Globalisasi bagi kalangan perguruan tinggi, dianggap sebagai fenomena “baru” yang sangat menarik untuk dicermati., karena dewasa ini terlihat dengan jelas berlangsungnya proses transformasi global (D. Held dkk.,1999) yang makin nyata dalam bidang politik, tatanan territorial kenegaraan, budaya dan ekonomi. Karakteristik fenomena globalisasi menurut Savage (1996) ditandai dengan lahirnya Manajemen Generasi Kelima (The 5th Generation Management) akibat pemunculan information
superhighway dan digital economy. Manajemen generasi kelima ditandai oleh beberapa hal. Yang paling menonjol adalah pentingnya membangun daya saing melalui knowledge creating organization and knowledge network sebagaimana diungkapkan oleh Nonaka dan Takeuchi (1996).
Intinya adalah bahwa daya saing sebuah badan usaha sangat ditentukan oleh bagaimana organisasi itu dapat menfransformasikan data untuk dianalisa sehingga menjadi informasi, dan data informasi diberi penilaian (judgment) hingga menjadi ide, lalu ide tersebut diberi konteks, sehingga menjadi pengatehuan (knowledge). Dari pengetahuan inilah daya saing organisasi dapat diwujudkan. Pada akhirnya, barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perusahaan yang unggul akan bertumpu pada strategi yang berbasis sumberdaya (Resources-Based) dan knowledge.
Pendekatan Resources-Based selalu berupaya meletakkan jargon bersaing utmanya pada bagaimana menciptakan inovasi masa depan melalui sumberdaya yang dimiliki oleh organisasi untuk dapat ditingkatkan kapabilitasnya dalam bersaing melalui pemilihan kompetensi inti (distinctive competence) sehingga dapat diciptakan strategi hambatan buat para pesaing berupa kesulitan untuk ditiru (barriers to imitation).
Resources-Based Strategy (RBS) merupakan pemikiran C.K. Prahalad serta para penggagas paradigma learning dan learning organization lainnya. Menurut Azua dan Azua (1988), tiga aspek utama yang menjadi perhatian RBS adalah (1) Aspek Sumberdaya, (2) Aspek Faktor Keberhasilan, dan (3) Aspek Proses Belajar. Sementara menurut Grant, tiga aspek utama tersebut terdiri dari (1) Aspek Manusia, (2) Aspek Teknologi, dan (3) Aspek Infrastruktur.
Salah satu faktor mempengaruhi timbulnya perdagangan nasional adalah perbedaan potensi sumberdaya pada setiap negara. Indonesia sampai saat ini masih kaya dengan aneka ragam sumberdaya (secara kuantitas) baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya Peluang ekspor masih sangat terbuka, hal ini dapat kita lihat sampai dengan tahun 2000 saja nilai investasi PMDN sebesar Rp 212.000 M sedang PMA sebesar Rp 423.000 M, padahal tahun 1999 nilai investasi PMDN sebesar Rp 54.050 M sedang PMA sebesar Rp 375.100 M. (BKPM,1999). Sayang peningkatan investasi ini belum diimbangi dengan sistem proteksi sumberdaya alam, misalnya proteksi sumberdaya hutan. Kasus illegal logging menunjukkan wajah buram bagi perekonomian kita. Apakah kinerja sumberdaya untuk ekspor kayu olahan belum sepenuhnya dioptimalkan?. Pertanyaan tunggal ini bias jadi menjadi masalah nasional tentang kinerja subsektior agribisnis lainnya.
Pembahasan topik Resource-Based sebagai pendekatan dalam perdagangan internasional, khususnya bagi Indonesia dapat kita awali dengan mengamati perkembangan nilai pertumbuhan agribisnis untuk produk domestik bruto dan nilai pertumbuhan nilai investasinya, (lihat Tabel 1.):
Berdasarkan data pada tebel 1, ditinjau dari produk domestic bruto (PDB), bahwa sector pertanian, peternakan, kehutanan, perkebunan dan perikanan (disebut sektor primer), dan sektor Listrik, Gas dan Air Minum (termasuk kelompok sektor tersier) merupakan sektor yang paling potensial untuk dikembangkan. Disamping itu ternyata sector pertanian masih menyumbang nilai investasi dengan peringkat ke 2 untuk PMDN dan peringkat ke 3 untuk PMA (lihat table 2). Hal ini menunjukkan bahwa iklim investasi di Indonesia di dominasi oleh peranan resources-based agribisnis.
Kajian lain pendekatan resource-based adalah kinerja sumberdaya. Menurut Grant aspek sumberdaya ada 2 yaitu
1. Sumberdaya tangible
• Staff
• Palanggan
• Kapasitas
• Finansial
• Produk
2. Sumberdaya intangible
• Ketrampilan staff
• Kualitas pelanggan
• Efisiensi biaya produk
• Kualitas produk
3. Sumberdaya very tangible
• Moral para staff
• Reputasi dimata pelanggan
• Reputasi dimata investor
Sumberdaya intangible khususnya menjadi sangat mahal karena menyangkut penguasaan ilmu pengetahuan, proses pembelajaran kolektif dan reputasi. Sumberdaya intangible ini sama pentingnya dengan sumberdaya tangible, walaupun dalam beberapa situasi bisa terjadi sumberdaya intangible lebih menonjol.
2. KONSEP MENATA ULANG STRATEGI PEMASARAN INTERNASIONAL INDONESIA MELALUI PENDEKATAN RESOURCE BASED-STRATEGY
Dengan melihat gambaran kinerja ekspor dan melemahnya daya saing Indonesia di pentas mancanegara , semkin kuatlah alsan kita untuk mengkaji ulang berbagai segi dengan Pemasaran Internasional dan Global .
Sebagai langkah pertama kita perlu memahami lebih dalam menganai Visi, Misi, Kebijakan dan Strategi Pemerintah serta Strategic Routing dalam kaitannya dengan perdagangan Internasional .
Sejalan dengan otonomi daerah yang digairahkan, pemerintah memiliki Visi yang menginginkan agar Indonesia menjadi negara Industri baru yang sejajar dengan bangsa lain di kawasan Asia Pasific. Sementara Misi yang diemban sektor industri dan perdagangan adalah sebagai penggerak utama dan pendobrak hambatan perdagangan luar negri dengan memenuhi aturan main tata perdagangandunia dibawah koordinasi WTO, serta mengamankan kebijakan industri dan perdagangan Internasional melalui penataan ulang strategi pemasran Internasional dan diplomasi perdagangan yang unggul.
Bila kita cermati Visi dan Misi tersebut belum tergambar secara jelas Visi dan Misi yang mengedepankan Indonesia menjadi negara industri baru dan bangsa niaga yang berbasis pada sumber daya.
Penataan pada Visi, Misi Strategi dan Orientasi Pemasaran yang baru mengacu pada Visi Indonesia 2010,Indonesia menjadi pelaku Pemasaran Global berbasis pada Sumber Daya dan Kompetensi Inti.
Tata ulang dengan konsep baru, pendayagunaan sumber daya (Resaurces Based Approach) dan sekaligus juga membangun mental model dan system thinking berbasis dan berbangsa tangguh melalui semangat kompetensi dan kooperasi intra dan antar organisasi industri melalui jaringan yang kokoh dalam pemsaran dan perdagangan yang berbasis pada knowledge dan Skill. Strategi yang baru bukan hanya ditekankan pada pemanfaatan sumber daya alam semesta, tetapi merupakan pengintegrasian antara sumber daya yang sifatnya Tangible,Intangible, dan Human Resources dalam semangat Cilective learning.
Menegakkan semangat Collective Learning ini perlu dimulai dari tingkatan makro (pemerintah) sebagai inisiator,change creator maupun fasiliator.
Berkaitan dengan sumberdaya yang bisa dilakukan dengan menelusuri tiga macam
Strategic Resources:
1. Tangible Resources, meliputi karyawan, SDM, pelanggan, kapasitas, dana dan produk.
2. Intangible Resources, meliputi keterampilan karyawan, mutu pelanggan, efsiansi biaya produksi , mutu produk .
3. Very Intangible (Indirect) Resouces, meliputi moral karyawan reputasi dimata pelanggan, reputasi dimata investor
Untuk aspek Very Intangible (Indirect) Resouces, yaitu pembenahan dan pemulihan reputasi Indonesia dimata rakyat Indonesia sendiri dan dimata dunia memerlukan upaya dan kampanye khusus untuk mengharumkan kembali nama Indonesia.
Secara konkrit dan koperhensip, perlu diurai dan dilihat kembali mengenai 5 faktor daya saing ekonomi regional, yaitu: 1) Pengetahuan, 2) Kohesi social, 3) Infrastruktur, 4) Konektivitas, dan 5) Produktivitas.
Kesemua faktor pendorong daya saing tersebut diatas mengarah pada proses pengelompokan Manajemen Berbasis Pengetahuan (Knowledge Management Cluser).
Sekedar contoh misalnya di ambil datu faktor yaitu konektivitas internal dan eksternal. Bila kita mau jujur, sebenarnya kita belum atau mungkin sudah tapi belum optimal melakukan upaya-upaya menjalin konektivitas internal ini, misalnya kawasan industri denga perusahaan dan instansi terkait, perguruan tinggi, hingga pemanfaatan masyarakat sekitar. Selain itu konektivitas ekstern misalnya kawasan industri dengan kawasan lain baik di dalam dan luar negeri. Untuk itu perlu di bentuk kelompok, jaringan kemitraan, dan bila sudah terbentuk berarti lebih pada mengoptimalkan perannya.
Model lain yang bisa kita lakukan berkaitan dengan kompetensi inti ini adalah model satu daerah satu kompetensi. Model ini sejalan kebijakan pemerintah untuk memberdayakan para pelaku ekonomi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Tiap daerah diharapkan mempunyai satu kompetensi. Model ini diharapkan bisa menggali keampuhan atau kekuatan andalan yang dimiliki daerah (misalnya : Kabupeten) di Indonesia untuk membangun kompetensi inti agar bisa bersaing di pasar global. Kekuatan konsep ini terletak pada “Strategc Routing” untuk membangun Economic Competitive Landscape.
3. KESIMPULAN
1. Berdasarkan fakta bahwa pendekatan resourced-based untuk agribisnis menempati rating unggul di Indonesia baik ditinjau dari produk domestiik bruto maupun investasi
2. Pendekatan resurced-besed merupakan pelengkap bagi pendekatan market-based, karena menyangkut pemberdayaan sumberdaya manusia yang berilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Indonesia adalah negara yang mempunyai sumber daya unggulan yang merupakan asset yang tangible sifatnya yang bisa digunakan sebagai cikal bakal untuk mewujudkan Strategi Pemasaran dengan menggunakan Resources Based Approach. Keunggulan asset yang tangible harus dipadukan dengan asset yang intangible, seperti teknologi, kultur dan reputasi, serta sumber daya manusia dengan superioritas Skill dan Knowledge. Hanya dengan perpaduan ketiganya melalui Collective Learning akan dapat di ciptakan suatu kompetensi inti pada tingkat makro (negara) maupun mikro (badan usaha) dalam rangka membangun Strategc Routing berdasarkan kompetensi inti yang diciptakan.
4. Sejalan dengan semangat otonomi daerah di mana pengembangan daya saing perlu di mulai dari daerah, maka konsep pengembangan satu daerah satu kompetensi. Konsep ini intinya mempersiapkan infrastruktur yang kuat, daya kohesi dan interkonektivitas antar daerah (misalnya tingkat kabupaten). Dengan demikian dapat di mulai pemetaan kompetensi-kompetensi daerah yang semuanya di bangun sebagai dasar untuk membentuk Colletctive Learning antar daerah. Hal ini juga bisa ditujukan untuk menghilangkan semangat kedaerahan yang hanya memperebutkan wilayah yang memiliki sumber daya alam, bahkan dapat meniadakan keinginan untuk memisahkan diri dari Indonesia, karena masih banyak produk unggulan yang dapat dikaitkan dengan keunggulan yang berbasis Knowledge. Tentu saja dalam tataran praktek di perlukan adanya kebersamaan, komitmen dan kemauan dari semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Subnash C. Jain, Manajemen Pemasaran Internasional, ed V, Jilid 1, The University of Connecticur, Erlangga, 2001
2. Martani Huseini, Mencermati Misteri Globalisasi : Menata Ulang Strategi Pemasaran Internasional Indonesia Melalui Pendekatan Resource-Based, Usahawan, 2000
Intinya adalah bahwa daya saing sebuah badan usaha sangat ditentukan oleh bagaimana organisasi itu dapat menfransformasikan data untuk dianalisa sehingga menjadi informasi, dan data informasi diberi penilaian (judgment) hingga menjadi ide, lalu ide tersebut diberi konteks, sehingga menjadi pengatehuan (knowledge). Dari pengetahuan inilah daya saing organisasi dapat diwujudkan. Pada akhirnya, barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perusahaan yang unggul akan bertumpu pada strategi yang berbasis sumberdaya (Resources-Based) dan knowledge.
Pendekatan Resources-Based selalu berupaya meletakkan jargon bersaing utmanya pada bagaimana menciptakan inovasi masa depan melalui sumberdaya yang dimiliki oleh organisasi untuk dapat ditingkatkan kapabilitasnya dalam bersaing melalui pemilihan kompetensi inti (distinctive competence) sehingga dapat diciptakan strategi hambatan buat para pesaing berupa kesulitan untuk ditiru (barriers to imitation).
Resources-Based Strategy (RBS) merupakan pemikiran C.K. Prahalad serta para penggagas paradigma learning dan learning organization lainnya. Menurut Azua dan Azua (1988), tiga aspek utama yang menjadi perhatian RBS adalah (1) Aspek Sumberdaya, (2) Aspek Faktor Keberhasilan, dan (3) Aspek Proses Belajar. Sementara menurut Grant, tiga aspek utama tersebut terdiri dari (1) Aspek Manusia, (2) Aspek Teknologi, dan (3) Aspek Infrastruktur.
Salah satu faktor mempengaruhi timbulnya perdagangan nasional adalah perbedaan potensi sumberdaya pada setiap negara. Indonesia sampai saat ini masih kaya dengan aneka ragam sumberdaya (secara kuantitas) baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya Peluang ekspor masih sangat terbuka, hal ini dapat kita lihat sampai dengan tahun 2000 saja nilai investasi PMDN sebesar Rp 212.000 M sedang PMA sebesar Rp 423.000 M, padahal tahun 1999 nilai investasi PMDN sebesar Rp 54.050 M sedang PMA sebesar Rp 375.100 M. (BKPM,1999). Sayang peningkatan investasi ini belum diimbangi dengan sistem proteksi sumberdaya alam, misalnya proteksi sumberdaya hutan. Kasus illegal logging menunjukkan wajah buram bagi perekonomian kita. Apakah kinerja sumberdaya untuk ekspor kayu olahan belum sepenuhnya dioptimalkan?. Pertanyaan tunggal ini bias jadi menjadi masalah nasional tentang kinerja subsektior agribisnis lainnya.
Pembahasan topik Resource-Based sebagai pendekatan dalam perdagangan internasional, khususnya bagi Indonesia dapat kita awali dengan mengamati perkembangan nilai pertumbuhan agribisnis untuk produk domestik bruto dan nilai pertumbuhan nilai investasinya, (lihat Tabel 1.):
Berdasarkan data pada tebel 1, ditinjau dari produk domestic bruto (PDB), bahwa sector pertanian, peternakan, kehutanan, perkebunan dan perikanan (disebut sektor primer), dan sektor Listrik, Gas dan Air Minum (termasuk kelompok sektor tersier) merupakan sektor yang paling potensial untuk dikembangkan. Disamping itu ternyata sector pertanian masih menyumbang nilai investasi dengan peringkat ke 2 untuk PMDN dan peringkat ke 3 untuk PMA (lihat table 2). Hal ini menunjukkan bahwa iklim investasi di Indonesia di dominasi oleh peranan resources-based agribisnis.
Kajian lain pendekatan resource-based adalah kinerja sumberdaya. Menurut Grant aspek sumberdaya ada 2 yaitu
1. Sumberdaya tangible
• Staff
• Palanggan
• Kapasitas
• Finansial
• Produk
2. Sumberdaya intangible
• Ketrampilan staff
• Kualitas pelanggan
• Efisiensi biaya produk
• Kualitas produk
3. Sumberdaya very tangible
• Moral para staff
• Reputasi dimata pelanggan
• Reputasi dimata investor
Sumberdaya intangible khususnya menjadi sangat mahal karena menyangkut penguasaan ilmu pengetahuan, proses pembelajaran kolektif dan reputasi. Sumberdaya intangible ini sama pentingnya dengan sumberdaya tangible, walaupun dalam beberapa situasi bisa terjadi sumberdaya intangible lebih menonjol.
2. KONSEP MENATA ULANG STRATEGI PEMASARAN INTERNASIONAL INDONESIA MELALUI PENDEKATAN RESOURCE BASED-STRATEGY
Dengan melihat gambaran kinerja ekspor dan melemahnya daya saing Indonesia di pentas mancanegara , semkin kuatlah alsan kita untuk mengkaji ulang berbagai segi dengan Pemasaran Internasional dan Global .
Sebagai langkah pertama kita perlu memahami lebih dalam menganai Visi, Misi, Kebijakan dan Strategi Pemerintah serta Strategic Routing dalam kaitannya dengan perdagangan Internasional .
Sejalan dengan otonomi daerah yang digairahkan, pemerintah memiliki Visi yang menginginkan agar Indonesia menjadi negara Industri baru yang sejajar dengan bangsa lain di kawasan Asia Pasific. Sementara Misi yang diemban sektor industri dan perdagangan adalah sebagai penggerak utama dan pendobrak hambatan perdagangan luar negri dengan memenuhi aturan main tata perdagangandunia dibawah koordinasi WTO, serta mengamankan kebijakan industri dan perdagangan Internasional melalui penataan ulang strategi pemasran Internasional dan diplomasi perdagangan yang unggul.
Bila kita cermati Visi dan Misi tersebut belum tergambar secara jelas Visi dan Misi yang mengedepankan Indonesia menjadi negara industri baru dan bangsa niaga yang berbasis pada sumber daya.
Penataan pada Visi, Misi Strategi dan Orientasi Pemasaran yang baru mengacu pada Visi Indonesia 2010,Indonesia menjadi pelaku Pemasaran Global berbasis pada Sumber Daya dan Kompetensi Inti.
Tata ulang dengan konsep baru, pendayagunaan sumber daya (Resaurces Based Approach) dan sekaligus juga membangun mental model dan system thinking berbasis dan berbangsa tangguh melalui semangat kompetensi dan kooperasi intra dan antar organisasi industri melalui jaringan yang kokoh dalam pemsaran dan perdagangan yang berbasis pada knowledge dan Skill. Strategi yang baru bukan hanya ditekankan pada pemanfaatan sumber daya alam semesta, tetapi merupakan pengintegrasian antara sumber daya yang sifatnya Tangible,Intangible, dan Human Resources dalam semangat Cilective learning.
Menegakkan semangat Collective Learning ini perlu dimulai dari tingkatan makro (pemerintah) sebagai inisiator,change creator maupun fasiliator.
Berkaitan dengan sumberdaya yang bisa dilakukan dengan menelusuri tiga macam
Strategic Resources:
1. Tangible Resources, meliputi karyawan, SDM, pelanggan, kapasitas, dana dan produk.
2. Intangible Resources, meliputi keterampilan karyawan, mutu pelanggan, efsiansi biaya produksi , mutu produk .
3. Very Intangible (Indirect) Resouces, meliputi moral karyawan reputasi dimata pelanggan, reputasi dimata investor
Untuk aspek Very Intangible (Indirect) Resouces, yaitu pembenahan dan pemulihan reputasi Indonesia dimata rakyat Indonesia sendiri dan dimata dunia memerlukan upaya dan kampanye khusus untuk mengharumkan kembali nama Indonesia.
Secara konkrit dan koperhensip, perlu diurai dan dilihat kembali mengenai 5 faktor daya saing ekonomi regional, yaitu: 1) Pengetahuan, 2) Kohesi social, 3) Infrastruktur, 4) Konektivitas, dan 5) Produktivitas.
Kesemua faktor pendorong daya saing tersebut diatas mengarah pada proses pengelompokan Manajemen Berbasis Pengetahuan (Knowledge Management Cluser).
Sekedar contoh misalnya di ambil datu faktor yaitu konektivitas internal dan eksternal. Bila kita mau jujur, sebenarnya kita belum atau mungkin sudah tapi belum optimal melakukan upaya-upaya menjalin konektivitas internal ini, misalnya kawasan industri denga perusahaan dan instansi terkait, perguruan tinggi, hingga pemanfaatan masyarakat sekitar. Selain itu konektivitas ekstern misalnya kawasan industri dengan kawasan lain baik di dalam dan luar negeri. Untuk itu perlu di bentuk kelompok, jaringan kemitraan, dan bila sudah terbentuk berarti lebih pada mengoptimalkan perannya.
Model lain yang bisa kita lakukan berkaitan dengan kompetensi inti ini adalah model satu daerah satu kompetensi. Model ini sejalan kebijakan pemerintah untuk memberdayakan para pelaku ekonomi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Tiap daerah diharapkan mempunyai satu kompetensi. Model ini diharapkan bisa menggali keampuhan atau kekuatan andalan yang dimiliki daerah (misalnya : Kabupeten) di Indonesia untuk membangun kompetensi inti agar bisa bersaing di pasar global. Kekuatan konsep ini terletak pada “Strategc Routing” untuk membangun Economic Competitive Landscape.
3. KESIMPULAN
1. Berdasarkan fakta bahwa pendekatan resourced-based untuk agribisnis menempati rating unggul di Indonesia baik ditinjau dari produk domestiik bruto maupun investasi
2. Pendekatan resurced-besed merupakan pelengkap bagi pendekatan market-based, karena menyangkut pemberdayaan sumberdaya manusia yang berilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Indonesia adalah negara yang mempunyai sumber daya unggulan yang merupakan asset yang tangible sifatnya yang bisa digunakan sebagai cikal bakal untuk mewujudkan Strategi Pemasaran dengan menggunakan Resources Based Approach. Keunggulan asset yang tangible harus dipadukan dengan asset yang intangible, seperti teknologi, kultur dan reputasi, serta sumber daya manusia dengan superioritas Skill dan Knowledge. Hanya dengan perpaduan ketiganya melalui Collective Learning akan dapat di ciptakan suatu kompetensi inti pada tingkat makro (negara) maupun mikro (badan usaha) dalam rangka membangun Strategc Routing berdasarkan kompetensi inti yang diciptakan.
4. Sejalan dengan semangat otonomi daerah di mana pengembangan daya saing perlu di mulai dari daerah, maka konsep pengembangan satu daerah satu kompetensi. Konsep ini intinya mempersiapkan infrastruktur yang kuat, daya kohesi dan interkonektivitas antar daerah (misalnya tingkat kabupaten). Dengan demikian dapat di mulai pemetaan kompetensi-kompetensi daerah yang semuanya di bangun sebagai dasar untuk membentuk Colletctive Learning antar daerah. Hal ini juga bisa ditujukan untuk menghilangkan semangat kedaerahan yang hanya memperebutkan wilayah yang memiliki sumber daya alam, bahkan dapat meniadakan keinginan untuk memisahkan diri dari Indonesia, karena masih banyak produk unggulan yang dapat dikaitkan dengan keunggulan yang berbasis Knowledge. Tentu saja dalam tataran praktek di perlukan adanya kebersamaan, komitmen dan kemauan dari semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Subnash C. Jain, Manajemen Pemasaran Internasional, ed V, Jilid 1, The University of Connecticur, Erlangga, 2001
2. Martani Huseini, Mencermati Misteri Globalisasi : Menata Ulang Strategi Pemasaran Internasional Indonesia Melalui Pendekatan Resource-Based, Usahawan, 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar