Senin, 13 Desember 2010

PEDOMAN PELAKSANAAN SERTIFIKASI PROFESI PENYULUH PERTANIAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K) menyebutkan bahwa Penyuluh Pertanian merupakan profesi. Dalam rangka mengimplementasikan semangat Undang¬Undang tersebut, telah ditetapkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)(DOWNLOAD FILE, CLICK HERE!) sektor pertanian bidang Penyuluhan Pertanian dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep. 29/MEN/111/2010.
Penyusunan SKKNI mengacu pads Peraturan Menteri Negara Pandayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/02/MENPAN/2/2008 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya. Sehingga terjadi keselarasan antara SKKNI yang mencerminkan
Profesionalisme Penyuluh Pertanian dengan jabatan fungsional Penyuluh Pertanian yang memiliki tugas dan tanggung jawab berdasarkan pads bidang tugas dan lingkup pekerjaan.
Dalam rangka menjamin.mute pelayanan Penyuluh Pertanian kepada pelaku utama dan sasaran antara, perlu adanya pembenahan, pembinaan, dan peningkatan mutu layanan Penyuluh Pertanian melalui sertifikasi profesi Penyuluh Pertanian. Dengan ditetapkannya sertifikasi profesi bagi Penyuluh Pertanian, profesionalitas Penyuluh Pertanian memiliki aspek legalitas formal, dan diakui masyarakat.
Proses sertifikasi profesi Penyuluh Pertanian merupakan serangkaian uji kompetensi berdasarkan SKKNI Profesi Penyuluh Pertanian. Uji kompetensi direncanakan dan disusun sedemikian rupa sehingga dapat menjamin, bahwa semua persyaratan dilakukan secara objektif dan sistematis dengan bukti-bukti yang terdokumentasi. Agar rangkaian proses ini dapat dilaksanakan secara optimal, diperlukan ke!embagaan yang memiliki kewenangan melakukan uji kompetensi. Lembaga ini bersifat independen (independent agency), bekerja berdasarkan peraturan, prosedur dan manajemen mutu untuk melaksanakan
B. Tujuan dan Manfaat
Pedoman umum Sertifikasi Profesi Penyuluh Pertanian bertujuan memberikan acuan kepada pelaksana sertifikasi Penyuluh Pertanian dalam pelaksanaan uji kompetensi. Secara khusus sertifikasi profesi Penyuluh Pertanian bertujuan meningkatkan proses dan mutu hasil penyuluhan, serta meningkatkan profesionalisme Penyuluh Pertanian.
Sedangkan manfaat sertifikasi profesi Penyuluh Pertanian adalah :
1.Melindungi profesi Penyuluh Pertanian dari praktik-praktik yang tidak kornpeten yang dapat merusak citra profesi Penyuluh Pertanian,
2.Melindungi masyarakat dari praktik-praktik penyuluhan pertanian yang tidak bertanggung jawab;
3.Menjamin mutu penyelenggaraan penyuluhan pertanian.

C. Pengertian

1.Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan danlatau keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.Profesi Penyuluh Pertanian adalah pekerjaan penyuluhan pertanian yang rnembutuhkan keahlian khusus yang dihasilkan dari proses pendidikan profesi, pelatihan profesi dan/atau pengalaman kerja, dan dibuktikan dengan Sertifikat Profesi Penyuluh Pertanian dan memperoleh rewards.
3.Penyuluh Pertanian Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut Penyuluh Pertanian PNS adalah PNS yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pads satuan organisasi lingkup pertanian untuk melakukan kegiatan penyuluhan pertanian.
Penyuluh Pertanian Swasta adalah Penyuluh Pertanian yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga, yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan pertanian.
Penyuluh Pertanian Swadaya adalah pelaku utama pertanian yang berhasil dalam usahanya, dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi Penyuluh

Read more.....

INDONESIA TAHAN PANGAN DAN GIZI 2015

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada tahun 2000 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan pernyataan tentang perlunya upaya global untuk peningkatan kesejahteraan manusia melalui Millenium Development Goals (MDGs). MDGs memiliki 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator. Tujuan pertama dari MDGs adalah bahwa pada tahun 2015 nanti setiap negara diharapkan mampu untuk menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi awal pada tahun 1990. (DOWN LOAD FILE, CLICK HERE!) Dua dari lima indikator sebagai penjabaran tujuan pertama MDGs adalah menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita (indikator keempat) dan menurunnya jumlah penduduk defisit energi atau kelaparan (indikator kelima). Kedua indikator tersebut mencerminkan tingginya keterkaitan antara kondisisi ketahanan pangan dengan status gizi masyarakat. Menggabungkan upaya untuk mewujudkan kedua indikator tersebut secara sinergis merupakan langkah strategis yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas pencapaian sasaran.

Sebagai negara dengan penduduk besar dan wilayah yang sangat luas, ketahanan pangan merupakan agenda penting di dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Kejadian rawan pangan menjadi masalah yang sangat sensitif dalam dinamika kehidupan sosial politik Indonesia. Menjadi sangat penting bagi Indonesia untuk mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional, wilayah, rumahtangga dan individu yang berbasiskan kemandirian penyediaan pangan domestik. Kemandirian ini semakin penting ditengah kondisi dunia yang mengalami krisis pangan, energi dan finansial yang ditandai dengan harga pangan internasional mengalami lonjakan drastis; meningkatnya kebutuhan pangan untuk energi alternatif (bio-energi); resesi ekonomi global yang berakibat semakin menurunnya daya beli masyarakat terhadap pangan; (d) serbuan pangan asing (“westernisasi diet”) berpotensi besar penyebab gizi lebih dan meningkatkan ketergantungan pada impor.
Menyadari akan pentingnya perwujudan ketahanan pangan dan gizi nasional sebagai salah satu pilar ketahanan nasional dan wilayah, maka pada Konferensi Dewan Ketahanan Pangan Tahun 2006 para Gubernur selaku Ketua DKP Provinsi seluruh Indonesia telah mencanangkan beberapa kesepakatan yang salah satunya adalah menyusun rencana nasional menuju Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015. Kesepakatan ini telah dideklarasikan dihadapan Presiden RI selaku Ketua DKP pada tanggal 21 Nopember 2006 di Istana Bogor. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka buku Indonesia Tahan Pangan 2015 ini disusun.
Sebagai tindak lanjut kesepakatan tersebut, kemudian dilakukan penyusunan draft buku kebijakan Indonesia Tahan Pangan 2015 sejak tahun 2008. Berbagai informasi dan data pendukung dikumpulkan dilanjutkan dengan serangkaian pertemuan yang melibatkan instansi lintas sektor dan pokja ahli Dewan Ketahanan Pangan. Selanjutnya dokumen ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi pemangku kepentingan baik instansi pemerintah di tingkat pusat maupun propinsi dan kabupaten/kota, swasta, BUMN/BUMD, perguruan tinggi, petani, nelayan, industri pengolahan, pedagang, penyedia jasa, serta masyarakat pada umumnya dalam menjabarkan lebih lanjut secara terintegrasi, terkoordinasi dan sinergis berbagai kegiatan nyata untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi nasional dan wilayah tahun 2015.
B. RUANG LINGKUP
Dokumen Indonesia Tahan Pangan 2015 ini berisi strategi dan langkah konkrit yang perlu dan akan dilakukan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan meningkatkan status gizi masyarakat, Indonesia Tahan Pangan 2015 ini merupakan penjabaran dari komitmen pencapaian MDGs, serta pengembangan kebijakan pembangunan nasional lain di bidang pangan dan gizi seperti Kebijakan Umum Ketahanan pangan nasional 2005 – 2009, Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2006-2010, Arahan Presiden pada Konferensi Dewan Ketahanan Pangan pada April 2006, serta Komitmen seluruh Gubernur selaku Ketua Dewan Ketahanan Pangan Propinsi pada Desember 2006.
Dokumen ini mengupas tentang keragaan ketahanan pangan dan gizi dewasa ini berikut rumusan isu strategis terkait pilar-pilar ketahanan pangan dan gizi, mencakup produksi dan ketersediaan pangan, distribusi dan akses pangan, konsumsi dan keamanan pangan serta status gizi masyarakat. Strategi dan Kebijakan Ketahanan Pangan dan Gizi 2015 disusun dengan mempertimbangkan pengalaman implementasi kebijakan sebelumnya agar tidak terjadi pengulangan yang tidak diperlukan serta untuk menyempurnakan kebijakan mendatang dengan belajar dari kelebihan dan kekurangan pada masa lalu.
C. LANDASAN HUKUM
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 menegaskan bahwa pembangunan pangan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, dan pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan ketahanan pangan. UU Nomor 7 tahun 1996 menjelaskan tentang konsep ketahanan pangan, komponen serta pihak yang berperan serta dalam mewujudkan ketahanan pangan. Undang-Undang tersebut telah dijabarkan dalam beberapa peraturan pemerintah (PP) antara lain : (i) PP Nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan yang mengatur tentang ketahanan pangan yang mencakup aspek ketersediaan pangan, cadangan pangan, penganekaragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan, peran pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat, pengembangan sumberdaya manusia dan kerjasama internasional; (ii) PP Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang mengatur pembinaan dan pengawasan di bidang label dan iklan pangan dalam rangka menciptakan perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab; dan (iii) PP Nomor 28 Tahun 2004 yang mengatur tentang keamanan, mutu dan gizi pangan, pemasukan dan pengeluaran pangan ke wilayah Indonesia, pengawasan dan pembinaan serta peran serta masyarakat mengenai hal-hal di bidang mutu dan gizi pangan.
Selain mengacu pada berbagai dokumen hukum nasional tersebut, pelaksanaan pembangunan ketahanan pangan juga mengacu pada komitmen bangsa Indonesia dalam kesepakatan dunia. Indonesia sebagai salah satu anggota PBB (United Nation Organisation) menyatakan komitmen untuk melaksanakan aksi-aksi mengatasi kelaparan, kekurangan gizi serta kemiskinan dunia. Kemiskinan tersebut antara lain tertuang dalam Deklarasi World food Summit 1996 dan ditegaskan kembali dalam World food Summit: five years later 2001, serta Millenium Development Goals tahun 2000, untuk mengurangi angka kemiskinan ekstrim dan kerawanan pangan dunia sampai setengahnya di tahun 2015.
Mengacu pada berbagai dokumen hukum serta kesepakatan nasional maupun internasional, maka pemerintah Indonesia menyusun Rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) 2005-2009 yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005, serta dokumen revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan Presiden pada tanggal 11 Juni 2005. Kedua dokumen hukum tersebut memuat kebijakan dan program pembangunan nasional, termasuk ketahanan pangan dan perbaikan gizi. Peraturan pemerintah PP Nomor 3 tahun 2007 tentang Pertanggungjawaban Gubernur, Bupati/Walikota dimana Gubernur, bupati/walikota tentang kewajiban melaporkan pembangunan ketahanan dan PP Nomor 38 tahun 2007 bahwa ketahanan pangan menjadi urusan wajib pemerintah propinsi, kab/kota. Berdasarkan kedua peraturan pemerintah tersebut, jelas secara tegas bahwa ketahanan pangan menjadi urusan wajib bagi pemerintah propinsi, kabupaten/kota.
Secara rinci landasan hukum penyusunan Indonesia Tahan Pangan 2015 adalah sebagai berikut:
1.UU No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
2.UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan
3.PP No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan
4.PP 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan
5.PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
6.PP No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
7.Perpres No. 83 tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan
8.Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005 – 2009
9.Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (pencanangan oleh Presiden tanggal 11 Juni 2005), termasuk kebijakan dan program pembangunan ketahanan pangan
10.Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009
11.Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010
12.Arahan Presiden pada rapat pleno Dewan Ketahanan Pangan tanggal 18 April 2006
13.Komitmen Gubernur pada 20 November 2006

II. KONDISI KETAHANAN PANGAN DAN GIZI SAAT INI
Selama lima tahun terakhir, pembangunan di bidang ketahanan pangan dan gizi telah menunjukkan kecenderungan yang semakin baik di semua pilar, mulai dari produksi dan ketersediaan serta distribusi hingga ke konsumsi dan status gizi. Beberapa indikator penting seperti produksi pangan, stabilitas harga pangan pokok, konsumsi pangan dan status gizi telah menunjukkan kondisi yang semakin membaik. Produksi beberapa komoditas utama seperti padi, jagung, kedele dan gula telah menunjukkan peningkatan. Selama periode 2003-2008 produksi padi meningkat dari 52 juta ton menjadi 60 juta ton. Gula juga menunjukkan peningkatan yang signifikan. Peningkatan produksi pangan dalam negeri, khususnya beras telah mendorong peningkatan pasokan yang berujung pada stabilitas harga komoditas pangan ini. Pada tahun 2008, ketika di dunia internasional terjadi peningkatan harga beras lebih dari 100% harga domestik meningkat tidak lebih dari 10%.
Seiring dengan peningkatan produksi pangan pokok utama, produksi pangan hewani, khususnya daging ternak besar (sapi dan kerbau), daging ayam, telur, susu dan ikan juga menunjukkan kecenderungan meningkat, dengan laju peningkatan tertinggi dicapai oleh daging sapi dan kerbau (3.25%) dan daging ayam (4.04%). Bila diiringi dengan peningkatan aksesibilitas ekonomi masyarakat, kondisi ini memungkinkan terjadinya peningkatan konsumsi pangan hewani masyarakat Indonesia yang saat ini tergolong masih rendah.
Kecuali untuk susu, kedelai, daging dan gula, ketergantungan impor pangan untuk komoditas lainnya relative rendah. Produksi pangan yang cenderung meningkat tersebut berimplikasi pada peningkatan ketersediaan energi dan protein domestic, khususnya selama periode 2005-2008 setelah terjadi penurunan pada periode 2003-2005. Secara nasional ketersediaan energi dan protein selama lima tahun terakhir telah melampaui angka kecukupan gizi (AKG) tingkat ketersediaan (2,200 kkal/kap/hr dan 57 gram protein/kap/hr) yang direkomendasikan oleh Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII.
Terjadinya peningkatan produksi dan ketersediaan pangan yang disertai dengan harga pangan domestik yang relatif stabil serta peningkatan akses pangan melalui program Raskin dan beberapa program pembangunan lainnya telah berkontribusi dalam peningkatan konsumsi pangan. Rata-rata konsumsi energy dan protein cenderung meningkat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Rata-rata konsumsi energi semakin mendekati kebutuhan sebesar 2000 kkal/kap/hari, dan pada tahun 2007 bahkan telah memenuhi angka kecukupan dengan rata-rata konsumsi energi sebesar 2015 kkal/kap atau 100.7% dari angka kecukupan energi. Demikian halnya dengan protein, konsumsi per kapita per hari umumnya sudah tercukupi. Terjadinya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan ini diikuti pula dengan penurunan persentase rumahtangga yang defisit energy tingkat berat (konsumsi energy < 70% angka kecukupan gizi) yang juga dikenal sebagai sangat rawan pangan. Persentase penduduk yang sangat rawan pangan menurun dari 13.1% tahun 2002 menjadi 11.1% tahun 2008. Meski menurun jumlah penduduk yang deficit energy tingkat berat (sangat rawan pangan) diperkirakan masih sekitar 25.1 juta jiwa pada tahun 2008. Apabila dihitung sejak terjadinya krisis pada tahun 1999 dimana persentase penduduk yang sangat rawan pangan mencapai 18.9% (38.6 juta jiwa), maka penurunan yang terjadi sangat signifikan.
Terjadinya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan ini juga diikuti dengan peningkatan keadaan gizi masyarakat yang diindikasikan oleh menurunnya prevalensi status gizi kurang pada balita berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Meskipun status gizi masyarakat tidak hanya ditentukan oleh faktor konsumsi pangan, tetapi juga oleh factor lain seperti kualitas pengasuhan dan ada atau tidaknya penyakit infeksi, namun peningkatan konsumsi pangan tersebut tentunya telah berkontribusi dalam perbaikan status gizi masyarakat. Pada tahun 2007, prevalensi kurang gizi pada balita adalah 18.4% yang berarti telah melampaui sasaran RPJM sebesar 20% dan bahkan sasaran MDG sebesar 18.7%. Meski demikian perlu diwaspadai bahwa disamping terjadi masalah kurang gizi, secara bersamaan Indonesia juga mengalami masalah kegemukan (obesitas) yang prevalensinya pada anak balita mencapai sekitar 12.2%. Uraian secara lebih rinci dari gambaran tentang situasi ketahanan pangan dan gizi selama lima tahun terakhir disajikan pada bagian berikut ini.
A. PRODUKSI DAN KETERSEDIAAN PANGAN
1. Produksi Pangan
Perkembangan produksi pangan nabati di Indonesia disajikan dalam Gambar 1. Terlihat bahwa selama lima tahun terakhir telah terjadi peningkatan produksi pangan, kecuali ubi jalar dan kecang tanah yang laju produksinya cenderung menurun. Pada komoditas yang meningkat produksinya, permasalahan yang terjadi adalah pola peningkatan produksi pangan cenderung melandai dengan rata-rata pertumbuhan kurang satu persen per tahun, sedangkan pertambahan penduduk sebesar 1,2% setiap tahun (BPS, 2005). Keadaan ini terjadi antara lain karena luas areal produksi pangan yang cenderung menurun.
Read more.....