Senin, 02 Februari 2009

Model Kemitraan: Antara Petani – Pabrik Gula – Investor, Alternatif Strategi Pergulaan Nasional

Pendahuluan
Permasalahan makro pergulaan nasional dari tahun ke tahun,berkisar pada penurunan produksi dalam negeri dan karena itu ketergantungan terhadap impor semakin meningkat (Purwono,2004). Berdasarkan data Sugar World Market and Trade, pada tahun 1998-1999, produksi gula dalam negeri sekitar 1,5 juta ton, sedangkan kebutuhan domestik gula sekitar 2,8 juta ton atau kemampuan pemenuhan produksi dalam negeri sekitar 53,5%, (Download dalam bentuk file, Click Here)sisanya

dipenuhi dari impor. Sedangkan pada tahun 2002-2003 produksi gula 1,8 juta ton dan kebutuhan domestik 3,8 juta ton atau kemampuan pemenuhan produksi dalam negeri sekitar 51%.Dengan kondisi tersebut, peran gula impor semakin meningkat dari tahun 1998-1999 sebesar 35,6% menjadi 49% pada tahun 2002 – 2003.

Penurunan produksi gula secara nasional merupakan suatu akibat yang komplek, baik ditinjau dari segi tehnologi, ekonomi dan sosial budaya. Secara tehnis penurunan produksi gula diakibatkan karena semakin rendahnya produktifitas lahan dan rendahnya efisiensi pabrik-pabrik gula dalam negeri, yang selanjutnya akan mengakibatkan daya saing gula domestik di pasar gula internasional rendah. Dari sisi ekonomi dapat diamati bahwa kurangnya modal petani dan ditambah sering terlambatnya pencairan kredit semakin menambah rendahnya mutu pengusahaan tebu oleh petani sedangkan dari sisi sosial, yang sebenarnya merupakan akibat dari kedua hal diatas, adalah menurunya tingkat kepercayaan petani pada model pengelolaan kelompok hamparan maupun pada semua hal yang dianggap prakarsa pabrik gula.

Permasalahan diatas menuntut adanya upaya peningkatan kemampuan produksi dalam negeri yang dijamin kuantitas dan kualitas pasokan tebu serta produksi dan produktifitas pabrik gula.

Kajian terhadap faktor pendukung keberhasilan pergulaan pada zaman kolonial mengungkapkan bahwa terdapat dua hal yang menjadi faktor utama, yaitu jaminan ketersediaan lahan dan tenaga kerja yang murah (Cahyono,1991,LKEP Indikator,2001, Arifin,174,2004). Disamping itu,juga ditentukan oleh sistim pengusahaan yang terpadu, yaitu tanaman tebu yang dimiliki dan dikelola sendiri oleh pabrik gula,ditanam diatas lahan yang dimilik atau disewa oleh pabrik, sehingga pabrik dapat merencanakan dan mengelola proses produksi gula. Dari hal ini tersirat bahwa sumber permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan produksi gula tidak menjadi signifikan, yang pada akhirnya proses produksi menjadi efisien.

Faktor lahan merupakan faktor penting dalam menjamin pasokan kuantitas dan kualitas tebu bagi pabrik gula. Jaminan pasokan tebu berasal dari dua pihak,yaitu kebun petani dan kebun pabrik gula sendiri. Peran kebun petani dalam memasok tebu bagi pabrik gula lebih besar dari pada kebun pabrik gula sendiri. Data nasional menunjukan bahwa luas kebun petani sekitar 54 %,sedangkan kebun pabrik gula sekitar 46 %. Dengan kemampuan finansiil pabrik gula yang semakin terbatas,maka pasokan tebu dari lahan milik pabrik sendiri yang berasal dari lahan sewa menjadi terbatas. Dengan demikian keberlanjutan pasokan tebu bagi pabrik gula akan semakin bergantung pada kebun petani, terutama bagi pabrik gula yang tidak mempunyai lahan hak guna usaha ( HGU ). Dalam kaitan inilah penataan kelembagaan dan kebijakan menjadi penting. Bukti-bukti menunjukan dengan kemitraan yang baik antara perusahaan gula dengan petani tebu merupakan faktor strategis yang dapat menekan unit cost,karena manajemen kebun tebu terlepas dari manajemen pabrik, tetapi tetap secara fungsionil sebagai suatu kesatuan manajemen. (Pakpahan.107,2004).

Berdasarkan kondisi industri pergulaan saat ini, pendanaan merupakan salah satu permasalahan penting yang sangat mempengaruhi kinerja dari sisi on farm, dan pengolahan tebu. Dari sisi on farm, keterlambatan penyediaan saprotan karena kekurang mampuan pendanaan petani maupun pengadaan yang dilakukan pabrik gula, menyebabkan turunya produktifitas tebu (baik dalam hasil maupun rendemen gula). Dari sisi pengolahan, kemampuan pabrik gula dalam pemeliharaan dan rehabilitasi mesin-mesin sangat rendah. Permasalahan pendanaan dalam industri gula dapat dipecahkan dengan melakukan suatu model kemitraan dengan investor, yang dapat berasal dari pihak Pemerintah Daerah maupun swasta.

Petani dengan kepemilikan lahannya mempunyai posisi yang penting dalam mempengaruhi keberlanjutan aktivitas pabrik gula melalui jaminan pasokan tebu. Sedangkan tingkat produksi, produktivitas dan efisiensi pabrik gula berpengaruh langsung terhadap pasokan gula bgi kebutuhan domestik. Dengan demikian, baik petani tebu maupun pabrik gula, berperan penting dalam upaya peningkatan kemampuan produksi gula dalam negeri. Oleh karena itu pengembangan kemitraan antara petani dan pabrik gula menempati posisi penting dalam pembangunan pergulaan nasional. Salah satu bentuk kemitraan antara petani dan pabrik gula adalah pola kerjasama yang memungkingkan petani untuk mengambil peran proposional dalam perusahaan gula. Lahan sebagai faktor produksi penting, dapat menjadi salah satu titik temu dalam mengembangkan pola kemitraan antara petani dan pabrik gula. Dengan adanya jaminan pasokan tebu bagi pabrik gula melalui pola kemitraan tersebut diharapkan performance pabrik gula meningkat.

Selama ini telah dikembangkan berbagai model kemitraan anta petani dan pabrik gula. Beberapa pola kemitraan yang dimaksud antara lain sistim sewa lahan petani oleh pabrik gula dan sistim pembelian tebu petani oleh pabrik gula. Selain itu, Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor (2002) menyarankan sistim kelembagaan yang memungkinkan petani mempunyai sharing kepemilikan dalam pabrik gula. Dua sistim kemitraan tersebut diatas selama ini telah diterapkan ,namun masih banyak menghadapi kendala dan belum memperlihatkan hasil yang menguntungkan bagi semua pihak. Pola kemitraan yang ketiga belum banyak diterapkan ataupun dikembangkan, namun sekali gus menjadi model kemitraan alternatif dari pola kemitraan yang ada. Model kerjasama antara petani,pabrik gula dan investor dilakukan dalam bentuk sharing kepemilikan perusahaan gula. Perusahaan gula ini akan melakukan bisnis dibidang onfarm ( penyiapan lahan, perawatan, pemanenan dan agroinput ), kegiatan tebang muat angkut, pengolahan/penggilingan tebu, serta pemasaran, sehingga diharapkan nilai tambah dari berbagai kegiatan dalam industri gula semaksimal mungkin diperoleh.

Permasalahan Pergulaan Nasional

Sejak terjadinya penurunan harga gula dunia, pabrik gula menghadapi permaslahan yang rumit. Penurunan harga gula menyebabkan penurunan insentif dan daya saing budidaya tebu oleh petani, sehngga tidak lagi menjamin pasokan tebu bagi pabrik. Indikasi dari permasalahan tersebut adalah penurunan luas areal tanaman tebu baik di Jawa maupun di Luar Jawa (Tabel 1). Kompetisi pemakaian lahan sangat tinggi, sehingga manakala terjadi penurunan manfaat pemakaian lahan, dengan cepat terjadi alih fungsi lahan.

Selain itu pabrik gula menghadapi inefisiensi operasi. Sebagai gambaran, rata-rata biaya produksi gula saat ini ( 2004 ) Rp. 3.100/kg, namun harga gula ditingkat petani dipatok Rp. 3.410/kg. Margin yang tersisa dari selisih harga tersebut adalah Rp. 310/kg atau ± 10 % yang dinikmati baik oleh petani maupun pabrik. Margin tersebut sangat kecil karena inefisiensi di tingkat pabrik. Selain diakibatkan oleh kondisi mesin pabrik gula yang sudah tua, inefisiensi tersebut juga diakibatkan oleh skala ekonomi kapasitas giling yang belum terpenuhi. Disamping itu, bagi pabrik gula BUMN, permasalahan manajerial menjadi kendala tersendiri dalam upaya mencapai efisiensi produksi. Dengan permasalahan yang dihadapi tersebut , maka kemampuan finansiil pabrik gula juga semakin menurun. Hal ini tercermin pada penurunan sejumlah pabrik gula di Jawa seperti tampak pada tabel 2.

Dalam kondisi permasalahan diatas, produksi gula nasional menghadapi kenyataan terjadinya penurunan jumlah pabrik gula dan penurunan kapasitas produksi. Dilihat dari penyebarannya baik areal perkebunan maupun pabrik gula masih terpusat di Jawa,walaupun telah terjadi penurunan jumlah pabrik dari 57 menjadi 47 ,turun 17,54 %.Demikian pula dengan perkembangan kontribusi hablur masing-masing wilayah terhadap produksi hablur nasional, seperti tampak pada tabel 3 :

Dari Tabel tersebut diatas, menunjukkan penurunan kontribusi produksi hablur Jawa terhadap produksi nasional dari 77% (1994) menjadi 57 % (2000), sedangkan Luar Jawa meningkat dari 23% (1994) menjadi 43% (2000). Dari sisi pengelolaan, peranan pengelola swasta bertambah besar yaitu dari 26 % (1994) meningkat menjadi 42% (2000) , sedangkan BUMN peranannya semakin menurun dari 74% (1994) menjadi 58% (2000). Secara sepintas terlihat bahwa pabrik yang dikelola swasta memiliki produktivitas lebih tinggi dibanding pabrik yang dikelola BUMN.

Kepemilikan lahan (kebun tebu) di Jawa didominasi oleh kebun petani yakni sekitar 81,82%, sedangkan di Luar Jawa justru sebaliknya, kepemilikan kebun tebu lebih didominasi oleh pabrik gula yakni sekitar 95,01% dan kebun tebu milik petani hanya sekitar 4,09% (Tabel 4). Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebun tebu petani memegang peranan penting dalam memasok tebu bagi pabrik gula di Jawa. Disamping itu pula , diperoleh gambaran bahwa peran Jawa masih lebih besar (57% > 43%) dibandingkan Luar Jawa. Dengan kondisi keterbatasan finansiil pabrik gula selama ini dan pula relatif sedikitnya pabrik gula yang ber HGU, maka ketergantungan pabrik gula pada petani relatif tinggi.

Fenomena diatas adalah masalah-masalah yang bersifat tehnis, yang selama ini penanganannya cenderung lebih serius. Walaupun belum mewujudkan hasil yang memuaskan, karena implementasinya dilapangan sering terkendala hambatan kelembagaan dan kebijakan. Sementara permasalahan kelembagaan dan kebijakan belum banyak tersentuh, lebih-lebih dibangun diatas situasi, kondisi dan sistim nilai masyarakat.

Ketergantungan pabrik gula terhadap petani relatif tinggi dalam rangka pemenuham pasokan tebu, namun sistim kelembagaan yang mendukung hubungan petani dengan pabrik gula belum menghasilkan manfaat yang salaing menguntungkan kedua pihak. Oleh karena itu perlu dicarikan alternatif model hubungan tersebut dalam bentuk model kemitraan yang diharapkan mampu menjadi model yang memuaskan semua pihak. Agus Pakpahan (2003), menyarankan , bagi perusahaan yang berciri BUMN tidak perlu dilakukan privatisasi, tetapi dibentuk semacam koorporasi masyarakat dengan menjadikan petani sebagai pemilik pabrik gula. Hal ini berarti melakukan spin off terhadap pabrik gula, yaitu menjual sebagian pemilikan pabrik gula kepada petani, sehingga petani memiliki kewenangan kontrol manajerial terhadap pengelolaan pabrik gula. Dengan demikian, petani akan mengetahui beberapa hal yaitu, hasil yang benar-benar menjadi haknya, faktor-faktor yang menyebabkan inefisiensi pabrik dan kondisi pasar gula, dimana semua faktor tersebut menentukan hasil yang akan diterima petani dan pabrik gula. Dengan pengetahuan ini, diharapkan muncul saling ketergantungan antara petani dan pabrik yang hal ini akan menjamin kelangsungan perkembangan industri pergulaan nasional.


Kerangka Pemikiran.

1.Kemitraan dari sisi mikroekonomi

Hubungan antara petani tebu dan pabrik gula ditinjau dari aspek mikro pada dasarnya adalah hubungan antara penjual dan pembeli, dalam hal ini komoditi yang diperdagangkan adalah tebu. Dengan asumsi bahwa petani tidak bebas menjual tebunya ke sembarang pabrik, maka situasi yang dihadapi petani sama halnya menghadapi pasar yang beciri monopsoni. (Bilas, 292.1993), yaitu struktur pasar faktor produksi, dimana terdapat pembeli tunggal yang menghadapi banyak penjual. Sebagai penjual, posisi tawar petani sangat lemah, lebih-lebih jika berkaitan dengan informasi mengenai penentuan berapa perolehan harga tebu petani, karena harga tersebut dihitung berdasarkan indek berupa rendemen, yang tehnologi ini sepenuhnya dikuasai pabrik. Oleh karena itu dalam beberapa tahun terakhir ini, dalam rangka memperkuat posisi tawar petani terhadap pabrik, petani membentuk asosiasi diantara mereka (APTR = Asosiasi Petani Tebu Rakyat). Asosiasi ini secara teoritis berfungsi menaikan posisi tawar petani , dengan beberapa cara, merundingkan tingkat pengawasan rendemen, jadwal tebang dan merundingkan tingkat pebiayaan yang dibutuhkan petani, bahkan akhir-akhir ini sudah dilibatkan pada pengawasan harga gula. Dengan melihat bahwa antara petani dan pabrik gula pada dasarnya pelaku-pelaku dalam satu sistim agribisnis, maka asosiasi-asosiasi yang terbentuk pada petani adalah upaya untuk memperkuat posisi penawaran petani dalam menghadapi pabrik gula (gambar 1)

Penjelasan gambar : Jumlah tebu yg ditawarkan petani dan dibeli pabrik adalah Te, dan harga yg ditawarkan Pt2. Karena keseimbangan bagi bagi pabrik terjadi saat MRPt = MCt pada Te, maka harga yg wajar bagi pabrik adalah Pt1, tetapi karena pabrik adalah monopsonis, maka harga yang dibayar pabrik adalah Pt2. Pada kasus ini pabrik memperoleh keuntungan karena monopsoni sebesar (Pt1 – Pt2) x Te ( daerah yg diarsir pada gambar ). Secara teoritis untuk menghilangkan diskriminasi ini, adalah dengan melakukan intervensi untuk membuat kurva penawaran tegar (rigid = kaku) pada tingkat harga Pk, sehingga kurva penawaran menjadi PkS. Keseimbangan baru yang terjadi, dan dapat disepakati pabrik, adalah saat MRPt memotong PkS dengan tebu yang ditawarkan petani naik menjadi Tk pada harga Pk. Intervensi yang diperlukan untuk menjamin kondisi tersebut adalah dengan campur tangan pemerintah dan atau memperkuat kemitraan antara petani dengan pabrik.

2.Kemitraan dari sisi Manajemen Agribisnis

Petani dengan kepilikan lahannya mempunyai posisi yang penting dalam mempengaruhi keberlanjutan aktrivitas pabrik gula melalui jaminan pasokan tebu. Sedangkan tingkat produksi, produktifitas dan efisiensi pabrik gula berpengaruh langsung terhadap pasokan gula bagi kebutuhan domestik. Baik petani tebu maupun pabrik gula, dengan demikian, berperan penting dalam upaya peningkatan produksi gula, sehingga pengembangan kemitraan antara petani dan pabrik gula menempati posisi penting dalam pembangunan pergulaan nasional. Salah satu bentuk kemitraan antara petani dan pabrik gula adalah pola kerjasama yang memungkinkan petani mengambil peran proposional dalam perusahaan gula. Model kerjasama ini, pada dasarnya juga mengembangkan koorporasi masyarakat, untuk dalam jangka panjang melakukan kontrol terhadapa pabrik gula oleh masyarakat sebagai salah satu shareholder.

Secara teoritis, pengembagan model kerjasama tersebut adalah tercakup sebagai salah satu strategi pengembangan agribisnis yaitu Strategi dengan Integrasi Vertikal dimana salah satu strateginya mengambil pola perusahaan kemitraan agribisnis yang menguntungkan semua pihak (Imam Syafi’i .2004).
Integrasi vertikal dimaksudkan keterpaduan sistim agribisnis secara vertikal membentuk suatu rangkaian pelaku-pelaku yang terlibat dalam sistim agribisnis mulai dari penyedia input,usaha tani, pedagang pengumpul, usaha pengolahan hasil, sampai dengan konsumen baik dalam negeri ataupun luar negeri (Gumbira, 27,2001). Dengan demikian, dalam kasus petani tebu dengan pabrik gula, kerjasama melalui kemitraan diantara mereka , akan menjamin keterpaduan sub sistim agribisnis usaha tani sebagai penyedia input dengan pabrik sebagai pengolah hasil sekaligus sebagai pelaku pemasaran produk gula. Keterpaduan sub sistim agribisnis tersebut dalam satu rangkaian yang membentuk perusahaan gula akan menjamin dinikmatinya nilai tambah tiap sub sistim oleh petani maupun pabrik gula.

Model kerjasama dengan kemitraan antara petani dan pabrik gula yang mengarah pada terpadunya sub sistim agribisnis pengusahaan gula sebagai strategi integrasi vertikal, hanya dapat terselenggara pada akhirnya bergantung pada jaminan pemenuhan hak-hak dan kebutuhan para pelaku. Hal inilah yang sampai saat ini menjadi permasalahan antara petani dan pabrik gula.

3. Kemitraan dari sisi pengalaman lapangan

Pengamatan lapangan yang dilaporkan Agus Pakpahan , menyimpulkan bahwa, kasus pergulaan nasional yang melibatkan pabrik gula terutama yang BUMN dengan petani, secara strategis dapat dicarikan alternatif dengan membentuk koorporasi masyarakat, dimana petani sebagai pemilik utama pabrik. Argumentasi yang disampaikan ( Agus. 2004 ) :
a. Komposisi biaya dalam industri gula sekitar 60%-70% berada di kebun, karena itu kepentingan petani sangat besar.
b. Memudarnya persenyawaan kepentingan antara “ kepentingan rakyat “ sebagai pemilik negara, pemerintah sebagai shareholder tunggal (principal) dan manajemen sebagai “ agent “ dalam struktur BUMN.
c. Kelemahan BUMN gula, dalam melakukan reinvestasi untuk dapat membangun pabrik besar.
d. Desakan untuk membangun pabrik pengolahan yang dapat memanfaatkan seluruh kandungan yang terdapat dalam tebu.
e. Perlu bangunan institusi yang mampu menyelesaikan dampak dari asymetric power atau control antara petani dan pabrik gula.
f. Ada anggapan The best product hanya akan mungkin dihasilkan oleh The best community.
g. Koefisien fixity dari pabrik sangat tinggi, tetapi sebaliknya dengan lahan, fakta riil menunjukan bahwa pasokan bahan baku tergantung dari tebu petani, dimana petani sebenarnya memiliki banyak pilihan untuk memanfaatkan lahannya.

Selanjutnya untuk memperkuat pendapatnya, Agus Pakpahan juga memberikan contoh yang dapat dijadikan pelajaran adalah pengalaman empiris dibelinya American Crystal Sugar Company (ACSC), yang sahamnya terdaftar pada New York Stock Exchange, pada tahun 1973, oleh 1300 petani dengan nilai $ 86 juta atau Rp. 731 milyar dengan nilai tukar sekarang (2004). Perubahan ini telah menyelamatkan komoditas vital bagi wilayah tersebut dan juga menciptakan jalan bagi industri gula bit untuk lebih berkembang dan maju pesat.

Sejak 1973, ACSC telah memperluas areal tanamannya dari sekitar 80 ribu hektar menjadi 202 ribu hektar, rata-rata pertambahan areal pertahun 4000 ha. Para petani telah berhasil meningkatkan rendemen gula dari 14 % menjadi 18 %. Sedangkan bobot meningkat dari 4.8 ton/ha menjadi 7.6 ton /ha, dan kapasitas olah meningkat dari 16.400 ton per hari menjadi 36.000 ton per hari. Pada saat ini, ACSC memiliki pangsa 15 % dari seluruh produksi gula di AS atau sebanyak 1.12 juta ton pada tahun 2002/2003, dan dimiliki sekitar 3000 petani, dimana perusahaan semakin berkembang dengan berbagai perusahaan baru berupa joint venture seperti : United Sugar Corporation, Midwest Agricommodities, Progold LLC dan Crystech LLC.
Dengan kerangka pemikiran dan pengalaman empiris yang telah disampaikan tersebut diatas, setidaknya diupayakan untuk mencari alternatif kelembagaan dan kebijakan yang selama ini menjadi permasalahan pokok yang muncul di lapangan, yaitu dengan model kerjasama melalui kemitraan antara petani dan pabrik gula.

Model Pola Kemitraan

1.Kemitraan yang ada saat ini.

Selama ini telah dikembangkan berbagai model pola kemitraan antara petani dan pabrik gula antara lain :

a. sistim sewa lahan petani oleh pabrik.
b. Sistim sewa lahan oleh pihak ketiga.
c. Sistim kemitraan dengan pabrik gula sebagai avalist.
d. Sistim pembelian tebu oleh pihak ketiga.
e. Sistim TRI mandiri.

Dari berbagai sistim kemitraan yang telah dikembangkan dan diterapkan selama ini, masih menghadapai kendala dan belum memperlihatkan hasil yang menguntungkan bagi semua pihak. Hal ini karena dengan sistim kemitraan tersebut posisi petani tebu dalam sistim industri gula masih lemah, bahkan sistim kemitraan yang ada sekarang lebih banyak merugikan petani ( Laporan Lemlit IPB ).

2.Model kemitraan Alternatif.

Berdasarkan kerangka pemikiran dan pengalaman empiris negara lain serta pandangan yang telah disampaikan tersebut diatas, maka perlu dipikirkan suatu pola kerjasama alternatif antara petani dan pabrik gula berdasar pada pemilikan saham ( shareholder ) pada perusahaan gula . Sharing kepemilikan ini dapat diperluas dengan melibatkan investor diluar petani dan pabrik sebagai penjamin dana segar. Hal ini untuk menjamin kondisi awal, dimana manajemen baru pengusahaan gula memerlukan pendanaan yang cukup besar. Namun dalam jangka panjang, peranan investor ini dapata digantikan oleh petani atau untuk sementara oleh pemerintah daerah.

Manajemen baru ini akan melakukan bisnis dalam bidang on-farm (penyiapan lahan, perawatan, pemanenan dan agro input), kegiatan tebang muat angkut, pengolahan dan penggilingan tebu, serta pemasaran, sehingga nilai tambah dari berbagai kegiatan dalam industri gula semaksimal mungkin dapat dinikmati pelaku .

Peranan masing-masing pihak dalam pola kerjasama tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
 Petani :
Kontribusi petani dalam model ini adalah lahan tebu. Lahan petani akan dihargai dengan sewa lahan sebagai share mereka terhadap pemilikan pabrik. Sewa ini diterimakan kepada petani walaupun kelak ternyata hasil tebu yang diolah rugi.Tetapi diatas sewa ini petani mungkin memperoleh hasil bagi pendapatan ,jika terdapat keuntungan dari penjualan gula, yang sistim bagi hasilnay dapat dirundingkan terus menerus antara pelaku-pelaku yang lain. Jadi besarnya bagi hasil dari sharing ini memerlukan perbaikan terus-menerus, sehingga tercapai keseimbangan diantara pelaku.

 Investor.
Peran investor adalah menyediakan dana segar untuk digunakan sebagai modal operasi. Sedangkan dana-dana untuk investasi, dalam jangka pendek belum diperlukan, karena dianggap sudah tersedia pabrik dan lahan. Di harapkan peran investor didalam sharing pengusahaan ini juga pada waktu yang akan datang dapat digantikan oleh petani sendiri dan atau bersama-sama pabrik.
Resiko yang akan diterima investor adalah resiko modal operasi, oleh karenanya atas kontribusi dana ini, investor juga berhak atas deviden yang setidaknya lebih besar dari opportunity dari modal saat itu. Kebutuhan modal operasi termasuk didalamnya adalah , dana talangan kepada petani sebagai sewa dan biaya- biaya produksi tebu dan operasi pabrik yang harus ditutup. Besarnya dividen yang diterima investor, juga harus diperhitungkan dengan kemungkinan jika pengusahaan itu rugi, karena investor akan menerima resiko yang besar.

 Pabrik Gula.

Peran Pabrik Gula adalah kontribusinya terhadap pengolahan dengan menyediakan mesin dan peralatan juga tenaga-tenaga manusia yang terlatih juga dana yang diperlukan untuk pengusahaan tebu petani. Atas kontribusinya ini PG akan menerima bagi hasil dalam bentuk deviden yang besarnya ditentukan dengan mempertimbangkan resiko yang akan diterima jika pengusahaan mengalami kerugian. Pertimbangan juga harus dilakukan terhadap kebutuhan akan re investasi atau rehabilitasi mesin dan peralatan PG, dimana untuk kedua hal ini dapat disisihkan dari keuntungan bersama yang diperoleh sebelum dibagikan sebagai deviden. Dengan demikian dalam jangka panjang manajemen akan benar-benar merupakan komponen profesional yang digaji, sedangkan pemilikan terpisah dari manajemen tersebut.

Dengan alternatif kemitraan tersebut adalah merupakan pemikiran awal yang untuk mewujudkannya diperlukan kajian yang terus menerus, bahkan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menjadi sempurna. Kajian ini sudah dimulai dilakukan oleh Fakultas Pertanian IPB dengan mengambil dua obyek kajian pada th 2004, dengan sebatas pada tahapan pemetaan masyarakat dan pemetaan pabrik gula. Pengenalan model kemitraan dan langkah lebih jauh terhadap kemungkinan pembentukan pola kerjasama dengan pembentukan manajemen baru perusahaan gula masih belum dilakukan. Oleh karena itu dengan pemikiran ini, setidaknya diharapkan banyak pihak yang diharapkan ikut berperan dalam menyelesaikan permasalahan pergulaan secara nasional.


Kesimpulan:

1. Bahwa permasalahan pergulaan nasional adalah disamping masalah terus- menerus turunya produksi dan produktifitas serta harga gula yang semakin murah, sehingga insentip bagi pengusahaan tebu berkurang, juga masalah kelembagaan dan kebijakan kurang mendapat perhatian yang serius dari semua pelaku yang terlibat dalam pengusahaan gula.
2. Bahwa penanganan masalah kelembagaan dan kebijakan dalam rangkaian industri gula , juga merupakan faktor yang dapat mendorong , kelangsungan aktivitas industri gula tetap terjamin dimasa yang akan datang (sustainability), yaitu dengan mencari model alternatip pola kemitraan antara petani dan pabrik gula.
3. Diperlukan kajian yang terus menerus dan berjangka panjang untuk menjadikan model kemitraan yang benar-benar dapat menguntungkan semua pihak serta terbangunya integrasi sistim agribisnis pergulaan.


Daftar Pustaka

Agus Pakpahan, DR, Petani Menggugat, Max Havelaar & Gaperindo , Jakarta,2004.

__________________.Penataan Kelembagaan Pertanian Menuju Kemandirian Agribisnis, Makalah pada Seminar Nasional Dan Rapat Kerja Nasional Ikatan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan, Jember 23- 27 Mei 2004.

Arifin,Bustanul, DR, Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia, Kompas, Jakarta, 2004.

Bilas, Richard.A Teori Mikroekonomi, edisi kedua, Erlangga, Jakarta 1993.

E. Gumbira Said, dan A Harizt Intan, Manajemen Agribisnis, Ghalia Indonesia, & MMA IPB, 2001.

Imam Syafi’i.Ir.Msi, Bahan Kuliah Manajemen Agribisnis, Fakultas Pasca Sarjana PS Agribisnis,2004.

Purwono, DR, Kebijakan Industri Gula Pandangan Dari Sisi Agronomi,Makalah untuk Sugar Observer, tidak dipubli kasikan Bogor, 2004

Lampiran-lampiran dan Tabel Menyusul

Created by Soeseno, Drs

Tidak ada komentar: