Indonesia dengan jumlah penduduk saat ini (2007) sekitar 224 juts jiwa, dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,15% per tahun dan peningkatan pendapatan per kapita 4,85% per tahun, akan meningkatkan permintaan pangan hewani terutama daging sapi yang cukup besar. Untuk memenuhi permintaan daging sapi tersebut, produksi dalam negeri saat ini belum mampu mencukupinya, sehingga harus dipenuhi melalui impor baik berupa sapi bakalan maupun
daging yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyediaan ternak sapi dalam negeri cukup potensial untuk memenuhinya, namun penanganannya selama ini masih dirasakan belum optimal dalam hal produksi dan produktivitasnya, sehingga ternak lokal tidak menunjukkan kinerja yang sebenarnya. Beberapa penyebab penting dari belum optimalnya kinerja ternak lokal tersebut antara lain disebabkan kurangnya dukungan kinerja kebijakan teknis, kebijakan makro dan anggaran.
Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang di dalamnya termasuk peternakan, mengamanatkan salah satu kegiatan penting yaitu upaya swasembada daging sapi. Swasembada daging ini diharapkan dapat tercapai pada tahun 2010, artinya 90¬95% kebutuhan tersebut dipenuhi dari sumberdaya domestik. Impor harus secara bertahap harus berkurang. Pada tahun 2010, tingkat konsumsi daging bangsa Indonesia mencapai 414,3 ribu ton. Apabila kits ingin swasembada daging sapi, oleh karena itu penyediaan domestik pada saat itu harus mencapai 373,7 ribu ton.
Saat ini Indonesia barn berhasil menyediakan daging sapi dalam negeri sebanyak 256,8 ribu ton (2006) atau sekitar 72% dari kebutuhan, sehingga terdapat kekurangan sebesar 100 ribu ton (28%). Kekurangan tersebut harus dipenuhi dari impor, berupa ternak bakalan dan daging sapi. Pada tahun 2010 apabila tidak ada upaya yang serius, maka penyediaan daging sapi dalam negeri hanya mencapai 259,2 ribu ton atau 62,6% dari kebutuhan konsumsi, sehingga impor akan meningkat menjadi 37,4%. Bahkan pada tahun 2015 proporsi impor meningkat menjadi 50%.
Devisa yang akan terkuras untuk importasi ternak bakalan dan daging sapi sebanyak Rp. 23,4 Triliyun. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya yang terpadu dan sinergis sesuai dengan amanat revitalisasi.
Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS) dipandang perlu dilakukan melalui terobosan yang diwujudkan melalui jaringan koordinasi yang kuat antara Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, masyarakat dan swasta, sehingga swasembada daging dapat dicapai secara berkelanjutan.
B.Maksud dan Tujuan
Maksud ditetapkannya Pedoman ini yaitu sebagai dasar dan acuan bagi instansi terkait baik di Pusat maupun Daerah dalam melaksanakan rencana aksi Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi 2010.
Tujuan ditetapkannya pedoman ini yaitu: mengoptimalkan dan memperkuat program pengembangan sapi potong rakyat yang sedang berjalan, mengurangi secara bertahap ketergantungan terhadap impor ternak sapi bakalan dan daging, menghemat devisa untuk importasi ternak sapi bakalan dan daging.
C.Ruang Lingkup
Ruang lingkup yang diatur dalam pedoman ini meliputi prinsip dasar, perumusan strategi pencapaian percepatan, kebijakan, rencana aksi, pengorganisasian dan ketatalaksanaan, pembiayaan, dampak, serta tindak lanjut kebijakan.
D.Pengertian Dalam Pedoman ini yang dimaksud dengan:
1.Percepatan adalah upaya mengoptimalkan sumberdaya ternak lokal/rakyat ke arah kegiatan yang sebenarnya melalui peningkatan peran Pemerintah, dan mendorong swasta ikut seta pada industri penggemukan dan pembibitan sapi potong.
2.Swasembada adalah kemampuan penyediaan daging sapi dalam negeri sebesar 90%-95% dari total kebutuhan daging dalam negeri.
PRINSIP DASAR SWASEMBADA DAGING SAPI
Kerangka Pikir
Dalam merumuskan kerangka pikir dibagi menjadi 2 pendekatan yaitu: (1) tanpa upaya percepatan (reguler) yang menunjukkan kondisi saat ini dan prediksi sampai tahun 2010; dan (2) melalui upaya percepatan dengan menerapkan langkah-langkah terobosan optimasi dari tahun 2008 sampai tahun 2010 bahkan untuk tahun-tahun berikutnya.
1. Tanga Upaya Percepatan (Reguler)
Tingkat konsumsi masyarakat akan daging sapi pada tahun 2006 berjumlah 356,8 ribu ton dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 414,3 ribu ton. Sedangkan penyediaan dalam negeri berjumlah 256,8 ribu ton tahun 2006 dan pada tahun 2010 berjumlah 259,2 ribu ton. Akibatnya terjadi gap antara permintaan dan penyediaan minus 100,0 ribu ton pada tahun 2006 dan pada tahun 2010 akan meningkat menjadi minus 155,1 ribu ton (28% menjadi 37,4%). Apabila disetarakan dengan sapi lokal akan terjadi kekurangan sebanyak 708,9 ribu ekor pada tahun 2006 dan 1.099,2 ribu ekor pada tahun 2OlO.
Dalam kondisi seperti tersebut harus dilakukan kebijakan¬kebijakan antara lain dengan pengawasan pemotongan betina produktif, importasi sapi betina produktif, pengembangan pakan, alsin dan importasi elit bull. Namun demikian masih akan terjadi kekurangan. Analisa kondisi untuk produksi, ketersediaan dan kebutuhan daging sapi
2. Upaya Percepatan
Upaya percepatan yaitu segala daya, kemampuan dan potensi sumberdaya ternak Indonesia harus dioptimalkan melalui kebijakan perbaikan mutu bibit, pelayanan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, perbaikan manajemen budidaya ternak masyarakat dan fasilitasi pengembangan perbibitan oleh swasta, sehingga tercipta sinergi kekuatan antara pemerintah selaku facilitator/regulator, masyarakat dan swasta selaku pelaku yang bergerak dalam usaha peternakan.
Upaya percepatan tersebut dilakukan di 33 propinsi dan difokuskan pada 18 Provinsi sentra sapi potong yaitu Nangroe Aceh Darusalam, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo.
Pada 18 Provinsi tersebut dikelompokkan menjadi 3 daerah prioritas yaitu:
a)Daerah Prioritas Inseminasi Buatan (IB) yaitu Provinsi Javva Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Bali;
b)Daerah Campuran Inseminasi Buatan (IB) dan Kawin Alam (KA) yaitu Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo;
c)Daerah Prioritas Kawin Alam (KA) yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
Pemilihan provinsi didasarkan pada pertimbangan lebih dari 92% populasi ternak, berada di wilayah ini dan didukung oleh sarana dan prasarana peternakan yang memadai dibanding dengan provinsi lainnya.
Pada 18 Provinsi sebagai sentra sapi potong tersebut, telah ditargetkan penyediaan daging dalam negeri berjumlahI373, 7 ribu ton pada tahun 2010. Ini berarti provinsi tersebut diminta komitmennya untuk mampu meningkatkan tambahan penyediaan daging dalam negeri sebesar 114,5 ribu ton.
Untuk menyediakan tambahan daging tersebut ditugaskan kepada provinsi tersebut melalui program percepatan yaitu secara intensif menambah akseptor IB/KA diikuti dengan penanganan gangguan reproduksi, program penggemukan dan peningkatan mutu pakan, pemendekan jarak kelahiran (calving interval) dari 18-20 bulan menjadi 16 bulan.
Untuk daerah prioritas IB di 5 provinsi dengan Conception Rate (CR)=70% tambahan akseptor yang dibutuhkan berjumlah 289,4 ribu ekor. Sedangkan untuk daerah campuran IB dan KA di 10 provinsi, untuk akseptor IB dengan CR=70% dibutuhkan tambahan akseptor sebanyak 131,3 ribu ekor dan akseptor kawin alam dengan CR=80% dibutuhkan tambahan akseptor sebanyak 231,0 ribu ekor.
Untuk daerah intensifikasi kawin alam di 3 provinsi dengan CR=70% dibutuhkan tambahan akseptor sebanyak 49,8 ribu ekor dan introduksi IB dengan CR=60% dibutuhkan akseptor 6,8 ribu ekor. Sehingga total akseptor yang dibutuhkan untuk percepatan 698,3 ribu ekor yang terdiri dari akseptor IB sebanyak 417,5 ribu ekor dan akseptor KA sebanyak 280,8 ribu ekor. Upaya percepatan tersebut di atas disajikan pada tabel 2 berikut.
Sumber: Pedoman Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS)
Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang di dalamnya termasuk peternakan, mengamanatkan salah satu kegiatan penting yaitu upaya swasembada daging sapi. Swasembada daging ini diharapkan dapat tercapai pada tahun 2010, artinya 90¬95% kebutuhan tersebut dipenuhi dari sumberdaya domestik. Impor harus secara bertahap harus berkurang. Pada tahun 2010, tingkat konsumsi daging bangsa Indonesia mencapai 414,3 ribu ton. Apabila kits ingin swasembada daging sapi, oleh karena itu penyediaan domestik pada saat itu harus mencapai 373,7 ribu ton.
Saat ini Indonesia barn berhasil menyediakan daging sapi dalam negeri sebanyak 256,8 ribu ton (2006) atau sekitar 72% dari kebutuhan, sehingga terdapat kekurangan sebesar 100 ribu ton (28%). Kekurangan tersebut harus dipenuhi dari impor, berupa ternak bakalan dan daging sapi. Pada tahun 2010 apabila tidak ada upaya yang serius, maka penyediaan daging sapi dalam negeri hanya mencapai 259,2 ribu ton atau 62,6% dari kebutuhan konsumsi, sehingga impor akan meningkat menjadi 37,4%. Bahkan pada tahun 2015 proporsi impor meningkat menjadi 50%.
Devisa yang akan terkuras untuk importasi ternak bakalan dan daging sapi sebanyak Rp. 23,4 Triliyun. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya yang terpadu dan sinergis sesuai dengan amanat revitalisasi.
Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS) dipandang perlu dilakukan melalui terobosan yang diwujudkan melalui jaringan koordinasi yang kuat antara Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, masyarakat dan swasta, sehingga swasembada daging dapat dicapai secara berkelanjutan.
B.Maksud dan Tujuan
Maksud ditetapkannya Pedoman ini yaitu sebagai dasar dan acuan bagi instansi terkait baik di Pusat maupun Daerah dalam melaksanakan rencana aksi Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi 2010.
Tujuan ditetapkannya pedoman ini yaitu: mengoptimalkan dan memperkuat program pengembangan sapi potong rakyat yang sedang berjalan, mengurangi secara bertahap ketergantungan terhadap impor ternak sapi bakalan dan daging, menghemat devisa untuk importasi ternak sapi bakalan dan daging.
C.Ruang Lingkup
Ruang lingkup yang diatur dalam pedoman ini meliputi prinsip dasar, perumusan strategi pencapaian percepatan, kebijakan, rencana aksi, pengorganisasian dan ketatalaksanaan, pembiayaan, dampak, serta tindak lanjut kebijakan.
D.Pengertian Dalam Pedoman ini yang dimaksud dengan:
1.Percepatan adalah upaya mengoptimalkan sumberdaya ternak lokal/rakyat ke arah kegiatan yang sebenarnya melalui peningkatan peran Pemerintah, dan mendorong swasta ikut seta pada industri penggemukan dan pembibitan sapi potong.
2.Swasembada adalah kemampuan penyediaan daging sapi dalam negeri sebesar 90%-95% dari total kebutuhan daging dalam negeri.
PRINSIP DASAR SWASEMBADA DAGING SAPI
Kerangka Pikir
Dalam merumuskan kerangka pikir dibagi menjadi 2 pendekatan yaitu: (1) tanpa upaya percepatan (reguler) yang menunjukkan kondisi saat ini dan prediksi sampai tahun 2010; dan (2) melalui upaya percepatan dengan menerapkan langkah-langkah terobosan optimasi dari tahun 2008 sampai tahun 2010 bahkan untuk tahun-tahun berikutnya.
1. Tanga Upaya Percepatan (Reguler)
Tingkat konsumsi masyarakat akan daging sapi pada tahun 2006 berjumlah 356,8 ribu ton dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 414,3 ribu ton. Sedangkan penyediaan dalam negeri berjumlah 256,8 ribu ton tahun 2006 dan pada tahun 2010 berjumlah 259,2 ribu ton. Akibatnya terjadi gap antara permintaan dan penyediaan minus 100,0 ribu ton pada tahun 2006 dan pada tahun 2010 akan meningkat menjadi minus 155,1 ribu ton (28% menjadi 37,4%). Apabila disetarakan dengan sapi lokal akan terjadi kekurangan sebanyak 708,9 ribu ekor pada tahun 2006 dan 1.099,2 ribu ekor pada tahun 2OlO.
Dalam kondisi seperti tersebut harus dilakukan kebijakan¬kebijakan antara lain dengan pengawasan pemotongan betina produktif, importasi sapi betina produktif, pengembangan pakan, alsin dan importasi elit bull. Namun demikian masih akan terjadi kekurangan. Analisa kondisi untuk produksi, ketersediaan dan kebutuhan daging sapi
2. Upaya Percepatan
Upaya percepatan yaitu segala daya, kemampuan dan potensi sumberdaya ternak Indonesia harus dioptimalkan melalui kebijakan perbaikan mutu bibit, pelayanan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, perbaikan manajemen budidaya ternak masyarakat dan fasilitasi pengembangan perbibitan oleh swasta, sehingga tercipta sinergi kekuatan antara pemerintah selaku facilitator/regulator, masyarakat dan swasta selaku pelaku yang bergerak dalam usaha peternakan.
Upaya percepatan tersebut dilakukan di 33 propinsi dan difokuskan pada 18 Provinsi sentra sapi potong yaitu Nangroe Aceh Darusalam, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo.
Pada 18 Provinsi tersebut dikelompokkan menjadi 3 daerah prioritas yaitu:
a)Daerah Prioritas Inseminasi Buatan (IB) yaitu Provinsi Javva Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Bali;
b)Daerah Campuran Inseminasi Buatan (IB) dan Kawin Alam (KA) yaitu Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo;
c)Daerah Prioritas Kawin Alam (KA) yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
Pemilihan provinsi didasarkan pada pertimbangan lebih dari 92% populasi ternak, berada di wilayah ini dan didukung oleh sarana dan prasarana peternakan yang memadai dibanding dengan provinsi lainnya.
Pada 18 Provinsi sebagai sentra sapi potong tersebut, telah ditargetkan penyediaan daging dalam negeri berjumlahI373, 7 ribu ton pada tahun 2010. Ini berarti provinsi tersebut diminta komitmennya untuk mampu meningkatkan tambahan penyediaan daging dalam negeri sebesar 114,5 ribu ton.
Untuk menyediakan tambahan daging tersebut ditugaskan kepada provinsi tersebut melalui program percepatan yaitu secara intensif menambah akseptor IB/KA diikuti dengan penanganan gangguan reproduksi, program penggemukan dan peningkatan mutu pakan, pemendekan jarak kelahiran (calving interval) dari 18-20 bulan menjadi 16 bulan.
Untuk daerah prioritas IB di 5 provinsi dengan Conception Rate (CR)=70% tambahan akseptor yang dibutuhkan berjumlah 289,4 ribu ekor. Sedangkan untuk daerah campuran IB dan KA di 10 provinsi, untuk akseptor IB dengan CR=70% dibutuhkan tambahan akseptor sebanyak 131,3 ribu ekor dan akseptor kawin alam dengan CR=80% dibutuhkan tambahan akseptor sebanyak 231,0 ribu ekor.
Untuk daerah intensifikasi kawin alam di 3 provinsi dengan CR=70% dibutuhkan tambahan akseptor sebanyak 49,8 ribu ekor dan introduksi IB dengan CR=60% dibutuhkan akseptor 6,8 ribu ekor. Sehingga total akseptor yang dibutuhkan untuk percepatan 698,3 ribu ekor yang terdiri dari akseptor IB sebanyak 417,5 ribu ekor dan akseptor KA sebanyak 280,8 ribu ekor. Upaya percepatan tersebut di atas disajikan pada tabel 2 berikut.
Sumber: Pedoman Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar