Rabu, 07 Oktober 2009

KETAHANAN PANGAN

I. PENDAHULUAN
Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Dalam UU tersebut disebutkan Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, (Download dalam bentuk file, Click Here)pengendalian dan pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak
memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli mereka.

Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif.

Di PP tersebut juga disebutkan dalam rangka pemerataan ketersediaan pangan ke seluruh wilayah dilakukan distribusi pangan melalui upaya pengembangan sistem distribusi pangan secara efisien, dapat mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan serta menjamin keamanan distribusi pangan.

Disamping itu, untuk meningkatkan ketahanan pangan dilakukan diversifikasi pangan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal melalui peningkatan teknologi pengolahan dan produk pangan dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi anekaragam pangan dengan gizi seimbang.

PP Ketahanan Pangan juga menggarisbawahi untuk mewujudkan ketahanan pangan dilakukan pengembangan sumber daya manusia yang meliputi pendidikan dan pelatihan di bidang pangan, penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan dan penyuluhan di bidang pangan. Di samping itu, kerjasama internasional juga dilakukan dalam bidang produksi, perdagangan dan distribusi pangan, cadangan pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan serta riset dan teknologi pangan.
Dari uraian di atas terlihat ketahanan pangan berdimensi sangat luas dan melibatkan banyak sektor pembangunan. Keberhasilan pembangunan ketahanan pangan sangat ditentukan tidak hanya oleh performa salah satu sektor saja tetapi juga oleh sektor lainnya. Dengan demikian sinergi antar sektor, sinergi pemerintah dan masyarakat (termasuk dunia usaha) merupakan kunci keberhasilan pembangunan ketahanan pangan.

Menyadari hal tersebut di atas, Pemerintah pada tahun 2001 telah membentuk Dewan Ketahanan Pangan ( DKP) diketuai oleh Presiden RI dan Menteri Pertanian sebagai Ketua Harian DKP. DKP terdiri dari 13 Menteri termasuk Menteri Riset dan Teknologi dan 2 Kepala LPND. Dalam pelaksanaan sehari-hari, DKP dibantu oleh Badan Bimas Ketahanan Pangan Deptan, Tim Ahli Eselon I Menteri Terkait (termasuk Staf Ahli Bidang Pangan KRT) , Tim Teknis dan Pokja.


II. KETAHANAN PANGAN DEWASA INI

1. Impor

Sejak krisis ekonomi hingga sekarang, kemampuan Indonesia untuk memenuhi sendiri kebutuhan pangan bagi penduduk terus menurun. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi lebih dari 210 juta jiwa, dalam periode 1997-2003, Indonesia harus mengimpor bahan pangan diantaranya beras rata-rata 2 juta ton, kedelai 900 ribu ton, gula pasir 1,6 juta ton, jagung 1 juta ton, akhir-akhir ini garam sebesar 1,2 juta ton dan menghabiskan devisa negara 900 juta dolar AS pada tahun 2003 (Tabel 1).

Tabel 1. Volume dan Nilai Impor beberapa bahan pangan tahun 2003

*) Badan Pusat Statistik, 2003


2. Produksi

Produksi beras mengalami penurunan dalam 1997-2002, kemudian meningkat kembali. (Tabel 2). Produksi beras pada tahun 2003 sebesar 31.2 juta ton. Produksi kedelai menurun sangat tajam dengan rata-rata penurunan sekitar 25%, akibat menurunnya luas areal pertanaman kedelai. Produksi kedelai pada tahun 2003 berjumlah 671 ribu ton. Produksi gula cenderung stagnan pada level 1,7 juta ribu ton. Produksi garam cenderung menurun hanya mencapai 300 000 ton pada tahun 2003. Menurut ramalan ke -3 BPS, produksi beras dan kedelai tahun 2004 meningkat sedikit dari tahun 2003.

Tabel 2. Produksi beberapa bahan pangan tahun 2003

Komoditi Produksi (000 ton) Pertumbuhan (%)
Rata-rata 1999-2002 2003 1999-2002 2003
terhadap 2002
Beras 30.294 31.200 -1.15 2.92
Kedelai 712 672 -25.15 -0.09
Gula 1.692 1.681 3.73 -1.16
Garam 700 350 -25 -10
3. Konsumsi

Di sisi lain kebutuhan pangan cenderung meningkat 2,5-4% sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Kebutuhan beras, kedelai, gula dan garam pada tahun 2003 masing-masing berjumlah 33,4 juta ton, 1,95 juta ton, 3 juta ton, dan 2,05 juta ton.

Tabel 3. Kebutuhan beberapa bahan pangan tahun 2003

Komoditi Kebutuhan (000 ton) Pertumbuhan
2002 2003 ton %
Beras 32.158 33.372 1.214 3.78
Kedelai 1.901 1.951 50 2,6
Gula 2.883 3.000 117 4
Garam 2.000 2.050 50 2,5

Melihat data produksi dan kebutuhan pangan pada tahun 2003 terlihat bahwa terjadi defisit untuk keempat jenis komoditas pangan tersebut, beras sejumlah 1, 6 juta ton, kedelai 1,3 juta ton, gula 1,32 juta ton dan garam sejumlah 1,7 juta ton. Defisit pangan ini diatasi dengan cara mengimpor . Kecuali untuk beras, persentase impor pangan lainnya terhadap produksi sangat mengkhawatirkan berkisar 30-70%.
Dengan jumlah penduduk yang besar sekitar 216 juta jiwa pada tahun 2003 dan laju pertumbuhan 1.35% per tahun, maka kebutuhan pangan akan semakin besar di masa mendatang. Pada tahun 2005 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai 220.6 juta jiwa, dan tahun 2010 sebesar 236 juta. Apabila kemampuan produksi bahan pangan nasional tidak dapat mengikuti peningkatan kebutuhannya, maka Indonesia akan semakin tergantung pada impor yang berdampak membahayakan ketahanan nasional.

III. MASALAH DAN TANTANGAN
Permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mencapai ketahanan pangan menyangkut beberapa aspek 1) Ketersediaan Pangan, 2) Distribusi Pangan 3) Konsumsi pangan, 4) Pemberdayaan masyarakat dan 5) Manajemen.

1. Aspek Ketersediaan Pangan

Dalam aspek ketersediaan pangan, masalah pokok adalah semakin terbatas dan menurunnya kapasitas produksi dan daya saing pangan nasional. Hal ini disebabkan oleh faktor faktor teknis dan sosial - ekonomi;

a. Teknis
1. Berkurangnya areal lahan pertanian karena derasnya alih lahan pertanian ke non pertanian seperti industri dan perumahan (laju 1%/tahun).
2. Produktifitas pertanian yang relatif rendah dan tidak meningkat.
3. Teknologi produksi yang belum efektif dan efisien.
4. Infrastruktur pertanian (irigasi) yang tidak bertambah selama krisis dan kemampuannya semakin menurun.
5. Masih tingginya proporsi kehilangan hasil pada penanganan pasca panen (10-15%).
6. Kegagalan produksi karena faktor iklim seperti El-Nino yang berdampak pada musim kering yang panjang di wilayah Indonesia dan banjir .

b. Sosial- ekonomi
7. Penyediaan sarana produksi yang belum sepenuhnya terjamin oleh pemerintah.
8. Sulitnya mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dalam produksi pangan karena besarnya jumlah petani (21 juta rumah tangga petani) dengan lahan produksi yang semakin sempit dan terfragmentasi (laju 0,5%/tahun).
9. Tidak adanya jaminan dan pengaturan harga produk pangan yang wajar dari pemerintah kecuali beras.
10. Tata niaga produk pangan yang belum pro petani termasuk kebijakan tarif impor yang melindungi kepentingan petani.
11. Terbatasnya devisa untuk impor pangan sebagai alternatif terakhir bagi penyediaan pangan.

2. Aspek Distribusi Pangan

a. Teknis

1. Belum memadainya infrastruktur, prasarana distribusi darat dan antar pulau yang dapat menjangkau seluruh wilayah konsumen.
2. Belum merata dan memadainya infrastruktur pengumpulan, penyimpanan dan distribusi pangan , kecuali beras.
3. Sistem distribusi pangan yang belum efisien.
4. Bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah dan antar musim menuntut kecermatan dalam mengelola sistem distribusi pangan agar pangan tersedia sepanjang waktu diseluruh wilayah konsumen.

b. Sosial-ekonomi

5. Belum berperannya kelembagaan pemasaran hasil pangan secara baik dalam menyangga kestabilan distribusi dan harga pangan.
6. Masalah keamanan jalur distribusi dan pungutan resmi pemerintah pusat dan daerah serta berbagai pungutan lainnya sepanjang jalur distribusi dan pemasaran telah menghasilkan biaya distribusi yang mahal dan meningkatkan harga produk pangan.

3. Aspek Konsumsi Pangan

a. Teknis

1. Belum berkembangnya teknologi dan industri pangan berbasis sumber daya pangan lokal
2. Belum berkembangnya produk pangan alternatif berbasis sumber daya pangan lokal.

b. Sosial-ekonomi

3. Tingginya konsumsi beras per kapita per tahun ( tertinggi di dunia > 100 kg, Thailand 60 kg, Jepang 50 kg) .
4. Kendala budaya dan kebiasaan makan pada sebagian daerah dan etnis sehingga tidak mendukung terciptanya pola konsumsi pangan dan gizi seimbang serta pemerataan konsumsi pangan yang bergizi bagi anggota rumah tangga.
5. Rendahnya kesadaran masyarakat, konsumen maupun produsen atas perlunya pangan yang sehat dan aman.
6. Ketidakmampuan bagi penduduk miskin untuk mencukupi pangan dalam jumlah yang memadai sehingga aspek gizi dan keamanan pangan belum menjadi perhatian utama.

4. Aspek Pemberdayaan Masyarakat

1. Keterbatasan prasarana dan belum adanya mekanisme kerja yang efektif di masyarakat dalam merespon adanya kerawanan pangan, terutama dalam penyaluran pangan kepada masyarakat yang membutuhkan.
2. Keterbatasan keterampilan dan akses masyarakat miskin terhadap sumber daya usaha seperti permodalan, teknologi, informasi pasar dan sarana pemasaran meyebabkan mereka kesulitan untuk memasuki lapangan kerja dan menumbuhkan usaha.
3. Kurang efektifnya program pemberdayaan masyarkat yang selama ini bersifat top-down karena tidak memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan kemampuan masyarakat yang bersangkutan.
4. Belum berkembangnya sistem pemantauan kewaspadaan pangan dan gizi secara dini dan akurat dalam mendeteksi kerawanan panagan dan gizi pada tingkat masyarakat.

5. Aspek Manajemen

Keberhasilan pembangunan ketahanan dan kemandirian pangan dipengaruhi oleh efektifitas penyelenggaraan fungsi-fungsi manajemen pembangunan yang meliputi aspek perencanan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian serta koordinasi berbagai kebijakan dan program. Masalah yang dihadapi dalam aspek manajemen adalah:
1. Terbatasnya ketersediaan data yang akurat, konsisten , dipercaya dan mudah diakses yang diperlukan untuk perencanaan pengembangan kemandirian dan ketahanan pangan
2. Belum adanya jaminan perlindungan bagi pelaku usaha dan konsumen kecil di bidang pangan.
3. Lemahnya koordinasi dan masih adanya iklim egosentris dalam lingkup instansi dan antar instansi, subsektor, sektor, lembaga pemerintah dan non pemerintah, pusat dan daerah dan antar daerah.

IV. PELUANG

Sebagai negara agraris yang besar dengan potensi sumber daya alam yang beragam, Indonesia mempunyai berbagai peluang untuk mencapai kemadirian dalam bidang pangan secara berkelanjutan sebagai berikut

1. Keragaman sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang besar yang dapat dimanfaatkan melalui pemanfaatan dan pengembangan pangan sumber kabohidrat non beras, sumber protein dan gizi mikro di masing-masing daerah
2. Perkembangan teknologi yang pesat dalam berbagai aspek ; produksi, pasca panen dan pengolahan, distribusi, pemasaran untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan, produktivitas dan efisiensi, meningkatkan keuntungan agribisnis pangan, dan ketahanan pangan
3. Perubahan manajemen pembangunan dan pemerintah kearah desentralisasi dan partisipasi masyarakat yang memudahkan pencapaian ketahanan pangan dan kemandirian pangan dengan memperhatikan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal.

V. TUJUAN

Tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah mencapai ketahanan dalam bidang pangan dalam kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga dari produksi pangan nasional yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, jumlah dan mutu, aman, merata dan terjangkau seperti diamanatkan dalam UU pangan


VI. STRATEGI

Strategi yang dikembangkan dalam upaya pembangunan kemandirian pangan adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan kapasitas produksi pangan nasional secara berkelanjutan (minimum setara dengan laju pertumbuhan penduduk) melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi.
2. Revitalisasi industri hulu produksi pangan (benih, pupuk, pestisida dan alat dan mesin pertanian) .
3. Revitalisasi Industri Pasca Panen dan Pengolahan Pangan.
4. Revitalisasi dan restrukturisasi kelembagaan pangan yang ada ; koperasi, UKM dan lumbung desa.
5. Pengembangan kebijakan yang kondusif untuk terciptanya kemandirian pangan yang melindungi pelaku bisnis pangan dari hulu hingga hilir meliput penerapan technical barrier for Trade (TBT) pada produk pangan, insentif, alokasi kredit , dan harmonisasi tarif bea masuk, pajak resmi dan tak resmi.

Strategi untuk mencapai ketahanan pangan disajikan pada Gambar 1.

Ketahanan pangan diwujudkan oleh hasil kerja sistem ekonomi pangan yang terdiri dari subsistem ketersediaan meliput produksi , pasca panen dan pengolahan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan. Ketiga subsistem tersebut merupakan satu kesatuan yang didukung oleh adanya berbagai input sumberdaya alam, kelembagaan, budaya, dan teknologi. Proses ini akan hanya akan berjalan dengan efisien oleh adanya partisipasi masyarakat dan fasilitasi pemerintah. Partisipasi masyarakat ( petani, nelayan dll) dimulai dari proses produksi, pengolahan , distribusi dan pemasaran serta jasa pelayanan di bidang pangan. Fasilitasi pemerintah diimplementasikan dalam bentuk kebijakan ekonomi makro dan mikro di bidang perdagangan, pelayanan dan pengaturan serta intervensi untuk mendorong terciptanya kemandirian pangan. Output dari pengembangan kemandirian pangan adalah terpenuhinya pangan, SDM berkualitas, ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional.

VII. PROGRAM

Dengan memperhatikan pedoman dan ketentuan hukum, serta tujuan dan strategi untuk mewujudkan ketahanan pangan , maka kebijakan dan program yang akan ditempuh dikelompokkan dalam 1) Program jangka pendek (sampai dengan 5 tahun) 2) Program jangka menengah (5-10 tahun ) dan 3) Program jangka panjang (> 10 tahun)

A. Program Jangka Pendek

Program jangka pendek ditujukan untuk peningkatan kapasitas produksi pangan nasional dengan menggunakan sumberdaya yang telah ada dan teknologi yang telah teruji. Komponen utama program ini adalah
1. Ekstensifikasi atau perluasan lahan pertanian (140.000 Ha/tahun)

Ekstensifikasi lahan pertanian ditujukan untuk memperluas lahan produksi pertanian, sehingga produksi pangan secara nasional yang sekarang dapat ditingkatkan. Ekstensifikasi dilakukan terutama untuk kedelai, gula dan garam karena rasio impor terhadap produksi besar (30-70%). Lahan yang diperluas diperuntukkan bagi petani miskin dan tunakisma (< 0.1 Ha), tetapi memiliki keahlian/pengalaman bertani. Lahan kering yang potensial seluas 31 juta Ha dapat dimanfaatkan menjadi lahan usahatani. Sekarang ini baru 4 juta Ha lahan kering yang telah dibuka untuk area tanaman pangan dan perkebunan yang telah dibagikan kepada lebih dari 1 juta keluarga petani. Perluasan dilakukan di propinsi yang luas dan kaya seperti Kalimantan, Jambi, Irian Jaya dan Sumatra Selatan. Koordinator program ini adalah Departemen Pertanian didukung Depertemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen Kehutanan dan Perkebunan serta Pemda.
Biaya yang diperlukan bagi ekstensifikasi lahan pertanian untuk kedelai dengan asumsi luas lahan pertanian yang dibuka adalah 140000 Ha/tahun dan biaya pembukaan lahan kering adalah 4 000 000/Ha dan biaya budidaya Rp 3,5 juta tahun maka kebutuhan biaya ekstensifikasi adalah 1,05 trilyun rupiah per tahun. Target kepemilikan lahan petani adalah 2 Ha (karena akan efisien) sehingga jumlah petani yang memiliki lahan 2 Ha akan bertambah 70000 petani/tahun. Biaya budidaya direvolving untuk tahun berikutnya sehingga tidak perlu mengalokasikan dana untuk yang sudah dibuka. Kenaikan produksi yang diharapkan adalah untuk kedelai 280 000 ton dengan masa tanam 2 kali. Untuk gula dan garam, ekstensifikasi dilakukan dengan memanfaatkan kembali lahan produksi gula dan garam yang telah beralih fungsi.
2. Intensifikasi

Program ini diarahkan untuk peningkatan produksi melalui peningkatan produktifitas pertanian. Intensifikasi ditujukan pada lahan-lahan pertanian subur dan produktif yang sudah merupakan daerah lumbung pangan seperti Kerawang, Subang dan daerah pantura lainya di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan propinsi lainnya. Penekanan program ini pada peningkatan pertanaman (dari 1 menjadi 2, dari 2 kali menjadi 3 kali ) dan ketepatan masa tanam didukung oleh adanya peralatan pertanian, kebutuhan air (jaringan irigasi baru), pupuk dan benih serta pengendalian hama penyakit terpadu.

Koordinator program ini adalah Deptan, didukung oleh Pemda, LAPAN, BATAN,LIPI, BPPT, PUSRI, PERTANI, Sang Hyang Seri, Bank dan Jasa Alsin Pertanian. Biaya program ini lebih diarahkan pada koordinasi antar instansi dan alokasi kredit usaha tani. Biaya koordinasi antar instansi dan pembinaan dimasukkan pada anggaran masing-masing departemen.
Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi dengan Lembaga Pemerintah Non departemen , seperti LAPAN berperan memberikan data dan informasi tentang iklim dan cuaca yang dapat dimanfaatkan petani dan pihak yang membutuhkan dalam berproduksi. BATAN dan LIPI berperan dalam menciptakan varietas padi dan palawija yang tahan kekeringan untuk mensuplai kebutuhan benih nasional. BPPT dan LIPI berperan dalam teknologi budidaya dan pasca panen.

Peningkatan produktifitas padi 10% per 5 tahun dapat mempercepat terwujudnya swasembada beras (konsumsi 100 kg/kapita/hari). Untuk kedelai swasembada sulit dicapai tanpa diimbangi dengan peningkatan luas areal kedelai secara signifikan. Produktifitas kedelai perlu ditingkatkan sebesar 50-100% diimbangi dengan penambahan luas areal 2-3 kali lipat dari yang ada sekarang. Produktifitas gula dan garam perlu ditingkatkan sebesar 50-100%, diimbangi dengan perluasan areal tebu dan garam.
3. Diversifikasi

Kegiatan diversifikasi ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan pokok alternatif selain beras, penurunan konsumsi beras dan peningkatan konsumsi pangan pokok alternatif yang berimbang dan bergizi serta berbasis pada pangan lokal. Diversifikasi dilakukan dengan mempercepat implementasi teknologi pasca panen dan pengolahan pangan lokal yang telah diteliti ke dalam industri. Dukungan sektor alat dan mesin dan kredit menjadi penting pada saat transformasi dari skala laboratorium menjadi skala industri agar proses produksi berjalan efisien.

Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi berperan dalam diversifikasi pangan melalui penyediaan teknologi diversifikasi pangan pokok alternatif (program RUSNAS).

Koordinator kegiatan ini adalah Kantor Menristek dan Deptan, dibantu oleh P dan K, Informasi, BKKBN, Sosial dan Kesehatan.
4. Revitalisasi Industri Pasca Panen dan Pengolahan Pangan

Revitalisasi/restrukturisasi industri pasca panen dan pengolahan pangan diarahkan pada 1) penekanan kehilangan hasil dan penurunan mutu karena teknologi penanganan pasca panen yang kurang baik, 2) pencegahan bahan baku dari kerusakan dan 3) pengolahan bahan baku menjadi bahan setengah jadi dan produk pangan.

Kegiatan yang dilakukan adalah implementasi alat mesin dan teknologi pasca panen yang efektif dan efisien ; perontokan dan pengeringan pada tingkat petani, pengumpul, KUD dan usaha jasa pelayanan alsin pasca panen di sentra produksi (beras, kedelai). Produktifitas industri gula ditingkatkan dengan modernisasi alat dan mesin pengolahan gula.

Industri pangan non beras di sentra produksi didorong pengembangannya untuk mengolah bahan mentah menjadi bahan baku dan bahan baku menjadi produk pangan. Dengan demikian, industrialisasi dan agroindustri pangan akan berkembang dan tumbuh di pedesaan. Program ini akan berdampak luas kepada penyediaan lapangan kerja dan penurunan laju urbanisasi. Jenis industri pengolahan pangan yang dikembangkan disesuaikan dengan potensi bahan baku dan adanya pasar.

Paket teknologi serta alat dan mesin pasca panen dan pengolahan pangan yang telah dikembangkan oleh berbagai lembaga Deptan, Dep. Perindustrian, dan Dep Perikanan dan Kelautan, BPPT, LIPI dan PT serta Swasta dapat segera diterapkan setelah mendapat pengujian.

Alokasi dana ditujukan pada penyediaan kredit alsin pasca panen dan pengolahan dan pengembangan sentra pengolahan pangan.
Koordinator program adalah Deptan dan Depperin didukung oleh Bank, dan Asosiasi Alat dan Mesin Pertanian dan pengolahan Pangan.

5. Revitalisasi dan Restrukturisasi Kelembagaan Pangan

Keberadaan, peran dan fungsi lembaga pangan seperti kelompok tani, UKM, Koperasi perlu direvitalisasi dan restrukturisasi untuk mendukung pembangunan kemandirian pangan. Kemitraan antara lembaga perlu didorong untuk tumbuhnya usaha dalam bidang pangan. Koordinator kegiatan ini adalah Meneg Koperasi dan UKM dan Deptan dibantu oleh Depperindag. Alokasi dana untuk kegiatan ini berupa koordinasi antar departemen dan instansi untuk melahirkan kebijakan baru untuk kelembagaan pangan. Kebutuhan dana dibebankan pada anggaran masing-masing departemen.

6. Kebijakan Makro

Kebijakan dalam bidang pangan perlu ditelaah dan dikaji kembali khususnya yang mendorong tercapainya ketahanan pangan dalam waktu 1-5 tahun. Beberapa hal yang perlu dikaji seperti pajak produk pangan, retribusi, tarif bea masuk, iklim investasi, dan penggunaan produksi dalam negeri serta kredit usaha.

Koordinator program ini adalah Departemen Keuangan dibantu oleh Departemen terkait dan Pemda. Masukan dapat diperluas dari swasta, lembaga petani dan koperasi. Alokasi dana diperlukan untuk rapat koordinasi dan penyusunan kebijakan antar instansi.

7. Program Jangka Menengah (5-10 tahun)

Program jangka menengah ditujukan pada pemantapan pembangunan ketahanan pangan yang lebih efisien dan efektip dan berdaya saing tinggi. Beberapa program yang relevan untuk dilakukan adalah

1. Perbaikan undang-undang tanah pertanian termasuk didalamnya pengaturan luasan lahan pertanian yang dimiliki petani, pemilikan lahan pertanian oleh bukan petani. Sistem bawon atau pembagian keuntungan pemilik dan penggarap, dsb.
2. Modernisasi pertanian dengan lebih mendekatkan pada pada peningkatan efisiensi dan produktivitas lahan pertanian, penggunaan bibit unggul, alat dan mesin pertanian dan pengendalian hama terpadu dan pasca panen dan pengolahan pangan.
3. Pengembangan jaringan dan sistem informasi antar instansi, lembaga yang terkait dalam bidang pangan serta pola kemitraan bisnis pangan yang berkeadilan.
4. Pengembangan prasarana dan sarana jalan di pertanian agar aktivitas kegiatan pertanian lebih dinamis.

8. Program Jangka Panjang (> 10 tahun)

1. Konsolidasi lahan agar lahan pertanian dapat dikelola lebih efisien dan efektip, karena masuknya peralatan dan mesin dan menggiatkan aktivitas ekonomi dan pedesaan.
2. Perluasan pemilikan lahan pertanian oleh petani.


PUSTAKA

1. Achmad Suryana, 2001. Kebijakan Nasional Pemantapan Ketahanan Pangan. Makalah pada Seminar Nasional Teknologi Pangan, Semarang , 9-10 Oktober 2001
2. Anonim, 1996. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Kantor Menteri Negara Pangan RI.
3. Anonim , 2000. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional.
4. Siswono Yudo Husodo. 2001.Kemandirian di Bidang Pangan, Kebutuhan Negara Kita. Makalah Kunci pada Seminar Nasional Teknologi Pangan, Semarang , 9-10 Oktober 2001

Read more.....

Senin, 06 Juli 2009

POLA PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERTANIAN BERORIENTASI AGRIBISNIS PADA ERA OTONOMI DAERAH

I. PENDAHULUAN
Penyuluhan pertanian diakui telah banyak memberikan sumbangan pada keberhasilan pembangunan pertanian di Indonesia. Penyuluhan telah berhasil menyampaikan berbagai inovasi pertanian kepada petani dengan segala metodenya sehingga para petani meningkat pengetahuan dan ketrampilannya serta dapat mengubah sikap petani menjadi mau dan mampu menerapkan inovasi baru.



Perjalanan pengembangan penyuluhan pertanian di Indonesia yang dimulai sejak akhir abad 19 ternyata mengalami pasang surut dan liku-liku yang dinamik sesuai dengan perkembangan jaman. Dari romantika perjalanan penyuluhan pertanian dapat ditarik hikmah dan pelajaran yang sangat berharga bagi pengembangan penyuluhan di masa kini dan masa mendatang (“lebih dikenal dengan era agribisnis”).



Revitalisasi dan reformasi penyuluhan pertanian di era agribisnis merupakan suatu tuntutan jaman yang tidak dapat dihindarkan. Oleh karena itu maka pembenahan dan pemberdayaan kelembagaan penyuluhan serta peningkatan kemampuan penyuluh harus menjadi bahan kajian bagi para pakar yang akan dijadikan kebijakan bagi pemerintah.



Penyuluhan pertanian pada era PJP I lebih dikenal dengan penyuluhan “better farming” yaitu penyuluhan untuk memperbaiki cara-cara bertani saja. Hampir tidak pernah dilakukan penyuluhan secara serius dalam memeperoleh modal usaha, pemasaran hasil, perbaikan mutu hasil, akuntansi pertanian dan sebagainya. Penyuluhan pertanian yang dilakukan pada waktu itu terutama agar petani mempratekan cara-cara bertani baru seperti yang dianjurkan oleh pemerintah (Departemen Pertanian).

Pada Era PJP II atau era agribisnis, penyuluhan pertanian harus lebih difokuskan agar para petani diajari bagaimana meraih keuntungan yang layak atau disebut "“better business” . Maka penyuluh pertanian harus benar-benar seorang analis usahatani, dengan menerapkan efisisensi yang maksimal dalam berusahatani, memahami arti pengembangan usaha, pemasaran hasil, penerapan standar mutu, mampu menjadi mediator dalam bermitra usaha.



Sejak urusan penyuluhan pertanian diserahkan kepada pemerintah daerah sering ditemulan adanya permasalahan yang merugikan petani maupun bagi para penyuluh pertanian di lapangan. Permasalahan yang ditemukan antara lain rendahnya tingkat profesionalme penyuluh pertanian, lemahnya administrasi penyuluh pertanian, dan kurangnya kemampuan manajerial penyuluh pertanian.



Adanya permasalahan-permasalahan tersebut berakibat pada rendahnya tingkat penyelenggaraan penyuluh pertanian kepada petani sehingga tingkat produktifitas usahatani dan pendapatan petani tidak berkembang.



Dengan diterbitkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, jelas semakin kuat peran Pemerintah Daerah dalam menangani penyuluhan pertanian. Atas dasar itulah maka diperlukan adanya Pola Pengembangan Penyuluhan Pertanian yang berorientasi Agribisnis sebagai jawaban dicanangkannya era otonomi daerah.


II. TUJUAN DAN OUTPUT

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain :


1. Mengidentifikasi penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang berorientasi agribisnis pada era otonomi daerah.

2. Dirumuskannya pola pengembangan penyuluhan pertanian berorientasi agribisnis pada era otonomi daerah.

3. Output yang akan dihasilkan dari penelitian ini yaitu Rumusan Pola Pengembangan Penyuluhan Pertanian Berorientasi Agribisnis pada era Otonomi Daerah.


III.KERANGKA PIKIR

Pada hakekatnya dinamika kemajuan pertanian sepanjang sejarah peradaban manusia adalah pengetahuan, Otak dan kekuatan (otot). Kecerdasan manusia yang secara akumulatif menghasilkan pengetahuan yang diperlukannya untuk beradaptasi dengan bahkan “menguasai” lingkungannya, adalah energi abadi dari dinamika perubahan atau kemajuan peradaban manusia (tidak terkecuali pertanian). Keunggulan dan kertertinggalan dari suatu masyarakat ditentukan oleh kemajuan, kekayaan dan relevansi pengetahuan yang dimiliki dan dikuasainya.

Bertolak dari proposisi diatas dapat dengan mudah kita pahami bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian adalah kegiatan publik (pemerintah) yang menentukan kemajuan pertanian di negaranya. Pengetahuan sebagai daya otak, menampilkan manfaat praktisnya (operasionalnya) melalui prilaku manusia; terkandung dalam proses, barang dan jasa (produk) teknologi; dan termanifestasikan dalam kelembagaan. Maka pendidikan berarti memperkaya pengetahuan dari manusia; penelitian berarti mencari/menemukan pengetahuan tenyang proses, sarana, alat, mesin dan perlengkapan baru; sedangkan penyuluhan berarti pelembagaan aplikasi atau adopsi inovasi dan iptek dalam pengelolaan usahatani yang harus selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan tuntuan internal maupun eksternalnya (lingkungan).

Usahatani sebagai lembaga yang mengusahakan optimasi dari manfaat faktor produksi (alam, tenaga, modal, organisasi) untuk meraih keunggulan konperatif dan konpetitif, dengan pengetahuan dan adopsi inovasi (iptek) itu akan tampil dengan keputusan yang cermat dan tepat, kemampuan melaksanakan keputusannya, serta kemampuannya mengendalikan arus pekerjaan, barang dan dana sesuai kebutuhan usahataninya; seraya menangkal berbagai resiko yang merugikannya. Itulah adanya penyuluhan pertaniani yang melembaga. Artinya dengan memanfaatkan jasa lembaga penyuluhan pertanian, petani meningkatkan kapasitas dan mutu oleh ataknya.

Pertanian yang berorientasi yaitu usaha dibidang pertanian dimana para pelakunya selalu mendambakan nilai tambah yang optimal tersebut para pelakunya harus mempunyai posisi tawar yang kuat apabila berhadapan dengan pasar (pembelinya). Apabila posisi tawar petani menjadi kuat nilai maka manfaat inovasi (iptek) akan memberikan nilai tambah. Salah satu upaya dalam kegiatan penyuluhan pertanian adalah mengembangkan kebersamaan menumbuhkan kelembagaan-kelembagaan petani. Kebersamaan petani dalam wadah kelompoktani (kelembagaan) adalah wujud dari upaya memperkokoh posisi tawar petani.


IV. HIPOTESIS

Pola penyuluhan pertanian yang tidak jelas untuk berbagai strata wilayah akan melemahkan kinerja penyuluh pertanian, sehingga para petani tidak dapat memecahkan permasalahan di tingkat usahatani dan tidak dapat mengikuti perkembangan modernisasi pertanian atau lebih dikenal dengan era agribisnis.

Dengan dirumuskannya pola pengembangan penyuluhan pertanian berorientasi agribisnis diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan atau dijadikan bahan acuan bagi penyelenggaraan pertanian pada era otonomi daerah.


V. PENUTUP

Rencana penelitian ini diajukan dalam rangka mengikuti mata kuliah falsafah ilmu program strata 3 Penyuluhan Pembangunan pada Institut Pertanian Bogor. Dari hasil penelitian ini diharapkan mampu menjawab tantangan pengembangan penyuluhan pertanian yang berorientasi agribisnis pada era otonomi daerah.

Mudah-mudahan rencana ini mendapat ridho dari Allah Subhanahuwataala.
Sebagai rasa hormat saya Kepada Bpk Ir. Mulyono Machmur, Ms saya tampilkan tulisan Beliau pada Blog saya yang barusan meninggalkan pos lamanya sebagai Kepala Pusat Penyuluhan Pertanian selamat Bertugas di tempat yang baru semoga sukses...Bravo ketua Perhiptani Pusat......
Read more.....

Minggu, 03 Mei 2009

Susu Kambing

Ummat Islam tentu tahu bahwa Rasulullah biasa meminum susu kambing, dan bukan susu sapi atau pun unta. Terutama, susu kambing yang dingin. Ternyata kebiasaan atau sunnah beliau yang satu ini juga menyimpan banyak hikmah.

Dibanding susu sapi, susu kambing punya beberapa keunggulan sebagai makanan tambahan bagi anak balita. Selain lebih mudah dicerna, susu kambing mengandung lebih banyak mineral yang dibutuhkan untuk pertumbuhan anak.

Di kalangan masyarakat luas, terutama di negara berkembang, pengertian susu lebih mengacu pada produk susu sapi. Di Amerika saja tidak kurang dari 10 juta ekor sapi dipelihara dan menghasilkan sekitar 56,7 juta ton susu. Padahal selain sapi, ternak lain yang sangat potensial menghasilkan susu adalah kambing. Saat ini susu kambing mulai populer di Indonesia, walaupun penyediaannya belum sebanyak susu sapi.

Jika pada sapi perah dikenal keturunan Holstein sebagai penghasil susu utama, di “keluarga” kambing yang terkenal sebagai penghasil susu berkualitas tinggi dengan kandungan lemak rendah adalah jenis Saanen. Jenis Nubian menghasilkan sedikit susu, tetapi berkadar lemak tinggi. Jenis Toggenburg, LaMancha, Ober hasli, dan Alpine termasuk penghasil susu kualitas menengah.

Bagaimana rasanya? Susu kambing yang berlemak tinggi tentu jauh lebih nikmat dibandingkan dengan yang berlemak rendah. Namun, konsumsi susu berlemak tinggi berpotensi menyebabkan obesitas.

Susu kambing memang memiliki karakteristik yang berbeda dengan susu sapi ataupun ASI. Susu kambing memiliki daya cerna protein yang tinggi dan rasa asam yang sangat khas.

Aroma Kambing

Ada masyarakat yang beranggapan bahwa susu kambing beraroma seperti kambing. Hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Adanya aroma yang mengganggu sangat tergantung pada cara pengolahan susu tersebut.

Bau kambing pada susu kambing sebenarnya merupakan dampak dari wadah susu yang tercemar aroma yang dihasilkan oleh kelenjar kambing. Jika pengolahan dilakukan secara benar, susu kambing tidak akan memiliki aroma yang terlalu mengganggu.

Pengaturan konsumsi pakan juga memengaruhi kualitas susu kambing. Hal serupa juga berlaku pada susu sapi. Untuk menambah selera, terutama bagi mereka yang mempunyai indra penciuman yang sangat sensitif, konsumsi susu kambing juga dapat dicampur dengan flavor lain seperti cokelat, vanila, atau stroberi.

Susu kambing yang terbaik untuk dikonsumsi adalah dalam bentuk segar (raw milk) karena kandungan gizinya belum banyak yang hilang akibat proses pengolahan. Sayangnya, tidak semua orang bisa mengonsumsi susu kambing segar. Bentuk olahan susu kambing yang lain adalah susu pasteurisasi, yoghurt, es krim, dodol, ataupun kefir (susu asam).

Susu kambing mempunyai struktur dan ukuran lemak yang lebih kecil dibandingkan dengan susu sapi, sehingga lemak mudah sekali larut dan tercampur secara lebih merata (homogen). Hal itulah yang menyebabkan susu kambing terasa lebih halus dan lembut. Di sisi lain, susu kambing mempunyai kandungan lemak relatif lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi.

Mudah Dicerna

Dalam beberapa hal, susu kambing juga mempunyai keunggulan dibanding susu sapi. Kandungan asam lemak pada susu kambing jauh lebih banyak dibanding susu sapi atau susu kedelai. Namun, dibanding asam lemak pada susu sapi, susu kambing lebih banyak mengandung asam lemak berantai pendek dan sedang.

Hal tersebut menyebabkan lemak susu kambing lebih mudah dicerna tubuh untuk menghasilkan energi, sehingga tidak tertimbun sebagai lemak atau kolesterol. Dengan demikian, kekhawatiran menjadi gemuk atau terserang penyakit yang berkaitan dengan kolesterol, tidak perlu terjadi.

Dari hasil penelitian Mack pada tahun 1953 terbukti, kelompok anak yang diberi susu kambing memiliki berat badan, mineralisasi kerangka, kepadatan tulang, vitamin A plasma darah, kalsium, tiamin, riboflavin, niasin, dan konsentrasi hemoglobin yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok anak yang diberi susu sapi.

Selain itu, susu kambing juga memiliki kapasitas buffer yang lebih baik, sehingga bermanfaat bagi anak yang mengalami gangguan pencernaan. Namun, susu kambing juga memiliki kelemahan, yakni kandungan asam folat dan vitamin B12-nya lebih rendah daripada susu sapi.

Susu kambing juga mengandung lebih sedikit orotic acid. Relatif rendahnya kandungan senyawa tersebut berpengaruh baik terhadap pencegahan sindroma perlemakan hati. Hal itu menyebabkan susu kambing sangat baik untuk menjaga kesehatan hati.

Kalsium Lebih Tinggi

Kandungan kalsium pada susu kambing jauh lebih baik daripada susu sapi atau kedelai, yaitu dalam 100 gramnya masing-masing mengandung 133, 100, dan 15 mg (lihat Tabel 2). Demikian juga dengan kadar fosfornya. Kadar fosfor dalam 100 gram susu kambing, susu sapi, dan susu kedelai adalah 110, 90, dan 49 mg.
Konsumsi segelas susu kambing dapat memenuhi 32,6 persen kebutuhan tubuh akan kalsium dan 27 persen kebutuhan tubuh akan fosfor setiap hari. Sebaliknya, segelas susu sapi hanya memenuhi 29,7 persen kebutuhan tubuh akan kalsium dan 23,2 persen fosfor setiap hari.

Kalsium sangat penting untuk pertumbuhan tulang. Selain itu, kalsium juga penting untuk melindungi sel-sel di kolon (usus besar) agar terhindar dari kanker. Kalsium juga dapat mengurangi angka kejadian tulang keropos (osteoporosis), terutama pada ibu-ibu yang sudah memasuki masa menopause.

Manfaat lain dari kalsium adalah mencegah migrain dan mengatur tekanan darah. Menurut sebuah publikasi pada The American Journal of Clinical Nutrition, seorang gadis yang baru mengalami menstruasi sebaiknya diberi asupan susu kambing untuk menjaga kandungan kalsium di dalam tubuhnya.

Kadar protein susu kambing tidak jauh berbeda dengan susu sapi. Konsumsi satu gelas susu kambing dan susu sapi masing-masing dapat memenuhi 17,4 dan 16,3 persen kebutuhan tubuh akan protein setiap hari. Protein merupakan zat gizi yang sangat dibutuhkan untuk mendukung proses tumbuh kembang pada anak. Pada orang dewasa, protein sangat dibutuhkan untuk pemeliharaan jaringan dan penggantian sel tubuh yang rusak.

Susu kambing juga dipercaya dapat mengatasi penyakit darah tinggi karena kandungan kaliumnya yang tinggi. Namun, yang perlu diperhatikan adalah kandungan kolesterolnya yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi. Karena itu, susu kambing tidak disarankan bagi mereka yang menderita obesitas dan kolesterol tinggi.

Seperti halnya susu sapi, susu kambing juga mengandung laktosa yang cukup tinggi, meskipun sedikit lebih rendah daripada susu sapi. Kadar laktosa pada susu kambing dan susu sapi masing-masing mencapai 4,1 dan 4,7 persen dari total padatan. Karena itu, penderita lactose intolerance sebaiknya menghindari konsumsi susu kambing dalam keadaan segar. Susu kambing dapat juga dikonsumsi dalam bentuk olahan seperti yoghurt maupun kefir yang memiliki kadar laktosa rendah.

Pengganti Susu Sapi

Pada bayi, sering ditemukan kasus alergi terhadap susu sapi. Susu sapi merupakan salah satu bahan pangan penyebab alergi yang paling sering terjadi pada anak-anak. Penyebab alergi lain yang potensial adalah telur, udang, dan ikan.

Hippocrates pertama kali melaporkan adanya reaksi alergi terhadap susu sapi sekitar tahun 370 Masehi. Dalam beberapa dekade belakangan ini, prevalensi dan perhatian terhadap alergi susu sapi semakin meningkat.

Beberapa penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa prevalensi alergi susu sapi dalam tahun pertama kehidupan anak adalah sekitar 2 persen. Sekitar 1-7 persen bayi menderita alergi terhadap protein yang terdapat dalam susu sapi. Perlu diingat bahwa sekitar 80 persen susu formula bayi yang beredar di pasaran ternyata menggunakan bahan dasar susu sapi.

Alergi merupakan masalah yang tidak boleh diremehkan. Reaksi yang ditimbulkan dapat mengganggu semua organ tubuh dan perilaku anak, sehingga bisa menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Pada tahun pertama kehidupan anak, sistem imun tubuhnya relatif masih sangat lemah dan rentan.

Gejala alergi terhadap protein susu biasanya timbul pada bayi yang berumur dua sampai empat minggu, dan gejalanya akan semakin jelas saat usia enam bulan. Bagian tubuh yang terserang alergi adalah saluran pencernaan, saluran pernapasan, dan kulit. Gejala yang tampak akibat alergi terhadap protein susu antara lain muntah, diare, penyerapan zat gizi yang kurang sempurna, asma, bronkitis, migrain dan hipersensitif.

Menurut Judarwanto (2000), alergi susu sapi 80 persen akan menghilang atau menjadi toleran sebelum anak berusia 3 tahun. Upaya penanganan terhadap alergi susu sapi adalah mengkundari konsumsi susu sapi dan makanan lain yang mengandung susu sapi. Sebagai penggantinya, dapat digunakan susu kedelai atau susu kambing.

Sekitar 20-50 persen dari bayi yang diteliti memperlihatkan gejala tidak toleran terhadap susu kedelai. Karena itu, susu kambing lebih direkomendasikan sebagai pengganti susu sapi pada bayi yang menderita alergi.

Susu kambing dilaporkan telah banyak digunakan sebagai pengganti ataupun bahan pembuatan makanan bagi bayi yang alergi terhadap susu sapi. Alergi pada saluran pencernaan bayi dilaporkan berangsur-angsur dapat disembuhkan setelah diberikan susu kambing.

Menurut Noor (2002), sekitar 40 persen pasien yang alergi terhadap protein susu sapi memiliki toleransi yang baik terhadap susu kambing. Pasien tersebut kemungkinan besar sensitif terhadap laktoglobulin yang terkandung dalam susu sapi. Diduga bahwa laktogloglobulin (salah satu komponen protein susu) merupakan komponen yang paling bertanggung jawab terhadap kejadian alergi protein susu.

Menurut Judarwanto (2000), terdapat lebih dari 40 jenis protein pada susu sapi yang dapat menyebabkan atergi. Selain betalaktoglobulin, komponen protein lain seperti kasein, alfa-laktalbumin, serum albumin, dan immunoglobulin, juga dapat menyebabkan alergi.

Pemanasan hingga 100 derajat Celsius tidak berpengaruh banyak terhadap kandungan protein tersebut (lihat Tabel 1).

Msskipun susu, baik susu sapi maupun susu kambing mempunyai kandungan gizi yang cukup baik, susu tidak dapat menggantikan peran dari makanan sehari-hari. Selain karbohidrat yang rendah, susu juga mengandung sedikit zat besi sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh sehari-hari.

Selama ini, dengan alasan waktu yang sangat sedikit, banyak orang menggantikan sarapan dengan segelas susu saja. Padahal lebih bergizi bila kita sarapan dengan sepiring nasi dan sebutir telur.

Kalaupun hendak sarapan dengan susu, tetap harus ditambahkan sumber karbohidrat yang juga berprotein tinggi, seperti cereal. Pola sarapan yang diterapkan oleh masyarakat Barat, yaitu susu plus sereal atau roti tawar yang disisipi keju, cukup baik untuk mencukupi kebutuhan gizi di pagi hari.

Konsumsi susu sampai bayi berusia sekitar enam bulan adalah sekitar 900-1.200 mililiter per hari. Setelah berusia diatas enam bulan, kebutuhan susu semakin berku rang karena anak sudah mengenal makanan lain, sehingga cukup diberikan 300-400 ml
per hari.

Setelah usia anak lebih dari dua tahun, cukup sekitar 200 ml susu per hari. Pada usia di atas dua tahun, anak-anak harus diprioritaskan makan tiga kali sehari. Sungguh tidak benar kalau sebagai orangtua memaksa anak untuk minum susu 4-5 gelas dan membiarkannya makan hanya satu atau dua kali sehari.

Karena itu, perhatikan konsumsi susu anak kita. Jangan memaksa anak mengonsumsi terlalu banyak karena mereka akan merasa kenyang mengingat kandungan airnya mencapai 90 persen.

Sabun untuk Kesehatan kulit

Sebelum dikonsumsi, sebaiknya perhatikan mutunya. Susu kambing yang masih baik dapat dicium dari aromanya yang khas.

Susu kambing yang belum dikonsumsi dapat disimpan dalam lemari pendingin. Penyimpanan susu kambing pada suhu ruang dapat menyebabkan susu lebih cepat asam dan rusak.

Susu kambing juga dapat diolah menjadi berbagai produk, mulai dari minuman, makanan, hingga kosmetika. Campuran susu kambing, minyak zaitun, kelapa, kedelai, bubuk cokelat, dan sodium hidroksida merupakan bahan sabun yang lembut sekaligus dapat menjaga kelembaban kulit.

Susu kambing juga menjadi bahan pembuatan cairan pelembab (lotion), lipstik, dan garam untuk mandi. Dibandingkan dengan sabun biasa yang menyebabkan kulit menjadi kering, susu kambing yang diproses menjadi sabun memiliki kadar gliserin alami yang sangat baik bagi kesehatan kulit.
Read more.....

Rabu, 18 Maret 2009

PROSPEK AGRIBISNIS UBI KAYU

I.PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Agroindustri merupakan industri yang mengolah bahan hasil pertanian menjadi produk-produk yang mempunyai nilai tambah. Salah satu sifat bahan pertanian adalah kamba. Sifat ini menjadikan komoditi pertanian akan mengalami penyusutan baik volume maupun berat setelah mengalami pengolahan. Dengan sifat inilah dpat dipastikan setiap pengolahan komoditi pertanian akan menghasilkan limbah. Ubi kayu sebagai salah satu komoditi pertanian juga bersifat kamba. Pengolahan ubi kayu dalam suatu agroindustri dapat menghasilkan produk seperti tapioka, gaplek, keripik, serta sirup hasil hidrolisis pati seperti sirup glukosa, sirup maltosa dan sirup fruktosa.

Tindakan pengelolaan lingkungan dalam sistem pengelolaan lingkungan (environment protection agency) diprioritaskan pada usaha pengurangan limbah pada sumbernya. Tindakan minimasi limbah pada sumbernya lebih ditekankan pada bidang manajerial. Pendekatan ini memunculkan konsep produksi bersih. Produksi bersih merupakan suatu pendekatan yang mengarah kepada peningkatan efisiensi proses produksi, penggunaan teknik-teknik daur ulang dan pakai ulang, kemungkinan substitusi bahan baku dengan yang lebih ekonomis dan tidak berbahaya serta perbaikan sistem operasi dan prosedur kerja. Tujuan dari produksi bersih adalah untuk mengurangi tingkat emisi yang mencemari serta mengurangi produksi limbah dengan meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku dan energi serta meningkatkan kualitas produk.
Keuntungan dari penerapan produksi bersih bagi perusahaan antara lain adalah :
1). Pengurangan biaya operasi pengolahan dan pembuangan limbah
2). Peningkatan mutu produk
3). Penghematan bahan baku
4). Peningkatan keselamatan kerja
5). Perbaikan kesehatan umum dan lingkungan hidup
6). Penilaian positif dari konsumen
Pada akhirnya penerapan produksi bersih akan meningkatkan daya saing produk di pasar global sehingga meningkatkan meningkatkan pendapatan perusahaan.

B.Tujuan
Tujuan dari pelaksanaan Quick Scan potensi produksi bersih di industri tapioka ini adalah sebagai berikut :
1.Mendapatkan tambahan wawasan dan pengetahuan mengenai kegiatan pengolahan industri tepung tapioka.
2.Memperkenalkan konsep produksi bersih pada industri tapioka.
3.Mendapatkan alternatif penerapan produksi bersih pada industri tapioka yang mampu meningkatkan efisiensi produksi dan meningkatkan keuntungan.

C.Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari kajian ini adalah studi penerapan produksi bersih pada industri kecil tapioka. Studi ini meliputi aspek teknis seperti mengidentifikasi segala hal yang berpotensi menghasilkan limbah serta mengidentifikasi kemungkinan modifikasi proses untuk minimisasi penggunaan sumber daya dan jumlah limbah yang dihasilkan. Pengkajian ini dilakukan secara teoritis dan berdasarkan data empiris. Studi ini dilakukan di Industri Tapioka, Ciluweur Bogor.

II. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN

A.Sejarah dan Lingkup Usaha
Industri Kecil Tapioka, milik Bpk. Aan beroperasi sejak lima tahun yang lalu, tepatnya didirikan pada tahun 2000 dan bergerak di bidang agroindustri yang mengolah hasil pertanian yaitu singkong menjadi tapioka kasar. Lingkup usaha industri ini masih tergolong kecil karena masih menggunakan teknologi sederhana dengan kapasitas produksi hanya mengolah 2 ton singkong per hari.
Bahan baku utama yaitu singkong diperoleh dari daerah Ciampea dan Sukabumi. Proses produksi terdiri dari tiga proses utama yaitu pengupasan, penggilingan dan pemerasan, serta pengayakan dan penjemuran. Mesin yang digunakan adalah mesin penggiling, sedangkan proses lain dikerjakan secara manual menggunakan tenaga manusia. Sarana yang digunakan dalam proses produksi antara lain air bersih yang berasal dari sumur bor dan listrik dari PLN.

Setiap harinya industri ini mampu menjual 4 kwintal tapioka dengan harga jual Rp.400.000-Rp.420.000 / kwintal. Tapioka kasar yang sudah jadi dijual ke pabrik tapioka yaitu pabrik pengecilan ukuran dan penghalusan tekstur. Selain memproduksi tapioka, industri kecil ini menghasilkan acia yang berasal dari ampas serta kulit halus yang kemudian dijual lagi sebagai pakan ternak. Hasil samping ini cukup besar hingga mencapai 1 ton setiap harinya. Limbah yang dihasilkan industri ini adalah limbah cair yaitu air sisa endapan dan limbah padat yaitu kulit luar singkong.

B.Lokasi Usaha dan Tata Letak
Industri Kecil Tapioka ini terletak di daerah Tarikolot, Desa Ciluweur, Kecamatan Bogor Utara, Bogor. Industri ini didirikan di atas lahan seluas 800 m2. Adapun bangunan yang ada digunakan untuk melakukan proses penggilingan, ekstraksi hingga pengecilan ukuran tapioka. Proses pengupasan dan pengeringan dilakukan di lahan terbuka yang merupakan sebagian besar bagian dari luas lahan yang dimiliki.

C.Ketenagakerjaan
Jumlah tenaga kerja industri kecil tapioka adalah tujuh orang yang terdiri dari tiga orang pada proses penggilingan dan pemerasan, dua orang pada proses pengayakan dan penjemuran, serta dua orang pada proses pengupasan. Jam kerja yang diberlakukan adalah mulai jam 08.00 – 12.00 WIB, setiap hari dari hari Senin-Minggu. Sistem penggajian dilakukan per hari yang berkisar diantara Rp. 15.000 hingga Rp. 30.000 / hari.

III. PROSES PRODUKSI
A. Bahan Baku
Bahan baku utama yang digunakan untuk pembuatan tapioka pada industri ini yaitu ubi kayu. Selain bahan baku tersebut, juga diperlukan bahan baku pembantu yaitu air. Pada setiap tahap dari proses produksi tapioka hampir pasti memerlukan air. Di dalam kapasitas normal pengolahan sekitar 2 ton ubi kayu memerlukan air kurang lebih 10.500 liter. Air yang digunakan diperoleh dari sumur yang ada di sekitar pabrik. Sumur yang digunakan ada 2 dan pengambilannya dilakukan dengan menggunakan pompa yang kemudian dialirkan ke bak penampung.

Pada industri ini, hampir semua tahapan proses dilakukan dengan manual atau tanpa menggunakan mesin kecuali pada proses penggilingan. Proses pengeringannya pun menggunakan bantuan sinar matahari. Hal tersebut tentunya sangat berpengaruh terhadap kualitas tapioka yang dihasilkan, apabila tidak ada sinar matahari atau musim hujan kualitas tapioka yang dihasilkan biasanya akan rendah.
Industri ini merupakan industri kecil yang hanya mengolah tapioka sampai menjadi tapioka kasar atau tapioka yang masih berupa bongkahan-bongkahan setelah dikeringkan. Setiap harinya pabrik mampu memproduksi sekitar 0,4 ton pati yang dihasilkan dari bahan baku 2 ton ubi kayu.

B. Proses Produksi
Proses produksi pembuatan tapioka dimulai dari proses penyiapan bahan hingga proses pengeringan tapioka kasar. Hal yang paling utama dilakukan dalam proses pembuatan tapioka adalah proses pengekstraksian pati singkong (tapioka) secara optimal dan proses pengeringan yang sempurna, sehingga dihasilkan tapioka dengan mutu yang baik dan dengan rendemen yang tinggi. Urutan proses pengolahan tapioka secara umum dapat dilihat pada Gambar 1.

1. Pengupasan dan pencucian
Ubi kayu yang telah diterima dari petani singkong dikumpulkan terlebih dahulu sebelum diolah. Proses penyiapan bahan meliputi proses pengupasan ubi kayu dan proses pencucian. Proses pengupasan dilakukan secara manual dengan tenaga manusia dengan menggunakan alat pisau sederhana. Setelah dikupas, ubi kayu kemudian dikumpulkan di satu bak untuk dilakukan proses pencucian. Proses pencucian ini juga dilakukan secara manual.

2.Penggilingan
Ubi kayu yang telah dikupas dan dibersihkan kemudian dimasukkan ke dalam alat penggilingan untuk dilakukan proses pengecilan ukuran. Proses penggilingan ini dilakukan untuk mempermudah proses pengekstraksian pati singkong (tapioka). Mesin penggiling yang digunakan adalah tipe penggiling berbahan bakar solar. Kapasitas pengolahan mesin penggiling sebesar 0,5 ton ubi kayu per jam dan penggunaan solar sebesar 2 liter solar per 1 ton ubi kayu.

3.Ekstraksi
Ubi kayu yang telah digiling kemudian diekstraksi dengan metode pengekstraksian sederhana. Ubi kayu giling yang telah bercampur dengan air difiltrasi dengan menggunakan tiga buah kain saring untuk mendapatkan pati singkong (tapioka). Pati singkong yang bercampur dengan air kemudian dialirkan ke bak penampungan, sedangkan ampas ubi kayu dikumpulkan untuk dilakukan proses lebih lanjut.

4.Pengendapan
Campuran pati singkong (tapioka) dan air yang ditampung di bak penampungan kemudian didiamkan beberapa jam untuk mengalami proses pengendapan. Pengendapan dilakukan dalam lima bak penampungan yang masing-masing berukuran 2 x 1,5 x 0,7 m3.

5.Separasi
Pati singkong (tapioka) yang telah mengendap di dasar bak kemudian dipisahkan dengan air dengan cara membuka saluran air, sehingga limbah air hasil pengendapan dapat keluar dari bak. Pati singkong yang mengendap di dasar bak kemudian diambil dengan cara manual yaitu dengan menggunakan alat sekop dan dikumpulkan di tempat penampungan tapioka basah.

6.Pengeringan
Tahap akhir dalam proses produksi tapioka kasar adalah proses pengeringan. Namun sebelum dikeringkan, bongkahan tapioka basah diayak terlebih dahulu untuk mengecilkan ukuran tapioka. Ukuran saringan pengayak yang digunakan adalah sebesar 0,5 x 0,5 cm dan dilakukan dengan cara manual. Pengecilan ukuran ini dilakukan dengan tujuan mempercepat proses pengeringan tapioka kasar. Setelah proses pengecilan ukuran, tapioka kasar basah kemudian dikeringkan dengan cara konvensional yaitu dijemur dibawah sinar matahari. Tapioka kasar yang telah kering kemudian dijual ke pabrik-pabrik tepung tapioka untuk diproses lebih lanjut.


IV. EVALUASI DATA

A.Pengelolaan Limbah
Limbah merupakan sesuatu yang dihasilkan dari suatu proses produksi atau proses penunjang yang mendukung proses utama selain produk yang diinginkan. Limbah dihasilkan karena adanya inefisiensi di segala aktivitas dan adanya bahan atau materi dan/atau energi yang tidak dapat digunakan kembali bagi kegiatan produksi tersebut.
Industri kecil tapioka kecil ini menghasilkan tiga macam limbah , yaitu limbah padat, limbah cair dan limbah gas. Limbah yang ada sebagian besar didominasi oleh limbah cair yang kemudian diikuti oleh limbah padat.

1.Limbah Cair
Proses pembuatan tapioka memerlukan air untuk memisahkan pati dari serat. Pati yang larut dalam air harus dipisahkan. Teknologi yang ada belum mampu memisahkan seluruh pati yang terlarut dalam air, sehingga limbah cair yang dilepaskan ke lingkungan masih mengandung pati. Limbah cair akan mengalami dekomposisi secara alami di badan-badan perairan dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Bau tersebut dihasilkan pada proses penguraian senyawa mengandung nitrogen, sulfur dan fosfor dari bahan berprotein (Zaitun, 1999; Hanifah dkk, 1999).

Limbah cair yang dihasilkan oleh industri tapioka ini sekitar 21.000 liter per hari. Limbah cair berasal dari proses pencucian dan cairan sisa pengendapan pati. Secara alami limbah ini dapat terdegradasi di lingkungan, akan tetapi penumpukan limbah organik di wilayah perairan seperti sungai, sumur, danau dan sebagainya akan menurunkan kandungan oksigen terlarut.

Parameter yang biasa dilakukan untuk mengukur nilai tinggi rendahnya kandungan oksigen terlarut pada suatu badan air adalah dengan menentukan nilai COD dan BOD. Semakin tinggi nilai kedua parameter tersebut maka semaki rendah kandungan oksigen terlarut pada suatu badan air tersebut.

Umbi singkong memiliki senyawa HCN (asam sianida) secara alami dalam sel-selnya. Singkong jenis tertentu (singkong pahit) memiliki kandungan HCN yang cukup tinggi dan berbahaya bila dikonsumsi. Singkong yang dijadikan bahan baku untuk industri tepung tapioka ini merupakan jenis singkong biasa yang memiliki kadar HCN dalam jumlah sedikit dan relatif aman untuk dikonsumsi.
Pada saat proses pemerasan dan ekstraksi dengan HCN yang terdapat dalam sel-sel singkong akan terlepas/terlarut dengan air. Air limbah yang mengandung HCN apabila dibuang ke perairan dan terakumulasi dapat membahayakan kehidupan biota air tesebut dan secara tidak langsung dapat membahayakan manusia.

Industri kecil tapioka ini belum memiliki sarana pengolahan limbah cair. Limbah cair yang dihasilkan oleh industri ini langsung dibuang ke badan air (kali), tanpa proses penanganan khusus terlebih dahulu. Sampai saat ini belum ada keluhan dari masyarakat sekitar, tapi tentu saja pembuangan limbah tersebut dapat menyebabkan pencemaran lingkungan perairan di sekitar.

2.Limbah Padat
Limbah padat industri tapioka ini berasal dari proses pengupasan yaitu berupa kulit singkong dan dari proses ekstraksi yang berupa ampas singkong. Industri tapioka ini sudah cukup baik dalam menangani limbah padatnya. Kulit singkong bagian dalam dimanfaatkan sebagai pakan ternak, sedangkan kulit bagian luarnya dibakar. Ampas singkong yang dihasilkan dari proses ekstraksi, dibentuk terlebih dahulu menjadi bongkahan kecil lalu dikeringkan di bawah sinar matahari. Ampas singkong yang telah kering atau yang lebih dikenal dengan “acia” kemudian dijual kepada pihak yang membutuhkan.

3.Limbah Gas
Limbah gas yang dihasilkan industri ini berupa gas pembakaran kulit singkong. Hal ini tentu saja menyebabkan pencemaran udara jika dilakukan terus menerus. Gas toxic akan terakumulasi dan warga disekitar akan terganggu. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap proses penganganan kulit singkong dengan metode pembakaran.

B.Penanganan Bahan Baku dan Energi
Industri tepung tapioka yang dikunjungi berbahan baku ubi kayu (singkong). Air digunakan selama proses untuk mengekstrak pati dari singkong dan untuk pencucian. Kebutuhan akan air disuplai dari air tanah yang dipompa menggunakan tenaga listrik. Dalam satu hari, kebutuhan akan air untuk memproduksi 2 ton singkong mencapai 21.000 liter. Dari 2 ton singkong didapatkan singkong bersih sebanyak 1,4 ton dan sisanya kulit. Kulit yang dihasilkan dari proses pengupasan singkong merupakan limbah pabrik.

Singkong yang telah dikupas kulitnya dilakukan pencucian dengan air yang disuplai dari air tanah. Tujuan dari proses pencucian adalah untuk menghilangkan kotoran (seperti lumpur) yang melekat pada singkong. Konsumsi air yang digunakan untuk proses ini adalah sebanyak 10.500 liter per hari.

Pada proses ekstraksi pati dari parutan singkong, air yang digunakan sama banyaknya pada proses pencucian yaiti sebanyak 10.500 liter per hari. Sehingga total penggunaan air dalam sehari adalah sebanyak 21.000 liter. Total penggunaan air pada industri yang menunjukkan jumlah yang sangat besar. Dalam hal ini, proses penghematan air dalam rangka keberlangsungan air bersih mutlak diperlukan. Selain itu, dengan penghematan penggunaan air diharapkan kebutuhan energi listrik dalam menyuplai air dapat diminimisasi. Dengan penggunaan energi listrik yang optimal maka biaya/beban rupiah akan listrik dapat ditekan yang berkorelasi pada pengurangan biaya produksi sehingga keuntungan (profit) dapat maksimal.

C.Potensi Produksi Bersih
Produksi bersih (Cleaner Production) adalah suatu cara pemikiran baru dan kreatif terhadap produk dan suatu proses yang dilakukan. Hal ini dicapai dengan suatu penerapan strategi yang berkelanjutan untuk meminimalkan limbah dan emisi yang dihasilkan (National Productivity Council India dalam UNEP IE, 1995).
Produksi bersih merupakan suatu strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang diterapkan secara terus menerus pada proses produksi, produk dan jasa untuk meningkatkan eco-efisiensi dan mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan. Pada proses produksi, produksi bersih meliputi konservasi bahan baku dan energi, mengurangi bahan baku yang beracun dan mengurangi jumlah dan kadar racun dari emisi dan limbah sebelum meninggalkan proses produksi. Pada produk, strategi ini menitikberatkan pada pengurangan dampak selama daur hidup produk dari saat bahan baku sampai produk tersebut dibuang atau tidak terpakai lagi (United Nation Environment Programme Industry and Environment, 1995).
Teknik-teknik yang dilakukan dalam penerapan Produksi Bersih adalah sebagai berikut :

1.Pengurangan limbah pada sumbernya (Source Reduction)
a.Good Housekeeping
Good housekeeping adalah suatu cara untuk mencegah suatu kebocoran atau tumpahan, dan perawatan terhadap alat atau perangkat yang dapat menyebabkan inefisiensi.
b.Perubahan proses (Process Change)
•Perubahan Bahan Input (Material Input Change) adalah penggantian bahan dari bahan yang memiliki kadar racun yang tinggi menjadi bahan yang memiliki kadar racun yang kecil atau tidak beracun sama sekali dan penggunaan bahan yang dapat diperbaharui.
•Pengendalian proses yang baik (Better Process Control) adalah modifikasi dari prosedur atau proses kerja, instruksi pengoperasian mesin dan pendokumentasian jalannya proses dalam rangka meningkatkan efisiensi dan meminimalisasi limbah dan emisi.

•Modifikasi peralatan (Equipment Modification) adalah modifikasi dari peralatan dan perlengkapan yang digunakan pada saat proses dengan menambahkan alat pengendalian dan pengukuran dalam rangka meningkatkan efisiensi dan meminimalisasi limbah dan emisi.
•Perubahan teknologi (Technology Change) adalah penggantian teknologi, alur proses dalam rangka meminimalisasi limbah dan emisi selama proses produksi.
2.Daur Ulang (Recycling)
a.Penggunaan kembali pada tempatnya (On site Recovery and Reuse) adalah penggunaan kembali limbah yang dihasilkan pada proses yang sama atau pada proses yang lain di industri tersebut.
b.Produksi produk samping yang bermanfaat (Creation of useful by-product)

c.Modifikasi Produk (Produk Modification)
Karakteriktik produk dapat dimodifikasi untuk meminimisasi dampak terhadap lingkungan dari proses produksi dan produk itu sendiri pada saat digunakan maupun setelah tidak digunakan atau dibuang. (United Nation Environment Programme Industry and Environment, 1995).

Manfaat yang dapat diambil dari produksi bersih antara lain pengurangan biaya operasi, pengolahan dan pembuangan limbah, peningkatan mutu produk, penghematan bahan baku, peningkatan keselamatan kerja, perbaikan kesehatan umum dan lingkungan hidup, penilaian konsumen positif, dan pengurangan biaya penanganan limbah.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di Industri Tapioka ini, upaya untuk meminimalisasi limbah yang dihasilkan sampai saat ini belum dilakukan secara maksimal, bahkan untuk penanganan limbah cair tidak ada perlakuan khusus sedikit pun. Hal seperti ini tentu saja tidak dapat dibiarkan terus berlanjut. Pencemaran lingkungan saat ini mungkin belum memberikan dampak yang signifikan, tetapi beberapa tahun mendatang, sistem biota lingkungan di sekitarnya pasti akan terganggu. Oleh karena itu, pada industri tapioka yang kami kaji, beberapa aplikasi produksi bersih yang dapat dilakukan antara lain :

1.Metode In of Pipe (Produksi Bersih)
Pendekatan uang dilakukan oleh strategi produksi bersih dalam mengurangi pencemaran limbah adalah dengan menggunakan metode pendekatan in of pipe. Metode ini menggunakan pendekatan pengurangan pencemaran lingkungan melalui efisiensi penggunaan bahan dan energi dalam segala aktivitas produksi. Adapun strategi produksi bersih yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

a.DAUR ULANG (RECYCLING)
•Penggunaan dan Daur Ulang Kembali (In site Recovery and Reuse).
Pada strategi daur ulang dan penggunaan kembali proses, Industri Tapioka Ciluweur, Bogor ini dapat melakukan penggunaan air yang masih bersih (white water) secara berulang. Air yang dikeluarkan dari beberapa proses yang masih dianggap layak digunakan kembali, seperti air pencucian pada proses penggilingan, ditampung terlebih dahulu di suatu bak penampungan (white water pit) yang kemudian disalurkan ke beberapa proses yang membutuhkan air. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menghemat penggunaan air (fresh water) dalam proses. Air ini tidak akan digunakan kembali atau dibuang apabila sudah dianggap tidak layak untuk digunakan kembali. Air yang dianggap tidak layak digunakan kembali disebabkan oleh adanya kotoran-kotoran yang dapat mengganggu kualitas tapioka yang dihasilkan.

•Produksi produk samping yang bermanfaat (Creation of useful by-product).
Penciptaan produk samping yang berguna telah dilakukan oleh industri tapioka ini, yaitu dengan mengeringkan ampas singkong (acia) kemudian dijual dengan harga Rp. 600/kg. Acia yang dihasilkan sebesar 1 ton/hari, jadi pendapatan dari penjualan acia sekitar 600.000/hari. Produk samping lain yang dapat dimanfaatkan adalah kulit singkong. Kulit singkong bagian dalam telah digunakan sebagai makanan ternak, tetapi kulit singkong bagian luar selama ini ditangani dengan metode pembakaran sehingga menghasilkan limbah gas pembakaran. Kulit singkong bagian luar ini sebenarnya dapat dimanfaatkan menjadi kompos. Pembuatan kompos dilakukan dengan cara mengubur kulit luar singkong di tanah dengan kedalamanan sekitar 150 cm.

b.PERUBAHAN PROSES (PROCESS CHANGE)
•Pengendalian Proses yang Baik (Better Process Control).
Pengendalian proses yang baik juga dapat mengurangi terjadinya inefisiensi produksi. Dengan adanya pengendalian yang baik segala hal yang dapat menyebabkan inefisiensi dapat dicegah. Pengendalian proses ini dapat dilakukan dengan pengawasan terhadap setiap proses yang dilakukan, baik dari tenaga kerja, mesin dan peralatan, maupun produk yang dihasilkan.

•Modifikasi peralatan (Equipment Modification).
Strategi lain dalam produksi bersih ini juga adanya modifikasi peralatan yang berhubungan dengan proses produksi sehingga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi produksi dan mengurangi limbah. Peralatan yang dapat digunakan sebagai pengganti peralatan yang ada yaitu mesin yang meliputi motor 1 fase, 2 hp dan micro kontroller tipe AT 89C51. Mikrokontroller tersebut digunakan untuk sistem kontrol terdistribusi dengan variable kontrol waktu proses pemarutan, pemerasan, pemindahan hasil pernerasan dan pengeringan tepung yang masih basah.

Mesin ini dapat memperoleh hasil waktu parut 20 menit/ 100kg, waktu peras 5 menit/ (100kg+60 liter air), waktu pengendapan 240 menit dan waktu pengeringan dengan suhu 51° celcius dengan waktu 15 menit menghasilkan hasil tepung kering 35 kg. Mesin ini lebih baik dibanding pengolahan tapioka secara konvensional yang hanya menghasilkan 20 kg dari 100 kg singkong dan waktu proses lebih lama.

•Perubahan teknologi (Teknologi Change)
Perubahan yang dapat dilakukan dalam upaya untuk menghemat konsumsi air adalah dengan mengubah sistem pencucian singkong yang telah dikupas. Pada awalnya, pencucian singkong yang dilakukan adalah dengan sistem air mengalir. Hal ini merupakan pemborosan dalam penggunaan air dan energi listrik, karena air yang dibutuhkan selama proses pencucian akan sangat besar dan listrik yang digunakan untuk mengalirkan air juga akan sangat besar. Untuk itu, untuk mengatasinya adalah dengan merubah sistem pencucian, yaitu dengan sistem pencucian bak (batch wash), yaitu pencucian dengan menggunakan bak-bak terpisah dimana bahan dicuci dalam tiap-tiap bak yang berbeda.

2.Metode End of Pipe
Metode ini dilakukan untuk mengelola air limbah yang dihasilkan oleh industri tapioka agar air yang dikeluarkan tidak berbahaya atau mencemari lingkungan. Air limbah yang dihasilkan sekitar 21.000 liter setiap harinya dan mengandung senyawa asam sianida (HCN), sehingga perlu ditangani sebelum dibuang langsung ke sungai. Penanganan ini dapat dilakukan dengan membuat bak penampung limbah cair. Kemudian dalam bak tersebut, limbah dilakukan perlakuan penambahan kapur tohor sehingga kandungan asam sianida pada limbah dapat diturunkan sehingga pH limbah netral. Bak penampung limbah yang dibutuhkan untuk treatmen limbah cair adalah sebanyak 4 buah, dengan ukuran tiap-tiap bak penampung adalah 3 m x 2 m x 1.5 m.

3.Good Housekeeping
Good housekeeping merupakan salah satu cara yang sederhana dalam melakukan produksi bersih karena good housekeeping merupakan kegiatan yang dilakukan sehari-hari. Hal kecil yang dilakukan pada good housekeeping dapat menjadi sesuatu yang berarti pada efisiensi produksi.

Good housekeeping pada industri tapioka ini tergolong tidak baik. Hal ini terlihat dari banyaknya sisa-sisa ayakan tapioka basah yang bertebaran di lantai. Selain merupakan salah satu bentuk lost, banyaknya sisa tapioka yang bertebaran mengakibatkan semakin bertumbuhnya mikroba. Hal ini dapat berdampak pada mutu tapioka yang dihasilkan. Untuk mengurangi terjadinya lost ini, industri tapioka sebaiknya menggunakan mesin khusus dalam proses pengecilan ukuran tapioka basah.
Selain itu para pekerja juga tidak dilengkapi dengan sepatu boot, padahal dalam proses pembuatan tapioka ini sebagian besar menggunakan air, sehingga kemungkinan untuk terpleset sangat besar. Proses pengunaan air juga tidak dikontrol dengan baik. Air langsung disalurkan dari tanki air melalui pipa dengan menggunakan pompa sanyo. Untuk lebih mengontrol penggunaan air, seharusnya dipasang keran supaya air yang keluar dapat diatur.


III. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Industri tapioka di daerah Tarikolot, Ciluweur Bogor ini belum menerapkan produksi bersih. Proses produksi tapioka kasar menghasilkan beberapa limbah yaitu limbah padat, limbah cair, dan limbah gas. Limbah padat berupa kulit singkong dan ampas singkong. Limbah cair berasal dari hasil pencucian ubi kayu dan proses pengekstraksian pati singkong (tapioka). Limbah gas berasal dari gas pembakaran kulit singkong.

Limbah cair yang terdapat pada industri ini belum ada penanganan khusus, sehingga air yang dikeluarkan dapat mencemari lingkungan perairan di sekitar. By-product yang berupa ampas singkong dikeringkan lalu dijual untuk pakan ternak, pembuatan obat nyamuk, dan sebagainya. Limbah padat berupa kulit, bagian dalam dijadikan pakan ternak, sedangkan bagian luarnya dibakar. Limbah gas yang dihasilkan juga belum ada penanganan secara khusus.

Housekeeping di industri ini juga tergolong tidak baik, karena tidak memperhatikan masalah kebersihan lingkungan dan keselamatan para pekerja. Hal ini tentu saja berdampak pada efisiensi produksi dan mutu tapioka yang dihasilkan.Penggunaan energi dalam industri ini dapat dikatakan cukup sedikit karena hanya digunakan untuk mesin pompa. Penerangan tidak digunakan dalam proses produksi ini karena proses produksi berlangsung dari pagi hingga siang (08.00 – 12.00 WIB). Mesin penggilingan singkong menggunakan bahan bakar solar yang menghabiskan 2 liter solar/ton ubi.

B. Saran
1.Industri tapioka ini membutuhkan air dalam jumlah yang besar (21.000 liter/hari). Oleh karena itu perlu dikaji yang lebih mendalam tentang upaya penghematan penggunaan air.
2.Limbah padat yang dihasilkan Industri tapioka ini cukup besar dan saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga dibutuhkan kajian lebih mendalam untuk menggali potensi pemanfaatannya.
3.Penggunaan sulfur dapat digunakan sebagai bahan bleaching dalam pembuatan tapioka sehingga tapioka yang dihasilkan berwarna putih. Tapioka berwarna putih menunjukkan mutu yang baik.
4.Industri ini sebagian besar masih menggunakan tenaga manual sehingga hasilnya tidak maksimum, banyak lost terjadi di setiap proses produksi. Penggunaan mesin dan peralatan menggantikan tenaga manusia akan membuat proses produksi lebih efisien dan lebih cepat.
5.Proses pengeringan dilakukan dengan cara konvensional sehingga produksi tergantung dari cuaca. Hal ini menyebabkan proses produksi yang tidak menentu. Untuk mengatasi hal itu, sebaiknya proses pengeringan dilakukan dengan bantuan oven.

DAFTAR PUSTAKA

United Nations Environment Programme Industry adn Environment. 1995. Cleaner Producion at Pulp and Paper Mills : A Guidance Manual. United Nation Environment Programme Industry adn Environment, France.
Zaitun. 1999. Efektivitas limbah industri tapioka sebagai pupuk cair. Tesis Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Read more.....

Selasa, 17 Maret 2009

Prospek Agribisnis Tepung Lidah Buaya

I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Potensi pasar tanaman obat-obatan untuk bahan baku industri baik obat tradisional maupun modern sangat besar. Hasil survey Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa dibutuhkan sedikitnya 8000 ton bahan baku tanaman obat tiap tahunnya oleh perusahaan tanaman obat (Download dalam bentuk file, Click Here)(Direktorat Jenderal Produksi Hortikultural dan Aneka Tanaman, 2000).

Lidah buaya (Aloe vera (L.) Webb.) merupakan tanaman yang telah lama dikenal di Indonesia karena kegunaannya sebagai tanaman obat untuk aneka penyakit. Belakangan tanaman ini menjadi semakin popular karena manfaatnya yang semakin luas diketahui yakni sebagai sumber penghasil bahan baku untuk aneka produk dari industri makanan, farmasi, dan kosmetik. Pada saat ini, berbagai produk lidah buaya dapat kita jumpai di kedai, toko, apotek, restoran, pasar swalayan, dan internet yang kesemuanya mengisyaratkan terbukanya peluang ekonomi dari komoditi tersebut bagi perbaikan ekonomi nasional yang terpuruk dewasa ini.
Tanaman lidah buaya meskipun bukan merupakan tanaman asli Indonesia ternyata dapat tumbuh baik di negara kita, bahkan di Propinsi Kalimantan Barat, khususnya di Kota Pontianak, tanaman ini beradaptasi jauh lebih baik daripada di tempat-tempat lainnya. Hal ini diakui oleh pakar lidah buaya mancanegara yang karenanya juga turut menyayangkan bilamana keunggulan komparatif yang dimiliki oleh tanaman ini tidak dimanfaatkan oleh Indonesia. Kepentingan pasar global, setidaknya regional, terhadap lidah buaya Indonesia perlu ditindaklanjuti dengan berbagai program yang mendukung pengembangan komoditi ini dari mulai pembudidayaannya di lahan petani, pengolahan hasilnya menjadi berbagai produk agroindustri, dan pemasaran produk-produk tersebut baik secara domestik maupun global.Pembudidayaan tanaman lidah buaya di Provinsi Kalimantan Barat khususnya Pontianak telah berkembang pesat. Sampai akhir tahun 2000 luasnya mencapai 64 hektar (Diperta Tk I Kalbar, 2001).

Menurut Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT bahwa pengolahan lidah buaya menjadi tepung lidah buaya (aloe powder) merupakan upaya teknologi untuk mendapatkan nilai tambah (added value), sehingga lidah buaya tidak hanya dijual dalam bentuk pelepah segar yang harganya relatif murah. Tepung lidah buaya digunakan pada industri farmasi, kosmetika, minuman kesehatan dan campuran pakan ternak dan ikan (aloe powder grade rendah). Pendirian indutri tepung lidah buaya di dalam negeri diharapkan dapat mengurangi impor dan meningkatkan perkembangan agroindustri lidah buaya.

B.Deskripsi Rencana Industri

Dalam pendirian suatu industri memerlukan perencanaan yang baik dan meyeluruh. Perencanaan jadwal kegiatan akan membantu dan memudahkan dalam penyelenggaraan proyek. Dengan perencanaan yang tepat akan didapatkan efisiensi dalam penggunaan sumber daya dan waktu penyelesaian proyek dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam perencanaan pendirian industri tepung lidah buaya ini adalah dengan menggunakan perencanaan jaringan kerja.

1. Kegiatan Proyek
Kajian pertama dalam perencanaan pendirian industri tepung lidah buaya adalah dengan menguraikan proyek menjadi kegiatan-kegiatan. Pendataan kegiatan dalam pelaksanaan proyek merupakan awal dari pembuatan perencanaan jaringan kerja. Beberapa kegiatan yang dapat diuraikan dalam rangka pelaksanaan proyek pendirian industri tepung lidah buaya tercantum dalam Tabel 1.
Kegiatan-kegiatan tersebut dimulai dengan keputusan bahwa proyek layak dan dapat dilaksanakan serta telah dilakukannya negosiasi keuangan (dana investasi), yaitu sumber dana bagi kekurangan modal investasi dari lembaga keuangan.
Setelah tercapainya negosiasi keuangan, pendirian industri tepung lidah buaya dapat dimulai dengan kegiatan pertama, yaitu persiapan awal dan survei lokasi pabrik yang sesuai. Persiapan awal merupakan kegiatan dalam rangka melengkapi dokumen-dokumen atau pun hal-hal lain yang hams disempurnakan. Kegiatan akhir pendirian proyek tersebut diakhiri dengan produksi percobaan.


2. Waktu kegiatan
Perkiraan waktu kegiatan proyek meliputi waktu optimis (paling cepat), waktu pesimis, dan waktu yang sering terjadi. Tabel 2 menunjukkan waktu yang dibutuhkan oleh masing-masing kegiatan dalam proyek pendirian industri tepung lidah buaya tersebut.
Asumsi yang digunakan dalam penentuan prakiraan waktu tersebut adalah sebagai berikut:
1.Umur proyek yang direncanakan selama satu tahun,
2.Survei lokasi dan sepertiga dari pengumsan tanah telah dilakukan sebelum proyek dilaksanakan agar umur proyek lebih singkat,
3.Pada hari minggu dan hari libur Nasional tidak libur,
4.Libur selama 15 hari pada hari Raya Idul Fitri (satu minggu sebelum dan satu minggu sesudahnya), dan
5.Selama waktu proyek, hujan diangap tidak mengganggu pekerjaan.

3. Diagram jaringan kerja

Dengan melihat hubungan antar kegiatan dan waktu perkiraan penyelesaiannya, maka dapat dilanjutkan dengan tahap pembuatan diagram perencanaan jaringan kerja. Diagram jaringan kerja merupakan jaringan kerja yang berisi lintasan-lintasan kegiatan dan urutan-urutan peristiwa yang ada selama penyelenggaraan proyek. Diagram jaringan kerja pendirian industri lidah buaya disajikan pada Gambar 1.
Berdasarkan diagram jaringan kerja dan hasil perhitungan, dapat diketahui bahwa total waktu penyelenggaraan proyek adalah selama 395 hari (kurang lebihl3 bulan). Total waktu didasarkan pada total waktu lintasan kritis pada diagram jaringan kerja tersebut. Waktu tersebut merupakan umur proyek yang direncanakan tanpa memperhitungkan waktu untuk survei lokasi dan sepertiga dari pengurusan tanah. Umur proyek yang direncanakan selama 1 tahun.
Kegiatan yang dilaksanakan dan diakhiri dengan menggunakan keadaan jadwal paling awal atau pun paling lambat menghasilkan lintasan kritis sebagai berikut, lintasan B (survei lokasi), lintasan C (pengurusan tanah), lintasan D (perizinan), lintasan E (persiapan tanah), lintasan I (pembangunan pabrik dan gudang), lintasan Q (pemasangan mesin dan peralatan), lintasan S (instalasi listrik), dan lintasan X (produksi percobaan).

II.ANALISIS PASAR DAN PEMASARAN

Di dalam melakukan analisa aspek pasar dan pemasaran terdapat lima hal yang diteliti, yaitu kedudukan produk yang direncanakan akan diluncurkan, komposisi dan perkembangan permintaan dari masa yang telah lampau hingga sekarang, proyeksi permintaan produk di masa mendatang, kemungkinan persaingan dengan industri sejenis, serta peranan pemerintah dan swasta dalam menunjang perkembangan pemasaran produk (Sutojo, 1993).
Husnan dan Suwarsono (1991) mengatakan bahwa analisa aspek pasar dan pemasaran terhadap suatu usulan proyek ditujukan untuk mendapatkan gambaran mengenai besar pasar potensial yang tersedia untuk masa yang akan datang, besar pangsa pasar yang dapat diserap oleh proyek tersebut dari keseluruhan pasar potensial, serta perkembangan pangsa pasar tersebut di masa mendatang dan gambaran mengenai strategi pemasaran yang digunakan untuk mencapai pangsa pasar yang telah ditetapkan.
Aspek pasar dan pemasaran merupakan aspek pertama harus dianalisa dalam berbagai kajian peluang pendirian proyek. Aspek pasar meliputi penentuan target pasar, ukuran pasar, segemen pasar, profil konsumen, keuntungan yang didapat konsumen, pangsa pasar yang dapat diraih, kecendrungan dan potensi pasar, reaksi calon konsumen, dan identifikasi pesaing. Aspek pemasaran meliputi teknik untuk menjual dan menarik konsumen, mengidentifikasi konsumen prospektif, saluran tata niaga yang akan ditempuh, lingkup daerah pemasaran, tenaga penjualan, prosedur penjualan, cara promosi, kebijakan harga, dan perbandingan kebijakan pemasaran dengan industri pesaing (Wijandi, 1996).

A. Peluang Pasar Tepung Lidah Buaya

Sebagai langkah awal, pemasaran produk tepung lidah buaya ini dilakukan di wilayah Jawa dan Bali. Hal tersebut berdasarkan banyaknya perusahaan pemakai tepung lidah buaya di daerah ini.
B. Struktur Pasar
Struktur pasar yang ada saat ini sangat diperlukan untuk menentukan strategi pemasaran yang tepat dalam pencapaian keberhasilan sebuah industri. Tepung lidah buaya sebagai produk yang akan diposisikan sebagai bahan baku bagi industri pemakai tepung dan tepung kulit seperti industri kosmetik dan farmasi harus mengetahui dengan baik posisinya di pasar. Dalam struktur pasar yang ada saat ini, tepung lidah buaya terdiri dari beberapa jenis yang berbeda, baik dari segi kualitas, kelas pengguna, ataupun kelas produk.
C. Strategi Pasar dan Pemasaran
Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan konsumen secara nyata dan untuk memasarkan produk tersebut dengan seimbang merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pencapaian keberhasilan sebuah industri. Oleh karena itu diperlukan sebuah perencanaan yang tepat dalam memasarkan produknya.
Industri tepung lidah buaya memerlukan perencanaan pemasaran yang komprehensif, meliputi produk, harga, distribusi, promosi, dan hubungan masyarakat. Selain itu, diperlukan juga penempatan segmentasi pasar dan perencanaan promosi yang sistemastis dan benar.
Pemasaran produk tepung lidah buaya difokuskan pada industri pemakai tepung dan tepung kulit seperti industri kosmetik dan farmasi. Pada tahap awal, distribusi produk akan ditangani oleh pihak perusahaan dengan melakukan klaster dengan perusahaan lain yaitu dengan PT. Aloe Nusantara Utama Jakarta. Untuk jangka panjang, strategi pemasaran yang akan dilakukan adalah dengan pengembangan produk, yaitu dengan penambahan kandungan sesuai yang diinginkan konsumen.
Secara lebih spesifik, strategi pasar dan pemasaran yang akan dilakukan pada tahap awal meliputi :
1.Jalur Tata Niaga
Jalur tata niaga tanaman lidah buaya menunjukkan aktivitas jual beli pelepah lidah buaya sampai produk akhirnya yang dimulai dari petani penanam lidah buaya sampai dengan industri yang memasarkan produk-produk jadi berbahan baku lidah buaya termasuk jalur distribusinya. Jalur tata niaga dapat digunakan untuk menentukan strategi pemasaran yang paling optimal dalam pencapaian keuntungan perusahaan.
Hasil panen pelepah lidah buaya dikumpulkan pada petani pengumpul dan didistribusikan ke para pengguna. Hasil olahan setengga jadi lidah buaya seperti gel/juice, ekstrak, tepung, dan tepung kulit lidah buaya didistribusikan ke industri-industri pemakai bahan stengah jadi seperti industri makanan dan minuman kesehatan, farmasi, kosmetik, dan jamu didalam dan luar negeri. Jalur tata niaga juga menunjukkan bahwa hasil-hasil produk jadi lidah buaya juga saling dipertukarkan dalam bidang ekspor impor antar negara.
2. Target, Ukuran dan Segmen Pasar
Pendirian industri tepung lidah buaya di kota Pontianak adalah untuk memberikan nilai tambah dari bahan baku lidah buaya yang banyak tersedia, serta untuk mengganti impor dan sedapat mungkin untuk melakukan ekspor.
Industri tepung lidah buaya merupakan indutri yang relatif baru dikembangkan di Indonesia sehingga pabrikasinya belum banyak dilkukan. Permintaan tepung lidah buaya di Indonesia sampai saat ini sebagian besar (sekitar 67%) masih tergantung pada pelaksanaan impor.

Harga tepung lidah buaya impor yang berkualitas tinggi mencapai Rp. 7.000.000/kg, sedangkan harga tepung lidah buaya local berkualitas sedang mencapai Rp. 2.500.000/kg-Rp. 3.500.000/kg. Pembelian tepung lidah buaya impor dilakukan karena perusahaan tepung lidah buaya dalam negeri belum mampu melayani permintaan secara rutin dan belum memenihu kriteria mutu tepung lidah buaya yang diinginkan terutama tepung lidah buaya bernutu tinggi ( PT. Aloe Nusantara Utama, 2001).
Target pasar yang direncanakan adalah industri-industri yang memakai tepung dan tepung kulit lidah buaya terutama industri kosmetika dan farmasi di seluruh indonesia dan di luar negeri seperti Korea Selatan, jepang, China, dan Singapura. Ukuran target pasar (market space) tepung lidah buaya adalah permintaan dalam negeri sebesar 18,8 ton/tahun dan permintaan luar negeri sebesar 110, 8 ton/tahun serta untuk tepung kulit lidah buaya adalah permintaan luar negeri sebanyak 144 ton/tahun.
Segmentasi pasar dilakukan atas dasar letak geografis pasar. Segmentasi pasar khusus adalah pasar luar negeri, segmentasi pasar potensial adalah wilayah pulau Jawa dan Bali, dan segmentasi tambahan adalah seluruh wilayah lainnya di Indonesia.

3. Profil Konsumen
Konsumen tepung lidah buaya saat ini terdiri dari perusahaan kosmetika, obat-obatan tradisional dan jamu. Informasi tentang data konsumen tepung lidah buaya didapatkan melalui produk-produk yang dipasarkannya. Beberapa perusahaan di dalam negeri yang memakai tepung lidah buaya disajikan pada Tabel 3 berikut ini :
Industri tepung lidah buaya yang direncanakan dapat melayani sebagian besar permintaan dari luar negeri sebagai salah satu usaha perluasan pasar. Permintaan tepung lidah buaya dari luar negeri cukup besar, yaitu sebesar 10,8 ton/tahun dari jepang (Wahid, 2000) dan sebesar 100 ton/tahun dari China, Korea Selatan dan Singapura. (PT. Aloe Nusantara Utama, 2001).

4. Identifikasi Pesaing
Pengolahan tepung lidah buaya di Indonesia belum banyak dilakukan terutama dalam skala industri. PT Aloe Nusantara Utama Jakarta merupakan satu-satunya perusahaan tepung lidah buaya di wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta yang telah dapat menghasilkan tepung lidah buaya dengan kualitas sedang dan memenuhi sebagian kebutuhan bahan baku industri jamu di dalam negeri. PT. Aloe Nusantara Utama Jakarta dengan keterbatasan sumber daya yang dimilikinya hanya dapat menghasilkan tepung lidah buaya sebanyak 3-7 ton/tahun. Keadaan pesaing dalam industri tepung lidah buaya tidak menyulitkan masuknya perusahaan tepung lidah buaya baru karena permintaannya masih sangat besar.

5. Pangsa Pasar

Pangsa pasar (market share) industri tepung lidah buaya yang direncanakan sesuai dengan kapasitas produksi maksimum tepung lidah buaya sebesar 36 ton/tahun dengan bagian produk sebesar 18 ton untuk pasar dalam negeri dan 18 ton untuk pasar luar negeri. Pangsa pasar tepung kulit lidah buaya juga sesuai dengan kapasitas produksi maksimum tepung kulit lidah buaya sebesar 90 ton/tahun.
Peramalan untuk tahun-tahun yang akan datang tidak dapat dilakukan karena adanya kekurangan data historis yang mendukung, tetapi berdasarkan Wahid (2000), prospek pengembangan produk-produk lidah buaya memiliki peluang jangka panjang dikarenakan oleh adanya : (1) kemungkinan adanya kegunaan yang luas dari produk olahan lidah buaya untuk 10 tahun yang akan datang pada industri kosmetika, farmasi dan makanan, (2) adanya pengembangan penggunaan baru dengan banyaknya penelitian penunjang, dan (3) adanya faktor sosial budaya yang cenderung beralih ke dalam tradisi back to nature dalam bidang makanan dan obat-obatan.

3. Positioning
Pembentukan dan pengomunikasian manfaat utama suatu produk yang membedakan produk dalam pasar dapat ditempuh melalui penetapan posisi di pasar. Terdapat tiga langkah dalam penentuan posisi pasar, yaitu mengidentifikasi keunggulan kompetitif, memilih keunggulan kompetitif, dan mewujudkan serta mengkomunikasikan posisi.
Berdasarkan daur hidup produk yang dikemukakan oleh Sutoyo (2000), produk-produk lidah buaya baru mencapai tahap pengenalan dan memulai masa pertumbuhan sehingga perkembangan pasarnya masih sangat potensial.

6.Kebijakan Pemasaran
Kebijakan pemasaran ditetapkan untuk memudahkan penetrasi ke dalam pasar. Kebijakan pemasaran mencakup teknik dan prosedur penjualan, cara promosi, lingkup daerah pemasaran, dan perbandingan kebijakan dengan pesaing

4. Bauran Pemasaran (Marketing Mix)
(1) Produk
Produk merupakan sesuatu yang ditawarkan ke pasar agar produk tersebut dapat memenuhi kebutuhan, keinginan, dan kepuasan konsumen. Oleh karena itu, produk harus memenuhi unsur-unsur yang sesuai dengan kebutuhan, keinginan, dan kepuasan konsumen. Unsur-unsur tersebut adalah kualitas, merek, kemasan, dan label. Tepung lidah buaya merupakan produk yang termasuk ke dalam barang industri, yaitu barang yang dibeli untuk diolah lagi menjadi produk lain.
(2) Harga
Dalam penentuan harga produk dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi keputusan penentuan harga adalah sarana pemasaran, strategi marketing mix, dan pertimbangan organisasi perusahaan, sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi adalah pasar dan permintaan konsumen, harga dan tawaran pesaing, serta kondisi ekonomi seperti tingkat inflasi, tingkat suku bunga, resesi ekonomi, dan keputusan pemerintah.
Penetapan harga tepung lidah buaya dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan biaya, yaitu dengan metode penetapan harga biaya-plus. Metode ini menambahkan suatu mark up baku untuk labanya. Alasan penggunaan metode biaya-plus adalah untuk memperoleh keuntungan jangka pendek semaksimal mungkin.

(3)Distribusi
Sebagian besar perusahaan (produsen) menggunakan perantara pemasaran untuk memasarkan produknya dengan cara membangun suatu saluran distribusi, yaitu sekelompok organisasi yang saling tergantung pada proses yang memungkinkan suatu produk atau jasa tersedia untuk konsumsi.
Pada tahap awal pemasaran, penjualan tepung lidah buaya dilakukan dengan dengan melakukan klaster dengan perusahaan lain yaitu dengan PT. Aloe Nusantara Utama Jakarta. Alasan pemilihan distributor yang kuat karena produk tepung lidah buaya merupakan produk yang relatif baru dan perusahaan belum mengetahui seluk-beluk pasar secara nyata.

(4) Promosi
Promosi dilakukan untuk mengomunikasikan produk kepada perusahaan pemakai agar produk dikenal dan akhirnya dibeli. Untuk mengkomunikasikan produknya, industri tepung lidah buaya harus melakukan kegiatan promosi melalui periklanan, promosi penjualan, dan hubungan masyarakat.
Dalam promosi ini, perusahaan industri industri tepung lidah menetapkan tahun promosi pada awal produksi dengan mendatangi perusahaan pemakai tepung lidah buaya secara langsung.

(5). Kapasitas Produksi
Kapasitas produksi adalah volume atau jumlah satuan produk yang dihasilkan selama satu satuan waktu tertentu dan dinyatakan dalam bentuk keluaran (output) per satuan waktu.
Penentuan kapasitas produksi dapat ditentukan dari berbagai faktor. Namun, untuk industri tepung lidah buaya ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu :
1.Kemampuan pasar menyerap produk
2.Ketersediaan bahan baku
3.Kemampuan teknis

1. Kemampuan Pasar Menyerap Produk
Besarnya kemampuan pasar menyerap produk akan menentukan jumlah yang mungkin dijual oleh perusahaan. Jumlah yang dijual akan mempengaruhi jumlah keuntungan yang akan diterima oleh perusahaan.
Berdasarkan pengamatan dan struktur pasar yang ada, diketahui bahwa kemampuan pasar menyerap produk adalah sebesar 28,8 ton/tahun. Berdasarkan data yang ada bahwa hanya PT. Aloe Nusantara Utama Jakarta yang telah dapat menghasilkan tepung lidah buaya di wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat. PT. Aloe Nusantara Utama Jakarta hanya dapat menghasilkan tepung lidah buaya sebanyak 3-7 ton/tahun. Keadaan pesaing dalam industri tepung lidah buaya tidak menyulitkan masuknya perusahaan tepung lidah buaya baru karena permintaannya masih sangat besar.

2.Ketersediaan Bahan Baku
Ketersediaan bahan baku akan menentukan jumlah yang mungkin diproses oleh pabrik. Bahan baku hasil pertanian sangat tergantung kepada faktor alam, seperti iklim, selain faktor teknis budidaya dan harga. Oleh karena itu, ketersediaan bahan baku merupakan hal yang cukup besar untuk dipertimbangkan dalam menentukan kapasitas produksi.

Berdasarkan pertimbangan kemampuan pasar menyerap produk, kapasitas produksi adalah 36 ton/hari. Dengan begitu dibutuhkan sekitar 2.328.000 kg pelepah lidah buaya. Jika dilihat ketersediaan bahan baku hal ini dapat dilakukan karena bahan baku yang tersedia mencukupi, tetapi untuk menjamin ketersediaan bahan baku perusahaan melakukan penanaman sendiri dan melakukan kerjasama secara kontrak dengan petani setempat.

3. Kemampuan Teknis
Kemampuan teknis peralatan dan tenaga kerja manusia untuk menangani jumlah tertentu produk akan mempengaruhi kapasitas produksi. Pada peralatan-peralatan yang telah dirancang dalam ukuran standar, ada batasan kemampuan yang harus disesuaikan dengan kehendak produsen. Tenaga kerja manusia pun ada batasannya, tergantung pada jumlah tenaga kerja dan jam kerjanya. Akibat terbatasnya kemampuan teknis, maka perusahaan menetapkan kapasitas produksi sebesar 40% dari ketersediaan bahan baku atau sebesar 16,88 % dari celah pasar .

III. ANALISIS TEKNIS DAN TEKNOLOGIS


Aspek teknis-teknologis merupakan aspek yang berkenaan dengan proses pembangunan industri secara teknis dan operasi setelah industri tersebut dibangun (Husnan dan Suwarsono, 1991). Sutojo (2000) menambahkan bahwa evaluasi aspek teknis teknologis meliputi penentuan kapasitas produksi ekonomis proyek, jenis teknologi yang paling cocok, serta penggunaan mesin dan peralatan. Di samping itu, perlu diteliti dan diajukan saran mengenai lokasi proyek dan tata letak pabriknya.
Sutojo (2000) juga menambahkan bahwa besar kapasitas produksi ditentukan berdasarkan jumlah penjualan produk di masa yang akan datang, kemungkinan pengadaan bahan baku, bahan pembantu, dan tenaga kerja inti, serta tersedianya mesin dan peralatan di pasar.
Analisis teknis dan teknologis pendirian industri tepung lidah buaya meliputi bahan baku, teknologi proses, lokasi dan tata letak, penanganan limbah.

A.Bahan Baku
Tepung lidah buaya merupakan bahan baku industri kosmetik dan farmasi yang lebih tahan terhadap reaksi oksidasi sehingga dapat disimpan lebih lama dibandingkan dalam bentuk gel.
Mutu gel lidah buaya cepat menurun karena mempunyai kandungan enzim oksidase sehingga mudah teroksidasi bila terjadi kontak antara gel lidah buaya dengan oksigen. Reaksi oksidasi menyebabkan kandungan gizi pada gel liddah buaya cepat menurun, warnanya menjadi coklat kekuningan, dan tercemar oleh bakteri. Gel lidah buaya yang berbentuk cair mempunyai volume yang lebih besar dibandingkan tepung lidah buaya sehingga lebih menyulitkan dalam pelaksanaan pengemasan dan pendistribusian ke tempat yang jauh.
Susanto et al. (1990) menyatakan bahwa untuk mendapatkan tepung lidah buaya perlu dilakukan pengeringan dengan sistem pengeringan beku dan pengeringan semprot karena gel lidah buaya sangat peka terhadap suhu, udara, dan cahaya. Sebelum bahan baku berbentuk gel ini dikeringkan, lebih dahulu dilakukan pencucian, pengupasan, penghancuran, penyaringan, pengentalan, dan pemblansiran dengan didiamkan pada suhu 70 0C selama 10 menit

Bahan baku tepung lidah buaya berasal dari tanaman lidah buaya (Aloe vera linnaeus). Bahan baku lidah buaya direncanakan akan dipenuhi oleh penanaman lidah buaya yang dilakukan sendiri oleh perusahaan seluas 20 ha dengan jumlah panen 3.072 ton/tahun dan melakukan kemitraan penanaman dengan petani kota pontianak seluas 16 ha dengan jumlah panen 2.458 ton/tahun sehingga bahan baku yang dihasilkan adalah 5.530 ton/tahun. Jumlah panen yang diperlukan untuk menunjang kelancaran produksi dari hasil kemitraan penanaman dengan petani disekitar pabrik adalah sebesar 2.928 ton/tahun yang dibeli dengan harga Rp. 1500/kg atau Rp. 1.500.000/ton.
Provinsi Kalimantan Barat, tepatnya di Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak merupakan sentra utama tanaman lidah buaya. Hal ini karena ditunjang oleh kecocokan iklim dan kesesuaian lahan gambut. Menurut data yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik, lahan yang sudah dikembangkan untuk usahatani lidah buaya di Kecamatan Pontianak Utara sampai tahun 2004 mencapai 240 hektar. Perkembangan tanaman lidah buaya di Kecamatan Pontianak Utara dapat dilihat pada Tabel 4

B.Teknologi Proses Produksi Tepung Lidah Buaya
Teknologi proses yang digunakan pada produksi tepung lidah buaya dilakukan dengan cara membeli dari perusahaan lain. Tahapan proses produksi tepung lidah buaya meliputi pencucian, pengupasan, pengupasan, pengekstrakan, pengentalan, pembekuan, pengeringan, penggilingan, dan pengemasan. Kulit pelepah lidah buaya hasil buangan proses pengupasan juga diolah menjadi tepung kulit lidah buaya dengan tahapan produksinya meliputi pembuburan, pengeringan, penggilingan, pengemasan. Tahapan proses produksi tepung lidah buaya disajikan pada Gambar 3.

1.Tahapan Proses Produksi Tepung Lidah Buaya
a)Pencucian
Pelepah lidah buaya yang masuk ke pabrik telah mengalami proses sortasi di tempat budidaya dengan standar mutu bobot 0,8 kg/pelepah, lebar pelepah rata-rata 11 cm, dan panjang pelepah 40-60 cm.
Tahap awal proses produksi adalah proses pencucian yang bertujuan untuk membuang sisa-sisa tanah, residu pupuk, dan kotoran lainnya. Pencucian dialkukan dengan mengalirkan air ke dalam bak pencuci sehingga pelepah lidah buaya terendam dan terjadi perputaran air yang dapat memberikan efek pembersihan yang sama pada setiap pelepah. Pelepah lidah buaya yang telah dicuci ditempatkan pada belt conveyor untuk dibawa ke tempat pengupasan.

b)Pengupasan
Proses pengupasan lidah buaya dilakukan dengan mesin pengupas yang juga langsung memisahkan bagian gel dan kulit lidah buaya. Gel lidah buaya yang telah terkupas langsung dimasukkan ke mesin pengekstrak melalui belt conveyor sehingga tidak terjadi reaksi perubahan warna (browning). Bagian-bagian yang rusak dan busuk juga dibuang pada saat pengupasan. Kulit pelepah ditampund di dalam bak penampung yang bersatu dengan mesin pengupasan untuk menunggu proses pembuburan.


c)Pengekstrakan
Pengekstrakan dilakukan pada mesin pengekstrak lidah buaya dengan proses pembuburan dan penyaringan yang bekerja secara berkesinambungan. Gel lidah buaya dimasukkan kedalam mesin pengekstrak untuk dibuburkan dan dilanjutkan dengan penyaringan. Hasil akhir proses adlah gel lidah buaya yang telah bersih dari ampas, cair dan jernih. Tahap pengekstrakan tidak memerlukan air sehingga ekstrak lidah buaya tidak tercampur dengan air.

d)Pengentalan
Pengentalan dilakukan pda mesin Reverse Osmosis pada suhu 70 0C. Pengentalan dilakukan untuk mengurangi kadar air pada gel lidah buaya sehingga akan mempercepat proses pembekuan. Proses pengentalan dapat menghilangkan air bahan sekitar 43%.

e)Pembekuan
Pembekuan bubur lidah buaya dilakukan pda freezer dengan suhu -18 0C. Hasil pembekuan langsung dimasukkan ke dalam freeze dryer untuk menghindari terjadinya pembekuan.

f)Pengeringan
Padatan bubur lidah buaya ditempatkan pada loyang aluminium dan dimasukkan ke dalam freeze dryer dengan suhu sebesar -60 0C. Hasil pengeringan berupa lempeng-lempeng tepung yang harus digiling untuk menghasilkan tekstur yang seragam.

g) Penggilingan
Penggilingan dilakukan dengan hammer mill. Pengilingan dilakukan untuk menghasilkan produk yang memiliki partikel homogen.

h) Pengemasan
Pengemasan dilakukan pada mesin vacuum packaging. Bahan kemasan adalah berupa drum plastik high densitiy polyethilene (HDPE) dengan kapasitas bahan kemasan 5 kg. Tepung lidah buaya hasil pengemasan disimpan di gudang produk jadi yang memiliki refrigerator untuk menghambat penggumpalan.

2. Tahapan Proses Produksi Tepung Kulit Lidah Buaya
a) Pembuburan
Pembuburan dilakukan pada mesin yang sama, yaitu mesin pengekstrak lidah buaya tetapi tidak melalui proses penyaringan, hal tersebut dikarenakan bagian pembubur dan penyaring pada mesin pengekstrak dapat dipisahkan.
Hasil akhir proses adalah bubur kulit pelepah yang cukup kental, kandungan serat yang cukup tinggi, dan masih terdapat sedikit kandungan gel. Bubur kulit lidah buaya tidak memerlukan proses pengentalan dan dapat lengsung dikeringkan.

b) Pengeringan
Pengeringan bubur kulit lidah buaya dilakukan denga drum dryer sampai kadar air bahan maksimum sebesar 12 % dengan waktu sekitar 3 jam. Hasil pengeringan berupa tepung kulit yang memiliki tekstur cukup kasar dan warnanya sedikit coklat.

c) Penggilingan
Penggilingan dilakukan dengan hammer mill. Pengilingan dilakukan untuk menghasilkan produk yang memiliki partikel homogen karena butiran-butiran tepung kulit lidah buaya hasil pengeringan memiliki tekstur yang sangat tidak seragam.

d) Pengemasan
Bahan kemasan adalah berupa drum plastik high densitiy polyethilene (HDPE) dengan kapasitas bahan kemasan 5 kg.

C.Neraca Massa
Neraca massa digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam rancang bangun proses produksi dan analisis finansial industri tepung lidah buaya. Neraca massa keseluruhan proses produksi ditunjukkan pada diagram alir kuantitatif yang disajikan pada Gambar. Rendemen tepung lidah buaya yang dihasilkan adalah 0,67 % dan rendemen tepung kulit lidah buaya adalah 1,67 %.

1) Neraca Massa Proses Produksi Tepung Lidah Buaya
a) Tahap Pencucian
Tahap pencucian merupakan proses penghilangan kotoran sehingga didapatkan pelepah lidah buaya yang bersih untuk pengolahan selanjutnya. Massa pelepah lidah buaya adalah 150 kg dan kotoran yang terbuang adalah 3 kg (2%) sehingga didapatkan pelepah lidah buaya bersih 147 kg (98%).

Pelepah lidah buaya Pelepah lidah buaya
W = 150 kg w = 147 kg
b) Tahap Pengupasan
Tahap pengupasan dilakukan untuk memisahkan gel dan kulit pelepah lidah buaya. Gel yang didapatkan adalah 104,7 kg (71%) dan kulit pelepah lidah buaya sebanyak 42,3 (29 %).

Pelepah lidah buaya Gel lidah buaya
W = 150 kg w = 104,7 kg

Kotoran
W = 42,3 kg
c) Tahap Pengekstrakan
Tahap pengekstrakan adalah memisahkan ampas dengan ekstrak lidah buaya. Cairan lidah buaya yang didapatkan adalah 96,2 kg (88%) dan ampas yang terbuang sebanyak 8,5 kg (12%).

Gel lidah buaya Cairan lidah buaya
W = 104,7 kg w = 96,2 kg

Ampas
W = 8,5 kg
d) Tahap Pengentalan
Tahap pengentalan dilakukan untuk membuang sebagian air sehingga didapatkan ekstrak yang kental. Cairan kental yang didapatkan adalah 32,05 kg (34%) dan air yang dapat dihilangkan adalah 64,15 kg (66%).

Cairan Lidah Buaya Cairan kental lidah buaya
w = 96,2 kg w = 32,05 kg
Air W = 64,15 kg

e) Tahap Pengeringan
Tahap pengeringan dilakukan untuk membuang sebagian air sehingga didapatkan tepung lidah buaya. Tepung yang didapatkan 1,1 kg (32,05 %) dan air yang dihilangkan adalah 30,95 kg (96,6%).

Cairan Kental Lidah Tepung lidah buaya
Buaya w = 32,05 kg w = 1,0 kg

Air
W = 30,95 kg

f) Tahap Penggiligan
Tahap penggilingan dilakukan untuk mendapatkan tepung dengan tekstur yang halus dan homogen. Tepung yang didapatkan 1 kg (91%) dan tepung yang terbuang 0,1 kg (9%).

Tepung lidah buaya Tepung lidah buaya
w = 1,1 kg w = 1,0 kg

Air
W = 0,1 kg



2. Neraca Massa Proses Produksi Tepung Kulit Lidah Buaya
a) Tahap Pembuburan
Pembuburan merupakan proses penghancuran kulit pelepah lidah buaya menjadi bubur kulit lidah buaya yang memiliki tekstur yang seragam. Bubur kulit yang didapatkan adalah 40,8 kg (96%) dan bahan yang terbuang adalah serat dan bubur yang tertinggal di dalam mesin pembubur.
kulit pelepah lidah bubur kulit lidah buaya
buaya w = 42,3 kg w = 40,8 kg

bahan terbuang
W = 1,5 kg

b) Tahap Pengeringan
Pengeringan merupakan proses pengurangan kandungan air dalam cairan kental lidah buaya sehingga dihasilkan tepung yang cukup kering. Tepung kulit lidah buaya yang dihasilkan adlah 2,8 kg (7%) dan air yang dihilangkan adalah 39 kg (93%).

Cairan Kental Tepung Kulit
Kulit Lidah Buaya Lidah Buaya
w = 40,8 kg w = 2,8 kg
Air
W = 38 kg

c) Tahap Penggilingan
Tahap penggilingan dilakukan untuk mendapatkan tepung dengan tekstur yang halus dan homogen. Tepung kulit yang didapatkan adalah 2,5 kg (89%) dan tepung yang terbuang adalah 0,3 kg (9 %).
Tepung Tepung Kulit
Kulit Lidah Buaya Lidah Buaya
w = 2,8 kg w = 2,5 kg

Tepung kulit terbuang
W = 0,3 kg


D.Perencanaan Kapasitas dan Kebutuhan Bahan Baku

Kapasitas produksi industri tepung lidah buaya dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu permintaan pasar dan ketersediaan bahan baku. Permintaan pasar untuk produksi tepung lidah buaya didapatkan dari pencarian data dari berbagai industri pemakai tepung lidah buaya khususnya industri kosmetika yang saat ini kebutuhannya masih dipenuhi dengan pelaksanaan impor. Permintaan tepung lidah buaya didalam negeri mencapai 28,8 ton/tahun dan kebutuhannya telah tercukupi oleh produksi lokal sebanyak 5-10 ton/tahun, sehingga masih terdapat impor sekitar 18,8 ton/tahun. Permintaan tepung lidah buaya dari luar negeri mencapai 110,8 ton/tahun.
Kapasitas produksi maksimum industri tepung lidah buaya yang direncanakan adalah 36 ton/tahun atau 3 ton/bulan atau 120 kg/hari tepung lidah buaya dan 90 ton/tahun tepung kulit lidah buaya sebagai hasil samping. Rendemen tepung lidah buaya adalah sebesar 0,67 % sehingga bahan baku yang dibutuhkan mencukupi pelaksanaan produksi tepung dan tepung kulit lidah buaya selama satu tahun adalah sebanyak 5400 ton pelepah lidah buaya. Luas areal yang harus ditanami lidah buaya untuk mencukupi kebutuhan bahan baku industri tepung lidah buaya adalah 35,16 hektar. Perhitungan luas areal yang perlu ditanami adalah sebagai berikut :
5.400.000 kg
Luas areal =
10.000 ton/ha x 0,8 kg/pelepah x 80 % x 24 pelepah/ton

Kebutuhan areal penanaman direncanakan akan dipenuhi oleh penanaman lidah buaya yang dilakukan sendiri oleh perusahaan seluas 20 ha dengan jumlah panen 3.072 ton/tahun dan melakukan kemitraan penanaman dengan petani seluas 16 ha dengan jumlah panen 2.458 ton/tahun sehingga bahan baku yang dihasilkan adalah 5.530 ton/tahun. Jumlah panen yang diperlukan untuk menunjang kelancaran produksi dari hasil kemitraan penanaman dengan petani disekitar pabrik adalah sebesar 2.928 ton/tahun yang dibeli dengan harga Rp. 1500/kg atau Rp. 1.500.000/ton.


E.Kebutuhan Mesin dan Peralatan
Mesin dan peralatan yang dibutuhkan pada industri tepung lidah buaya relatif mahal karena pembuatan tepung lidah buaya memerlukan teknologi tinggi. Mesin dan peralatan sebagian harus diimpor sehingga diperlukan devisa untuk pembelanjaan impor. Mesin-mesin utama yang harus diimpor diantaranya adalah freeze dryer, vacuum packaging, dan mesin reverse osmosis. Mesin-mesin tambahan seperti freeze, drum dryer, hammer mill, dan peralatan transportasi dapat disediakan didalam negeri. Perincian kebutuhan mesin dan peralatan industri tepung lidah buaya disajikan pada Tabel berikut ini :

F.Kebutuhan Tanah dan Bangunan
Tanah yang dibutuhkan untuk mendirikan industri tepung lidah buaya seluruhnya adalah 203.165 m2. Harga tanah di daerah terpilih adalah Rp. 110.000 per m2 termasuk dengan penambahan biaya pengukuran, perijinan dan pembebasan tanah. Bangunan yang diperlukan adalah bangunan untuk ruang produksi, ruang administrasi/perkantoran, gudang bahan baku, gudang produk jadi, mushola, dan MCK, pos keamanan, kantin, poliklinik, ruang teknik. Perincian keburuhan tanah untuk pendirian industri tepung lidah buaya di kota Pontianak disajikan pada Tabel berikut ini :

G.Lokasi Industri
Ada tiga faktor utama yang menjadi bahan pertimbangan penentuan lokasi, yaitu strategi dan kebijakan pemerintah dalam pembangunan proyek industri, bobot pengaruh letak daerah pemasaran produk dan sumber bahan baku terhadap efisiensi proyek, serta faktor lingkungan setempat (Sutojo, 2000 ).
Akibat adanya kebijakan pemerintah mengenai otonomi daerah, maka masing-masing daerah mempunyai kesempatan untuk mengembangkan industri¬industri yang berpotensi di daerahnya. Dengan adanya industri yang berkembang diharapkan masing-masing daerah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui penyerapan tenaga kerja dan memberikan kontribusi terhadap pendapatan letak daerah sumber bahan baku dan pemasaran mempunyai pengaruh yang berlainan pada setiap industri. Untuk industri tepung lidah buaya, kedekatan lokasi industri dengan sumber bahan baku akan memperkecil biaya pengadaan dan penanganan bahan baku serta mengurangi resiko kerusakan pada bahan baku. Daerah sumber bahan baku yang cukup potensial untuk kelangsungan industri di masa mendatang adalah Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, Kalimantan Barat terpilih sebagai daerah yang cocok untuk lokasi industri. Penanaman lidah buaya di Kalimantan Barat tersebar di beberapa kabupaten, yaitu kabupaten Sambas, kabupaten Pontianak, Kota Pontianak. Kabupaten-kabupaten tersebut merupakan alternatif lokasi industri yang dapat dipilih. Dikarenakan pertimbangan faktor-faktor ketersediaan bahan baku, ketersediaan tenaga kerja, jarak dengan pusat pemasaran, ketersedian sarana dan prasarana maka dipilih kota Pontianak.
Selanjutnya dilakukan pemilihan lokasi terhadap kecamatan-kecamatan yang ada di kota Pontianak. Berdasarkan daerah penghasil lidah buaya terbesar di kota Pontianak, maka didapatkan kecamatan Pontianak Utara sebagai lokasi industri yang terpilih. Kriteria-kiteria yang digunakan dalam memilih lokasi tersebut adalah ketersediaan bahan baku, sarana dan prasarana transportasi, ketersediaan fasilitas listrik, kedekatan lokasi pasar, ketersediaan air, tenaga kerja, sarana dan prasarana dan harga.

H. Tata Letak Pabrik
Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk menentukan tata letak pabrik adalah dengan pendekatan Systematic Layout Planning (SLP), yaitu dengan menggunakan bagan keterkaitan antar aktivitas dan diagram keterkaitan antar aktivitas. Teknik tersebut bertujuan untuk melihat keterkaitan hubungan antar aktivitas yang terjadi pada industri tepung lidah buaya. Dengan begitu, teknik tersebut dapat digunakan sebagai pedoman dalam merancang tata letak pabrik secara menyeluruh.
Pada Tabel 7 disajikan bagan keterkaitan antar aktivitas industri tepung lidah buaya. Bagan tersebut dapat digunakan untuk menganalisis dan merancang keterkaitan antar aktivitas yang terjadi. Adapun derajat hubungan keterkaitan antar aktivitas tersebut dinyatakan sebagai berikut :
1.A (Absolut) menunjukkan bahwa letak antar aktivitas harus saling berdekatan dan bersebelahan dengan kegiatan lain.
2.E (Especially important) menunjukkan bahwa letak antar kegiatan yang satu harus bersebelahan.
3.I (Important) menunjukkan letak antar satu kegiatan dengan kegiatan yang lain cukup berdekatan.
4.O (Ordinary) menunjukkan letak antar kegiatan tidak harus berdekatan.
5.U (Unimportant) menunjukkan bahwa letak antar kegiatan bebas dan tidak saling terikat.
6.X (Undesirable) menunjukkan bahwa letak antar kegiatan tidak boleh saling berdekatan atau harus saling berjauhan.
Sedangkan alasan dalam penilaian derajat keterkaitan tersebut adalah sebagai berikut :
Kode Alasan
1 Urutan proses atau kerja
2 Penggunaan pekerja yang sama
3 Pengawasan
4 Efisiensi waktu dan jarak
5 Bising, asap, debu
6 Adanya komunikasi atau pencatatan
7 Kontak antar pekerja
8 Keindahan, kebersihan, dan kenyamanan
Berdasarkan hasil analisis pada diagram keterkaitan antar aktivitas, maka dapat dibuat tata letak industri tepung lidah buaya yang direncanakan, seperti disajikan pada. Gambar 4.
Gambar 4. Tata letak industri tepung lidah buaya

I. Tata Letak Mesin dan Peralatan
Tujuan dalam merancang tata letak fasilitas diantaranya adalah memudahkan dalam proses pengolahan, meminimumkan penanganan bahan,menggunakan volume ruang secara ekonomis, dan meningkatkan efektifitas tenaga kerja serta menghasilkan produk yang berkualitas. Tata Ietak yang baik dapat diartikan sebagai penyusunan yang teratur dan efisien dari semua fasilitas, baik mesin dan alat, pekerja, ataupun fasilitas lainnya. Semua fasilitas tersebut harus ditempatkan pada bagiannya sehingga proses produksi berjalan dengan lancar.
Penyusunan tata letak mesin dan alat yang dipilih dalam pengolahan tepung lidah buaya adalah tata letak tipe produk. Tipe tata letak tersebut berorientasi pada produk dengan tata letak di mana pusat-pusat kerja dan mesin atau peralatan disusun dalam satu jalur (line layout). Tata letak disusun sesuai dengan urutan proses produksi untuk menghasilkan satu jenis produk tertentu. Mesin dan peralatan disusun berdasarkan operasi yang diperlukan untuk menghasilkan produk yang diinginkan. Output dari mesin sebelumnya akan menjadi input mesin selanjutnya, demikian seterusnya.
Keuntungan penyusunan tipe tata letak di atas, diantaranya adalah aliran bahan yang lancar, biaya produksi per unit rendah dan keahlian pekerja yang dibutuhkan tidak terlalu tinggi (Apple, 1997), sedangkan salah satu kerugiannya adalah bila terjadi kerusakan pada salah satu proses akan mengganggu keseluruhan sistem proses produksi.
Tata letak mesin dan peralatan dalam industri pengolahan tepung lidah buaya disusun menurut pola aliran bahan berbentuk U. Pemilihan pola aliran berbentuk U ini dilakukan dengan alasan untuk memberikan lintasan aliran yang lebih panjang dalam bangunan dengan luas, bentuk, dan ukuran yang lebih ekonomis. Tata letak mesin dan peralatan serta aliran bahan industri tepung lidah buaya disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Tata letak mesin dan peralatan serta aliran bahan industri tepung lidah
buaya

J.Penanganan Limbah
Analisa dampak lingkungan merupakan suatu kegiatan atau kajian yang dilakukan untuk mengidentifikasi, memprediksi, menginterpretasi, dan mengkomunikasikan pengaruh suatu rencana kegiatan (proyek) terhadap lingkungan. Berdasarkan UU No. 4 Tahun 1982 tentang ketentuan pokok lingkungan hidup, suatu industri yang mencemarkan lingkungan harus dapat bertanggung jawab dalam penanganan limbah tersebut.
Lingkungan proyek industri tepung lidah buaya meliputi tempat pelaksanaan proyek konstruksi bangunan dan oprasional pabrik dan wilayah sekitar proyek yang masih merasakan dampak adanya proyek tersebut. Dampak proyek terutama dampak negatifnya disebabkan oleh adanya pelaksanaan konstruksi dan operasional pabrik. Dampak negatif tersebut disebabkan oleh adanya limbah yang dikeluarkan oleh proyek. Limbah yang dihasilkan oleh proyek dapat adalah berupa limbah padat, cair dan gas yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.

1. Pencemaran Udara
Udara dapat tercemar dengan tersebarnya zat padat berupa partikel halus, gas atau bau. Pencemaran udara dapat terjadi pada saat pelaksanaan konstruksi dan pada saat pengolahan. Pencemaran udara pada saat konstruksi terjadi karena adanya debu yang beterbangan, gas karbonmonoksida dari mesin dan knalpot kendaraan. Pencemaran tidak terlalu berbahaya bagi wilayah disekitar proyek, tetapi pekerja-pekerja yang berada di tempat pelaksanaan konstruksi dan proyek disarankan untuk memakai penutup hidung.
2. Pencemaran Air
Pencemaran air karena adanya air bekas cucian pelepah lidah buaya dan air buangan ampas serat lidah buaya. Air cucian mengandung kotoran berupa residu pupuk dan tanah tetapi kandungan tersebut tidak membahayakan bagi lingkungannya dan air buangan ampas hanya mengandung sedikit bahan organik karena sebagian besar komponen pelepah lidah buaya (98 %) merupakan air sehingga dapat dialirkan langsung ke badan air.


IV. ANALISIS MANAJEMEN OPERASIONAL

Manajemen operasional industri tepung lidah buaya diarahkan untuk dapat melaksanakan fungsi-fungsi manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengarahan, dan pengawasan kegiatan industri. Manajemen operasional proyek yang baik akan mampu memenuhi segala kebijakan dan tujuan perusahaan.
A. Struktur Organisasi
Struktur organisasi akan sangat menunjang pemeliharaan dan peningkatan motivasi kerja bagi masing-masing individu dan menghindari terjadinya kerja yang tidak terkoordinasi. Struktur organisasi industri tepung lidah buaya disajikan pada Gambar berikut ini :

B.Deskripsi Pekerjaan
1)Direktur
Tugas pokok direktur adalah melakukan perencanaan, pengkordinasian, pengintegrasian, dan pengawasan kebijakan perusahaan dalam rangka mencapai kesuksesan perusahaan dalam jangka panjang. Tugas rutinnya adalah memeriksa seluruh laporan harian, mingguan, dan bulan dari setiap manager, mengadakan pertemuan rutin mingguan dengan setiap manager, dan mengawasi pekerjaan manager. Wewenang direkrut adalah memberikan tugas, teguran, menilai kinerja manajer, dan bertindak sebagai pengambil keputusan yang bersifat strategis dan berdampak luas bagi perusahaan. Direktur bertanggung jawab terhadap pemegang saham.

2)Sekretaris
Tugas pokok sekretaris adalah menangani berbagai urusan administratif perusahaan dan penyebaran informasi untuk internal perusahaan pada tingkat manajemen. Tugas rutinnya adalah menyusun laporan tahunan mengenai perkembangan perusahaan, melakukan pengarsipan dengan sistematis, memastikan personil terkait selalu menerima informasi terbaru, menyelesaikan seluruh pekerjaan administratif tepat waktunya, menjaga kerahasiaan arsip perusahaan, dan menjamin konsistensi informasi. Wewenang sekretaris adalah menyebarkan informasi dan mengatur jadwal kegiatan pertemuan Direktur dengan pihak luar. Sekretaris bertanggung jawab kepada Direktur.

3)Manajer Personalia
Tugas pokok manajer personalia adalah melakukan perencanaan, pengkordinasian, dan pengawasan kegiatan penerimaan, promosi, demosi, dan mutasi karyawan serta mengadakan pelatihan peningkatan mutu karyawan. Tugas rutinnya adalah memeriksa seluruh laporan harian, mingguan dan bulanan dari setiap Supervisor, mengadakan pertemuan rutin mingguan dengan setiap Supervisor, dan mengawasi setiap pekerjaan Supervisor. Wewenang Manajer Personalia adalah memberikan, tugas, teguran dan menilai setiap kinerja setiap Supervisor. Manajer Personalisa bertanggung jawab terhadap Direktur.

4)Manajer Produksi
Tugas pokok Manajer Produksi adalah melakukan perencanaan, pengkordinasian, dan pengawasan kegiatan produksi yang dijalankan sesuai dengan prosedur dengan prosedur dan kebijakan perusahaan. Tugas rutinnya adalah memeriksa seluruh laporan harian, mingguan dan bulanan dari setiap Supervisor, mengadakan pertemuan rutin mingguan dengan setiap Supervisor, dan mengawasi setiap pekerjaan Supervisor. Wewenang Manajer Produksi adalah memberikan, tugas, teguran dan menilai setiap kinerja setiap Supervisor. Manajer Produksi bertanggung jawab terhadap Direktur.

5)Manajer Keuangan
Tugas pokok Manajer Keuangan adalah melakukan perencanaan, pengkordinasian, dan pengawasan kegiatan keuangan perusahaan,mengatur penerimaan dan pengeluaran dana perusahaan. Tugas rutinnya adalah memeriksa seluruh laporan keuangan mingguan dan bulanan dari seluruh manajer dan membuat rekapitulasinya. Wewenang Manajer Keuangan adalah memberikan, tugas, teguran dan menilai setiap kinerja karyawan dibawahnya. Manajer Produksi bertanggung jawab terhadap Direktur.

6)Manajer Pemasaran
Tugas pokok Manajer Pemasaran adalah melakukan perencanaan, pengkordinasian, dan pengawasan kegiatan pemasaran produk mulai dari pencarian pasar, promosi, negosiasi harga, penjualan, dan mengatasi keluhan-keluhan pelanggan. Tugas rutinnya adalah menyiapkan bahan-bahan promosi, mencari pasar produk, merencanakan kapasitas penjualan, dan membuata laporan pemasaran rutin mingguan dan bulanan. Wewenang Manajer Pemasaran adalah memberikan, tugas, teguran dan menilai setiap kinerja setiap Supervisor. Manajer Produksi bertanggung jawab terhadap Direktur.

7)Spv. Umum
Tugas pokok Spv. Umum adalah merencanakan, mengkoordinasi, dan mengawasi kegiatan-kegiatan kebersihan dan kesehatan lingkungan perusahaan. Tugas rutinnya adalah membuat jadwal perencanaan pelaksanaan kebersihan taman dan lingkungan produksi, membuat laporan mingguan dan bulanan pelaksanaan pekerjaannya, dan mengikuti rapat rutin bulanan yang diadakan oleh bagian Personalia. Wewenang Spv. Umum adalah menyatakan bahwa lingkungan dalam keadaan sehat atau tidak. Meminta kesempatan untuk membersihkan seluruh lingkungan perusahaan, dan menilai kinerja para bawahan. Spv. Umum bertanggung jawab kepada manager Personalia.

8)Spv. Satpam
Tugas pokok Spv. Satpam adalah mengkordinasi kegiatan pencegahan, penanganan, penanggulangan bahaya yang dapat mengganggu keamanan dan keselamatan perusahaan. Tugas rutinnya adalah melakukan pengawasan perusahaan, melakukan penyuluhan untuk keamanan di perusahaan, dan membuat laporan keamanan rutin mingguan. Wewenang Spv. Satpam adalah mengambil tindakan tegas berupa sanksi kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap sistem keamanan perusahaan dan menilai kinerja anggota satpam. Spv. Satpam bertanggung jawab kepada Manager personalia.

9)Spv. Personalia
Tugas pokok Spv. Personalia adalah melakukan perencanaan dan pengawasan kegiatan penerimaan, promosi, demosi, dan mutasi karyawan serta mengadakan pelatihan peningkatan mutu karyawan. Tugas rutinnya adalah membuat jadwal penerimaan karyawan sesuai dengan kebutuhan perusahaan, membuat jadwal pelaksanaan pelatihan, dan membuat laporan mingguan pelaksanaan tugas-tugas personalia. Wewenang Spv. Personalia adalah memberikan, tugas, teguran dan menilai setiap kinerja setiap karyawan. Spv. Personalia bertanggung jawab terhadap manjer Personalia.

10) Spv. QC
Tugas pokok Spv. QC adalah mengkordinasi kegiatan perencanaan dan pengendalian produksi tepung lidah buaya, dan menetapkan standar mutu bahan baku, proses produksi dan produk jadi serta membuat laporan rutin mingguan dan bulanan hasil pengawasan mutu. Wewenang Spv. QC adalah mengambil tindakan yang tepat bila terjadi ketidaksesuaian mutu bahan baku, proses produksi, dan produk jadi dengan standar mutu yang telah ditetapkan oleh perusahaan, dan menilai kinerja staf QC. Spv. QC harus berkoordinasi dengan Spv. Pembelian, Spv. Guang, Spv. Produksi, Spv. Bahan baku, dan Spv. Mekanik, serta bertanggung jawab terhadap manger produksi.

11) Spv. Pembelian
Tugas pokok Spv. Pembelian adalah mengkoordinasi kegiatan perencanaan pengadaan pembelian barang meliputi bahan pabrik, barang tambahan invrstasi, dan non stock items sesuai dengan kebijakan perusahaan. Tugas rutinnya adlah melakukan pencatatan purchase order, penawaran dan pembelian barang yang dibutuhkan perusahaan, dan membuat laporan rutin mingguan. Wewenang Spv. Pembelian adalah melakukan negosiasi harga dengan pemasok, menegur pemasok dengan mutu barang yang tidak sesuai dengan standar mutu perusahaan dan menilai kinerja staf pembelian. Spv. Pembelian harus berkordinasi dengan Spv. QC, Spv. Guang, Spv. Produksi, Spv. Bahan baku, dan Spv. Mekanik serta bertanggung jawab terhadap manajer produksi.

12) Spv. Mekanik
Tugas pokok Spv. Mekanik adalah mengkoordinasi kegiatan perencanaan, pemeliharaan dan perbaikan sarana kerja, gedung dan seluruh fasilitas terpasang yang terdapat di perusahaan. Tugas rutinnya adalah menentukan jadwal dan melaksanaan pemeliharaan seluruh fasilitas yang ada di perusahaan, membuat prosedur penggunaan peralatan produksi, dan membuat laporan rutin mingguan tentang pelaksanaan pemeliharaan fasilitas di perusahaan. Wewenang Spv. Mekanik mengusulkan penggantian peralatan dan fasilitas yang sudah tidak dapat dipakai dan menilai kinerja staf mekanik. Spv. Mekanik harus berkonsultasi dengan Spv. QC, Spv. Guang, Spv. Produksi, Spv. Bahan baku, Spv. Pembelian serta bertanggung jawab kepada Manajer Produksi.


13) Spv. Produksi
Tugas pokok Spv. Produksi adalah melakukan perencanaan, pengkordinasian, dan pengawasan kegiatan produksi tepung dan tepung kulit lidah buaya. Tugas rutinnya adalah menentukan produksi harian, mengawasi jalannya proses produksi, dan membuat laporan rutin mingguan. Wewenang Spv. Produksi adalah melakukan perbaikan segera saat terjadi ketidaksesuaian proses produksi dan menilai kinerja Staf Produksi. Spv. Produksi harus berkonsultasi dengan Spv. QC, Spv. Guang, Spv. Mekanik, Spv. Bahan baku, Spv. Pembelian

14)Spv. Gudang
Tugas pokok Spv. Gudang adalah mengkoordinasi kegiatan operasional perencanaan, penerimaan, penyimpanan, dan pendistribusian barang-barang keperluan operasional perusahaan. Tugas rutinnya adalah melakukan pencatatan dan penyimpanan bahan baku dan produk jadi dan membuat laporan rutin mingguan. Wewenang Spv. Gudang adalah merencanakan tata letak penyimpanan barang, melakukan penimbangan bahan baku dan produk jadi, dan menilai kinerja staf gudang. Spv. Gudang harus berkonsultasi dengan Spv. QC, Spv. Produksi, Spv. Mekanik, Spv. Bahan baku, Spv. Pembelian serta bertanggung jawab kepada manajer Produkasi.

15) Spv. Bahan Baku
Tugas pokok Spv. Bahan baku adalah mengkoordinasi kegiatan perencanaan pengadaan bahan baku. Tugas rutinnya adalah merencanakan dan melaksanakan penanaman lidah buaya, menjalin kemitraan dengan petani, dan membuat laporan rutin mingguan. Wewenang Spv. Bahan Baku adalah mengajukan anggaran keuangan untuk pelaksanaan penanaman lidah buaya dan menilai kinerja staf bahan baku. Spv. Bahan baku harus berkoordinasi dengan Spv. QC, Spv. Produksi, Spv. Mekanik, Spv. Bahan baku, Spv. Pembelian, Spv. Gudang serta bertanggung jawab kepada manajer Produksi.

16) Mandor Kebun
Tugas pokok mandor kebun adalah mengawasi dan memastikan pertumbuhan dan pemanenan pelepah lidah buaya. Tugas rutinnya adalah merencanakan dan mengawasi, dan melaksanakan jadwal penanaman serta membuat laporan rutin bulanan. Wewenang mandor kebun adalah mengajukan anggaran danan bulanan untuk perawatan tanaman dan mengawasi kinerja para pekerja kebun. Mandor kebun bertanggung jawab terhadap Spv. Bahan baku.

C. Bentuk Badan Usaha
Organisasi perusahaan dapat dibedakan menjadi empat macam bentuk organisasi, yaitu perusahaan perseorangan, perusahaan firma dan persekutuan komanditer (CV), perusahaan perseroan terbatas (PT), dan koperasi. Perbedaan bentuk usaha suatu perusahaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Ukuran besar kecilnya perusahaan
2. Jenis perusahaan
3. Pembagian laba yang dimiliki oleh pemiliknya
4. Resiko yang dapat ditanggung oleh para pemilik
5. Pembagian pengawasan dan atau penguasaan perusahaan
Pemilihan bentuk organisasi perusahaan tidak dapat dilihat dari salah satu faktor saja, tetapi harus dilihat secara menyeluruh. Oleh karena itu, bentuk organisasi industri tepung lidah buaya yang direncanakan adalah Perseroan Terbatas, khususnya Perseroan Terbatas Terbuka. Pemilihan tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut :
1. Modal industri tepung lidah buaya.
2. Pembagian laba bersama, dalam hal ini adalah pemegang saham,
3. Resikonya relatif cukup besar sehingga ditanggung dan diawasi bersama.
4. Kelangsungan perusahaan tidak hanya tergantung pada seseorang saja,
melainkan pada banyak orang.

PT terbuka atau perusahaan publik adalah perseroan terbatas yang telah melakukan penawaran umum sesuai peraturan perundang-undangan di pasar modal dan saham harus dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300 pemegang saham serta memiliki setoran modal paling sedikit Rp 3.000.000.000,00. Ketentuan mengenai PT terbuka diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang pasar modal.

V. ANALISIS FINANSIAL

A. Asumsi-Asumsi
1. Analisa finansial dilakukan selama 10 tahun.
2. Kapasitas produksi maksimum adalah 36 ton/tahun untuk tepung lidah dan 90 ton/tahun untuk tepung kulit lidah buaya. Pada tahun ke-1 dan ke-2, proyek berproduksi masing-masing sebesar 65 % dan 80 % dari kapasitas produksi maksimum. Proyek dapat berproduksi maksimum pada tahun ke-3.
3. Tingkat suku bunga bank per tahun untuk modal investasi adalah sebesar 19 %
4. Pinjaman terdiri dari pinjaman investasi dan pinjaman modal kerja. Besar perbandingan modal pinjaman dangan modal sendiri (DER) adalah 65 : 35, pinjaman modal kerja digunakan untuk biaya dua bulan produksi awal.
5. Harga produk Rp 1.500,00 dan konstan selama analisa finansial.
6. Tunjangan kesejahteraan pekerja ditetapkan sebesar 20 % dari gaji pokok.
7. Biaya asuransi ditetapkan sebesar 2 % dari nilai investasinya
8. Jumlah hari kerja adalah 25 hari/bulan dan selama 8 jam/hari.
9. Biaya produksi tepung kulit lidah buaya adalah 5 % dari biaya produksi tepung lidah buaya.
10. Pajak penghasilan dihitung berdasarkan SK Menteri Keuangan RI Tahun 1994 tentang Pajak Pendapatan Badan Usaha dan Perseroan. Perusahaan tidak dikenai pajak bila mengalami kerugian. Pajak meliputi :
a. PBB sebesar 0,1 % (tanah dan bangunan)
b. Pajak kendaraan bermotor 0,5 %
c. Pajak penghasilan perseroan, jika keuntungan kurang dari 25 jta rupiah, besar pajak penghasilannya 10 %. Jika keuntungan diantara 25-50 juta rupiah, besar pajak penghasilannya 10% dari 25 juta ditambah 15% dari keuntungan sisanya. Jika keuntungan lebih dari 50 juta rupiah, besar pajak penghasilannya 10% dari 25 juta rupiah ditambah 15% dari 25 juta kedua ditambah 30% dari keuntungan sisanya.

11. Tahun ke-nol merupakan tahun pembangunan proyek.

12. a. Harga tanah : Rp 110.000,00/m2
b. Harga bangunan
- Pabrik, kantor, dan gudang : Rp 3.500.000,00/m2

B. Kriteria Investasi
Kriteria investasi yang dipakai untuk melihat kelayakan pendirian industri meliputi perhitungan-perhitungan Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Break Even Point (BEP), dan Pay Back Period (PBP).
1. Net Present Value (NPV)
Nilai bersih sekarang atau yang biasa dikenal dengan Net Present Value (NPV) adalah metode untuk menghitung selisih antara nilai sekarang dari investasi dengan nilai sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih (aliran kas operasional maupun aliran kas terminal) di masa yang akan datang (Gray et al., 1992). Untuk menghitung nilai sekarang perlu ditentukan terlebih dahulu tingkat bunga yang dianggap relevan. Tingkat bunga tersebut dapat diperoleh dengan mempergunakan tingkat bunga pinjaman jangka panjang yang berlaku di pasar modal atau dengan mempergunakan tingkat bunga pinjaman yang harus dibayar oleh pemilik proyek (Gray et al., 1992).
Menurut Gray et al. (1992), formula yang digunakan untuk menghitung NPV adalah:


dimana :
Bt = gross benefit pada tahun ke-t
Ct = gross cost sehubungan dengan proyek pada
tahun ke-t = tingkat suku bunga
t = periode investasi (t = 0, 1, 2, 3, ..., n)


Apabila hasil perhitungan nilai NPV dalam suatu proyek didapatkan nilai yang lebih besar atau sama dengan nol artinya proyek tersebut layak untuk dilaksanakan. Apabila nilai NPV yang dihasilkan lebih besar daripada nol, berarti proyek dapat menghasilkan keuntungan. Apabila nilai NPV yang dihasilkan sama dengan nol berarti proyek tersebut akan mengembalikan biaya sebesar opportunity cost faktor produksi modal. Apabila nilai NPV yang dihasilkan kurang dari nol berarti proyek tersebut tidak dapat menghasilkan keuntungan. Oleh sebab itu, pelaksanaannya harus ditolak (Gray et at., 1992).
2. Internal Rate of Return (IRR)
Menurut Sutojo (2000), InternalRate of Return (IRR) adalah tingkat suku bunga yang bilamana dipergunakan untuk mendiskonto seluruh kas masuk pada tahun-tahun operasi proyek akan menghasilkan jumlah kas yang sama dengan investasi proyek. Pada dasarnya IRR mengambarkan persentase laba nyata yang dihasilkan proyek. IRR adalah nilai discount rate sosial yang membuat NPV proyek sama dengan nol. Jika IRR yang didapat ternyata lebih besar dari rate of return yang ditentukan, maka investasi dapat diterima. Formulasi matematik IRR menurut Kadariah et at. (1992) adalah :
NPV”
IRR = I’ + (i”-i’)
NPV’ – NPV”
dimana :
i” : tingkat bunga yang menghasilkan NPV positif
ii” : tingkat bunga yang menghasilkan NPV negatif
NPV” : NPV pada tingkat bunga i”
NPV’ : NPV pada tingkat bunga i’
Dengan kreteria :
a) apabila nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku berarti usaha dapat dilanjutkan.
b) jika nilai IRR kurang dari tingkat suku bunga yang berlaku berarti usaha tidak dapat dilanjutkan.

3. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
Net B/C merupakan angka perbandingan antara jumlah present value dari keuntungan-keuntungan suatu proyek dibagi biaya investasi pada awal proyek. Secara umum, Gray et al. (1992) menjelaskan rumus Net B/C sebagai berikut :

Kriteria kelayakan proyek adalah jika Net B/C lebih besar atau sama dengan satu. Sedangkan proyek dinyatakan tidak layak apabila Net B/C lebih kecil dari satu.

4. Pay Back Period (PBP)
Metode Pay Back Period (PBP) merupakan suatu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi (initial cash investment) dengan menggunakan aliran kas (Umar, 2003). Pay Back Period (PBP) menunjukkan berapa lama modal yang ditanam dalam investasi akan kembali. Pengembalian modal ini dipandang dari arus kas masuk (cash in flow). Rumus yang digunakan untuk menghitung Pay Back Period (PBP) adalah sebagai berikut :
PBP = Investasi
Keuntungan

C. Biaya Investasi
Biaya investasi merupakan jumlah biaya investasi yang ditanamkan pada suatu proyek baik berbentuk investasi tetap atau pun bentuk modal kerja. Investasi tetap adalah suatu aset perusahaan yang berumur panjang (lebih dari satu tahun), bersifat permanen, digunakan untuk operasi perusahaan, dan tidak untuk diperjualbelikan. Modal kerja adalah modal yang diperlukan untuk menjalankan operasi perusahaan yang digunakan untuk pembelian barang dagangan dan biaya operasional.
Modal Investasi tetap pada industri tepung lidah buaya ini meliputi biaya urusan dan pengadaan tanah, bangunan, sarana penunjang, mesin dan peralatan, peralatan kantor, kendaraan, biaya pra-investasi. Modal Kerja untuk pelaksanaan dua bulan pertama operasioanal pabrik (IDC) dan biaya tak terduga sebesar 10 % dari total investasi. Perhitungan IDC disajikan pada Lampiran 2 Modal investasi yang dibutuhkan adalah Rp 46.788.578.000 termasuk dana modal tetap sebesar Rp. 35.397.725.000. Perincian dana modal tetap disajikan pada lampiran 3 Berdasarka Debt Equity Ratio sebesar 65:35, pinjaman yang dibutuhkan adalah Rp 37.018.680.436 dan modal sendiri yang harus dikeluarkan adalah Rp. 16.376.002.300. Rencana pengembalian pinjaman disajikan pada Lampiran 4 Pinjaman didapatkan dari dalam maupun luar negeri, baik dalam bentuk uang maupun mesin dan peralatan. Pinjaman dalam negeri didapatkan dari Bank Indonesia, Bank-bank swasta, perusahaan mesin dan peralatan dan pendanaan lainnya. Pinjaman dari luar negeri bersumber dari Asian Development Bank(ADB), World Bank. Perincian modal investasi disajikan dalam Tabel 9 berikut ini :
D.Kebutuhan Modal Kerja
Modal kerja adalah biaya yang dikeluarkan untuk membiayai kegiatan usaha setelah pembangunan proyek selesai. Modal kerja meliputi biaya tetap dan biaya variable untuk menghasilkan produk (Ibrahim, 1998). Modal kerja yang dibutuhkan untuk menunjang dua bulan pelaksanaan operasional pabrik adalah Rp. 10.348.780.000 yang meliputi biaya tenaga kerja langsung dan tak langsung, bahan baku, overhead, dan pengendalian mutu. Perincian penggunaan modal kerja disajikan pada Tabel 10 dan perincian pengembalian pinjaman modal kerja disajikan pada Lampiran 4 Sumber pembiayaan modal kerja didapatkan dari pinjaman dengan bunga 12 %/tahun yang dibayarkan setahun sekali. Sutoyo (2000) menyataka bahwa bila pinjaman modal kerja berbentuk barang dari produsen, maka bunga pinjaman tersebut tidak diperhitungkan. Pinjaman modal kerja merupakan pinjaman yang harus dilunasi dalam jangka waktu 5 tahun. Modal kerja digunakan sebagai biaya dalam masa percobaan pabrik yang menentukan kelayakan pabrik dalam melakukan produksi secara masal.
E. Perkiraan laba Rugi
Perkiraan laba rugi merupakan sebuah neraca yang mengambarkan keseimbangan keuangan yang dihasilkan oleh proyek. Perkiraan laba rugi menunjukkan jumlah penerimaan dan pengeluaran yang diseimbangkan oleh adanya laba atau rugi. Penerimaan pada industri tepung lidah buaya terdiri dari hasil penjualan tepung lidah buaya dan tepung kulit lidah buaya.
Junlah penerimaan pada tahun ke-1 adalah Rp. 60.120.406.149 dengan kapasitas produksinya hanya 65 % dari kapasitas prodksi maksimum dan jumlah pengeluaran pada tahun ke-1 hanya Rp. 20.022.239.412 yang ditambah dengan biaya penyusutan Rp. 1.002.572.000 dan pajak penghasilan sebesar Rp. 11.734.928.421 sehingga didapatkan laba Rp. 27.360.666.316. Laba tersebut semakin bertambah pada tahun-tahun berikutnya dengan tercapainya kapasita maksimum. Laba terbesar dicapai pada tahun ke-10 sebesar Rp. 53.907.838.820. perkiraan laba rugi disajikan pada Lampiran 10. Pengeluaran dalam perkiraan laba rugi merupakan pengeluaran operasional yang terdiri dari biaya tetap dan biaya variable. Biaya tetap meliputi gaji tenaga kerja tidak langsung, pembayaran pokok pinjaman, dan biaya overhead, sedangkan biaya variable meliputi biaya bahan baku, gaji tenaga kerja langsung, pengendalian mutu, dan bunga pinjaman. Perincian biaya operasional disajikan pada Lampiran 9.

F. Cash Flow

Cash flow (aliran kas) merupakan alat yang penting dalam analisis finansial proyek karena mampu mengambarkan liquiditas, solvabilitas, dan rentabilitas proyek (Ibrahim, 1998). Tabel cash flow terdiri dari bagian pemasukan dan pengeluaran yang selisihnya dinamakan aliran kas bersih. Tabel cash flow juga menunjukkan jumlah kas di awal dan di akhir tahun. Pemasukan dana pada pada tabel cash flow terdiri dari laba bersih, nilai sisa, modal sendiri, kredit investasi, dan kredit modal kerja. Pengeluaran dana terdiri dari modal kerja, investasi/reinvestasi, dan angsuran pinjaman.
Tabel cash flow industri tepung lidah buaya menunjukkan bahwa investasi dilakukan pada tahun ke-0. aliran kas bersih telah didapatkan pada tahun ke-1 sebesar Rp. 14.244.879.448 dan semakin meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Peningkatan tersebut disebabkan oleh semakin berkurangnya angsuran pembayaran pinjaman, sedangkan pemasukan berupa laba bersih semakin meningkat. Jumlah kas akhir tahun ke-10 adalah Rp. 98.755.194.335. Perkiraan cash flow dapat dilihat pada Lampiran 11.


G. Kriteria Investasi

Penentuan kriteria investasi bertujuan untuk mengetahui sejauh mana gagasan usaha/proyek yang direncanakan dapat memberikan manfaat baik dari segi sosial maupun dari segi finacial benefit. Kriteria investasi merupakan indikator dari modal yang diinvestasikan, yaitu perbandingan antara total keuntungan yang diterima dengan biaya yang dikeluarkan dalam bentuk present value selam umur proyek ekonomis (Ibrahim, 1998).
Kriteria investasi pendirian industri tepung lidah buaya di Kota Pontianak meliputi nilai-nilai IRR, NPV, PBP, dan Net B/C Ratio. IRR proyek adalah 49,2%, NPV sebesar Rp. 18.975.490.436, PBP selama 2,97 tahun dan Net B/C ratio 2,63. Perhitungan kriteria investasi disajikan pada Lampiran 12. Nilai IRR yang melebihi tingkat bunga pinjaman menunjukkan bahwa proyek sangat memberikan peluang untuk dikembangkan. Nilai NPV yang lebih besar dari nol menunjukkan bahwa proyek sangat memberikan peluang untuk dikembangkan. Jangka waktu pengembalian modal (PBP) proyek adalah kurang dari 3 tahun sehingga jika dibandingkan dengan umur ekonomis selama 10 tahun, jangka waktu pengambilan keuntungan relatif lama sehingga keuntungan relatif besar. Nilai B/C Ratio yang jauh diatas satu menunjukkan sangat besarnya keuntungan yang dapat diperoleh selama umur ekonomis proyek dibandingkan dengan jumlah modal investasi yang harus ditanamkan.
DAFTAR PUSTAKA


Apple, J.M. 1990. Tata Letak Pabrik dan Penanganan Bahan. Edisi ketiga. Terjemahan Nurhayati.M.T.Mardiono. Penerbit ITB, Bandung

BPS Kalimantan Barat. 2004. Kalimantan Barat dalam Angka 2004. Bappeda- BPS Jakarta. Jakarta

Dinas Pertanian Kalimantan Barat. 2001. Profil Buah-Buahan Unggulan Propinsi Kalimantan Barat. Dinas Tanaman Pangan. Kalimantan Barat.

Gray, C., P. Simanjuntak, L.K. Sabur, P.F.L Maspaitella, dan R.C.G Varley. 1992. Pengantar Evaluasi Proyek. P.T Gramedia Utama. Jakarta.

Husnan, S dan Suwarsono. 1990. Studi Kelayakan Proyek : Konsep, Teknik, dan Penyusunan Laporan. AMP, Yogyakarta.

Ibrahim, Yacob. 1998. Studi Kelayakan Bisnis. Rineka Cipta. Jakarta.

McVicar, J. 1994. Jekka Species Complete Herb Book. Kyle Cathie Ltd. London

Sudarto, Yudo. 1997. Lidah Buaya. Kanisius.

Susanto, Eko, C.W. Suryowidodo, dan Endih Saikudin. 1990. Pembuatan Aloe Powder Sebagai Bahan Baku Industri. Laporan Hasil Litbang. Balai Besar itbang Industri Hasil Pertanian. Bogor.

Sutoyo, S. 2000. Studi Kelayakan Proyek: Teori dan Praktek. PT. Bina Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.

Syukur, C dan Hernani. 2001. Budidaya Tanaman Obat Komersil. Penbar Swadaya. Jakarta.

Wijandi, Soesarsono. 1996. Pengantar Kewiraswastaan. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian-IPB. Bogor


Read more.....