Pertanian organik (organic agriculture) mulai merambah dan dikembangkan kalangan berduit, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan sangat familiar di kembangkan oleh petani-petani non tradisional. Mengapa demikian? Bagi petani yang awam dan tradisional menganggap produk organik adalah produk yang bagus tidak hanya dari segi kandungan nutrisi, namun juga penampilan produknya. Akan tetapi kenyataannya produk pertanian organik itu tidaklah selalu bagus,
sebagai contoh daun berlobang, berukuran kecil, dan model kurang menarik, karena tidak menggunakan pestisida dan zat perangsang tumbuh atau pupuk an organik lainnya.
Pada awal usahataninya petani belum menghasilkan produk yang sesuai harapan. Bagi petani pada taraf introduksi teknologi ini dan imitation keberhasilan pertanian organik, serta tergiur mahalnya produk pertanian organik maka akan coba-coba mengembangkan pada model pertanian ini. Padahal inilah yang menjadi awal kegagalan petani tradisional, mencoba usahatani organik dengan sangat minim pengetahuan. Sementara kalangan petani komersiil merencanakan pertanian organik dengan sangat matang dan teliti yang didukung dengan teknologi yang canggih, misalnya: hasil uji laboratorium kandungan unsur hara tanah, air dan tektur tanah dengan daya dukung anggaran yang sangat kuat. Sementara kekecewaan, kegagalan dan tantangan selalu membayangi petani dalam mengembangkan usahatani sistem organik.
Kekecewaan petani yang kedua yaitu sebagian petani kita terbiasa dan sangat tergantung menggunakan pupuk anorganik, yang notabenenya memberikan respon cepat pada tanaman. Misalnya pemupukan Urea akan menghasilkan pertumbuhannya tanaman yang cepat, sementara dengan pemupukan organik pengaruh perubahan pertumbuhan tanaman tergolong lambat. Baru pada musim ketiga dan seterusnya, efek pupuk organik tersebut menunjukkan hasil yang nyata perbedaannya dengan pertanian non organik. Sehingga dapat disimpulkan pertanian organik di tahun-tahun awal akan mengalami banyak kendala dan membutuhkan modal yang cukup untuk bertahan. Oleh karena itu Kalau model ini akan dijadikan alternatif yang akan dikembangkan secara umum, baik untuk tujuan antisipasi adanya kekurangan pamakaian pupuk anorganik akibat kelangkaan, atau tujuan kesehatan ataupun untuk mendorong komersialisasi petani tradisional maka perlu adanya insentif untuk petani, misalnya hasil/produk pertanian organik harus dibeli pemerintah setempat dengan harga yang lebih mahal daripada harga non organik.
Tantangan petani yang ketiga Pertanian organik mutlak memerlukan pupuk organik sebagai sumber hara utama. Dalam sistem pertanian organik, ketersediaan hara bagi tanaman harus berasal dari pupuk organik. Padahal dalam pupuk organik tersebut kandungan hara per satuan berat kering bahan jauh di bawah realitas hara yang dihasilkan oleh pupuk anorganik, seperti Urea, TSP dan KCl. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan dasar tanaman (minimum crop requirement) cukup membuat petani kewalahan. Sebagai ilustrasi, untuk menanam sayuran dalam satu bedengan seluas 1 x 10 m saja dibutuhkan pupuk organik (kompos) sekitar 25 kg untuk 2 kali musim tanam atau setara dengan 25 ton/ha. Bandingakan dengan penggunaan pupuk anorganik Urea TSP dan KCl yg hanya membutuhkan total pemupukan sekitar 200-300 kg/ha. Karena memang umumnya petani kita bukan petani mampu yang memiliki lahan dan ternak sekaligus, sehingga mereka mesti membeli dari sumber lainnya dan ini membutuhkan biaya yang cukup tinggi di samping tenaga yang lebih besar. Pertanyaannya: berapakah populasi ternak kita? Berapakah petani yang sudah memanfaatkan kotoran tersebut?
Setelah masalah penyediaan pupuk organik, masalah utama yang lain adalah teknologi budidaya pertanian organik itu sendiri. Teknik bercocok tanam yang benar seperti pemilihan rotasi tanaman dengan mempertimbangkan efek allelopati dan pemutusan siklus hidup hama perlu diketahui. Pengetahuan akan tanaman yang dapat menyumbangkan hara tanaman seperti legum sebagai tanaman penyumbang Nitrogen dan unsur hara lainnya sangatlah membantu untuk kelestarian lahan pertanian organik. Selain itu teknologi pencegahan hama dan penyakit juga sangat diperlukan, terutama pada pembudidayaa pertanian organik di musim hujan.
Tembok besar yang harus ditembus sebagai cita-cita sorang interpreneur adalah pemenangan pangsa pasar. Negara maju memproteksi petaninya dengan sangat ketat dan berlapis, salah satunya dengan menerapkan sistem sertifikasi. Sementara pemasaran produk organik di dalam negeri sampai saat ini hanyalah berdasarkan kepercayaan kedua belah pihak, konsumen dan produsen. Sedangkan untuk pemasaran keluar negeri, produk organik Indonesia masih sulit menembus pasar internasional meskipun sudah ada beberapa pengusaha yang pernah menembus pasar international tersebut. Kendala utama adalah sertifikasi produk oleh suatu badan sertifikasi yang sesuai standar suatu negara yang akan di tuju. Akibat keterbatasan sarana dan prasarana terutama terkait dengan standar mutu produk, sebagian besar produk pertanian organik tersebut berbalik memenuhi pasar dalam negeri yang masih memiliki pangsa pasar cukup luas. Yang banyak terjadi adalah masing-masing melabel produknya sebagai produk organik, namun kenyatannya banyak yang masih mencampur pupuk organik dengan pupuk kimia serta menggunakan sedikit pestisida. Petani yang benar-benar melaksanakan pertanian organik tentu saja akan merugi dalam hal ini. Di lain pihak biaya sertifikasi sangat mahal, karena yang disertifikasi bukan hanya produknya melainkan sistem on farm-nya juga dinilai. Hal ini berdasar rekomendasi Departemen Pertanian untuk standar pertanian organik di Indonesia, yang dituangkan dalam SNI 01-6729-2002, yaitu Sistem pertanian organik menganut paham organik proses, artinya semua proses sistem pertanian organik dimulai dari penyiapan lahan hingga pasca panen memenuhi standar budidaya organik, jadi bukan hanya dilihat dari produk organik yang dihasilkan saja. SNI sistem pangan organik ini merupakan dasar bagi lembaga sertifikasi yang nantinya juga harus di akreditasi oleh Deptan melalui PSA (Pusat Standarisasi dan Akreditasi). SNI Sistem pangan organik disusun dengan mengadopsi seluruh materi dalam dokumen standar CAC/GL 32 / 1999, Guidelines for the production, processing, labeling and marketing of organikally produced foods dan dimodifikasi sesuai dengan kondisi Indonesia.
Bila dilihat kondisi petani di Indonesia, hampir tidak mungkin mereka mendapatkan label sertifikasi dari suatu lembaga sertifikasi asing maupun dalam negri. Luasan lahan yang dimiliki serta biaya sertifikasi yang tidak terjangkau, menyebabkan mereka tidak mampu mensertifikasi lahannya, lantas bagaimana dengan daya saingnya? Tentu belum mampu bersaing. Untuk mengatasi hal tersebut salah satu jalan adalah membentuk suatu kelompok petani organik dalam suatu kawasan yang luas yang memenuhi syarat sertifikasi, dengan demikian mereka dapat pembiayaan sertifikasi usaha tani mereka secara gotong royong atau adanya uluran tangan dari Pemda setempat. Namun ini pun masih sangat tergantung pada kontinyuitas produksi mereka.
Tantangan dan kendala usahatani sistem pertanian organik tersebut di atas tidak bermaksud menghalangi, menakut-nakuti atau bahkan melarang kepada siapa saja yang inten atau interest terhadap model usahatani tersebut melainkan sekedar memberikan rambu-rambu kepada stakeholder (pemerintah, petani atau pengusaha). Lebih-lebih bagi pemerintah yang notabenenya sebagai pengambil kebijakan seyogyanya berpikir komprehensip tanpa label politik dan harus tetap berpihak kepada petani. Tidak berlebihan apabila semua pihak mengetahui lebih dalam tentang pertanian organik yang dipaparkan dari berbagai sumber di bawah ini.
Pengertian Pertanian Organik
Pertanian organik menurut Mcdeeck adalah sistem manajemen produksi terpadu yang menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida dan hasil rekayasa genetik, menekan pencemaran udara, tanah, dan air. Selanjutnya Husnain dan Haris Syahbuddin mendefinisikan Pertanian organik yaitu "sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan". Lebih lanjut IFOAM (International Federation of Organik Agriculture Movements) menjelaskan pertanian organik adalah sistem pertanian yang holistik yang mendukung dan mempercepat biodiversiti, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Serifikasi produk organik yang dihasilkan, penyimpanan, pengolahan, pasca panen dan pemasaran harus sesuai standar yang ditetapkan oleh badan standardisasi. Dalam hal ini penggunaan GMOs (Genetically Modified Organisme) tidak diperbolehkan dalam setiap tahapan pertanian organik mulai produksi hingga pasca panen.
Pustaka: disarikan dari beberapa pustaka
Pada awal usahataninya petani belum menghasilkan produk yang sesuai harapan. Bagi petani pada taraf introduksi teknologi ini dan imitation keberhasilan pertanian organik, serta tergiur mahalnya produk pertanian organik maka akan coba-coba mengembangkan pada model pertanian ini. Padahal inilah yang menjadi awal kegagalan petani tradisional, mencoba usahatani organik dengan sangat minim pengetahuan. Sementara kalangan petani komersiil merencanakan pertanian organik dengan sangat matang dan teliti yang didukung dengan teknologi yang canggih, misalnya: hasil uji laboratorium kandungan unsur hara tanah, air dan tektur tanah dengan daya dukung anggaran yang sangat kuat. Sementara kekecewaan, kegagalan dan tantangan selalu membayangi petani dalam mengembangkan usahatani sistem organik.
Kekecewaan petani yang kedua yaitu sebagian petani kita terbiasa dan sangat tergantung menggunakan pupuk anorganik, yang notabenenya memberikan respon cepat pada tanaman. Misalnya pemupukan Urea akan menghasilkan pertumbuhannya tanaman yang cepat, sementara dengan pemupukan organik pengaruh perubahan pertumbuhan tanaman tergolong lambat. Baru pada musim ketiga dan seterusnya, efek pupuk organik tersebut menunjukkan hasil yang nyata perbedaannya dengan pertanian non organik. Sehingga dapat disimpulkan pertanian organik di tahun-tahun awal akan mengalami banyak kendala dan membutuhkan modal yang cukup untuk bertahan. Oleh karena itu Kalau model ini akan dijadikan alternatif yang akan dikembangkan secara umum, baik untuk tujuan antisipasi adanya kekurangan pamakaian pupuk anorganik akibat kelangkaan, atau tujuan kesehatan ataupun untuk mendorong komersialisasi petani tradisional maka perlu adanya insentif untuk petani, misalnya hasil/produk pertanian organik harus dibeli pemerintah setempat dengan harga yang lebih mahal daripada harga non organik.
Tantangan petani yang ketiga Pertanian organik mutlak memerlukan pupuk organik sebagai sumber hara utama. Dalam sistem pertanian organik, ketersediaan hara bagi tanaman harus berasal dari pupuk organik. Padahal dalam pupuk organik tersebut kandungan hara per satuan berat kering bahan jauh di bawah realitas hara yang dihasilkan oleh pupuk anorganik, seperti Urea, TSP dan KCl. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan dasar tanaman (minimum crop requirement) cukup membuat petani kewalahan. Sebagai ilustrasi, untuk menanam sayuran dalam satu bedengan seluas 1 x 10 m saja dibutuhkan pupuk organik (kompos) sekitar 25 kg untuk 2 kali musim tanam atau setara dengan 25 ton/ha. Bandingakan dengan penggunaan pupuk anorganik Urea TSP dan KCl yg hanya membutuhkan total pemupukan sekitar 200-300 kg/ha. Karena memang umumnya petani kita bukan petani mampu yang memiliki lahan dan ternak sekaligus, sehingga mereka mesti membeli dari sumber lainnya dan ini membutuhkan biaya yang cukup tinggi di samping tenaga yang lebih besar. Pertanyaannya: berapakah populasi ternak kita? Berapakah petani yang sudah memanfaatkan kotoran tersebut?
Setelah masalah penyediaan pupuk organik, masalah utama yang lain adalah teknologi budidaya pertanian organik itu sendiri. Teknik bercocok tanam yang benar seperti pemilihan rotasi tanaman dengan mempertimbangkan efek allelopati dan pemutusan siklus hidup hama perlu diketahui. Pengetahuan akan tanaman yang dapat menyumbangkan hara tanaman seperti legum sebagai tanaman penyumbang Nitrogen dan unsur hara lainnya sangatlah membantu untuk kelestarian lahan pertanian organik. Selain itu teknologi pencegahan hama dan penyakit juga sangat diperlukan, terutama pada pembudidayaa pertanian organik di musim hujan.
Tembok besar yang harus ditembus sebagai cita-cita sorang interpreneur adalah pemenangan pangsa pasar. Negara maju memproteksi petaninya dengan sangat ketat dan berlapis, salah satunya dengan menerapkan sistem sertifikasi. Sementara pemasaran produk organik di dalam negeri sampai saat ini hanyalah berdasarkan kepercayaan kedua belah pihak, konsumen dan produsen. Sedangkan untuk pemasaran keluar negeri, produk organik Indonesia masih sulit menembus pasar internasional meskipun sudah ada beberapa pengusaha yang pernah menembus pasar international tersebut. Kendala utama adalah sertifikasi produk oleh suatu badan sertifikasi yang sesuai standar suatu negara yang akan di tuju. Akibat keterbatasan sarana dan prasarana terutama terkait dengan standar mutu produk, sebagian besar produk pertanian organik tersebut berbalik memenuhi pasar dalam negeri yang masih memiliki pangsa pasar cukup luas. Yang banyak terjadi adalah masing-masing melabel produknya sebagai produk organik, namun kenyatannya banyak yang masih mencampur pupuk organik dengan pupuk kimia serta menggunakan sedikit pestisida. Petani yang benar-benar melaksanakan pertanian organik tentu saja akan merugi dalam hal ini. Di lain pihak biaya sertifikasi sangat mahal, karena yang disertifikasi bukan hanya produknya melainkan sistem on farm-nya juga dinilai. Hal ini berdasar rekomendasi Departemen Pertanian untuk standar pertanian organik di Indonesia, yang dituangkan dalam SNI 01-6729-2002, yaitu Sistem pertanian organik menganut paham organik proses, artinya semua proses sistem pertanian organik dimulai dari penyiapan lahan hingga pasca panen memenuhi standar budidaya organik, jadi bukan hanya dilihat dari produk organik yang dihasilkan saja. SNI sistem pangan organik ini merupakan dasar bagi lembaga sertifikasi yang nantinya juga harus di akreditasi oleh Deptan melalui PSA (Pusat Standarisasi dan Akreditasi). SNI Sistem pangan organik disusun dengan mengadopsi seluruh materi dalam dokumen standar CAC/GL 32 / 1999, Guidelines for the production, processing, labeling and marketing of organikally produced foods dan dimodifikasi sesuai dengan kondisi Indonesia.
Bila dilihat kondisi petani di Indonesia, hampir tidak mungkin mereka mendapatkan label sertifikasi dari suatu lembaga sertifikasi asing maupun dalam negri. Luasan lahan yang dimiliki serta biaya sertifikasi yang tidak terjangkau, menyebabkan mereka tidak mampu mensertifikasi lahannya, lantas bagaimana dengan daya saingnya? Tentu belum mampu bersaing. Untuk mengatasi hal tersebut salah satu jalan adalah membentuk suatu kelompok petani organik dalam suatu kawasan yang luas yang memenuhi syarat sertifikasi, dengan demikian mereka dapat pembiayaan sertifikasi usaha tani mereka secara gotong royong atau adanya uluran tangan dari Pemda setempat. Namun ini pun masih sangat tergantung pada kontinyuitas produksi mereka.
Tantangan dan kendala usahatani sistem pertanian organik tersebut di atas tidak bermaksud menghalangi, menakut-nakuti atau bahkan melarang kepada siapa saja yang inten atau interest terhadap model usahatani tersebut melainkan sekedar memberikan rambu-rambu kepada stakeholder (pemerintah, petani atau pengusaha). Lebih-lebih bagi pemerintah yang notabenenya sebagai pengambil kebijakan seyogyanya berpikir komprehensip tanpa label politik dan harus tetap berpihak kepada petani. Tidak berlebihan apabila semua pihak mengetahui lebih dalam tentang pertanian organik yang dipaparkan dari berbagai sumber di bawah ini.
Pengertian Pertanian Organik
Pertanian organik menurut Mcdeeck adalah sistem manajemen produksi terpadu yang menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida dan hasil rekayasa genetik, menekan pencemaran udara, tanah, dan air. Selanjutnya Husnain dan Haris Syahbuddin mendefinisikan Pertanian organik yaitu "sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan". Lebih lanjut IFOAM (International Federation of Organik Agriculture Movements) menjelaskan pertanian organik adalah sistem pertanian yang holistik yang mendukung dan mempercepat biodiversiti, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Serifikasi produk organik yang dihasilkan, penyimpanan, pengolahan, pasca panen dan pemasaran harus sesuai standar yang ditetapkan oleh badan standardisasi. Dalam hal ini penggunaan GMOs (Genetically Modified Organisme) tidak diperbolehkan dalam setiap tahapan pertanian organik mulai produksi hingga pasca panen.
Pustaka: disarikan dari beberapa pustaka
1 komentar:
Padi Lokal, Tanpa Pupuk dengan Hasil 8 Ton per Hektar
Selengkapnya baca di
http://organik-ajaib.blogspot.com/
Posting Komentar