Kamis, 22 Januari 2009

Pembangunan Pedesaan, Pertanian,dan Ketahanan Pangan)*

Memperbincangkan pembangunan, khususnya di negara berkembang, tidak bisa lepas dari wilayah pedesaan. Sebabnya sederhana, sebagian besar penduduk di negara berkembang beiniukini di daerah pedesaan dan mayoritas bekerja di sektor pertanian. Di luar itu, wilayah pedesaan karena lokasinya yang jauh dari pusat kota/ pembangunan dicirikan oleh terbatasnya infrastruktur ekonomi, sedikitnya (Download dalam bentuk file, Click Here)kesempatan kerja di

luar pertanian (non-farm), dan jauh dari pasar (Yustika, 2003:27). Dengan kondisi tersebut, tidaklah mungkin menyelenggarakan pembangunan di negara berkembang tanpa melibatkan wilayah pedesaan.
Bahkan, pembangunan di negara berkembang hares melihat wilayah pedesaan dan sektor pertanian sebagai fokus dan target pembangunan. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan di negara berkembang bisa dilihat dari perkembangai, di wilayah pedesaan sendiri. Bila mayoritas penduduk di pedesaan bisa melakukan mobilitas sosial-ekonomi (pembangunan), maka bisa disimpulkan pembangunan di negara berkembang telah menjangkau sebagian besar warga negaranya; demikian sebaliknya.

Pembangunan Pedesaan dan Masalah Modal
Wilayah pedesaan di dunia ketiga biasanya dideskripsikall sebagai tempat bagi orang-orang untuk bekerja di sektor pertanian. Sementara itu dalam pengertian yang sempit, desa adalah suatu masyarakat pars petani yang mencukupi hidup sendiri (swasembada) [Boeke, 1983:16]. Dengan gambaran tersebut, adalah benar jika sebagian besar penduduk desa merupakan kelompok masyarakat miskin. Ciri penting dari penduduk di pedesaan ini adalah masalah kepemilikan tanah. Tanah masih merupakan dasar utama dari kesejahteraan dan kekuatan politik di wilayah dalam pertanian, dapat dilihat dari tingkat keterlibatan rumah tangga tersebut dalam aktivitas lain dan mengamati struktur pendapatan dari sumber-sumber yang lebih lugs. Beberapa penulis menggunakan istilah "household survival strategies" sebagai cara bagi penduduk desa untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul. Jumlah tenaga kerja yang tersedia akan berubah karena faktor kelahiran, kematian, perkawinan, sakit, kehamilan, dan migrasi. Begitulah gambaran umum tentang wilayah pedesaan dengan dinamika penduduknya (Dixon, 1990:1-2).

Dalam perspektif pembangunan, Boeke yang pernah melakukan penelitian di Hindia Belanda- menyimpulkan bahwa perekonomian di Indonesia (Hindia Belanda), Jaws khususnya, terbagi dalam dua sektor tradisional dan modern yang Baling tidak berhubungan. Untuk mengatasi ketidakseimbangan akibat perekonomian dualistik tersebut, menurut Boeke, sektor tradisional perlu dirangsang melalui insentif ekonomi dan peningkatan teknologi produksi, meskipun hasilnya tak akan segera tampak. Sebaliknya, Geertz menyatakan upaya perbaikan macam apapun tidak akan berhasil dilakukan. Menurut Scott, persoalan yang berlaku pada masyarakat pedesaan adalah rasionalitas social yang lebih mementingkan kebersamaan ketimbang persaingan. Prinsip moral lebih dominan daripada rasionalitas ekonomi sehingga pendekatan ekonomi akan sulit "bekerja" pada masyarakat desa. Penetrasi dari luar, baik menyangkut aspek kelembagaan maupun teknologi, malahan akan menimbulkan resistensi. Ketidakmampuan untuk menangkap kultur dan nilai-nilai masyarakat desa inilah yang membuat banyak kebijakan pembangunan pedesaan gagal diterapkan di lapangan (Marshus, 1995:20-21).
Ide dualisme ekonomi yang diinisiasi oleh Boeke tersebut pada akhirnya, diakui atau tidak, menjadi diskursus penting dalam proses pembangunan pedesaan di negara¬negara berkembang. Seperti yang telah disarikan oleh Ellis dan Biggs (2001:444; lihat juga Tabel 1), model dualisme ekonomi menjadi isu strategic pembangunan pedesaan di negara-negara berkembang pada tahun 1950-an. Pada face pertama ini, tujuan pembangunan pedesaan diarahkan dari semula pembangunan komunitas (tahun 1950-an) ke penekanan pertumbuhan usahatani kecil (small-farm) [tahun 1960-an]. Kedua, pertumbuhan usahatani kecil (tahun 1960-an) dilanjutkan kepada upaya pembangunan pedesaan yang terintegrasi (tahun 1960-an), diantaranya melalui kebijakan transfer teknologi, mekanisasi, dan penyuluhan pertanian. Ketiga, pergeseran pembangunan pedesaan yang dipandu negara (state-led) [tahun 1970-an] menuju liberalisasi pasar (tahun 1980-an) melalui kebijakan penyesuaian struktural dan pasar bebas. Keempat, pembangunan pedesaan diarahkan untuk penguatan pendekatan proses, partisipasi, pemberdayaan, dan pelaku (actor) [tahun 1980-an dan 1990-an]. Kelima, pentingnya penghidupan yang berkesinambungan sebagai sebuah kerangka kerja yang terintegrasi dalam pembangunan pedesaan (tahun 1990-an), diantaranya lewat, penguatan kredit mikro, faring pengaman pedesaan, dan peran perempuan dalam pembangunan. Keenam, menempatkan pembangunan pedesaan sebagai strategi untuk mengurangi kemiskinan (tahun 2000-an).
Dari fase-fase tersebut, bisa diidentifikasi bahwa proses komersialisasi sektor pedesaan (lebih tepat lagi sektor pertanian) sudah terjadi pada tahun 1960-an, melalui serangkaian kebijakan yang berupaya meningkatkan, pertumbuhan sektor pertanian, revolusi hijau, dan penciptaan petani yang rasional. Sungguh pun begitu, menurut Scott (1976:57), proses pertumbuhan pertanian komersial tersebut malah kian menjepit posisi petani dari beberapa cara, seperti: (i) kaum tani menjadi tidak terlindungi dari ketidakpastian baru yang disebabkan oleh ekonomi pasar yang memperbesar variasi penghasilannya; (ii) terjadinya erosi nilai-nilai yang hidup, di desa dan kekerabatan sebagai pemberi perlindungan dan memikul risiko secara bersama-sama; (iii) berbagai "katub pengaman" subsistensi tradisional atau pekerjaan tambahan untuk menyambung hidup menjadi berkurang atau hilang sama sekali; (iv) pemilik tanah yang sebelumnya memikul sebagian risiko pertanian dapat mengutip lebih banyak lagi dari petani lewat sews dan memungut bagian penghasilan penggarap; dan (v) negara sering menaikkan penerimaan pajak melalui pungutan dari kegiatan pertanian. Dengan deskripsi tersebut, kondisi penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan justru mengalami kemerosotan daya hidup secara terus-menerus karma tekanan dari dua ujung: kebijakan pemerintah yang semakin bias perkotaan dan tekarian pasar (yang dikuasai oleh pelaku ekonomi di sektor industri/jasa) yang kian deras.
Dengan demikian, setiap upaya komersialisasi pertanian tidak mesti akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani apabila sifat dari komersialisasi pasar meletakkan petani dalam posisi subordinat. Skenario seperti ini banyak dijumpai di negara berkembang, di mans setiap upaya modernisasi (komersialisasi) pertanian justru meletakkan petani dalam posisi yang selalu kalah. Keuntungan ekonomi pertanian lebih banyak jatuh pada pemilik modal atau kelas pedagang yang relatif memiliki posisi tawar lebih tinggi dibandingkan dengan petani. Posisi pemilik modal (tuan tanah, industri pengolahan, pedagang) yang relatif tinggi tersebut bukan cuma disebabkan oleh adanya penetrasi pasar, tetapi juga disumbangkan oleh karakteristik produk pertanian yang cepat rusak sehingga petani tidak mungkin menahan produk tersebut untuk sementara waktu demi mendongkrak harga. Persoalan ini sebenarnya bisa diatasi apabila terdapat fasilitas penyimpanan yang memungkinkan petani menimbun barang tanpa menimotlkan kerusakan, tetapi hal ini hampir mustahil bisa dilakukan karena, petani tidak memiliki modal untuk niernbeli fasilitas tersebut.
Jadi, dari penjelasan tersebut, salah satu persoalan paling rumit di wilayah pedesaan adalah penyediaan dan aksesibilitas modal. Keterbatasan modal menyebabkan sirkulasi kegiatan ekonomi tidak berjalan; sebaliknya, tanpa ada perputaran aktivitas ekonomi proses akumulasi kapital juga tidak bisa terjadi. Berbekal situasi yang seperti itu, para perumus kebijakan pembangunan pedesaan akhirnya meluncurkan program kredit mikro sebagai instrumen pengembangan kelembagaan sektor finansial di pedesaan, khususnya pada sejak tahun 1990-an. Berbagai macam kelembagaan sektor finansial, formal maupun semi-formal, didesain untuk menggerakkan kegiatan ekonomi di wilayah pedesaan, khususnya sektor pertanian dan usaha kecil (small firm). Strategi ini diadopsi oleh sebagian besar negara berkembang, seperti Bangladesh, Indonesia, India, Thailand, Malaysia, Pakistan, Nigeria, Zambia, dan lain-lain. Walaupun model dan prosedur lembaga keuangan tersebut berbeda-beda, namun semangatnya sama: menyediakan modal di wilayah pedesaan sebagai pemicu aktivitas ekonomi. Beberapa negara yang menerapkan lembaga keuangan (kredit mikro) tersebut dianggap telah berhasil, misalnya Bangladesh dengan Grameen Bank-nya, namun sebagian (besar) negara-negara lain ditengarai mengalami kegagalan akibat kemiskinan konsep berdasarkan karakteristik sosial/budaya/politik/ekonomi masyarakat pedesaan.

Sektor Pertanian Dan Persoalan Kelembagaan
Pembangunan sektor pertanian secara umum diarahkan untuk mengerjakan semua aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan produktivitas faktor-faktor yang dipakai dalam produksi pertanian dan sektor agribisnis yang berkaitan dengannya. Secara spesifik, produksi pertanian merupakan fungsi dari:panen (yield) X lahan yang ditanami (cultivated area) intensitas penanaman (cropping frequency). Faktor-faktor terbesar yang dapat meningkatkan produksi pertanian biasanya diidentifikasi dalam beberapa poin berikut (Zeller, 2002:60-61):
- Ekspansi lahan
- Ekspansi lahan irigasi dan perbaikan produktivitas air
- Introduksi varietas unggul
- Peningkatan frekuensi penanaman
- Introduksi teknologi untuk pengolahan lahan dan panen
- Aplikasi pupuk dan pestisida
- Pengurangan kehilangan paska-panen melalui program perbaikan penyimpanan, pengolahan, dan teknik pemasaran
- Intensifikasi program integrasi sistem peternakan-tanaman

Dalam konteks Indonesia, peningkatan produktivitas dan kesejahteraan pelaku ekonomi di sektor pertanian tersebut tidak mudah dilakukan karena terdapat dua masalah dasar yang sampai kini belum ada kebijakan yang serius untuk memecahkannya. Pertama, rumah tangga pertanian di Indonesia, khususnya di Jawa, hanya menguasai lahan rata-rata 0,25 hektar saja hingga sangat sulit untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi. Dengan kondisi semacam itu, sangat sulit untuk mengembangkan sektor pertanian di Indonesia (atau lebih luas lagi sektor pedesaan pada umumnya) karena keadaannya yang serba subsisten. Dalam kategori seperti ini setiap kebijakan di sektor pertanian pertama-tama harus bersinggungan dengan perbaikan "kondisi dasar" dari petani, sebelum menyentuh kebijakan-kebijakan Yang bersifat lanjutan. Kondisi dasar di sini adalah fakta yang berkaitan dengan keberadaan petani yang memiliki lahan sangat sempit sehingga tidak memungkinkan bisa melakukan kegiatan produksi secara komersial. Hasil penelitian Departemen Pertanian tahun 2000 menunjukkan bahwa 88 persen rumah tangga petani hanya menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 hektar (Kompas, 21/5/2002).
Kedua, menyingkirkan kondisi-kondisi yang menyebabkan sektor pertanian (petani) selama ini sebagai pihak yang selalu kalah dan tersingkirkan. Deere dan Janvry (dalam Ellis, 1988:55-56) setidaknya mengidentifikasi tujuh mekanisme yang membuat petani terjerembab secara mengenaskan, yakni: (i) rent in labour services, di mana hal ini menggambarkan adanya kesulitan petani untuk mendapatkan akses terhadap jasa tenaga kerja; (ii) rent in kind, misalnya sews bagi hasil (share cropping) yang dalam praktiknya menunjukkan kedaulatan tuan tanah (landlord) dalam memutuskan porsi bagi hasil; (iii) rent in cash, di mana petani harus menyewa secara tunai untuk mendapatkan akses mengolah lahan; (iv) appropriation ofsurplus value via the wage, di mana terdapat pengambilan surplus atas produksi dengan jalan pemberian upah sangat kecil; (v) appropriation via prices, di mana petani dirugikan akibat harga output yang anjlok dipasaran atau harga input yang membumbung, atau akibat keduanya sekaligus; (vi) appropriation via usury, di mana pendapatan petani direnggus akibat tingkat suku bunga pinjaman yang lebih besar dari harga pasar nasional maupun internasional; dan (vii) peasant taxation, di mana negara biasanya memajaki secara tidak langsung terhadap produk pertanian. Pajak ekspor untuk komoditi pertanian, misalnya, merupakan mekanisme umum yang menyebabkan terjadinya transfer pendapatan dari petani ke negara.

Jika dilihat secara lebih mendalam, tiga masalah peminggiran pertama petani itu ditempuh lewat mekanisme sewa, kemudian tiga berikutnya melalui pasar, dan satu yang terakhir karena faktor negara. Ketujuh mekanisme tersebut hampir seluruhnya bisa dijumpai dalam realitas pertanian di Indonesia, sehingga agenda mendesak sebelum membicarakan tentang transformasi sektor pertanian adalah menyelesaikan problem mendasar tersebut. Problem tersebut tidak lain adalah masalah kelembagaan (aturan main), baik pada level kebijakan (institutional environment) maupun kesepakatan antarpelakunya (institutional arrangement). Williamson (dalam Tian, 2001:387; Kherallah and Kirstcn, 2001:4) mendeskripsikan institutional environment sebagai seperangkat struktur aturan politik, sosial, dan legal yang memapankan kegiatan produksi, pertukaran, dan distribusi. Sebaliknya, level m'alisis mikro berkutat dengan masalah tata kelola kelembagaan (institutions of governance). Singkatnya, institutional arrangement merupakan kesepakatan antara unit ekonomi untuk mengelola dan mencari jalan agar hubungan antarunit tersebut bisa berlangsung, baik lewat cara kerjasama maupun kompetisi. SebuLh kesepakatan kepemlikan merupakan institutional arrangement, karena di dalamnya mengalokasikan hak-hak kepemilikan kepada individu, kelompok, atau pemerintah.

Dari beberapa kasus di sektor pertanian, persoalan kelembagaan (institutions) yang mengemuka biasanya bisa dilokalisir menjadi empat masalah kelembagaan berikut. Pertama, tidak ada kesetaraan kekuatan antarpelaku ekonomi di sektor pertanian (misalnya antara petani dengan tengkulak atau lembaga pemberi kredit lainnya). Kedua, pemanfaatan asosiasi petani untuk tujuan-tujuan yang bersifat elitis (kasus APTR dalam industri gala). Ketiga, interaksi yang asimetris antara principal dan agent untuk membuat kesepakatan ikatan kerja (seperti kontrak antara petani tebu dan pabrik gula). Keempat, ketimpangan kekuatan dalam mendesakkan dan mempengaruhi kebijakan publik (kasus pajak dan subsidi untuk sektor industri dan pertanian). Keempat persoalan tersebut adalah fenomena kelembagaan yang terjadi di sektor pertanian, yang pada akhirnya meletakkan pelaku ekonomi (baca: petani) selalu dalarn posisi sebagai pecundang (the losers). Tanga ads strategi kelembagaan untuk mengatasi persoalan tersebut, transformasi sektor pertanian akan lebih banyak dinikinati oleh pelaku sektor pertanian pada level hilir, sementara petaninya sendiri tetap miskin dan susbisten.
Secara teroritis, akibat karakteristik pasar (input dan output) sektor pertanian yang tidak sempurna, diperlukan intervensi pemerintah agar sektor tersebut bisa berkembang dan menguntungkan bagi setiap pelakunya, khususnya petani. Secara umum, kebijakan pembanguan pertanian dapat dibedakan dalarn tiga klasifikasi (Schickele; dalam Jatileksono, 1996:8). Pertama, program-program yang ditujukan untuk memperbaiki alokasi sumberdaya sehingga produktivitas tanah meningkat, antara lain berupa penyediaan kredit produksi, konservasi lahan, pengelolaan hutan, pembangunan irigasi, pewilayahan pedesaan, dan program perencanaan tats guns tanah pertanian. Kedua, kebijakan harga produk pertanian, antara lain berupa penetapan harga pembelian produk oleh pemerintah (support price), program pengendalian produksi, pembelian surplus produk, pemberian subside ekspor, pembayaran defisiensi harga, penerapan tarif dan kuota impor, perencanaan konsumsi dan penggunaan surplus produk yang dihasilkan. Ketiga, program-program yang dipersiapkan untuk memperbaiki distribusi pendapatan, seperti pemberian tanah secara gratis kepada pars petani, pengembangan koperasi petani, pelayanan jasa konsultasi dan supervise kredit, program perb,ilkan penyakapan tanah, Berta penyediaan dana untuk pemilikan, perluasan, dan rchabilluisl tanah pertanian.
Masalahnya adalah, desain lembaga keuangan di sektor pertanian selama ini cenderung menempatkan petani dalarri posisi subordinat, baik akibat informasi yang asimetris (asymmetric information) ma-apun posisi tawar yang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Yustika (2005:104) menunjukkan bahwa petani tebu dibebani dengan biaya transaksi yang besar pada saat memperoleh kredit dari skema bantuan pemerintah. Dalam kasus petani tebu di Jawa Timur, misalnya, kredit yang diberikan oleh pemerintah sebetulnya hanya berbunga 12%, tetapi koperasi mengenakan kredit sebesar antara 16-20% (selisih bungs kredit itu tidak lain adal biaya transaksi). Demikian pula, waktu pengueuran kredit itu biasanya terlambat dua bulan dari perjanjian sehingga mengakibatkan petani tidak bisa membeli pupuk dan berakibat kepada penurunan produktivitas tebu. Nilai penurunar. produktivitas inilah yang bisa dianggap sebagai biaya transaksi akibat keterlambatan pengucuran kredit. Jika ditambah dengan ongkos oportunitas (opportunity costs) yang hilang dalam pengurusan kredit, maka total biaya pengurusan kredit (bunga/selisih bunga, waktu yang hilang, dan keterlambatan pengucuran) menyumbang sekitar 20% dari seluruh total biaya transaksi petani tebu di Jawa Timur. Tentu saja, desain kelembagaan (aturan main) seperti itu tidak bisa dipertahankan bila hendak memperbaiki posisi petani dalam mengakses modal.

Penguatan Ketahanan Pangan
Isu pangan sangat serius di Indonesia karena proporsi pendapatan rumah tangga yang dibelanjakan untuk pangan pada dekade 1980-an mencapai 70% dan sekarang sudah menurun menjadi 50%. Walaupun penurunan ini cukup berarti, tapi secara urmun masih cukup besar karena separuh pendapatan habis digunakan untuk konsumsi pangan. Ini tentu berbeda dengan, misalnya, AS yang warga negaranya pada 2003 hanya membelanjakan sekitar 10% pendapatan riilnya (disposable income) untuk konsumsi pangan (food). Angka ini merupakan yang terendah di AS sejak 1929, apalagi jika dibandingkan dengan puncaknya pada 1933 yang mencapai 25,2%. Secara keseluruhan sejak tahun-tahun itu sampai kini persentase pendapatan yang dibelanjakan untuk konsumsi pangan di AS terns merosot. Jadi, mestinya antara Indonesia dan AS desain kebijakan pang,mnya berbeda sebab karakteristik pola pengeluaran pendapatan penduduknya sangat berlainan.
Menariknya, dalam situasi seperti itu pemerintah AS tetap memberlakukan kebijakan pangan murah (cheap food) meskipun proporsi pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan tidak besar. Di sini, yang dimaksud dengan kebijakan pangan murah adalah upaya menurunkan harga pangan di bawah harga keseimbangan kompetitif. Di AS, kebijakan tersebut memproduksi banyak perdebatan karena dianggap menimbulkan efek negatit', di antaranya meningkatkan penderita obesitas. Pada 1971 jumlah penderita obesitas mencapai 14,61% dan pada 2002 telah melonjak menjadi 31.3% (Miller dan Coble, 2007). Hasil studi yang sama juga menunjukkan kebijakan subsidi langsung di AS terhadap pangan (sehingga menjadi murah) tidak lantas memerbaiki keter angkauan warganya terhadap pangan tersebut, baik pada kelompok pangan secara keseluruhan maupun komoditas pangan yang spesifik. Walaupun begitu, hingga kini secara umum pemerintah AS masih memberikan proteksi terhadap pangan.
Jadi, mengacu pengalaman AS, kebijakan pangan murah an sick, tanpa diimbangi dengan kebijakan lainnya (seperti penguatan daya beli masyarakat dan distribusi yang Hgus) ddak menjamin setiap warga negara dapat mengakses pangan. Lebih dari itu, kebijakan pangan murah di negara berkembang, seperti di Indonesia, selalu bertendensi subsidi kepada kelompok kaya yang tinggal di perkotaan (urban bias) sehingga menindih petani (orang desa) dalam dua hentakan sekaligus. Pertama, petani dirugikan karena insentif laba menjadi sangat kecil akibat kebijakan pangan murah. Kedua, petani harus membayar harga yang mahal untuk membeli komoditas nonpertanian karena pemerintah menyerahkan mekanisme penentuan harga berdasarkan mekanisme pasar. Sungguh tidak sulit untuk memahami perkara sederhana ini, namun dalam sejarahnya sukar untuk mengimplementasikan pondasi kebijakan ini karena, kuatnya aspek politik yang bermain dalam arena pengambilan keputusan.
Lebih lanjut, proteksi terhadap komoditas pangan (atau sektor pertanian secara umum) sebetulnya sebagian dipicu oleh ketakutan kelangkaan yang bakal terjadi jika sektor tersebut berjalan tanpa kawalan. Dengan jiwa itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan perlindungan terhadap sektor pertanian sebagai antisipasi atas kemungkinan kelangkaan. Paarlberg (1982) mendeskripsikan sindrom kelangkaan (scarcity syndrome) sebagai kritik atas tiga bentuk kebijakan pemerintah untuk menjaga harga komoditas pangan tetap rendah, yakni embargo perdagangan (trade embargoes), kontrol harga langsung (direct price controls), dan manajemen persediaan (management of stocks). Menurut Paarlberg, sekurangnya muncul empat konsekuensi dari kebijakan pangan murah yang diterapkan oleh AS: (i) rendahnya harga dan pendapatan petani akibat disinsentif produksi; (ii) mengurangi penerimaan ekpsor; (iii) kehilangan pasar ekspor; dan (iv) merusak reputasi AS dalam perdagangan global.
Pertanyaannya, bagaimana sikap yang harus diambil Indonesia untuk meiiciptakaii kedaulatan pangan'? Apakah Indonesia harus mengambil pola kebijakan yang sama dengan AS (seperti diuraikan di depan), ataukah mendesain kebijakan yang sama sekah lain'? Tampaknya, kebijakan harga pangan murah juga bukan solusi yang baik, bagi Indonesia karena menjadikan petani sebagai korban (victim of development). Namun, meniadakan sama sekali k,;bljakan tersebut juga bermasalah karena proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap pangan masih cukup besar (50%) dan pendapatan per kapita penduduk rendah pula. Di sinilah diperlukan kebijakan ganda (dual policies)
sebagai jalan kompromi untuk menyatukan dug kepentingan tersebut. Pertama, subsidi harga produk dihilangkan (khususnya dalam jangka menengah/panjang) untuk diganti subsidi input (bibit, pupuk, penyuluhan, irigasi, dan lain-lain). Kedua, stabilitas pasar harus dibangun untuk menjamin kepastian bagi konsumen komoditas pangan.
Khusus untuk kebijakan stabilitas pasar (market stability) dapat dicapai melalui perubahan struktural sehingga mampu memerbaiki sektor pertanian dengan cara: (i) peningkatan diversifikasi konsumsi pangan sehingga ticlak terkonsentrasi pada komoditas tertentu (misalnya beras); (ii) penyebaran surplus komoditas pangan ke tempat lain yang mengalami defisit; dan (iii) interaksi strategic antara sektor publik dan swasta untuk n,e-icegah instabilitas pasar dan krisis pangan. Secara spesifik, goal diversifikasi konsumsi pangan memang penting karena mempermudah proses penguatan kedaulatan pangan. Pengalaman di Afrika Timur dan Selatan juga menunjukkan hal itu, di mans ketergantungan konsumsi yang sangat besar terhadap jagung (dan beras) membuat kedaulatan pangan di sana menjadi rapuh (Jayne, et. al, 2006). Jadi, pemerintah harus merintis program diversifikasi pangan mulai sekarang juga. Dengan jalan inilah kedaulatan pangan bisa terwujud clan bukan sebatas sebagai retorika politik.

Selain dua hal khusus tersebut, memang banyak jalan keluar yang bisa dilakukan oleh pemerintah, namun salah satu yang dapat diupayakan saat ini adalah dengan melakukan proses transformasi sektor pertanian secara utuh. Proses transformasi itu sendiri bisa diletakkan dalam tiga level. Pertama, pemerintah menyediakan dan memperbaiki infrastruktur dasar yang diperlukan bagi pembangunan pertanian, misalnya pengadaan jalan, jembatan, sistem irigasi, penelitian dan pengembangan, penyuluhan, dan (tentu saja) reformasi tanah. Kedua, memperkuat pasar sebagai media yang akan mempertemukan transaksi antara sektor hulu dan hilir di sektor pertanian. Pada level ini setidaknya terhadap tiga pekerjaan yang harus dilakukan oleh pemerintah, yakni mendesain sistem kuangan yang sesuai dengan kebutuhan pelaku di sektor pertanian (musimam), sistem pasokan input, dan pasar output lokal. Ketiga, menggandeng pelaku ekonomi swasta (private sector) untuk mengeksekusi kegiatan lanjutan di sektor pertanian, khususnya pemasaran dan pengolahan komoditas pertanian, sehingga memiliki keterkaitan dengan sektor non-pertanian

Sedangkan dalam pendekatan ekonomi kelembagaan, secara umum ada dua poros strategi kelembagaan yang bisa diupayakan untuk memajukan sektor pertanian (sekaligus menjadi alas program revitalisasi sektor pertanian). Pertama, kebijakan tidak langsung (indirect policies) dengan jalan membenahi infrastruktur sektor pertanian yang tidak laik. Pengertian infrastruktur yang tidak layak di sini adalah situasi ketidaksepadanan antarpelaku ekonomi, baik oleh karena kemampuan nilai tawar yang berbeda maupun kepemilikan aset produktif yang tidak proporsional. Dengan begitu, beberapa agenda jalur politik yang dapat dikerjakan adalah: (a) menerbitkan statuta hubungan antarpelaku ekonomi yang lebih menjanjikan kesetaraan (misalnya kasus petani penggarap dan tuan tanah dalam hubungan sharecropping, dan relasi peternak susu-tengkulak-pemilik toko); (b) menata kembali kepemilikan aset produktif yang sudah sangat timpang, yakni lewat kebijakan land reform (Pendekatan reformasi tanah ini memang kelihatannya sulit ditempuh karena adanya hambatan psikologis dan politis. Walaupun kesan itu tidak bisa dipungkiri, tetapi ada baiknya mulai dibicarakan dan dihitung untung ruginya jika dibandingkan dengan mengeluarkan kebijakan lainnya. Beberapa pengalaman negara lain yang pernah melakukannya terbukti dapat mengatasi persoalan kepemilikan lahan tersebut. ri Jepang, misalnya, reformasi tanah sudah dilakukan seusai Perang Dunia 11 dan berhasil memengaruhi pemerataan pendapatan. Program reformasi tanah di Jepang ini berhasil karena terdapat dua titik temu, disatu sisi rakyat menuntut dengan kuat dan di sisi lain pemerintah mempunyai kemauan politik yang tidak kalah kukuh. Lihat Yujiro Hayami, Develoment Economics: From the Poverty to the Wealth of Nations, Clarendon Press, Oxford, 1997, hal. 175) dan (c) transparansi dalam pengambilan kebijakan sehingga tidak terbuka kesempatan bagi pemilik modal (pelaku ekonomi skala besar) menelikung kebijakan yang hendak dirumuskan oleh pomerint& Melalui upa.va inaya inilah diharapkan pencapaian pertumbuhan sektor pertanian ekonomi lebih dapat diprediksi dan kesejahteraan pelaku ekonomi di sektor hulu lebih bisa dipastikan.
Kedua, kebijakan langsung (direct policies) yang mengaitkan kelembagaan dengan strategi pembangunan pertanian. Dalam praktik kebijakan ekonomi, yang bisa memengaruhi kualitas pertumbuhan ekonomi dan distribusi (pendapatan) adalah jenis kelembagaan dan kebijakan (ekonomi). Berbeda dengan pendekatan neoklasik, yang menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan akan mengalir dengan sendirinya melalui jalur pasar (market mechanism), maka pendekatan kelembagaan beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi dan distribusi tidak bisa diserahkan kepada pasar. Dua negara, misalnya, mungkin memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang sama, tapi bisa dipastikan akan memiliki dampak distribusi pendapatan yang berlainan bila kelembagaan dan kebijakan yang dipilih berbeda. Dalam kasus ini, pilihan kebijakan ekonomi semacam perdagangan internasional (pengenaan tarif untuk produk pertanian), fleksibilitas nilai tukar (disesuaikan dengan daya saing produksi nasional), penciptaan lapangan kerja (lewat public expenditure), pajak progresif, dan sistem pengupahan yang adil di sector pertanian (Deolalikar, et. al, 2002:7); akan menjamin bahwa setiap tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai akan lebih banyak dinikmati oleh kelompok miskin (pro poorgrowth) di sektor pertanian.

Daftar Pustaka

Boeke, J.H. 1983. Prakapitalisme di Asia. Sinar Harapan. Jakarta

Deolalikar, et. al. 2002. Poverty Reduction and the Role of Institutions in Developing Countries. ERD Working Paper. No. 10. Asian Development Bank

Dixon, Chris. 1990. Rural Development in the Third World. Routledge. London

Dorward, Andrew, et, al, 2004. A Policy Agenda for Pro-Poor Agricultural Growth, World Development. Vol. 32, No. 1

Ellis, Frank dan Stephen Biggs. 2001. Evolving Themes in Rural Development 1950s
2000s. Development Policy Review, Vol. 19, No. 4: 437-448
. 1988. Peasant Economics Farm Households and Agrarian Development. Cambridge University Press

Hayami, Yujiro Hayami. 1997. Development Economics: From the Poverty to the Wealth of Nations. Clarendon Press. Oxford

Jatileksono, Tumari. 1996. Pasar Terkelola dalam Sektor Pertanian: Isu Teoritis dan Hasil Sludi Empiric. Makalah disampaikan dalam Kongres ISEI XIII, 10¬12 Oktober 1996. Medan. Tidak dipublikasikan

Kherallah, Mylene and Johann Kirsten. (2001). The New Institutional Economics: Application for Agricultural Policy Research in Developing Countries. MSSD Discussion Paper. No. 41. June. IFPRI. Washington DC

Kompas, 21 Mei 2002

Marshus Bun-Y anin. 1995. Industri PAdesaan Menghindari Perangkap Involusi dan Stagnasi Pendapatan. Prisma. No. 8, Tahun XXIV

Miller, J. Corey and Keith H. Coble. 2007. Cheap Food Policy: Fact or Rhetoric?. Food Policy. Vol. 32. 2007: 98-111

Scott, James C. 1976. The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. Yale University Press. USA

Tian, Guoqiang. (2001). A Theory of Ownership Arrangements and Smooth T it'!!! ~rs I I ~10 to a Free Market Economy. Journal of Institutional and Theoretical Economics. Vo. 157. No. 3 September: 380-412

Yustika, Ahmad Erani. 2003. Economic Analysis of Small Farm Households. Brawijaya University Press. Malang

_________2005. Transaction Cost Economics of the Sugar Industry in Indonesia. Wissenschaftsverlag Vauk Kiel KG. Germany

Zeller, Manfred. 2002. Socioeconomics of Rural Development. Institute of Rural Development. University of Gottingen. Germany

)* Disampaikan Oleh Ahmad Erani Yustika, Ph.D pada Seminar Nasional Bertajuk Kebangkitan Pertanian Menghadapi Krisis Global di Unej

Tidak ada komentar: