Kamis, 22 Januari 2009

PERANAN INDUSTRI SAWIT DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI REGIONAL: MENUJU PERTUMBUHAN PARTISIPATIF BERKELANJUTAN

PENDAHULUANKehadiran Industri Sawit (Perusahaan Perkebunan Sawit) telah lama ada di Indonesia dan tidaklah berlebihan jika Sumatera Utara mempunyai perhatian yang paling besar, karena merupakan tempatkelahiranya di Indonesia. Perkembangan perkebunan sawit pada dewasa ini telah menjadi milik Nusantara, karena terbukti sesuai dengan kondisi iklim Indonesia serta didukung oleh prasyarat ketersediaan (Download dalam bentuk file, Click Here)lahan luas untuk

mendukung pengusahaanya.Dari segi pembudidayaanya Indonesia telah berhasil mengantar budidaya ini kepada masyarakat luas yang memungkinkan ketersediaan trampil yang cukup bagi pengembangan industri berbasis sawit.

2. Daya tarik dan dukungan yang kondusif inilah yang menjadikan sawit berkembang dengan pesat di Indonesia dan yelah membawa industri tersebut sebagai bentuk usaha yang semula menjadi symbol enclave economy, kini telah menjadi usaha dengan beragam format dan corak pola pengusahaan. Perkembangan terkahir ini juga telah menambah khasanah baru dalam kehidupan Industri berbasisi sawit yakni berlakunya theory dualisme ekonomi ala Boeke (Mubyarto, 2000).

3. Industri sawit yang berkembang meluas, beragam dan masuk dari hulu ke hilir telah menjadikan sawit sebagai industri yang paling dahulu masuk ke dalam pasar modal selain pulp. Keterkaitan semakin panjang tidak mudah menjawab manfaat kehadiranya secara luas. Tidak dipungkiri sawit telah hadir dengan pengaruh yang nyata terhadap perkembangan ekonomi setempat (Regional) di mana mereka berada, tetapi masalah lain ternyata juga muncul bersamaan dengan perkembangan itu.

4. Pada makalah ini sengaja dibatasi pada kupasan secara, makro mengenai kedudukan industri minyak sawit, baik sebagai perusahaan perkebunan, industri penghasil bahan makanan (minyak makan) maupun bahan baku industri dan terakhir kaitan dengan tekad memabngun industri bio-energi. Demikian juga peran penting sebagai penghasil komoditas ekspor dan kompetisi dengan penggunaan industri domestic untuk tujuan ketahanan pangan. Pada sisi lain juga ingin dilihat dimensi lain soal dualisme pengusahaan yang diharapkan dapat menemukan jalan keluar untuk menata menuju industri sawit yang berkeadilan.

POTRET INDUSTRI SAWIT HINGGA SAAT INI

5. Industri sawit di Indonesia telah berkembang pesat dengan dukungan pertumbuhan perkebunan yang sangat pesat pula hingga menca[pai lebih dari 6.3 juta hektar yang terdiri dari sekitar 60% yang diusahakan oleh perkebinan besar dan 40% oleh perkebunan rakyat. Pertumbuhan perkebunan sawit ini tidak terlepas dari politik ekspansi pada akhir 1970an disertai pengenalan PIR sebagai sarana untuk menggerakkan keikut sertaan rakyat dalam budidaya perkebunan sawit. Sejak program peningkatan perkebunan sawit digelorakan pertumbuhan perkebunan sawit mencapai rata-rata diatas 7%/tahun, bahkan pada PELITA III, IV dan V tumbuh diatas 10%/tahun hingga menjelang krisis ekonomi 1997. Setelah krisis pertumbuhan arela juga semakin pesat dengan persentase yang tetap tinggi antara 8-10%/tahun. Pertumbuhan pesat juga terjadi pad ke dua jenis pengusahaan yaitu perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Sampai dengan tahun 2007 tercatat 965 perusahaan dengan luas perkebunan 3.753 juta hektar yang dimiliki oleh perkebunan Negara swasta nasional dan asing. Sementara perkebunan rakyat telah mencapai 2,565 juta hektar, suatu perkembangan yang luar biasa mengingat pada awal pengenalanya hanya 3.125 hektar (1979) yang hanya mewakili 1,20% saja dari total perkebunan sawit yang ada ketika itu.

6. Di lihat dari aspek lain, yaitu penyebaran pengusaahn sawit pada saat ini telah meluas hampir ke semua kepulauan besar di Indonesia yang tersedia lahan yang luas. Bahkan di Jawa akhir-akhir ini juga telah mengikuti mengembangkan sawit, meskipun perkembanganya sangat terbatas karena keterbatas lahan dengan harga dan luasan yang sesuai. Posisi Indonesia memang menempatkan kita pada kawasan yang mempunyai prospek baik untuk pengembangan sawit dilihat dari berbaagai aspek termasuk potensi permintaan domestic.

7. Perkembangan perkebunan sawit ini sudah barang tentu membuka lapangan usaha baru, karena pada umumnya perkebunan sawit diusahakan diatas tanah yang baru dibuka atau belum diusahakan sebelumnya. Dampak langsung yang akan segera terlihat terhadap kehadiran perkebunan sawit adalah terjadinya investasi yang menambaha kapasitas produksi sector pertanian (perkebunan), dengan berbagai kesempatan yang timbul yakni lapangan kerja baru. Pertumbuhan areal yang masih terjadi jelas sumber pertumbuhan pertama yang muncul segera setelah investasi ke dalam industri sawit diputuskan. Secara keseluruhan industri sawit memang sangat menguntungkan karena dilihat dari segi pengusahaan perkebuinan Daya Penyebaran (backward linkage) Pertanian cukup tinggi 1,3399 dan Derajad Kepekaan (forward linkage) 1,5176 berdasarkan perhitungan BPS dari Tabel I-O untuk tahun 2005 (BPS, 2008). Sementara untuk Industri Pengolahan masing-masing 1,7273 dan 3,0627. Dengan demikian secara aggregate memang cukup besar alas an untuk mendorong industri sawit dengan karakter industri semacam itu. Namun jika dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja industri sawit adalah penopang kelangsungan kesempatan kerja di sector perkebunannya dengan angka yang cukup besar dibandingkan dengan industri makanan lainya, terutama minyak goreng.

8. Hal ini tidak terlepas dari kacamata historis pengembanganya yang mengusahakan industri sawit sebagai Perusahaan Perkebunan. Salah satu alasan yang paling kuat adalah sifat biji sawit yang mudah rusak memerlukan kecepatan pengolahan menjadi minyak sawit, sehingga menjadikan pengintegrasian perkebunan dan pengolahan menjadi model yang dikembangkan sejak awal. Banyak pandangan yang menempatkan pengintegrasian antara perkebunan dan industri pengolahan menjadi prasyarat bagi efisiensi dari industri sawit. Analisis lebih rinci untuk industri sawit sebagaimana dilaporkan oleh berbagai penelitian juga menemukan rekomendasi yang sama (Amang dkk, 1996).

9. Untuk melihat peranan yang lebih besar dari kehadiran industri sawit pada tahap selanjutnya adalah dampak peningkatan pendapatan pada para pelaku, terutama pada kelompok lemah, yakni para pekerja perkebunan dan industri serta petani pekebun rakyat yang mempunyai posisi khusus. Dampak terhadap ekonomi regional memang dapat dikatakan terlihat segera (immediate), tetapi memelihara peran yang berkelanjutan menjadi lebih penting lagi. Karena persoalan kesejahteraan yang berlanjut, keadilan dan dampak lingkungan akan muncul kemudian dalam jangka panjang (setelah satu dasawarsa). Hal ini pasti melampaui batas control mekanisme demokrasi yang kita kembangkan dengan siklus lima tahunan yang melahirkan politik anggaran (fiscal) maupun kebijakan pengembangan industrinya. Inilah aspek penting yang harus menjadi perhatian Perguruan Tinggi dan Lembaga yang mempunyai kepedulian dan visi jangka panjang.

10. Di lihat dari sumbangan devisa sudah barang tentu sangat menentukan, meskipun patut dicatat keduudkan sawit sebelum dasawarsa 1990an dan pasca 1990an mempunyai kedudukan yang berbeda. Hal ini terkait dengan peran minyak sawit yang hingga decade pertengahan 1980an hanya ditujukan untuk pasaran ekspor, maka sejak itu orientasi untuk bahan baku industri minyak goreng di dalam negeri juga penting. Sampai dengan krisis minyak goring 1976 minyak goreng dari bukan kelapa, termasuk sawit hanya menempati kurang dari 30 persen, karena sebagian terbesar 70% diisi oleh minyak kelapa. Tetapi kini sebaliknya minyak goreng dari sawit mengisi sekitar duapertiga penyediaan minyak domestic.

11. Perolehan devisa dari ekspor minyak sawit sejak pulih kembalinya perekonomian kita setelah krisis memang mengalami peningkatan yang sangat luar biasa (abnormal) karena di samping volume yang terus bertambah akhir-akhir ini juga mengalami peningkatan harga dan nilai tukar. Secara keseluruhan ekspor diatas 10 juta ton sudah berhasil dilalui sejak 2005 dengan perolehan devisa yang pada tahun 2008 ini telah melewati USD 10juta meskipun realisasi ekspor tahun ini masih berlanjut. Hal ini terjadi karena factor volume dan harga. Secara keseluruhan kedudukan perolehan devisa dari minyak sawit terhadap totel nilai ekspor hasil industri juga meningkat mencapai diatas 5% sejak 2003 dan pada tahun 2007 mencapai diatas 10%. Hal ini terjadi bersamaan dengan tekanan untuk mengerem ekspor melalui penggunaan dalam negeri untuk kebutuhan minyak goreng.

DUALISME SISTEM PERKEBUNAN SAWIT

12. Aspek ini termasuk aspek yang jarang dibahas dalam membahas industri sawit, kecuali para peneliti yang mempunyai kepedulian mendalam terhadap isu partisipasi masyarakat dalam industri berperolehan nilai tambah tinggi. Industri sawit pada awalnya adalah diperkenalkan mellaui industri perkebunan besar seperti lazimnya tanaman ekspor lain seperti gula, coklat, the, kopi karet dan sawit. Tetapi mungkin hanya dua industri yasng memiliki kemiripan ketika kita ingin mengikut sertakan masyarakat sekitar kebun ke dalam skema industri pertaniuan bernilai tambah tinggi ini yakni gula dan sawit. Kedua-duanya mempunyai corak yang sama diperkenalkan melalui industri besar kemudian diganti dan/atau diperkenalkan perkebunan rakyat. Dalam pengenalan ini ternyata tidak secara serta merta memenuhi harapan dan asumsi yang digambarkan dalam “PERANCANGAN KEBIJAKAN”, tetapi banyak discrepancy yang muncul akibat kekurang pahaman di awal pengenalan (belum ada referensi).

13. Pada industri sawit yang menghadirkan perkebunan besar berdampingan dengan perkebunan rakyat dan berkompetisi dalam pemanmfaatan kapasitas pengolahan terbatas yang berada di tangan industri besar mempunyai corak tersendiri yang melahirkan dualisme dan kesenjangan yang cukup melelahkan penyelesainya. Kompisisi perkebunan besar dan rakyat pada saat ini yang telah mencapai perbandingan 60:40 membesarkan hati, tetapi dependency industri pada industri pengolahan besar (negara apalagi swasta) akan menimbulkan masalah yang semakin besar, terutama dalam suasana abnormal dalam bentuk pergantianmusim dan gangguan pasar.

14. Dilihat dari kinerja kebun isu produktivitas akan mengedepan. Kesan yang muncul perkebunan besar selalu menghasilkan produktivitas yang tinggi, bahkan sampai ke efisiensi pengolhan dalam bentuk hasil minyak sawit per hektar. Padahal produktivitas kebun dan hasil akhir tidak selalu secara transfaran dapat diterjemahkan secara langsung. Banyak factor ekonomis maupun non-ekonomis berbicara dari soal jarak, kecepatan penanganan dan juga mutu asaln bahan baku sendiri. Tanpa melihat keseluruhan ini maka kita dapat menemukan kesimpulan yang salah. Dari studi yang dikumpulkan, menyimpulkan bahwa produktivitas murni minyak sawit per hektar tidak secara menonjol dapat dibedakan oleh [pengelolaan kebun (PN, PSB, PR) tetapi lebih disebabkan oleh hubungan yang baik (time management) dengan industri pengolahan (Dauhari dan Pasaribu, 1996). Sehingga prinsip kelayakan industri sawit tetap menganut kesatuan industri.

15. Kondisi dualistic juga menimbulkan persoalan akan kemampuan pelaku untuk merespons pasar yang dapat merugikan petani pekebun. Dengan pesatnya perkembangan perkebunan rakyat pemikiran untuk mengembangkan penyatuan antara usaha perkebunan dengan pengolahan menjadi agenda relevan dan memerlukan upaya sistimatik. Jembatan penghubung kesenjangan itu berada di industri pengolahan, karena industri sawit mensyaratkan kesatuan industri. Format korporatisasi Perusahaan (Perseroan) Rakyat menjadi pilihan model yang dapat dikembangkan. Korporatisasi semacam ini dapat menciptakan jembatan untuk mengatasi kesenjangan antara industri pengolahan dengan perkebunan.

16. Dalam pengembangan ekonomi yang berbasis kegiatan yang melibatkan banyak pihak yang lemah, memang biasanya dikaitkan dengan keinginan membangun system ekonomi kerakyatan. Ada dua elemen dasar yang harus diperhatikan dalam hal ini, karena sawit sudah teruji keunggulan komperatifnya, maka langkah yang paling tepat adalah menjembatani kesenjangan dengan dua dukungan pokok yaitu promosi dan proteksi terbatas/terencana (Radhi, 2008). Oleh karena, kegiatan pengembangan industri sawit adalah kegiatan yang mempunyai nilai daya tarik bagi perbankan dan lembaga keuangan., maka yang diperlukan adalah “jasa fasilitasi pengembangan bisnis dan investasi”. Business Development Aspects memang kurang menjadi perhatian kita, karena kita sering melompat kepada pemberdayaan pelaku sebagai bentuk keberpihakan. Investasi dan pengembangan bisnis adalah bentuk langsung optimasi antara komponen promosi dan proteksi ke dalam system pasar (mainstream). Jika Negara hadir dalam bentuk langsung maupun tidak langsung akan memberikan nilai lebih bagi kestabilan peran kerjasama pasar, bentuk yang ideal melalui partisipoasi investasi atau pioneering stage.

17. Dualisme system perkebunan sawit pada kenyataannya belum diikuti oleh pengembangan industri pengolahan yang akab menjadikan pasar input industri menjadi sehat, karena pasar monopsoni akan dapat dihindari dan partisipasi dimungkinkan. Hal ini akan menyumbang kehandalan industri pada skala daerah maupun secara nasional. Oleh karena itu aspek penting dalam melihat keberadaan system ganda ini akan menyehatkan persaingan pasar CPO kalau masing dikembangkan secara setara. Inovasi yang diperlukan bukan skala industri lagi, tetapi lebih pada skala pengembangan bisnis. Dalam system anggaran seperti sekarang ini daerah dan perusahaan Negara dapat berperan, tetapi entry terbaik tetap melalui investasi.

KOMPETISI ORIENTASI INDUSTRI DAN KETERGANTUNGAN FINANSIAL

18. Sebagaimana diuraikan di muka industri sawit di Indonesia pada saat ini menghadapi persimpangan jalan dalam mengarahkan industri ini untuk tujuan ekspor dan konsumsi domestic, serta tarikan global oleh industri energi alternatif dan pasar keuangan (modal) global. Sensitifitas ini memerlukan penelusuran secara lebih baik agar mampu menentukan kebijakan yang tidak merugikan arah pengembangan industri sawit untuk kesejahteraan rakyat (pelaku dari hulu sampai ke hilir). Pada saat ini kebutuhan pasokan minyak goreng dalam negeri sekitar dua-pertiga dipasok dari sawit, sehingga dalam dirinya dibebani tugas ketahanan pangan yang mengedepankan aksesibilitas konsumen yang menyesuaikan dengan daya beli. Sementara eksplorasi pasar menghendaki arah pemasaran pada pasar yang menghasilkan keuntungan tertinggi bagi pelakunya.

19. Formula keseimbangan orientasi ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1978 untuk mengatasi krisis minyak goreng 1976 yang berintikan pada kewajiban penyediaan DN bagi produsen CPO serta Jumlah penyediaan dan harga ditetapkan Pemerintah yaitu Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan (Amang dkk, 1996). Selanjutnya pada tahun 1994 ketika krisis minyak goreng terjadi lagi akibat musim kekeringan tahun sebelumnya, pembatasan penggunaan dianggap tidak sejalan dengan instrument yang disediakan dalam kerangka tetap mengedepankan dorongan ekspor dan sejak saat itu diperkenalkan pajak ekspor. Dari pungutan pajak ekspor ini diharapkan dapat dikembalikan untuk mendukung pengembangan industri minyak goreng. Akhir-akhir ini instrument pajak ekspor dianggap belum cukup mengurangi beban keluarga miskin, karena masih tetap tinggi, maka diperkenalkan subsidi harga bagi keluarga miskin atau operasi pasar tertentu dengan dukungan APBN. Di masa lalu operasi pasar dilakukan tidak dengan target konsumen, tetapi untuk stabilisasi harga memalui BULOG pada masa krisis 1998 dan masa-masa sebelumnya yang menjadi beban biaya operasi BULOG. Dengan demikian hingga saat ini kita memiliki tiga model untuk menjaga keseimbangan pasokan DN dan ekspor melalui kewajiban penyediaan pasokan DN langsung, pengenaan pajak ekspor dan subsidi harga bagi konsumen. Yang terakhir lebih ditujukan pada aspek ketahanan pangan ketimbang stabilisasi harga dalam negeri, karena minyak goreng adalah sumber lemak bagi gizi masyarakat bawah selain untuk bahan memasak.

20. Sejak 2006 posisi minyak sawit kembali menghadapi kompetisi orientasi baru setelah dikumandangkanya garis baru gerakan penyediaan energi alternative dengan mengembangkan bio energi. Minyak sawit adalah sumber utama yang telah siap untuk produksi bio-disel bagi Negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia dan Negara Pengimpor yang akan mengembangkanya.. Jika kompetisi orientasi konsumsi pangan dan ekspor dinilai disincentive bagi industri sawit, maka tumbuhnya industri bio-diesel di dunia adalah peluang baru dan merupakan insentif baru bagi perluasan industri dan perkebunan sawit. Guncangan harga sawit dunia selama dua tahun terakhir telah menjadikan momentum revaluasi investasi perkebunan yang menjadikan investasi perkebunan sawit menjadi mahal.

21. Sebagaimana dimaklumi perkebunan sawit adalah padat modal dibandingkan usaha pertanian lainya dan secara keseluruhan (kesatuan industri layak) memerlukan pengerahan investasi yang besar. Oleh karena itu sejak awal hubungan perbankan menonjol, termasuk ketika kita memperkenalkan PIR-BUN dan PIR-TRANS. Pada level industri perbankan dan industri pengolahan besar (milik negara maupun swasta), industri sawit adalah bagian dari investasi yang pembiayaanya telah memasuki pasar modal. Oleh karena itu kaitan industri sawit menjadi semakin terkait dengan perkembangan pasar keuangan domestic dan global melalui tingkat bunga, harga saham, nilai tukar dan ketersediaan dana murah. Hal ini akan menambah sensitivitas keputusan investasi di sector perkebunan yang mahal dan waktu menunggu sampai menghasilkan yang lebih lama.

22. Ke depan peranan penyediaan jasa fasilitasi investasi di sektor industri sawit akan semakin penting dan besar, padahal jasa ini tidak bias ditunggu tetapi harus ditumbuhkan. Di masa lalu jasa ini disediakan oleh Lembaga Keuangan Internasional yang mendukung Perbankan dan/atau Pemerintah, dengan semakin dilonggarkanya campur tangan pemerintah dalam proyek investasi maka jasa semacam ini akan diadakan melalui pasar. Sayang pada saat ini belum tersedia secara memadai analisis permintaan jasa oleh industri sawit dalam bentuk jasa keuangan dan jasa perusahaan. Pada tahun 2008 berdasarkan perkiraan sementara sumbangan Sector Jasa Keungan, Persewaan dan Jasa Perusahaan mencapai 7,40%, terdiri dari Bank 2,52%, Lembaga Keuangan Bukan Bank 0,83%, Jasa Penunjang Keuangan 0,06%, Real Estat 2,66% dan Jasa Perusahaan 1,33%. Data ini menunjukkan betapa semakin pentingnya komponen pendukung untuk mendorong penciptaan nilai tambah di berbagai sector riel.

MENATA INDUSTRI SAWIT YANG PARTISIPATIF DAN BERKELANJUTAN

23. Dengan komposisi penguasaan kebun yang hampir seimbang antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat (60:40) serta penguasaan industri pengolahan hanya pada industri besar, maka resiko gangguan produktivitas minyak sawit menjadi semakin besar, akibat disharmoni yang muncul antara tahap pemanenan dan pengolahan. Di samping secara potensial akan selalu muncul persoalan keadilan dalam system bagi hasil atau penetapan harga. Gangguan semacam ini akan semakin besar pengaruhnya terhadap produksi dan peningkatan daya saing kita, padahal sebagimana diuraikan di muka efisiensi industri sawit sangat ditentukan derajad integrasi dari Industri Perkebunan Sawit. Maka agenda terdepan penataan industri sawit adalah memecahkan ketimpangan penguasaan industri pengolahan.

24. Berbagai gagasan yang pernah dikembangkan dan diuji pada skala penelitian atau tahap pengembangan perlu dilanjutkan. Format pengembangan harus bertumpu pada fakta struktur penguasaan kebun yang kecil dan prinsip kelayakan harus tetap dikedepankan. Bentuk yang cocok adalah format pelibatan banyak pelaku dalam suatu investasi industri pengolahan. Pada masa lalu koperasi pernah dicoba dikedepankan, tetapi akhirnya hampir semuanya gagal, karena tidak kompatibel dengan struktur penguasaan kebun dan struktur pasar industri pengolahan yang terlanjur tidak tertata dengan baik. Persaingan tidak sehat dalam penetapan harga oleh industri pengolahan, kedudukan kebun rakyat dengan berbagai model kepemilikan, serta hubungan yang sangat longgar antara keputusan membuka kebun dengan keputusan mengembangkan industri oleh perusahaan di luar Industri Perkebunan Sawit Besar.

25. Model yang dapat dikembangkan adalah mengembangkan industri pengolahan buah sawit skala kecil yang dapt dimiliki oleh skala invidu maupun perusahaan dalam bentuk perseroan. Pengalaman industri penggilingan padi dapat menjadi referensi untuk mengembangkan industri pengolahan yang meningkat nilai tambah bagi perkebunan rakyat skala kecil, sehingga model industri keseluran akan mengandung corak partisipasi yang lebih besar. Dalam hal melibatkan banyak orang, peluang untuk memanfaatkan model perseroan dengan pemegang saham yang banyak sepanjang kurang dari 300 pemegang saham dapat dilakukan. Model ini merupakan bentuk pengembangan perusahaan koperatif yang sulit menggunakan mekanisme koperasi, karena kekakuan instrument pengaturan yang tidak berhasil mengedepankan insentif partisipasi modal dan pembagian resiko bisnis.

26. Pada skala regional untuk mengatasi eksploitasi akibat struktur pasar yang ada maka diperlukan instrument untuk pengenalan modalitas infrastruktur pasar seperti sarana lelang yang lebih terbuka bagi semua pelaku secara setara, tidak terbatas pada industri besar. Meskipun pekerjaan ini sulit, namun pemikiran ke arah itu perlu dipersiapkan. Karena semakin meluasnya industri sawit dengan corak penguasaan yang sangat dualistic sangat rentan terhadap ketimpangan.

27. Pada skala nasional pengembangan kebijakan untuk menjaga keseimbangan orientasi konsumsi domestic dan ekspor, kebijakan yang dikembangkan yang transparan dan ramah pasar. Hal ini penting mengingat kaitan antara industri sawit dengan pasar keuangan semakin tinggi. Selanjutnya pengembangan industri hilir yang mengembangkan produk derivative minyak sawit di luar untuk minyak goreng juga merupakan pilihan pengembangan dan telah menjadi bagian dari strategi pengembangan industri unggulan nasional.

PENUTUP

28. Industri sawit di Indonesia telah tumbuh pesat dan menyebar secara luas ke berbagai propinsi yang mampu membuka lapangan kerja di daearh, baik yang segera maupun jangka panjang. Peran perkebunan rakyat secara mengesankan juga telah tumbuh mengejar perkebunan besar, namun perkembangan ini tidak diikuti oleh penguasaan industri pengolahan. Padahal kesatuan industri bagi industri sawit merupakan kunci untuk efisiensi dan daya saing. Oleh karena itu pengembangan industri pengolahan yang lebih partisipatif oleh produsen bahan baku akan menjadi agenda penting dan perlu disertai dukungan fasilitasi investasi dan jasa perusahaan yang kuat. Sementara secara makro instrument kebijakan untuk menjaga keseimbangan orientasi konsumsi domestic dan ekspor perlu dikembangkan dengan pendekatan ramah pasar.
Semoga bermanfaat.
Disampaikan Oleh Dr. Noer Soetrisno pada Seminar Nasional Bertajuk: Kebangkitan Pertanian Menghadapi Krisis Global

Tidak ada komentar: