Tampilkan postingan dengan label Materi Seminar Nasional. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Materi Seminar Nasional. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Januari 2009

Pembangunan Pedesaan, Pertanian,dan Ketahanan Pangan)*

Memperbincangkan pembangunan, khususnya di negara berkembang, tidak bisa lepas dari wilayah pedesaan. Sebabnya sederhana, sebagian besar penduduk di negara berkembang beiniukini di daerah pedesaan dan mayoritas bekerja di sektor pertanian. Di luar itu, wilayah pedesaan karena lokasinya yang jauh dari pusat kota/ pembangunan dicirikan oleh terbatasnya infrastruktur ekonomi, sedikitnya (Download dalam bentuk file, Click Here)kesempatan kerja di
luar pertanian (non-farm), dan jauh dari pasar (Yustika, 2003:27). Dengan kondisi tersebut, tidaklah mungkin menyelenggarakan pembangunan di negara berkembang tanpa melibatkan wilayah pedesaan.
Bahkan, pembangunan di negara berkembang hares melihat wilayah pedesaan dan sektor pertanian sebagai fokus dan target pembangunan. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan di negara berkembang bisa dilihat dari perkembangai, di wilayah pedesaan sendiri. Bila mayoritas penduduk di pedesaan bisa melakukan mobilitas sosial-ekonomi (pembangunan), maka bisa disimpulkan pembangunan di negara berkembang telah menjangkau sebagian besar warga negaranya; demikian sebaliknya.

Pembangunan Pedesaan dan Masalah Modal
Wilayah pedesaan di dunia ketiga biasanya dideskripsikall sebagai tempat bagi orang-orang untuk bekerja di sektor pertanian. Sementara itu dalam pengertian yang sempit, desa adalah suatu masyarakat pars petani yang mencukupi hidup sendiri (swasembada) [Boeke, 1983:16]. Dengan gambaran tersebut, adalah benar jika sebagian besar penduduk desa merupakan kelompok masyarakat miskin. Ciri penting dari penduduk di pedesaan ini adalah masalah kepemilikan tanah. Tanah masih merupakan dasar utama dari kesejahteraan dan kekuatan politik di wilayah dalam pertanian, dapat dilihat dari tingkat keterlibatan rumah tangga tersebut dalam aktivitas lain dan mengamati struktur pendapatan dari sumber-sumber yang lebih lugs. Beberapa penulis menggunakan istilah "household survival strategies" sebagai cara bagi penduduk desa untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul. Jumlah tenaga kerja yang tersedia akan berubah karena faktor kelahiran, kematian, perkawinan, sakit, kehamilan, dan migrasi. Begitulah gambaran umum tentang wilayah pedesaan dengan dinamika penduduknya (Dixon, 1990:1-2).

Dalam perspektif pembangunan, Boeke yang pernah melakukan penelitian di Hindia Belanda- menyimpulkan bahwa perekonomian di Indonesia (Hindia Belanda), Jaws khususnya, terbagi dalam dua sektor tradisional dan modern yang Baling tidak berhubungan. Untuk mengatasi ketidakseimbangan akibat perekonomian dualistik tersebut, menurut Boeke, sektor tradisional perlu dirangsang melalui insentif ekonomi dan peningkatan teknologi produksi, meskipun hasilnya tak akan segera tampak. Sebaliknya, Geertz menyatakan upaya perbaikan macam apapun tidak akan berhasil dilakukan. Menurut Scott, persoalan yang berlaku pada masyarakat pedesaan adalah rasionalitas social yang lebih mementingkan kebersamaan ketimbang persaingan. Prinsip moral lebih dominan daripada rasionalitas ekonomi sehingga pendekatan ekonomi akan sulit "bekerja" pada masyarakat desa. Penetrasi dari luar, baik menyangkut aspek kelembagaan maupun teknologi, malahan akan menimbulkan resistensi. Ketidakmampuan untuk menangkap kultur dan nilai-nilai masyarakat desa inilah yang membuat banyak kebijakan pembangunan pedesaan gagal diterapkan di lapangan (Marshus, 1995:20-21).
Ide dualisme ekonomi yang diinisiasi oleh Boeke tersebut pada akhirnya, diakui atau tidak, menjadi diskursus penting dalam proses pembangunan pedesaan di negara¬negara berkembang. Seperti yang telah disarikan oleh Ellis dan Biggs (2001:444; lihat juga Tabel 1), model dualisme ekonomi menjadi isu strategic pembangunan pedesaan di negara-negara berkembang pada tahun 1950-an. Pada face pertama ini, tujuan pembangunan pedesaan diarahkan dari semula pembangunan komunitas (tahun 1950-an) ke penekanan pertumbuhan usahatani kecil (small-farm) [tahun 1960-an]. Kedua, pertumbuhan usahatani kecil (tahun 1960-an) dilanjutkan kepada upaya pembangunan pedesaan yang terintegrasi (tahun 1960-an), diantaranya melalui kebijakan transfer teknologi, mekanisasi, dan penyuluhan pertanian. Ketiga, pergeseran pembangunan pedesaan yang dipandu negara (state-led) [tahun 1970-an] menuju liberalisasi pasar (tahun 1980-an) melalui kebijakan penyesuaian struktural dan pasar bebas. Keempat, pembangunan pedesaan diarahkan untuk penguatan pendekatan proses, partisipasi, pemberdayaan, dan pelaku (actor) [tahun 1980-an dan 1990-an]. Kelima, pentingnya penghidupan yang berkesinambungan sebagai sebuah kerangka kerja yang terintegrasi dalam pembangunan pedesaan (tahun 1990-an), diantaranya lewat, penguatan kredit mikro, faring pengaman pedesaan, dan peran perempuan dalam pembangunan. Keenam, menempatkan pembangunan pedesaan sebagai strategi untuk mengurangi kemiskinan (tahun 2000-an).
Dari fase-fase tersebut, bisa diidentifikasi bahwa proses komersialisasi sektor pedesaan (lebih tepat lagi sektor pertanian) sudah terjadi pada tahun 1960-an, melalui serangkaian kebijakan yang berupaya meningkatkan, pertumbuhan sektor pertanian, revolusi hijau, dan penciptaan petani yang rasional. Sungguh pun begitu, menurut Scott (1976:57), proses pertumbuhan pertanian komersial tersebut malah kian menjepit posisi petani dari beberapa cara, seperti: (i) kaum tani menjadi tidak terlindungi dari ketidakpastian baru yang disebabkan oleh ekonomi pasar yang memperbesar variasi penghasilannya; (ii) terjadinya erosi nilai-nilai yang hidup, di desa dan kekerabatan sebagai pemberi perlindungan dan memikul risiko secara bersama-sama; (iii) berbagai "katub pengaman" subsistensi tradisional atau pekerjaan tambahan untuk menyambung hidup menjadi berkurang atau hilang sama sekali; (iv) pemilik tanah yang sebelumnya memikul sebagian risiko pertanian dapat mengutip lebih banyak lagi dari petani lewat sews dan memungut bagian penghasilan penggarap; dan (v) negara sering menaikkan penerimaan pajak melalui pungutan dari kegiatan pertanian. Dengan deskripsi tersebut, kondisi penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan justru mengalami kemerosotan daya hidup secara terus-menerus karma tekanan dari dua ujung: kebijakan pemerintah yang semakin bias perkotaan dan tekarian pasar (yang dikuasai oleh pelaku ekonomi di sektor industri/jasa) yang kian deras.
Dengan demikian, setiap upaya komersialisasi pertanian tidak mesti akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani apabila sifat dari komersialisasi pasar meletakkan petani dalam posisi subordinat. Skenario seperti ini banyak dijumpai di negara berkembang, di mans setiap upaya modernisasi (komersialisasi) pertanian justru meletakkan petani dalam posisi yang selalu kalah. Keuntungan ekonomi pertanian lebih banyak jatuh pada pemilik modal atau kelas pedagang yang relatif memiliki posisi tawar lebih tinggi dibandingkan dengan petani. Posisi pemilik modal (tuan tanah, industri pengolahan, pedagang) yang relatif tinggi tersebut bukan cuma disebabkan oleh adanya penetrasi pasar, tetapi juga disumbangkan oleh karakteristik produk pertanian yang cepat rusak sehingga petani tidak mungkin menahan produk tersebut untuk sementara waktu demi mendongkrak harga. Persoalan ini sebenarnya bisa diatasi apabila terdapat fasilitas penyimpanan yang memungkinkan petani menimbun barang tanpa menimotlkan kerusakan, tetapi hal ini hampir mustahil bisa dilakukan karena, petani tidak memiliki modal untuk niernbeli fasilitas tersebut.
Jadi, dari penjelasan tersebut, salah satu persoalan paling rumit di wilayah pedesaan adalah penyediaan dan aksesibilitas modal. Keterbatasan modal menyebabkan sirkulasi kegiatan ekonomi tidak berjalan; sebaliknya, tanpa ada perputaran aktivitas ekonomi proses akumulasi kapital juga tidak bisa terjadi. Berbekal situasi yang seperti itu, para perumus kebijakan pembangunan pedesaan akhirnya meluncurkan program kredit mikro sebagai instrumen pengembangan kelembagaan sektor finansial di pedesaan, khususnya pada sejak tahun 1990-an. Berbagai macam kelembagaan sektor finansial, formal maupun semi-formal, didesain untuk menggerakkan kegiatan ekonomi di wilayah pedesaan, khususnya sektor pertanian dan usaha kecil (small firm). Strategi ini diadopsi oleh sebagian besar negara berkembang, seperti Bangladesh, Indonesia, India, Thailand, Malaysia, Pakistan, Nigeria, Zambia, dan lain-lain. Walaupun model dan prosedur lembaga keuangan tersebut berbeda-beda, namun semangatnya sama: menyediakan modal di wilayah pedesaan sebagai pemicu aktivitas ekonomi. Beberapa negara yang menerapkan lembaga keuangan (kredit mikro) tersebut dianggap telah berhasil, misalnya Bangladesh dengan Grameen Bank-nya, namun sebagian (besar) negara-negara lain ditengarai mengalami kegagalan akibat kemiskinan konsep berdasarkan karakteristik sosial/budaya/politik/ekonomi masyarakat pedesaan.

Sektor Pertanian Dan Persoalan Kelembagaan
Pembangunan sektor pertanian secara umum diarahkan untuk mengerjakan semua aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan produktivitas faktor-faktor yang dipakai dalam produksi pertanian dan sektor agribisnis yang berkaitan dengannya. Secara spesifik, produksi pertanian merupakan fungsi dari:panen (yield) X lahan yang ditanami (cultivated area) intensitas penanaman (cropping frequency). Faktor-faktor terbesar yang dapat meningkatkan produksi pertanian biasanya diidentifikasi dalam beberapa poin berikut (Zeller, 2002:60-61):
- Ekspansi lahan
- Ekspansi lahan irigasi dan perbaikan produktivitas air
- Introduksi varietas unggul
- Peningkatan frekuensi penanaman
- Introduksi teknologi untuk pengolahan lahan dan panen
- Aplikasi pupuk dan pestisida
- Pengurangan kehilangan paska-panen melalui program perbaikan penyimpanan, pengolahan, dan teknik pemasaran
- Intensifikasi program integrasi sistem peternakan-tanaman

Dalam konteks Indonesia, peningkatan produktivitas dan kesejahteraan pelaku ekonomi di sektor pertanian tersebut tidak mudah dilakukan karena terdapat dua masalah dasar yang sampai kini belum ada kebijakan yang serius untuk memecahkannya. Pertama, rumah tangga pertanian di Indonesia, khususnya di Jawa, hanya menguasai lahan rata-rata 0,25 hektar saja hingga sangat sulit untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi. Dengan kondisi semacam itu, sangat sulit untuk mengembangkan sektor pertanian di Indonesia (atau lebih luas lagi sektor pedesaan pada umumnya) karena keadaannya yang serba subsisten. Dalam kategori seperti ini setiap kebijakan di sektor pertanian pertama-tama harus bersinggungan dengan perbaikan "kondisi dasar" dari petani, sebelum menyentuh kebijakan-kebijakan Yang bersifat lanjutan. Kondisi dasar di sini adalah fakta yang berkaitan dengan keberadaan petani yang memiliki lahan sangat sempit sehingga tidak memungkinkan bisa melakukan kegiatan produksi secara komersial. Hasil penelitian Departemen Pertanian tahun 2000 menunjukkan bahwa 88 persen rumah tangga petani hanya menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 hektar (Kompas, 21/5/2002).
Kedua, menyingkirkan kondisi-kondisi yang menyebabkan sektor pertanian (petani) selama ini sebagai pihak yang selalu kalah dan tersingkirkan. Deere dan Janvry (dalam Ellis, 1988:55-56) setidaknya mengidentifikasi tujuh mekanisme yang membuat petani terjerembab secara mengenaskan, yakni: (i) rent in labour services, di mana hal ini menggambarkan adanya kesulitan petani untuk mendapatkan akses terhadap jasa tenaga kerja; (ii) rent in kind, misalnya sews bagi hasil (share cropping) yang dalam praktiknya menunjukkan kedaulatan tuan tanah (landlord) dalam memutuskan porsi bagi hasil; (iii) rent in cash, di mana petani harus menyewa secara tunai untuk mendapatkan akses mengolah lahan; (iv) appropriation ofsurplus value via the wage, di mana terdapat pengambilan surplus atas produksi dengan jalan pemberian upah sangat kecil; (v) appropriation via prices, di mana petani dirugikan akibat harga output yang anjlok dipasaran atau harga input yang membumbung, atau akibat keduanya sekaligus; (vi) appropriation via usury, di mana pendapatan petani direnggus akibat tingkat suku bunga pinjaman yang lebih besar dari harga pasar nasional maupun internasional; dan (vii) peasant taxation, di mana negara biasanya memajaki secara tidak langsung terhadap produk pertanian. Pajak ekspor untuk komoditi pertanian, misalnya, merupakan mekanisme umum yang menyebabkan terjadinya transfer pendapatan dari petani ke negara.

Jika dilihat secara lebih mendalam, tiga masalah peminggiran pertama petani itu ditempuh lewat mekanisme sewa, kemudian tiga berikutnya melalui pasar, dan satu yang terakhir karena faktor negara. Ketujuh mekanisme tersebut hampir seluruhnya bisa dijumpai dalam realitas pertanian di Indonesia, sehingga agenda mendesak sebelum membicarakan tentang transformasi sektor pertanian adalah menyelesaikan problem mendasar tersebut. Problem tersebut tidak lain adalah masalah kelembagaan (aturan main), baik pada level kebijakan (institutional environment) maupun kesepakatan antarpelakunya (institutional arrangement). Williamson (dalam Tian, 2001:387; Kherallah and Kirstcn, 2001:4) mendeskripsikan institutional environment sebagai seperangkat struktur aturan politik, sosial, dan legal yang memapankan kegiatan produksi, pertukaran, dan distribusi. Sebaliknya, level m'alisis mikro berkutat dengan masalah tata kelola kelembagaan (institutions of governance). Singkatnya, institutional arrangement merupakan kesepakatan antara unit ekonomi untuk mengelola dan mencari jalan agar hubungan antarunit tersebut bisa berlangsung, baik lewat cara kerjasama maupun kompetisi. SebuLh kesepakatan kepemlikan merupakan institutional arrangement, karena di dalamnya mengalokasikan hak-hak kepemilikan kepada individu, kelompok, atau pemerintah.

Dari beberapa kasus di sektor pertanian, persoalan kelembagaan (institutions) yang mengemuka biasanya bisa dilokalisir menjadi empat masalah kelembagaan berikut. Pertama, tidak ada kesetaraan kekuatan antarpelaku ekonomi di sektor pertanian (misalnya antara petani dengan tengkulak atau lembaga pemberi kredit lainnya). Kedua, pemanfaatan asosiasi petani untuk tujuan-tujuan yang bersifat elitis (kasus APTR dalam industri gala). Ketiga, interaksi yang asimetris antara principal dan agent untuk membuat kesepakatan ikatan kerja (seperti kontrak antara petani tebu dan pabrik gula). Keempat, ketimpangan kekuatan dalam mendesakkan dan mempengaruhi kebijakan publik (kasus pajak dan subsidi untuk sektor industri dan pertanian). Keempat persoalan tersebut adalah fenomena kelembagaan yang terjadi di sektor pertanian, yang pada akhirnya meletakkan pelaku ekonomi (baca: petani) selalu dalarn posisi sebagai pecundang (the losers). Tanga ads strategi kelembagaan untuk mengatasi persoalan tersebut, transformasi sektor pertanian akan lebih banyak dinikinati oleh pelaku sektor pertanian pada level hilir, sementara petaninya sendiri tetap miskin dan susbisten.
Secara teroritis, akibat karakteristik pasar (input dan output) sektor pertanian yang tidak sempurna, diperlukan intervensi pemerintah agar sektor tersebut bisa berkembang dan menguntungkan bagi setiap pelakunya, khususnya petani. Secara umum, kebijakan pembanguan pertanian dapat dibedakan dalarn tiga klasifikasi (Schickele; dalam Jatileksono, 1996:8). Pertama, program-program yang ditujukan untuk memperbaiki alokasi sumberdaya sehingga produktivitas tanah meningkat, antara lain berupa penyediaan kredit produksi, konservasi lahan, pengelolaan hutan, pembangunan irigasi, pewilayahan pedesaan, dan program perencanaan tats guns tanah pertanian. Kedua, kebijakan harga produk pertanian, antara lain berupa penetapan harga pembelian produk oleh pemerintah (support price), program pengendalian produksi, pembelian surplus produk, pemberian subside ekspor, pembayaran defisiensi harga, penerapan tarif dan kuota impor, perencanaan konsumsi dan penggunaan surplus produk yang dihasilkan. Ketiga, program-program yang dipersiapkan untuk memperbaiki distribusi pendapatan, seperti pemberian tanah secara gratis kepada pars petani, pengembangan koperasi petani, pelayanan jasa konsultasi dan supervise kredit, program perb,ilkan penyakapan tanah, Berta penyediaan dana untuk pemilikan, perluasan, dan rchabilluisl tanah pertanian.
Masalahnya adalah, desain lembaga keuangan di sektor pertanian selama ini cenderung menempatkan petani dalarri posisi subordinat, baik akibat informasi yang asimetris (asymmetric information) ma-apun posisi tawar yang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Yustika (2005:104) menunjukkan bahwa petani tebu dibebani dengan biaya transaksi yang besar pada saat memperoleh kredit dari skema bantuan pemerintah. Dalam kasus petani tebu di Jawa Timur, misalnya, kredit yang diberikan oleh pemerintah sebetulnya hanya berbunga 12%, tetapi koperasi mengenakan kredit sebesar antara 16-20% (selisih bungs kredit itu tidak lain adal biaya transaksi). Demikian pula, waktu pengueuran kredit itu biasanya terlambat dua bulan dari perjanjian sehingga mengakibatkan petani tidak bisa membeli pupuk dan berakibat kepada penurunan produktivitas tebu. Nilai penurunar. produktivitas inilah yang bisa dianggap sebagai biaya transaksi akibat keterlambatan pengucuran kredit. Jika ditambah dengan ongkos oportunitas (opportunity costs) yang hilang dalam pengurusan kredit, maka total biaya pengurusan kredit (bunga/selisih bunga, waktu yang hilang, dan keterlambatan pengucuran) menyumbang sekitar 20% dari seluruh total biaya transaksi petani tebu di Jawa Timur. Tentu saja, desain kelembagaan (aturan main) seperti itu tidak bisa dipertahankan bila hendak memperbaiki posisi petani dalam mengakses modal.

Penguatan Ketahanan Pangan
Isu pangan sangat serius di Indonesia karena proporsi pendapatan rumah tangga yang dibelanjakan untuk pangan pada dekade 1980-an mencapai 70% dan sekarang sudah menurun menjadi 50%. Walaupun penurunan ini cukup berarti, tapi secara urmun masih cukup besar karena separuh pendapatan habis digunakan untuk konsumsi pangan. Ini tentu berbeda dengan, misalnya, AS yang warga negaranya pada 2003 hanya membelanjakan sekitar 10% pendapatan riilnya (disposable income) untuk konsumsi pangan (food). Angka ini merupakan yang terendah di AS sejak 1929, apalagi jika dibandingkan dengan puncaknya pada 1933 yang mencapai 25,2%. Secara keseluruhan sejak tahun-tahun itu sampai kini persentase pendapatan yang dibelanjakan untuk konsumsi pangan di AS terns merosot. Jadi, mestinya antara Indonesia dan AS desain kebijakan pang,mnya berbeda sebab karakteristik pola pengeluaran pendapatan penduduknya sangat berlainan.
Menariknya, dalam situasi seperti itu pemerintah AS tetap memberlakukan kebijakan pangan murah (cheap food) meskipun proporsi pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan tidak besar. Di sini, yang dimaksud dengan kebijakan pangan murah adalah upaya menurunkan harga pangan di bawah harga keseimbangan kompetitif. Di AS, kebijakan tersebut memproduksi banyak perdebatan karena dianggap menimbulkan efek negatit', di antaranya meningkatkan penderita obesitas. Pada 1971 jumlah penderita obesitas mencapai 14,61% dan pada 2002 telah melonjak menjadi 31.3% (Miller dan Coble, 2007). Hasil studi yang sama juga menunjukkan kebijakan subsidi langsung di AS terhadap pangan (sehingga menjadi murah) tidak lantas memerbaiki keter angkauan warganya terhadap pangan tersebut, baik pada kelompok pangan secara keseluruhan maupun komoditas pangan yang spesifik. Walaupun begitu, hingga kini secara umum pemerintah AS masih memberikan proteksi terhadap pangan.
Jadi, mengacu pengalaman AS, kebijakan pangan murah an sick, tanpa diimbangi dengan kebijakan lainnya (seperti penguatan daya beli masyarakat dan distribusi yang Hgus) ddak menjamin setiap warga negara dapat mengakses pangan. Lebih dari itu, kebijakan pangan murah di negara berkembang, seperti di Indonesia, selalu bertendensi subsidi kepada kelompok kaya yang tinggal di perkotaan (urban bias) sehingga menindih petani (orang desa) dalam dua hentakan sekaligus. Pertama, petani dirugikan karena insentif laba menjadi sangat kecil akibat kebijakan pangan murah. Kedua, petani harus membayar harga yang mahal untuk membeli komoditas nonpertanian karena pemerintah menyerahkan mekanisme penentuan harga berdasarkan mekanisme pasar. Sungguh tidak sulit untuk memahami perkara sederhana ini, namun dalam sejarahnya sukar untuk mengimplementasikan pondasi kebijakan ini karena, kuatnya aspek politik yang bermain dalam arena pengambilan keputusan.
Lebih lanjut, proteksi terhadap komoditas pangan (atau sektor pertanian secara umum) sebetulnya sebagian dipicu oleh ketakutan kelangkaan yang bakal terjadi jika sektor tersebut berjalan tanpa kawalan. Dengan jiwa itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan perlindungan terhadap sektor pertanian sebagai antisipasi atas kemungkinan kelangkaan. Paarlberg (1982) mendeskripsikan sindrom kelangkaan (scarcity syndrome) sebagai kritik atas tiga bentuk kebijakan pemerintah untuk menjaga harga komoditas pangan tetap rendah, yakni embargo perdagangan (trade embargoes), kontrol harga langsung (direct price controls), dan manajemen persediaan (management of stocks). Menurut Paarlberg, sekurangnya muncul empat konsekuensi dari kebijakan pangan murah yang diterapkan oleh AS: (i) rendahnya harga dan pendapatan petani akibat disinsentif produksi; (ii) mengurangi penerimaan ekpsor; (iii) kehilangan pasar ekspor; dan (iv) merusak reputasi AS dalam perdagangan global.
Pertanyaannya, bagaimana sikap yang harus diambil Indonesia untuk meiiciptakaii kedaulatan pangan'? Apakah Indonesia harus mengambil pola kebijakan yang sama dengan AS (seperti diuraikan di depan), ataukah mendesain kebijakan yang sama sekah lain'? Tampaknya, kebijakan harga pangan murah juga bukan solusi yang baik, bagi Indonesia karena menjadikan petani sebagai korban (victim of development). Namun, meniadakan sama sekali k,;bljakan tersebut juga bermasalah karena proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap pangan masih cukup besar (50%) dan pendapatan per kapita penduduk rendah pula. Di sinilah diperlukan kebijakan ganda (dual policies)
sebagai jalan kompromi untuk menyatukan dug kepentingan tersebut. Pertama, subsidi harga produk dihilangkan (khususnya dalam jangka menengah/panjang) untuk diganti subsidi input (bibit, pupuk, penyuluhan, irigasi, dan lain-lain). Kedua, stabilitas pasar harus dibangun untuk menjamin kepastian bagi konsumen komoditas pangan.
Khusus untuk kebijakan stabilitas pasar (market stability) dapat dicapai melalui perubahan struktural sehingga mampu memerbaiki sektor pertanian dengan cara: (i) peningkatan diversifikasi konsumsi pangan sehingga ticlak terkonsentrasi pada komoditas tertentu (misalnya beras); (ii) penyebaran surplus komoditas pangan ke tempat lain yang mengalami defisit; dan (iii) interaksi strategic antara sektor publik dan swasta untuk n,e-icegah instabilitas pasar dan krisis pangan. Secara spesifik, goal diversifikasi konsumsi pangan memang penting karena mempermudah proses penguatan kedaulatan pangan. Pengalaman di Afrika Timur dan Selatan juga menunjukkan hal itu, di mans ketergantungan konsumsi yang sangat besar terhadap jagung (dan beras) membuat kedaulatan pangan di sana menjadi rapuh (Jayne, et. al, 2006). Jadi, pemerintah harus merintis program diversifikasi pangan mulai sekarang juga. Dengan jalan inilah kedaulatan pangan bisa terwujud clan bukan sebatas sebagai retorika politik.

Selain dua hal khusus tersebut, memang banyak jalan keluar yang bisa dilakukan oleh pemerintah, namun salah satu yang dapat diupayakan saat ini adalah dengan melakukan proses transformasi sektor pertanian secara utuh. Proses transformasi itu sendiri bisa diletakkan dalam tiga level. Pertama, pemerintah menyediakan dan memperbaiki infrastruktur dasar yang diperlukan bagi pembangunan pertanian, misalnya pengadaan jalan, jembatan, sistem irigasi, penelitian dan pengembangan, penyuluhan, dan (tentu saja) reformasi tanah. Kedua, memperkuat pasar sebagai media yang akan mempertemukan transaksi antara sektor hulu dan hilir di sektor pertanian. Pada level ini setidaknya terhadap tiga pekerjaan yang harus dilakukan oleh pemerintah, yakni mendesain sistem kuangan yang sesuai dengan kebutuhan pelaku di sektor pertanian (musimam), sistem pasokan input, dan pasar output lokal. Ketiga, menggandeng pelaku ekonomi swasta (private sector) untuk mengeksekusi kegiatan lanjutan di sektor pertanian, khususnya pemasaran dan pengolahan komoditas pertanian, sehingga memiliki keterkaitan dengan sektor non-pertanian

Sedangkan dalam pendekatan ekonomi kelembagaan, secara umum ada dua poros strategi kelembagaan yang bisa diupayakan untuk memajukan sektor pertanian (sekaligus menjadi alas program revitalisasi sektor pertanian). Pertama, kebijakan tidak langsung (indirect policies) dengan jalan membenahi infrastruktur sektor pertanian yang tidak laik. Pengertian infrastruktur yang tidak layak di sini adalah situasi ketidaksepadanan antarpelaku ekonomi, baik oleh karena kemampuan nilai tawar yang berbeda maupun kepemilikan aset produktif yang tidak proporsional. Dengan begitu, beberapa agenda jalur politik yang dapat dikerjakan adalah: (a) menerbitkan statuta hubungan antarpelaku ekonomi yang lebih menjanjikan kesetaraan (misalnya kasus petani penggarap dan tuan tanah dalam hubungan sharecropping, dan relasi peternak susu-tengkulak-pemilik toko); (b) menata kembali kepemilikan aset produktif yang sudah sangat timpang, yakni lewat kebijakan land reform (Pendekatan reformasi tanah ini memang kelihatannya sulit ditempuh karena adanya hambatan psikologis dan politis. Walaupun kesan itu tidak bisa dipungkiri, tetapi ada baiknya mulai dibicarakan dan dihitung untung ruginya jika dibandingkan dengan mengeluarkan kebijakan lainnya. Beberapa pengalaman negara lain yang pernah melakukannya terbukti dapat mengatasi persoalan kepemilikan lahan tersebut. ri Jepang, misalnya, reformasi tanah sudah dilakukan seusai Perang Dunia 11 dan berhasil memengaruhi pemerataan pendapatan. Program reformasi tanah di Jepang ini berhasil karena terdapat dua titik temu, disatu sisi rakyat menuntut dengan kuat dan di sisi lain pemerintah mempunyai kemauan politik yang tidak kalah kukuh. Lihat Yujiro Hayami, Develoment Economics: From the Poverty to the Wealth of Nations, Clarendon Press, Oxford, 1997, hal. 175) dan (c) transparansi dalam pengambilan kebijakan sehingga tidak terbuka kesempatan bagi pemilik modal (pelaku ekonomi skala besar) menelikung kebijakan yang hendak dirumuskan oleh pomerint& Melalui upa.va inaya inilah diharapkan pencapaian pertumbuhan sektor pertanian ekonomi lebih dapat diprediksi dan kesejahteraan pelaku ekonomi di sektor hulu lebih bisa dipastikan.
Kedua, kebijakan langsung (direct policies) yang mengaitkan kelembagaan dengan strategi pembangunan pertanian. Dalam praktik kebijakan ekonomi, yang bisa memengaruhi kualitas pertumbuhan ekonomi dan distribusi (pendapatan) adalah jenis kelembagaan dan kebijakan (ekonomi). Berbeda dengan pendekatan neoklasik, yang menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan akan mengalir dengan sendirinya melalui jalur pasar (market mechanism), maka pendekatan kelembagaan beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi dan distribusi tidak bisa diserahkan kepada pasar. Dua negara, misalnya, mungkin memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang sama, tapi bisa dipastikan akan memiliki dampak distribusi pendapatan yang berlainan bila kelembagaan dan kebijakan yang dipilih berbeda. Dalam kasus ini, pilihan kebijakan ekonomi semacam perdagangan internasional (pengenaan tarif untuk produk pertanian), fleksibilitas nilai tukar (disesuaikan dengan daya saing produksi nasional), penciptaan lapangan kerja (lewat public expenditure), pajak progresif, dan sistem pengupahan yang adil di sector pertanian (Deolalikar, et. al, 2002:7); akan menjamin bahwa setiap tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai akan lebih banyak dinikmati oleh kelompok miskin (pro poorgrowth) di sektor pertanian.

Daftar Pustaka

Boeke, J.H. 1983. Prakapitalisme di Asia. Sinar Harapan. Jakarta

Deolalikar, et. al. 2002. Poverty Reduction and the Role of Institutions in Developing Countries. ERD Working Paper. No. 10. Asian Development Bank

Dixon, Chris. 1990. Rural Development in the Third World. Routledge. London

Dorward, Andrew, et, al, 2004. A Policy Agenda for Pro-Poor Agricultural Growth, World Development. Vol. 32, No. 1

Ellis, Frank dan Stephen Biggs. 2001. Evolving Themes in Rural Development 1950s
2000s. Development Policy Review, Vol. 19, No. 4: 437-448
. 1988. Peasant Economics Farm Households and Agrarian Development. Cambridge University Press

Hayami, Yujiro Hayami. 1997. Development Economics: From the Poverty to the Wealth of Nations. Clarendon Press. Oxford

Jatileksono, Tumari. 1996. Pasar Terkelola dalam Sektor Pertanian: Isu Teoritis dan Hasil Sludi Empiric. Makalah disampaikan dalam Kongres ISEI XIII, 10¬12 Oktober 1996. Medan. Tidak dipublikasikan

Kherallah, Mylene and Johann Kirsten. (2001). The New Institutional Economics: Application for Agricultural Policy Research in Developing Countries. MSSD Discussion Paper. No. 41. June. IFPRI. Washington DC

Kompas, 21 Mei 2002

Marshus Bun-Y anin. 1995. Industri PAdesaan Menghindari Perangkap Involusi dan Stagnasi Pendapatan. Prisma. No. 8, Tahun XXIV

Miller, J. Corey and Keith H. Coble. 2007. Cheap Food Policy: Fact or Rhetoric?. Food Policy. Vol. 32. 2007: 98-111

Scott, James C. 1976. The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. Yale University Press. USA

Tian, Guoqiang. (2001). A Theory of Ownership Arrangements and Smooth T it'!!! ~rs I I ~10 to a Free Market Economy. Journal of Institutional and Theoretical Economics. Vo. 157. No. 3 September: 380-412

Yustika, Ahmad Erani. 2003. Economic Analysis of Small Farm Households. Brawijaya University Press. Malang

_________2005. Transaction Cost Economics of the Sugar Industry in Indonesia. Wissenschaftsverlag Vauk Kiel KG. Germany

Zeller, Manfred. 2002. Socioeconomics of Rural Development. Institute of Rural Development. University of Gottingen. Germany

)* Disampaikan Oleh Ahmad Erani Yustika, Ph.D pada Seminar Nasional Bertajuk Kebangkitan Pertanian Menghadapi Krisis Global di Unej
Read more.....

PERANAN INDUSTRI SAWIT DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI REGIONAL: MENUJU PERTUMBUHAN PARTISIPATIF BERKELANJUTAN

PENDAHULUANKehadiran Industri Sawit (Perusahaan Perkebunan Sawit) telah lama ada di Indonesia dan tidaklah berlebihan jika Sumatera Utara mempunyai perhatian yang paling besar, karena merupakan tempatkelahiranya di Indonesia. Perkembangan perkebunan sawit pada dewasa ini telah menjadi milik Nusantara, karena terbukti sesuai dengan kondisi iklim Indonesia serta didukung oleh prasyarat ketersediaan (Download dalam bentuk file, Click Here)lahan luas untuk
mendukung pengusahaanya.Dari segi pembudidayaanya Indonesia telah berhasil mengantar budidaya ini kepada masyarakat luas yang memungkinkan ketersediaan trampil yang cukup bagi pengembangan industri berbasis sawit.

2. Daya tarik dan dukungan yang kondusif inilah yang menjadikan sawit berkembang dengan pesat di Indonesia dan yelah membawa industri tersebut sebagai bentuk usaha yang semula menjadi symbol enclave economy, kini telah menjadi usaha dengan beragam format dan corak pola pengusahaan. Perkembangan terkahir ini juga telah menambah khasanah baru dalam kehidupan Industri berbasisi sawit yakni berlakunya theory dualisme ekonomi ala Boeke (Mubyarto, 2000).

3. Industri sawit yang berkembang meluas, beragam dan masuk dari hulu ke hilir telah menjadikan sawit sebagai industri yang paling dahulu masuk ke dalam pasar modal selain pulp. Keterkaitan semakin panjang tidak mudah menjawab manfaat kehadiranya secara luas. Tidak dipungkiri sawit telah hadir dengan pengaruh yang nyata terhadap perkembangan ekonomi setempat (Regional) di mana mereka berada, tetapi masalah lain ternyata juga muncul bersamaan dengan perkembangan itu.

4. Pada makalah ini sengaja dibatasi pada kupasan secara, makro mengenai kedudukan industri minyak sawit, baik sebagai perusahaan perkebunan, industri penghasil bahan makanan (minyak makan) maupun bahan baku industri dan terakhir kaitan dengan tekad memabngun industri bio-energi. Demikian juga peran penting sebagai penghasil komoditas ekspor dan kompetisi dengan penggunaan industri domestic untuk tujuan ketahanan pangan. Pada sisi lain juga ingin dilihat dimensi lain soal dualisme pengusahaan yang diharapkan dapat menemukan jalan keluar untuk menata menuju industri sawit yang berkeadilan.

POTRET INDUSTRI SAWIT HINGGA SAAT INI

5. Industri sawit di Indonesia telah berkembang pesat dengan dukungan pertumbuhan perkebunan yang sangat pesat pula hingga menca[pai lebih dari 6.3 juta hektar yang terdiri dari sekitar 60% yang diusahakan oleh perkebinan besar dan 40% oleh perkebunan rakyat. Pertumbuhan perkebunan sawit ini tidak terlepas dari politik ekspansi pada akhir 1970an disertai pengenalan PIR sebagai sarana untuk menggerakkan keikut sertaan rakyat dalam budidaya perkebunan sawit. Sejak program peningkatan perkebunan sawit digelorakan pertumbuhan perkebunan sawit mencapai rata-rata diatas 7%/tahun, bahkan pada PELITA III, IV dan V tumbuh diatas 10%/tahun hingga menjelang krisis ekonomi 1997. Setelah krisis pertumbuhan arela juga semakin pesat dengan persentase yang tetap tinggi antara 8-10%/tahun. Pertumbuhan pesat juga terjadi pad ke dua jenis pengusahaan yaitu perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Sampai dengan tahun 2007 tercatat 965 perusahaan dengan luas perkebunan 3.753 juta hektar yang dimiliki oleh perkebunan Negara swasta nasional dan asing. Sementara perkebunan rakyat telah mencapai 2,565 juta hektar, suatu perkembangan yang luar biasa mengingat pada awal pengenalanya hanya 3.125 hektar (1979) yang hanya mewakili 1,20% saja dari total perkebunan sawit yang ada ketika itu.

6. Di lihat dari aspek lain, yaitu penyebaran pengusaahn sawit pada saat ini telah meluas hampir ke semua kepulauan besar di Indonesia yang tersedia lahan yang luas. Bahkan di Jawa akhir-akhir ini juga telah mengikuti mengembangkan sawit, meskipun perkembanganya sangat terbatas karena keterbatas lahan dengan harga dan luasan yang sesuai. Posisi Indonesia memang menempatkan kita pada kawasan yang mempunyai prospek baik untuk pengembangan sawit dilihat dari berbaagai aspek termasuk potensi permintaan domestic.

7. Perkembangan perkebunan sawit ini sudah barang tentu membuka lapangan usaha baru, karena pada umumnya perkebunan sawit diusahakan diatas tanah yang baru dibuka atau belum diusahakan sebelumnya. Dampak langsung yang akan segera terlihat terhadap kehadiran perkebunan sawit adalah terjadinya investasi yang menambaha kapasitas produksi sector pertanian (perkebunan), dengan berbagai kesempatan yang timbul yakni lapangan kerja baru. Pertumbuhan areal yang masih terjadi jelas sumber pertumbuhan pertama yang muncul segera setelah investasi ke dalam industri sawit diputuskan. Secara keseluruhan industri sawit memang sangat menguntungkan karena dilihat dari segi pengusahaan perkebuinan Daya Penyebaran (backward linkage) Pertanian cukup tinggi 1,3399 dan Derajad Kepekaan (forward linkage) 1,5176 berdasarkan perhitungan BPS dari Tabel I-O untuk tahun 2005 (BPS, 2008). Sementara untuk Industri Pengolahan masing-masing 1,7273 dan 3,0627. Dengan demikian secara aggregate memang cukup besar alas an untuk mendorong industri sawit dengan karakter industri semacam itu. Namun jika dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja industri sawit adalah penopang kelangsungan kesempatan kerja di sector perkebunannya dengan angka yang cukup besar dibandingkan dengan industri makanan lainya, terutama minyak goreng.

8. Hal ini tidak terlepas dari kacamata historis pengembanganya yang mengusahakan industri sawit sebagai Perusahaan Perkebunan. Salah satu alasan yang paling kuat adalah sifat biji sawit yang mudah rusak memerlukan kecepatan pengolahan menjadi minyak sawit, sehingga menjadikan pengintegrasian perkebunan dan pengolahan menjadi model yang dikembangkan sejak awal. Banyak pandangan yang menempatkan pengintegrasian antara perkebunan dan industri pengolahan menjadi prasyarat bagi efisiensi dari industri sawit. Analisis lebih rinci untuk industri sawit sebagaimana dilaporkan oleh berbagai penelitian juga menemukan rekomendasi yang sama (Amang dkk, 1996).

9. Untuk melihat peranan yang lebih besar dari kehadiran industri sawit pada tahap selanjutnya adalah dampak peningkatan pendapatan pada para pelaku, terutama pada kelompok lemah, yakni para pekerja perkebunan dan industri serta petani pekebun rakyat yang mempunyai posisi khusus. Dampak terhadap ekonomi regional memang dapat dikatakan terlihat segera (immediate), tetapi memelihara peran yang berkelanjutan menjadi lebih penting lagi. Karena persoalan kesejahteraan yang berlanjut, keadilan dan dampak lingkungan akan muncul kemudian dalam jangka panjang (setelah satu dasawarsa). Hal ini pasti melampaui batas control mekanisme demokrasi yang kita kembangkan dengan siklus lima tahunan yang melahirkan politik anggaran (fiscal) maupun kebijakan pengembangan industrinya. Inilah aspek penting yang harus menjadi perhatian Perguruan Tinggi dan Lembaga yang mempunyai kepedulian dan visi jangka panjang.

10. Di lihat dari sumbangan devisa sudah barang tentu sangat menentukan, meskipun patut dicatat keduudkan sawit sebelum dasawarsa 1990an dan pasca 1990an mempunyai kedudukan yang berbeda. Hal ini terkait dengan peran minyak sawit yang hingga decade pertengahan 1980an hanya ditujukan untuk pasaran ekspor, maka sejak itu orientasi untuk bahan baku industri minyak goreng di dalam negeri juga penting. Sampai dengan krisis minyak goring 1976 minyak goreng dari bukan kelapa, termasuk sawit hanya menempati kurang dari 30 persen, karena sebagian terbesar 70% diisi oleh minyak kelapa. Tetapi kini sebaliknya minyak goreng dari sawit mengisi sekitar duapertiga penyediaan minyak domestic.

11. Perolehan devisa dari ekspor minyak sawit sejak pulih kembalinya perekonomian kita setelah krisis memang mengalami peningkatan yang sangat luar biasa (abnormal) karena di samping volume yang terus bertambah akhir-akhir ini juga mengalami peningkatan harga dan nilai tukar. Secara keseluruhan ekspor diatas 10 juta ton sudah berhasil dilalui sejak 2005 dengan perolehan devisa yang pada tahun 2008 ini telah melewati USD 10juta meskipun realisasi ekspor tahun ini masih berlanjut. Hal ini terjadi karena factor volume dan harga. Secara keseluruhan kedudukan perolehan devisa dari minyak sawit terhadap totel nilai ekspor hasil industri juga meningkat mencapai diatas 5% sejak 2003 dan pada tahun 2007 mencapai diatas 10%. Hal ini terjadi bersamaan dengan tekanan untuk mengerem ekspor melalui penggunaan dalam negeri untuk kebutuhan minyak goreng.

DUALISME SISTEM PERKEBUNAN SAWIT

12. Aspek ini termasuk aspek yang jarang dibahas dalam membahas industri sawit, kecuali para peneliti yang mempunyai kepedulian mendalam terhadap isu partisipasi masyarakat dalam industri berperolehan nilai tambah tinggi. Industri sawit pada awalnya adalah diperkenalkan mellaui industri perkebunan besar seperti lazimnya tanaman ekspor lain seperti gula, coklat, the, kopi karet dan sawit. Tetapi mungkin hanya dua industri yasng memiliki kemiripan ketika kita ingin mengikut sertakan masyarakat sekitar kebun ke dalam skema industri pertaniuan bernilai tambah tinggi ini yakni gula dan sawit. Kedua-duanya mempunyai corak yang sama diperkenalkan melalui industri besar kemudian diganti dan/atau diperkenalkan perkebunan rakyat. Dalam pengenalan ini ternyata tidak secara serta merta memenuhi harapan dan asumsi yang digambarkan dalam “PERANCANGAN KEBIJAKAN”, tetapi banyak discrepancy yang muncul akibat kekurang pahaman di awal pengenalan (belum ada referensi).

13. Pada industri sawit yang menghadirkan perkebunan besar berdampingan dengan perkebunan rakyat dan berkompetisi dalam pemanmfaatan kapasitas pengolahan terbatas yang berada di tangan industri besar mempunyai corak tersendiri yang melahirkan dualisme dan kesenjangan yang cukup melelahkan penyelesainya. Kompisisi perkebunan besar dan rakyat pada saat ini yang telah mencapai perbandingan 60:40 membesarkan hati, tetapi dependency industri pada industri pengolahan besar (negara apalagi swasta) akan menimbulkan masalah yang semakin besar, terutama dalam suasana abnormal dalam bentuk pergantianmusim dan gangguan pasar.

14. Dilihat dari kinerja kebun isu produktivitas akan mengedepan. Kesan yang muncul perkebunan besar selalu menghasilkan produktivitas yang tinggi, bahkan sampai ke efisiensi pengolhan dalam bentuk hasil minyak sawit per hektar. Padahal produktivitas kebun dan hasil akhir tidak selalu secara transfaran dapat diterjemahkan secara langsung. Banyak factor ekonomis maupun non-ekonomis berbicara dari soal jarak, kecepatan penanganan dan juga mutu asaln bahan baku sendiri. Tanpa melihat keseluruhan ini maka kita dapat menemukan kesimpulan yang salah. Dari studi yang dikumpulkan, menyimpulkan bahwa produktivitas murni minyak sawit per hektar tidak secara menonjol dapat dibedakan oleh [pengelolaan kebun (PN, PSB, PR) tetapi lebih disebabkan oleh hubungan yang baik (time management) dengan industri pengolahan (Dauhari dan Pasaribu, 1996). Sehingga prinsip kelayakan industri sawit tetap menganut kesatuan industri.

15. Kondisi dualistic juga menimbulkan persoalan akan kemampuan pelaku untuk merespons pasar yang dapat merugikan petani pekebun. Dengan pesatnya perkembangan perkebunan rakyat pemikiran untuk mengembangkan penyatuan antara usaha perkebunan dengan pengolahan menjadi agenda relevan dan memerlukan upaya sistimatik. Jembatan penghubung kesenjangan itu berada di industri pengolahan, karena industri sawit mensyaratkan kesatuan industri. Format korporatisasi Perusahaan (Perseroan) Rakyat menjadi pilihan model yang dapat dikembangkan. Korporatisasi semacam ini dapat menciptakan jembatan untuk mengatasi kesenjangan antara industri pengolahan dengan perkebunan.

16. Dalam pengembangan ekonomi yang berbasis kegiatan yang melibatkan banyak pihak yang lemah, memang biasanya dikaitkan dengan keinginan membangun system ekonomi kerakyatan. Ada dua elemen dasar yang harus diperhatikan dalam hal ini, karena sawit sudah teruji keunggulan komperatifnya, maka langkah yang paling tepat adalah menjembatani kesenjangan dengan dua dukungan pokok yaitu promosi dan proteksi terbatas/terencana (Radhi, 2008). Oleh karena, kegiatan pengembangan industri sawit adalah kegiatan yang mempunyai nilai daya tarik bagi perbankan dan lembaga keuangan., maka yang diperlukan adalah “jasa fasilitasi pengembangan bisnis dan investasi”. Business Development Aspects memang kurang menjadi perhatian kita, karena kita sering melompat kepada pemberdayaan pelaku sebagai bentuk keberpihakan. Investasi dan pengembangan bisnis adalah bentuk langsung optimasi antara komponen promosi dan proteksi ke dalam system pasar (mainstream). Jika Negara hadir dalam bentuk langsung maupun tidak langsung akan memberikan nilai lebih bagi kestabilan peran kerjasama pasar, bentuk yang ideal melalui partisipoasi investasi atau pioneering stage.

17. Dualisme system perkebunan sawit pada kenyataannya belum diikuti oleh pengembangan industri pengolahan yang akab menjadikan pasar input industri menjadi sehat, karena pasar monopsoni akan dapat dihindari dan partisipasi dimungkinkan. Hal ini akan menyumbang kehandalan industri pada skala daerah maupun secara nasional. Oleh karena itu aspek penting dalam melihat keberadaan system ganda ini akan menyehatkan persaingan pasar CPO kalau masing dikembangkan secara setara. Inovasi yang diperlukan bukan skala industri lagi, tetapi lebih pada skala pengembangan bisnis. Dalam system anggaran seperti sekarang ini daerah dan perusahaan Negara dapat berperan, tetapi entry terbaik tetap melalui investasi.

KOMPETISI ORIENTASI INDUSTRI DAN KETERGANTUNGAN FINANSIAL

18. Sebagaimana diuraikan di muka industri sawit di Indonesia pada saat ini menghadapi persimpangan jalan dalam mengarahkan industri ini untuk tujuan ekspor dan konsumsi domestic, serta tarikan global oleh industri energi alternatif dan pasar keuangan (modal) global. Sensitifitas ini memerlukan penelusuran secara lebih baik agar mampu menentukan kebijakan yang tidak merugikan arah pengembangan industri sawit untuk kesejahteraan rakyat (pelaku dari hulu sampai ke hilir). Pada saat ini kebutuhan pasokan minyak goreng dalam negeri sekitar dua-pertiga dipasok dari sawit, sehingga dalam dirinya dibebani tugas ketahanan pangan yang mengedepankan aksesibilitas konsumen yang menyesuaikan dengan daya beli. Sementara eksplorasi pasar menghendaki arah pemasaran pada pasar yang menghasilkan keuntungan tertinggi bagi pelakunya.

19. Formula keseimbangan orientasi ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1978 untuk mengatasi krisis minyak goreng 1976 yang berintikan pada kewajiban penyediaan DN bagi produsen CPO serta Jumlah penyediaan dan harga ditetapkan Pemerintah yaitu Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan (Amang dkk, 1996). Selanjutnya pada tahun 1994 ketika krisis minyak goreng terjadi lagi akibat musim kekeringan tahun sebelumnya, pembatasan penggunaan dianggap tidak sejalan dengan instrument yang disediakan dalam kerangka tetap mengedepankan dorongan ekspor dan sejak saat itu diperkenalkan pajak ekspor. Dari pungutan pajak ekspor ini diharapkan dapat dikembalikan untuk mendukung pengembangan industri minyak goreng. Akhir-akhir ini instrument pajak ekspor dianggap belum cukup mengurangi beban keluarga miskin, karena masih tetap tinggi, maka diperkenalkan subsidi harga bagi keluarga miskin atau operasi pasar tertentu dengan dukungan APBN. Di masa lalu operasi pasar dilakukan tidak dengan target konsumen, tetapi untuk stabilisasi harga memalui BULOG pada masa krisis 1998 dan masa-masa sebelumnya yang menjadi beban biaya operasi BULOG. Dengan demikian hingga saat ini kita memiliki tiga model untuk menjaga keseimbangan pasokan DN dan ekspor melalui kewajiban penyediaan pasokan DN langsung, pengenaan pajak ekspor dan subsidi harga bagi konsumen. Yang terakhir lebih ditujukan pada aspek ketahanan pangan ketimbang stabilisasi harga dalam negeri, karena minyak goreng adalah sumber lemak bagi gizi masyarakat bawah selain untuk bahan memasak.

20. Sejak 2006 posisi minyak sawit kembali menghadapi kompetisi orientasi baru setelah dikumandangkanya garis baru gerakan penyediaan energi alternative dengan mengembangkan bio energi. Minyak sawit adalah sumber utama yang telah siap untuk produksi bio-disel bagi Negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia dan Negara Pengimpor yang akan mengembangkanya.. Jika kompetisi orientasi konsumsi pangan dan ekspor dinilai disincentive bagi industri sawit, maka tumbuhnya industri bio-diesel di dunia adalah peluang baru dan merupakan insentif baru bagi perluasan industri dan perkebunan sawit. Guncangan harga sawit dunia selama dua tahun terakhir telah menjadikan momentum revaluasi investasi perkebunan yang menjadikan investasi perkebunan sawit menjadi mahal.

21. Sebagaimana dimaklumi perkebunan sawit adalah padat modal dibandingkan usaha pertanian lainya dan secara keseluruhan (kesatuan industri layak) memerlukan pengerahan investasi yang besar. Oleh karena itu sejak awal hubungan perbankan menonjol, termasuk ketika kita memperkenalkan PIR-BUN dan PIR-TRANS. Pada level industri perbankan dan industri pengolahan besar (milik negara maupun swasta), industri sawit adalah bagian dari investasi yang pembiayaanya telah memasuki pasar modal. Oleh karena itu kaitan industri sawit menjadi semakin terkait dengan perkembangan pasar keuangan domestic dan global melalui tingkat bunga, harga saham, nilai tukar dan ketersediaan dana murah. Hal ini akan menambah sensitivitas keputusan investasi di sector perkebunan yang mahal dan waktu menunggu sampai menghasilkan yang lebih lama.

22. Ke depan peranan penyediaan jasa fasilitasi investasi di sektor industri sawit akan semakin penting dan besar, padahal jasa ini tidak bias ditunggu tetapi harus ditumbuhkan. Di masa lalu jasa ini disediakan oleh Lembaga Keuangan Internasional yang mendukung Perbankan dan/atau Pemerintah, dengan semakin dilonggarkanya campur tangan pemerintah dalam proyek investasi maka jasa semacam ini akan diadakan melalui pasar. Sayang pada saat ini belum tersedia secara memadai analisis permintaan jasa oleh industri sawit dalam bentuk jasa keuangan dan jasa perusahaan. Pada tahun 2008 berdasarkan perkiraan sementara sumbangan Sector Jasa Keungan, Persewaan dan Jasa Perusahaan mencapai 7,40%, terdiri dari Bank 2,52%, Lembaga Keuangan Bukan Bank 0,83%, Jasa Penunjang Keuangan 0,06%, Real Estat 2,66% dan Jasa Perusahaan 1,33%. Data ini menunjukkan betapa semakin pentingnya komponen pendukung untuk mendorong penciptaan nilai tambah di berbagai sector riel.

MENATA INDUSTRI SAWIT YANG PARTISIPATIF DAN BERKELANJUTAN

23. Dengan komposisi penguasaan kebun yang hampir seimbang antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat (60:40) serta penguasaan industri pengolahan hanya pada industri besar, maka resiko gangguan produktivitas minyak sawit menjadi semakin besar, akibat disharmoni yang muncul antara tahap pemanenan dan pengolahan. Di samping secara potensial akan selalu muncul persoalan keadilan dalam system bagi hasil atau penetapan harga. Gangguan semacam ini akan semakin besar pengaruhnya terhadap produksi dan peningkatan daya saing kita, padahal sebagimana diuraikan di muka efisiensi industri sawit sangat ditentukan derajad integrasi dari Industri Perkebunan Sawit. Maka agenda terdepan penataan industri sawit adalah memecahkan ketimpangan penguasaan industri pengolahan.

24. Berbagai gagasan yang pernah dikembangkan dan diuji pada skala penelitian atau tahap pengembangan perlu dilanjutkan. Format pengembangan harus bertumpu pada fakta struktur penguasaan kebun yang kecil dan prinsip kelayakan harus tetap dikedepankan. Bentuk yang cocok adalah format pelibatan banyak pelaku dalam suatu investasi industri pengolahan. Pada masa lalu koperasi pernah dicoba dikedepankan, tetapi akhirnya hampir semuanya gagal, karena tidak kompatibel dengan struktur penguasaan kebun dan struktur pasar industri pengolahan yang terlanjur tidak tertata dengan baik. Persaingan tidak sehat dalam penetapan harga oleh industri pengolahan, kedudukan kebun rakyat dengan berbagai model kepemilikan, serta hubungan yang sangat longgar antara keputusan membuka kebun dengan keputusan mengembangkan industri oleh perusahaan di luar Industri Perkebunan Sawit Besar.

25. Model yang dapat dikembangkan adalah mengembangkan industri pengolahan buah sawit skala kecil yang dapt dimiliki oleh skala invidu maupun perusahaan dalam bentuk perseroan. Pengalaman industri penggilingan padi dapat menjadi referensi untuk mengembangkan industri pengolahan yang meningkat nilai tambah bagi perkebunan rakyat skala kecil, sehingga model industri keseluran akan mengandung corak partisipasi yang lebih besar. Dalam hal melibatkan banyak orang, peluang untuk memanfaatkan model perseroan dengan pemegang saham yang banyak sepanjang kurang dari 300 pemegang saham dapat dilakukan. Model ini merupakan bentuk pengembangan perusahaan koperatif yang sulit menggunakan mekanisme koperasi, karena kekakuan instrument pengaturan yang tidak berhasil mengedepankan insentif partisipasi modal dan pembagian resiko bisnis.

26. Pada skala regional untuk mengatasi eksploitasi akibat struktur pasar yang ada maka diperlukan instrument untuk pengenalan modalitas infrastruktur pasar seperti sarana lelang yang lebih terbuka bagi semua pelaku secara setara, tidak terbatas pada industri besar. Meskipun pekerjaan ini sulit, namun pemikiran ke arah itu perlu dipersiapkan. Karena semakin meluasnya industri sawit dengan corak penguasaan yang sangat dualistic sangat rentan terhadap ketimpangan.

27. Pada skala nasional pengembangan kebijakan untuk menjaga keseimbangan orientasi konsumsi domestic dan ekspor, kebijakan yang dikembangkan yang transparan dan ramah pasar. Hal ini penting mengingat kaitan antara industri sawit dengan pasar keuangan semakin tinggi. Selanjutnya pengembangan industri hilir yang mengembangkan produk derivative minyak sawit di luar untuk minyak goreng juga merupakan pilihan pengembangan dan telah menjadi bagian dari strategi pengembangan industri unggulan nasional.

PENUTUP

28. Industri sawit di Indonesia telah tumbuh pesat dan menyebar secara luas ke berbagai propinsi yang mampu membuka lapangan kerja di daearh, baik yang segera maupun jangka panjang. Peran perkebunan rakyat secara mengesankan juga telah tumbuh mengejar perkebunan besar, namun perkembangan ini tidak diikuti oleh penguasaan industri pengolahan. Padahal kesatuan industri bagi industri sawit merupakan kunci untuk efisiensi dan daya saing. Oleh karena itu pengembangan industri pengolahan yang lebih partisipatif oleh produsen bahan baku akan menjadi agenda penting dan perlu disertai dukungan fasilitasi investasi dan jasa perusahaan yang kuat. Sementara secara makro instrument kebijakan untuk menjaga keseimbangan orientasi konsumsi domestic dan ekspor perlu dikembangkan dengan pendekatan ramah pasar.
Semoga bermanfaat.
Disampaikan Oleh Dr. Noer Soetrisno pada Seminar Nasional Bertajuk: Kebangkitan Pertanian Menghadapi Krisis Global

Read more.....