sebagai penjual, posisi tawar petani sangat lemah, lebih-lebih jika berkaitan dengan informasi mengenai penentuan berapa perolehan harga tebu petani, karena harga tersebut dihitung berdasarkan indek berupa rendemen, yang tehnologi ini sepenuhnya dikuasai pabrik. Oleh karena itu dalam beberapa tahun terakhir ini, dalam rangka memperkuat posisi tawar petani terhadap pabrik, petani membentuk asosiasi diantara mereka (APTR = Asosiasi Petani Tebu Rakyat). Asosiasi ini secara teoritis berfungsi menaikan posisi tawar petani , dengan beberapa cara, merundingkan tingkat pengawasan rendemen, jadwal tebang dan merundingkan tingkat pebiayaan yang dibutuhkan petani, bahkan akhir-akhir ini sudah dilibatkan pada pengawasan harga gula. Dengan melihat bahwa antara petani dan pabrik gula pada dasarnya pelaku-pelaku dalam satu sistim agribisnis, maka asosiasi-asosiasi yang terbentuk pada petani adalah upaya untuk memperkuat posisi penawaran petani dalam menghadapi pabrik gula (gambar 1)
Penjelasan gambar : Jumlah tebu yg ditawarkan petani dan dibeli pabrik adalah Te, dan harga yg ditawarkan Pt2. Karena keseimbangan bagi bagi pabrik terjadi saat MRPt = MCt pada Te, maka harga yg wajar bagi pabrik adalah Pt1, tetapi karena pabrik adalah monopsonis, maka harga yang dibayar pabrik adalah Pt2. Pada kasus ini pabrik memperoleh keuntungan karena monopsoni sebesar (Pt1 – Pt2) x Te ( daerah yg diarsir pada gambar ). Secara teoritis untuk menghilangkan diskriminasi ini, adalah dengan melakukan intervensi untuk membuat kurva penawaran tegar (rigid = kaku) pada tingkat harga Pk, sehingga kurva penawaran menjadi PkS. Keseimbangan baru yang terjadi, dan dapat disepakati pabrik, adalah saat MRPt memotong PkS dengan tebu yang ditawarkan petani naik menjadi Tk pada harga Pk. Intervensi yang diperlukan untuk menjamin kondisi tersebut adalah dengan campur tangan pemerintah dan atau memperkuat kemitraan antara petani dengan pabrik.
2.Kemitraan dari sisi Manajemen Agribisnis
Petani dengan kepilikan lahannya mempunyai posisi yang penting dalam mempengaruhi keberlanjutan aktrivitas pabrik gula melalui jaminan pasokan tebu. Sedangkan tingkat produksi, produktifitas dan efisiensi pabrik gula berpengaruh langsung terhadap pasokan gula bagi kebutuhan domestik. Baik petani tebu maupun pabrik gula, dengan demikian, berperan penting dalam upaya peningkatan produksi gula, sehingga pengembangan kemitraan antara petani dan pabrik gula menempati posisi penting dalam pembangunan pergulaan nasional. Salah satu bentuk kemitraan antara petani dan pabrik gula adalah pola kerjasama yang memungkinkan petani mengambil peran proposional dalam perusahaan gula. Model kerjasama ini, pada dasarnya juga mengembangkan koorporasi masyarakat, untuk dalam jangka panjang melakukan kontrol terhadapa pabrik gula oleh masyarakat sebagai salah satu shareholder.
Secara teoritis, pengembagan model kerjasama tersebut adalah tercakup sebagai salah satu strategi pengembangan agribisnis yaitu Strategi dengan Integrasi Vertikal dimana salah satu strateginya mengambil pola perusahaan kemitraan agribisnis yang menguntungkan semua pihak (Imam Syafi’i .2004).
Integrasi vertikal dimaksudkan keterpaduan sistim agribisnis secara vertikal membentuk suatu rangkaian pelaku-pelaku yang terlibat dalam sistim agribisnis mulai dari penyedia input,usaha tani, pedagang pengumpul, usaha pengolahan hasil, sampai dengan konsumen baik dalam negeri ataupun luar negeri (Gumbira, 27,2001). Dengan demikian, dalam kasus petani tebu dengan pabrik gula, kerjasama melalui kemitraan diantara mereka , akan menjamin keterpaduan sub sistim agribisnis usaha tani sebagai penyedia input dengan pabrik sebagai pengolah hasil sekaligus sebagai pelaku pemasaran produk gula. Keterpaduan sub sistim agribisnis tersebut dalam satu rangkaian yang membentuk perusahaan gula akan menjamin dinikmatinya nilai tambah tiap sub sistim oleh petani maupun pabrik gula.
Model kerjasama dengan kemitraan antara petani dan pabrik gula yang mengarah pada terpadunya sub sistim agribisnis pengusahaan gula sebagai strategi integrasi vertikal, hanya dapat terselenggara pada akhirnya bergantung pada jaminan pemenuhan hak-hak dan kebutuhan para pelaku. Hal inilah yang sampai saat ini menjadi permasalahan antara petani dan pabrik gula.
3. Kemitraan dari sisi pengalaman lapangan
Pengamatan lapangan yang dilaporkan Agus Pakpahan , menyimpulkan bahwa, kasus pergulaan nasional yang melibatkan pabrik gula terutama yang BUMN dengan petani, secara strategis dapat dicarikan alternatif dengan membentuk koorporasi masyarakat, dimana petani sebagai pemilik utama pabrik. Argumentasi yang disampaikan ( Agus. 2004 ) :
a. Komposisi biaya dalam industri gula sekitar 60%-70% berada di kebun, karena itu kepentingan petani sangat besar.
b. Memudarnya persenyawaan kepentingan antara “ kepentingan rakyat “ sebagai pemilik negara, pemerintah sebagai shareholder tunggal (principal) dan manajemen sebagai “ agent “ dalam struktur BUMN.
c. Kelemahan BUMN gula, dalam melakukan reinvestasi untuk dapat membangun pabrik besar.
d. Desakan untuk membangun pabrik pengolahan yang dapat memanfaatkan seluruh kandungan yang terdapat dalam tebu.
e. Perlu bangunan institusi yang mampu menyelesaikan dampak dari asymetric power atau control antara petani dan pabrik gula.
f. Ada anggapan The best product hanya akan mungkin dihasilkan oleh The best community.
g. Koefisien fixity dari pabrik sangat tinggi, tetapi sebaliknya dengan lahan, fakta riil menunjukan bahwa pasokan bahan baku tergantung dari tebu petani, dimana petani sebenarnya memiliki banyak pilihan untuk memanfaatkan lahannya.
Selanjutnya untuk memperkuat pendapatnya, Agus Pakpahan juga memberikan contoh yang dapat dijadikan pelajaran adalah pengalaman empiris dibelinya American Crystal Sugar Company (ACSC), yang sahamnya terdaftar pada New York Stock Exchange, pada tahun 1973, oleh 1300 petani dengan nilai $ 86 juta atau Rp. 731 milyar dengan nilai tukar sekarang (2004). Perubahan ini telah menyelamatkan komoditas vital bagi wilayah tersebut dan juga menciptakan jalan bagi industri gula bit untuk lebih berkembang dan maju pesat.
Sejak 1973, ACSC telah memperluas areal tanamannya dari sekitar 80 ribu hektar menjadi 202 ribu hektar, rata-rata pertambahan areal pertahun 4000 ha. Para petani telah berhasil meningkatkan rendemen gula dari 14 % menjadi 18 %. Sedangkan bobot meningkat dari 4.8 ton/ha menjadi 7.6 ton /ha, dan kapasitas olah meningkat dari 16.400 ton per hari menjadi 36.000 ton per hari. Pada saat ini, ACSC memiliki pangsa 15 % dari seluruh produksi gula di AS atau sebanyak 1.12 juta ton pada tahun 2002/2003, dan dimiliki sekitar 3000 petani, dimana perusahaan semakin berkembang dengan berbagai perusahaan baru berupa joint venture seperti : United Sugar Corporation, Midwest Agricommodities, Progold LLC dan Crystech LLC.
Dengan kerangka pemikiran dan pengalaman empiris yang telah disampaikan tersebut diatas, setidaknya diupayakan untuk mencari alternatif kelembagaan dan kebijakan yang selama ini menjadi permasalahan pokok yang muncul di lapangan, yaitu dengan model kerjasama melalui kemitraan antara petani dan pabrik gula.
Model Pola Kemitraan
1.Kemitraan yang ada saat ini.
Selama ini telah dikembangkan berbagai model pola kemitraan antara petani dan pabrik gula antara lain :
a. sistim sewa lahan petani oleh pabrik.
b. Sistim sewa lahan oleh pihak ketiga.
c. Sistim kemitraan dengan pabrik gula sebagai avalist.
d. Sistim pembelian tebu oleh pihak ketiga.
e. Sistim TRI mandiri.
Dari berbagai sistim kemitraan yang telah dikembangkan dan diterapkan selama ini, masih menghadapai kendala dan belum memperlihatkan hasil yang menguntungkan bagi semua pihak. Hal ini karena dengan sistim kemitraan tersebut posisi petani tebu dalam sistim industri gula masih lemah, bahkan sistim kemitraan yang ada sekarang lebih banyak merugikan petani ( Laporan Lemlit IPB ).
2.Model kemitraan Alternatif.
Berdasarkan kerangka pemikiran dan pengalaman empiris negara lain serta pandangan yang telah disampaikan tersebut diatas, maka perlu dipikirkan suatu pola kerjasama alternatif antara petani dan pabrik gula berdasar pada pemilikan saham ( shareholder ) pada perusahaan gula . Sharing kepemilikan ini dapat diperluas dengan melibatkan investor diluar petani dan pabrik sebagai penjamin dana segar. Hal ini untuk menjamin kondisi awal, dimana manajemen baru pengusahaan gula memerlukan pendanaan yang cukup besar. Namun dalam jangka panjang, peranan investor ini dapata digantikan oleh petani atau untuk sementara oleh pemerintah daerah.
Manajemen baru ini akan melakukan bisnis dalam bidang on-farm (penyiapan lahan, perawatan, pemanenan dan agro input), kegiatan tebang muat angkut, pengolahan dan penggilingan tebu, serta pemasaran, sehingga nilai tambah dari berbagai kegiatan dalam industri gula semaksimal mungkin dapat dinikmati pelaku .
Peranan masing-masing pihak dalam pola kerjasama tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Petani :
Kontribusi petani dalam model ini adalah lahan tebu. Lahan petani akan dihargai dengan sewa lahan sebagai share mereka terhadap pemilikan pabrik. Sewa ini diterimakan kepada petani walaupun kelak ternyata hasil tebu yang diolah rugi.Tetapi diatas sewa ini petani mungkin memperoleh hasil bagi pendapatan ,jika terdapat keuntungan dari penjualan gula, yang sistim bagi hasilnay dapat dirundingkan terus menerus antara pelaku-pelaku yang lain. Jadi besarnya bagi hasil dari sharing ini memerlukan perbaikan terus-menerus, sehingga tercapai keseimbangan diantara pelaku.
Investor.
Peran investor adalah menyediakan dana segar untuk digunakan sebagai modal operasi. Sedangkan dana-dana untuk investasi, dalam jangka pendek belum diperlukan, karena dianggap sudah tersedia pabrik dan lahan. Di harapkan peran investor didalam sharing pengusahaan ini juga pada waktu yang akan datang dapat digantikan oleh petani sendiri dan atau bersama-sama pabrik.
Resiko yang akan diterima investor adalah resiko modal operasi, oleh karenanya atas kontribusi dana ini, investor juga berhak atas deviden yang setidaknya lebih besar dari opportunity dari modal saat itu. Kebutuhan modal operasi termasuk didalamnya adalah , dana talangan kepada petani sebagai sewa dan biaya- biaya produksi tebu dan operasi pabrik yang harus ditutup. Besarnya dividen yang diterima investor, juga harus diperhitungkan dengan kemungkinan jika pengusahaan itu rugi, karena investor akan menerima resiko yang besar.
Pabrik Gula.
Peran Pabrik Gula adalah kontribusinya terhadap pengolahan dengan menyediakan mesin dan peralatan juga tenaga-tenaga manusia yang terlatih juga dana yang diperlukan untuk pengusahaan tebu petani. Atas kontribusinya ini PG akan menerima bagi hasil dalam bentuk deviden yang besarnya ditentukan dengan mempertimbangkan resiko yang akan diterima jika pengusahaan mengalami kerugian. Pertimbangan juga harus dilakukan terhadap kebutuhan akan re investasi atau rehabilitasi mesin dan peralatan PG, dimana untuk kedua hal ini dapat disisihkan dari keuntungan bersama yang diperoleh sebelum dibagikan sebagai deviden. Dengan demikian dalam jangka panjang manajemen akan benar-benar merupakan komponen profesional yang digaji, sedangkan pemilikan terpisah dari manajemen tersebut.
Dengan alternatif kemitraan tersebut adalah merupakan pemikiran awal yang untuk mewujudkannya diperlukan kajian yang terus menerus, bahkan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menjadi sempurna. Kajian ini sudah dimulai dilakukan oleh Fakultas Pertanian IPB dengan mengambil dua obyek kajian pada th 2004, dengan sebatas pada tahapan pemetaan masyarakat dan pemetaan pabrik gula. Pengenalan model kemitraan dan langkah lebih jauh terhadap kemungkinan pembentukan pola kerjasama dengan pembentukan manajemen baru perusahaan gula masih belum dilakukan. Oleh karena itu dengan pemikiran ini, setidaknya diharapkan banyak pihak yang diharapkan ikut berperan dalam menyelesaikan permasalahan pergulaan secara nasional.
Kesimpulan:
1. Bahwa permasalahan pergulaan nasional adalah disamping masalah terus- menerus turunya produksi dan produktifitas serta harga gula yang semakin murah, sehingga insentip bagi pengusahaan tebu berkurang, juga masalah kelembagaan dan kebijakan kurang mendapat perhatian yang serius dari semua pelaku yang terlibat dalam pengusahaan gula.
2. Bahwa penanganan masalah kelembagaan dan kebijakan dalam rangkaian industri gula , juga merupakan faktor yang dapat mendorong , kelangsungan aktivitas industri gula tetap terjamin dimasa yang akan datang (sustainability), yaitu dengan mencari model alternatip pola kemitraan antara petani dan pabrik gula.
3. Diperlukan kajian yang terus menerus dan berjangka panjang untuk menjadikan model kemitraan yang benar-benar dapat menguntungkan semua pihak serta terbangunya integrasi sistim agribisnis pergulaan.
Daftar Pustaka
Agus Pakpahan, DR, Petani Menggugat, Max Havelaar & Gaperindo , Jakarta,2004.
__________________.Penataan Kelembagaan Pertanian Menuju Kemandirian Agribisnis, Makalah pada Seminar Nasional Dan Rapat Kerja Nasional Ikatan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan, Jember 23- 27 Mei 2004.
Arifin,Bustanul, DR, Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia, Kompas, Jakarta, 2004.
Bilas, Richard.A Teori Mikroekonomi, edisi kedua, Erlangga, Jakarta 1993.
E. Gumbira Said, dan A Harizt Intan, Manajemen Agribisnis, Ghalia Indonesia, & MMA IPB, 2001.
Imam Syafi’i.Ir.Msi, Bahan Kuliah Manajemen Agribisnis, Fakultas Pasca Sarjana PS Agribisnis,2004.
Purwono, DR, Kebijakan Industri Gula Pandangan Dari Sisi Agronomi,Makalah untuk Sugar Observer, tidak dipubli kasikan Bogor, 2004
Lampiran-lampiran dan Tabel Menyusul
Created by Soeseno, Drs
Langganan:
Postingan (Atom)