Sabtu, 28 Juni 2008

RAPUHKAH KETAHANAN PANGAN KITA)*


Carut marut penanganan bahan pangan merupakan potret kinerja pengulangan kegagalan masa lampau. Bangsa ini konon pernah swasembada beras di tahun 1984an, dan selanjutnya sampai dengan sekarang sebagai negara net importer dengan menerapkan swasembada on trend alias semua kekurangan dipenuhi dari impor dan melakukan ekspor pada saat surplus. Sebut saja komoditi ini beras, jagung, kedelai dan gandum serta gula, yang notabenenya sering dipakai sebagai tolok ukur ketahanan pangan. Kriteria Ketahanan pangan secara umum dapat dilihat dari ketersediaan (acceptable), keterjangkauan dan keberlanjutan, serta pendistribusian.

Sesuai dengan definisi ketahanan pangan dalam UU. No. 7 tahun 1996 yaitu kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Seiring hal tersebut, Rome Declaration and World Food Summit Plan of Action mendifinisikan ketahanan pangan dengan “food security exists when all people, at all times, have access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary needs for an active and healthy life”. Terlepas difinisi ketahanan pangan harus dimiliki oleh setiap individu (all people), atau untuk kesatuan rumah tangga, yang jelas masih banyak dijumpai di beberapa daerah terjadi gizi buruk dan kelaparan baik melalui media cetak maupun elektronik, yang semua itu sebagai implikasi dari ketidakmampuan individu atau rumah tangga terhadap bahan pangan yang layak gizi.
Berdasar data (Media Indonesia, 30-10-2007) bahwa tahun 2005 anak balita yang menderita gizi buruk hanya 1,8 juta jiwa dan pada akhir 2007 menjadi 5 juta jiwa. Lebih memprihatinkan lagi, dua sampai empat dari 10 anak balita di 72 kabupaten terkena busung lapar, dan sekitar 11 juta dari 31 juta anak usia sekolah di seluruh Indonesia kini mengalami anemia gizi. Sungguh ironi yang memilukan. Indonesia dikenal sebagai negara agraris dan maritim terbesar di dunia, rakyatnya banyak kelaparan dan terkena gizi buruk. Kelaparan dan gizi buruk ini tidak semata-mata diakibatkan ketidakmampuan menjangkau harga bahan bahan pangan yang terus meningkatkan di tingkat mikro tetapi juga sebagai akibat dari kurangnya pasokan bahan pangan di tingkat makro, hal ini terlihat bahwa pada tahun 2007 Indonesia tercatat mengimpor sekitar 2,5 juta ton beras (terbesar di dunia); 2 juta ton gula (terbesar kedua); 1,2 juta ton kedelai; 1,3 juta ton jagung; 5 juta ton gandum; dan 550.000 ekor sapi (Media Indonesia, 30-10-2007), rapuhkah ketahanan pangan kita?, Kondisi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah.
Pemerintah semestinya tidak setengah hati menangani permasalahan ini atau tidak menganggap "under value" bidang pertanian (ma'af pinjam istilah P. Bustanul A), baik di tingkat on maupun off farm. Atau para pemburu rente (rent seeking) "ma'af lagi-lagi pinjam istilahnya P. Bustanul A, agar menghentikan kegiatannya, bukankah memburu keuntungan ditengah-tengah krisisnya petani kecil yang lagi menjerit adalah perbuatan yang kurang terpuji?. Sudah amat banyak instrumen kebijakan yang seolah-olah berpihak dan membela untuk kepentingan petani tetapi sebenarnya kemanfaatannya belum dirasa atau menyentuh pada petani secara langsung, hal ini terbukti adanya disparitas harga yang amat jauh dari harapan di tingkat petani dengan harga kebijakan misal HPP, HET pupuk dan lain sebagainya.
Atau baru-baru ini pemerintah akan melakukan ekspor beras, padahal stok beras belum melampaui titik aman. Titik aman stok beras nasional (iron stock) menurut Deputi Menko Perekonomian Bayu Krisnamurti, sebanyak 750.000 sampai 1,75 juta ton sebagai antisipasi apabila terjadi spekulasi harga di pasar internasional atau sebagai cadangan pangan bila terjadi bencana alam yang mampu bertahan 8 sampai dengan 21 hari. Sedangkan kondisi stok beras pada saat ini masih berdasarkan angka ramalan dari BPS 2008, yaitu produksi padi selama 2008 diperkirakan 58,26 juta ton GKG serta luas panen 12,29 juta ha dengan produktivitas 4,73 ton/ ha. Setelah dikurangi untuk keperluan benih, pakan ternak, penyusutan dan lain-lain, maka beras yang tersedia sekitar 33 juta ton. Jika jumlah penduduk Indonesia 227,78 juta jiwa serta konsumsi per kapita 139,15 kg maka kebutuhan beras untuk konsumsi sebesar 31,69 juta ton. Dengan demikian pada tahun ini akan ada surplus sebesar 1,30 juta ton. Apabila pemerintah mau mengekspor beras sebanyak 550 ribu ton pada tahun ini, itu sah-sah saja, tetapi perlu diingat bahwa secara geografis Indonesia paling rawan terhadap bencana, misal gunung berapi, tanah longsor, banjir, gempa bumi, dll., berarti bisa saja stok yang tersisa 750 ribu ton beras akan ludes dalam waktu hanya sekitar 8 hari saja. Pada kondisi ini berarti pemerintah akan membuka kran impor lagi, ditambah dengan menteri perdagangan menurunkan tarif impor beras dari Rp. 540 per kg menjadi Rp 450/kg yang berlaku mulai Januari 2008, maka importir yang notabenenya sebagai rent seeking akan mengimpor beras yang sebanyak-banyaknya di satu sisi, di sisi lain akan diikuti dengan importir beras gelap "Spanyol" alias separo nyolong". Kondisi ini akan memperparah perekonomian di tingkat "grass root" disamping akan mengurangi cadangan devisa negara di tingkat makro. Kita wait and see saja, apa yang akan dilakukan oleh pemerintah?.......
Gerakan Moral
Salah satu kegiatan atau gerakan moral yang dapat memperkokoh ketahanan pangan adalah Program diversifikasi pangan. Indonesia merupakan konsumen beras tertinggi di dunia, yaitu 139,15 kg/kapita/tahun. Jauh melampaui pola pangan harapan (PPH) atau melampaui tingkat konsumsi di tingkat bangsa-bangsa di Asia, seperti Jepang (60 kg), Malaysia (80 kg), Thailand (90 kg), dan rata-rata dunia (60 kg). Tingginya konsumsi beras mengakibatkan 31 juta ton beras yang kita hasilkan setiap tahun, tidak mencukupi kebutuhan nasional. Inilah yang dijadikan dalih oleh para importir untuk terus mengimpor beras. Oleh sebab itu, mulai sekarang kita harus secara serius dan kontinyu mengurangi konsumsi beras sampai tingkat ideal, yakni 87 kg beras/kapita/tahun. Perhitungan secara sederhana apabila tingkat konsumsi beras perkapita 139,15 kg/tahun, maka rata-rata per hari kita akan menghabiskan beras 381,2 gram. Apabila kita menghemat tidak makan makan malam satu kali sehari maka akan menghemat konsumsi beras sebanyak 28,945.74 ton per hari berarti akan menghemat beras sebanyak 10,565,195.67 ton per tahun, hanya dengan meninggalkan makan malam sehari yang konon makan malam dapat menyebabkan penyakit diabetes. Hal ini tentu akan mendapat tantangan yang cukup serius, mengingat kebiasaan yg tidak lazim dikerjakan oleh masyarakat Indonesia, ya… semoga saja jadi bahan renungan kita……


)* Penulis adalah Hendri Widotono Alumni PS Agribisnis Pascasarjana Universitas Jember
Read more.....