Rabu, 28 Januari 2009

Stratagi Ekspor Komoditas Perkebunan dalam Situasi Krisis Financial Global, Kasus pada Kopi

Pendahuluan
Pada tahun 2005 luas areal perkebunan di Indonesia dilaporkan mencapai 35,5 juta ha dengan laju pertumbuhan selama tahun terakhir sebesar 2,65 % per tahun, terdiri atas tanaman tahunan seluas 17,4 juta ha dengan laju pertumbuhan 2,66 % per tahun dan tanaman semusim 18,1 juta ha dengan laju pertumbuhan 2,65 % per tahun (Direktorat Jendral Perkebunan, 2007). Sektor perkebunan

tentu memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian nasional karena sektor ini mnjadi cumber matapencaharian bagi puluhan juta rakyat Indonesia mulai dari industri hulu sampai dengan hilir.

Krisis finansial global kini melanda di Amerika Serikat (AS) dan negara-negara maju Eropa diantaranya Inggris, Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, dan Belanda telah terasa dampaknya ke berbagai negara partner dagang AS dan negara-negara Eropa ke negara-negara Asia, seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, dan India. Krisis finansial ini diperkirakan akan menyebabkan resesi ekonomi di Amerika Serikat dan berbagai negara di atas mulai akhir tahun 2008. IMF dan berbagai lembaga terkenal memperkirakan pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi melambat bahkan negatif. Konsekuensinya pertumbuhan output dan permintaan output mulai turun sampai negatif yang pada gilirannya menyebabkan permintaan komoditas perkebunan turun (LRPI, 2008).
Tanda-tanda ke arah resesi ekonomi dunia mulai nampak dengan harga saham di berbagai negara jatuh, importir di negara-negara yang terkena krisis mengalami kesulitan likuiditas, dan harga-harga berbagai komoditas perkebunan anjlok. Sebagai gambaran, harga CPO Cif Rotterdam pada bulan Juli 2008 sempat mencapai US$ 1.200 per ton menjadi hanya US$ 700 per ton (turun sekitar 40%) minggu kedua bulan Oktober 2008. Harga karet di Kuala Lumpur pada akhir bulan Juni mencapai rekor US$ 3,3 per kg turun 33% menjadi US$ 2,2 per kg minggu kedua bulan Oktober 2008. Dampaknya langsung dirasakan petani, yaitu harga Tandan Buah Segar (TBS) hanya sekitar Rp. 600-700 per kg dan harga bahan olah karet hanya sekitar Rp. 6.000 per kg (LRPI, 2008).
Komoditas kopi dan kakao jugs mengalami hal serupa namun sedikit berbeda. Pada periode tersebut di atas harga internasional kopi Arabika tururi sekitar 15 %, kopi robusta turun sekitar 20% dan kakao harga turun sekitar 20%. Penurunan harga kopi international tidak terlalu dirasakan dampaknya oleh petani kopi, karena pada saat harga turun mereka menyimpan biji dan menjual kembali pada bulan November - Desember pada saat nilai tukar Rupiah terhadap US$ melemah menjadi Rp. 11.000,00 – Rp. 12.000,00.
Krisis finansial global yang nampaknya tidak terkendali dan justru mengarah ke resesi global tentunya merupakan ancaman series bagi kelangsungan pembangunan perkebunan di Indonesia. Pelaku perkebunan Indonesia tidak dapat hanya mengandalkan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap mats uang acing, utamanya US$, untuk memperoleh berkah karena krisis likuiditas dan resesi global memunculkan musibah yang lebih besar. Krisis likuiditas dan resesi global terutama yang dialami oleh negara-negara tersebut di atas dapat menunda bahkan menghentikan kontrak-kontrak pembelian komoditas perkebunan yang berasal dari Indonesia. Sebagai akibat langsung dari keadaan tersebut adalah akan terjadinya excess supply yang akan mengakibatkan jatuhnya harga komoditas perkebunan di dalam negeri (LRPI, 2008).
Tulisan ini dimaksudkan uniuk memberikan gambaran serba singkat tentang stratagi ekspor komoditas perkebunan, khususnya kopi sebagai salah satu bentuk sumbangan pemikiran dalam meiakukan antisipasi dini terhadap terancamnya keberlanjutan ekspor. Sumbangan pemikiran ini diharpakan dapat disintesis dengan pandangan-pandangan dari pemangku kepentingan lainnya agar ekspor komoditas perkebunan dari Indonesia tetap berlanjut don memberikan manfaat yang maskimal terhadap perolehan devise negara maupun pendapatan produsen.
Perlu Langkah yang Efektif dan Efisien
Seperti diketahui, Amerika Serikat dan berbagai negara Eropa seperti Inggris, Jarman, Perancis, Italia, Spanyol dan Belanda adalah pasar bagi berbagai komoditas perkebunan Indonesia, seperti karet, kakao, kopi, kelapa sawit, teh, dan lade. Cina, Jepang, India, Korea Selatan, dan India yang merupakan partner dagang AS dan negara-negara Eropa juga terkena imbas. Padahal Negara-negara tersebut adalah juga pasar bagi komoditas perkebunan Indonesia.
Perkebunan Indonesia terancam, tapi perkebunan Indonesia mempunyai modal dasar berupa keunggulan komparatif, dan beberappA komoditas (minyak kelapa sawit, karet, dan kakao), mempunyai daya saing yang cukup bagus. Namun justru komoditas-komoditas tersebut yang sangat mungkin mengalami goncangan terkuat dibandingkan komoditas perkebunan lainnya karena pasar ke tiga komoditas tersebut terkena resesi. Masalahnya, komoditas lain terkait dengan daya saingnya yang lemah. Dari sisi pelaku, petani perkebunan rakyat relatif lemah sehingga mereka perlu diutamakan untuk diselamatkan.
Untuk menyelamatkan usaha perkebunan Indonesia, langkah antisipatif perlu disiapkan sekaligus diimplementasikan, baik yang bersifat fundamental maupun penunjang. Sasarannya adalah agar komoditas dan produk perkebunan Indonesia dapat dijual dengan beban biaya output minimum. Penjualan komoditas tersebut terutama di pasar ekspor.
Langkah-langkah antispasi keberlajutan ekspor komoditas perkebunan telah dirumuskan dalam diskusi terbatas ahli eknonomi dan ahli perkebunan belum lama ini (LRPI, 2008) seperti tersebut di bawah ini.

1. Langkah Fundamental Jangka Pendek

a. Mencari pasar ekspor tambahan atau alternatif untuk komoditas perkebunan dengan tetap menjaga pasar yang ada dalam kerangka diversivikasi pasar.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa negara-negara tujuan ekspor utama komoditas perkebunan dari Indonesia terimbas krisis finansial global yang dikhawatirkan akan menurunkan impor mereka. Oleh karena itu, dalam rangka mempertahankan kineda ekspor komoditas perkebunan perlu upaya mencari pasar-pasar alternatif di negara-negara lain.
Dalarn rangka memperkuat posisi pasar ekspor produk perkebunan ke depan, make pasar domestik juga perlu digarap secara maksimal. Hal ini pemah dilakukan dengan sukses oleh Brasil sebagai produsen utama komoditas kopi, yaitu laju konsumsi domestik kopi di negara ini naik rata-rata 4,6 % per tahun. Pada tahun 2007 konsumsi domestik di Brasil mencapai 16,5 juta karung atau 50 % dari total produksi nasinal sebesar 33 juta karung setara dengan 18.000 ton (Beling, 2008).
Konsumsi kopi domestik yang kuat di Brasil telah memperkuat pertumbuhan industri hilir di dalam negeri. Perturnbuhan industri hilir ini memaksa dilakukannya kegiatan riset dan pengembangan agar senantiasa dapat ditemukan teknologi-teknologi bare yang inovatif, sehingga Brasil seat ini juga telah menguasai teknologi mutakhir dalam industri hilir kopi. Peningkatan konsumsi kopi domestik yang siginfikan telah memperkuat posisi tawar terhadap ekspor kopi dari negara tersebut di pasar dunia.
Khusus untuk komoditas perkebunan yang diimpor, perlindungan terhadap produsen dalam negeri tetap diperlukan. Kebijakan impor melalui instrumen perdagangan yang berlaku saat ini, seperti untuk gula dan kakao, tetap perlu dipertahankan. Instrumen kebijakan impor tidak perlu dilonggarkan untuk mencegah masuknya komoditas dan produk perkebunan asing menyerbu pasar Indonesia.

Mengembangkan sebagian komoditas perkebunan menjadi produk perkebunan dalam kerangka industrialisasi perkebunan

Kesulitan mengekspor komoditas primer merupakan momentum untuk mengembangkan industri hilir yang sudah ada. Untuk itu, Pemerintah menyediakan insentif bagi industri pengolahan perkebunan berupa pinjarnan lunak, subsidi sampai hibah. insentif fiskal berupa keringanan pajak hingga pengecualian pajak, terutama pajak impor barang dan jasa untuk mendukung ekspor. Dalam hal ini, beban yang timbal ditanggung Pemerintah.
Khusus untuk barang jadi karet, krisis saat ini dapat dijadikan untuk meningkatkan kandungan lokal barang-barang otomotif dan elektronik. Sedangkan untuk industri hilir minyak sawit, saat ini merupakan saat yang tepat untuk mengembangkan industri biodiesel berbahan bake CPO di Indonesia. Dengan harga di Rotterdam sekitar US$ 615 per ton CPO dan harga solar Rp 5.500,- per liter maka memungkinkan biodiesel asal CPO bersaing dengan solar untuk dipasarkan di dalam negeri.

Mengefektifkan skim-skim pengembangan perkebunan yang sudah ada
b.
Belajar dari pengalaman mass lalu, pada saat harga komoditas perkebunan jatuh, petani menelantarkan kebunnya. Pada saat harga komoditas perkebunan bagus, petani tidak mempunyai kemampuan untuk menabung dalam rangka investasi. Saat ini Pemerintah telah meluncurkan Program Revitalisasi Perkebunan dengan skim keringanan bunga (subsidi bunga), skim penjaminan kredit melalui Skim Pembiayaan Pembangunan Pertanian (SP3) dan lainnya. Kini saatnya Pemerintah menerapkan kebijakan bidang moneter untuk mendukung sustainabilitas perkebunan melalui peningkatan produktivitas. Lembaga perbankan diminta untuk berbuat di perkebunan dengan mengefektifkan pembiayaan kredit produksi dan investasi sebagai pendamping subsidi bunga dan penjaminan dari Pemerintah, serta dalam keadaan darurat kredit konsumsi. Hal ini masih rasional karena mass depan perkebunan masih cukup prospektif dan cukup tangguh.

Mengatasi masalah mendasar perkebunan Indonesia.

Masalah kelangkaan dan harga pupuk mahal merupakan masalah mendasar yang saat ini dihadapi pelaku usaha perkebunan, termasuk petani. Penyediaan pupuk subsidi untuk perkebunan sangat urgen dan hal ini dapat dilakukan dengan menghentikan ekspor pupuk N dan meningkatkan impor pupuk fosfat serta mengembangkan dan menyediakan pupuk altematif.
Masalah lain yang mendesak untuk ditangani adalah penerapan standar teknis pemeliharaan kebun di perkebunan rakyat terutama perkebunan kakao. Perkebunan kakao harus terhindar dari penyebaran gangguan hama dan penyakit, terutama hama penggerek bush kakao (PBK) dan penyakit vascular streak dieback (VSD). Pemerintah perlu menjadikan pemangkasan tanaman kakao di perkebunan rakyat sebagai gerakan nasional peningkatan produktivitas dan kehilangan hasil. Terakhir tapi bukan berati tidak penting adalah masalah efisiensi. Pelaku usaha harus mampu menghemat pembiayaan opersional dan beban di luar biaya opersionalnya. Hal ini ditunjang dengan pengurangan beban sebagai akibat dari peraturan Pemerintah Pusat dan Daerah, terutama terkait dengan berbagai bentuk pungutan/retribusi.

2. Langkah Fundamental Jangka Panjang
a. Peningkatan daya saing
Daya saing komoditas dan produk perkebunan dilihat dalam hubungannya dengan efisiensi operasi perusahaan relatif terhadap komoditas dan produk perkebunan yang dihasilkan perusahaan lain di luar negeri yang dicerminkan dari unit value (US$). Dalam pengertian ini, nilai komoditas dan produk perkebunan Indonesia secara relatif dapat disandingkan dengan komoditas dan produk sejenis dalam kaitannya dengan mutu dan konsistensinya, kontinyuitas pasokan, dan kepercayaan pengimpor. Pada makalah ini uraian lebih rinci tentang peningkatan daya saing akan dicontohkan pada kasus komoditas kopi.

b. Rehabilitasi/peremajaan kebun-kebun yang rusak/tidak produktif
Masalah rehabilitasi/peremajaan dilakukan untuk menjamin keberlanjutan usaha perkebunan, terutama perkebunan rakyat. Sebagian besar petani dengan tingkat kemampuan yang dimilikinya umumnya tidak akan mampu melakukan rehabilitasi/peremajaan secara swadaya. Keberpihakan Pemerintah ke petani tetap diperlukan baik secara langsung maupun tak langsung melalui intermediasi lembaga keuangan dan perusahaan perkebunan. Pemerintah harus berbuat secara efektif dalam membantu rehabilitasVperemajaan perkebunan, terutama perkebunan rakyat. Implementasi dan realisasi komitmen perbankan untuk pelaksanaan Revitalisasi Perkebunan perlu dipercepat, sehingga dalam waktu 4-6 tahun ke depan, produktivitas perkebunan meningkat secara signifikan
Sudah saatnya hasil-hasil pungutan, misal pungutan ekspor CPO dan olahannya, sebagian digunakan untuk rehabilitasi/peremajaan perkebunan kelapa sawit. Ke depan pada saat harga sudah membaik, penggalian dana melalui pungutan ekspor ini dapat diterapkan ke komoditas perkebunan lainnya. Peruntukan dana yang terkumpul di antaranya untuk rehabilitasVperemajoan. Dalam kasus pungutan dan rehabilitasi/peremajaan perkebunan ini, Malaysia dan Thailand telah rnelakukannya sejak beberapa tahun lalu hingga sekarang.

3. Langkah Penunjang
(a) Pemerintah harus gist mempromosikan komoditas dan produk perkebunan Indonesia ke berbagai negara dalam berbagai kesempatan dengan menggunakan berbagai media dan metoda.
(b) Pemerintah harus lebih mengefektiikan lobi-lobi perdagangan melalui lembaga-lembaga internasional dimana Indonesia sebagai anggota untuk selalu memasukkan komoditas dan produk perkebunan Indonesia sebagai salah sate andalan.
(c) Dalam menangani ancaman dan masalah yang dihadapi sektor perkebunan, Pemerintah tetap harus mengatur dan mengontrol sektor perkebunan dengan dukungan legalitas supaya mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
(d) Pemerintah menyediakan informasi yang up to date tentang perkembangan pasar komoditas, pasar uang dan industri di luar negeri serta berbagai perkembangan ekonomi dan teknologi di negara-negara pengimpor komoditas dan produk perkebunan.
(e) Pemerintah mengembangkan pemikiran kreatif dengan belajar dari pengalaman mass lalu yang sejenis untuk tetap menangani masalah dengan tenang dan tidak panik.

Contoh Kasus: Peningkatan Dayasaing Komoditas Kopi
Saat ini Indonesia merupakan negara produsen kopi utama keempat setelah Brasil, Vietnam, dan Colombia. Pada tahun 2006 lugs areal kopi Indonesia total mencapai 1.309.732 juta ha dengan total produksi nasional sebanyak 682.158 ton. Di antara luasan tersebut yang merupakan tanaman menghasilkan (TM) hanya sekitar 75 % serta sisanya merupakan tanaman tua/rusak (TT/TR) dan tanaman belum menghasilkan (TBM). Was areal maupun produksi tersebut terdiri atas 96 % Perkebunan Rakyat, 2 % Perkebunan Negara, dan 2 % Perkebunan Swasta. Sumatra menghasilkan sekitar 70 % dari total produksi nasional, adapun provinsi-provinsi sentra produksi utama adalah Lampung, Sumatra Selatan, Bengkulu, Sumatra Utara, dan NAD. Kopi merupakan sumber mate pencaharian utama bagi sebanyak 1.589.334 rumah tangga petani (Direktorat Jendral Perkebunan, 2007).
Indonesia menghasilkan tiga jenis kopi yaitu Arabika (Coffee arabica L.), (C. canephora Pierre), dan Liberika (C. fibefica Bull.). Kopi Uberika akhir-akhir inf'mulai banyak berkembang di lahan pasar surut di Sumatra dan Kalimantan, namun karena kuantum produksinya sangat sedikit maka dalam perdagangan dimasukkan dalam kelompok Robusta.
Pada tahun 2006 ekspor kopi Indonesia sebanyak 307.880 ton dengan nilai sebesar USD 497 juta dengan negara-negara tujuan utama adalah Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Italia dan Singapura. Volume ekspor kopi dalam 1996–2005 (10 tahun) menunjukkan pertumbuhan negatif dengan rata-rata -0,47 % per tahun. Perkembangan volume dan nilai ekspor kopi tahun 1996 –2005 sebagai tertera pada Gambar 1.
Pada tahun 2004 tercatat peran kopi sebagai pendapatan devisa total terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), Sektor non Migas, dan Sektor Pertanian berturut-turut sebesar 0,35 %, 0,45 %, dan 10,06 % (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia, 2007). Peran kopi sebagai sumber pendapatan devisa akhir-akhir ini cenderung menurun, namun hal ini bukan karena volume dan nilai ekspor kopi menurun akan tetapi lebih disebabkan karena meningkatnya peran komoditas lain seperti kelapa sawit, produk-produk perikanan, dll.
Sebagian besar kopi Indonesia diekspor, sehingga di pasar internasional kopi dari Indonesia akan menghadapi persaingan yang cukup ketat dengan kopi dari negara-negara lain. Daya saing pasar kopi Indonesia akan menjadi salah satu kunci panting dalam memenangkan pasar ekspor. Di lain pihak sebagian besar (96 %) kori Indonesia dihasilkan oleh petani kecil dengan berbagai keterbatasannya.

1. Pasar Kopi Indonesia
Berdasarkan tempatnya perdagangan fisik kopi biji Indonesia memiliki dua macam pasar, yaitu pasar internasional dan pasar domestik.
a. Pasar Internasional
Kondisi pasar internasional kopi sangat dinamis dan sangat dipengaruhi oleh faktor fundamental pemasaran, yaitu pasok (supply) dan permintaan (demand). Pasok kopi dunia sangat ditentukan oleh keberhasilan panen di Brasil dan Vietnam. Keberhasilan panen di Brasil sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca, yaitu tedadinya embun upas (frost) di kawasan yang telah mendekati sub tropika dan cekaman air di kawasan tropika. Kawasan tropika Brasil sekarang banyak menghasilkan kopi robusta yang popular dengan Hama conillon. Adapun faktor slam yang sering menggangu produksi kopi Vietnam adalah cekaman kekeringan, khususnya di kawasan¬kawasan yang tidak mendapatkan fasilitas idgasi yang memadai.
Tingkat produksi kopi dari dua negara tersebut akan sangat mempengaruhi harga kopi dunia. Keberhasilan panen di dua negara tersebut akan berdampak terhadap penurunan harga kopi dunia secara signifikan, dan sebaliknya jika tedadi kegagalan panen.
Dalam lima tahun terakhir produksi kopi dunia mencapai sekitar 6,5 juta ton, adapun Brasil menghasilkan sekitar 2,5 juta ton dan Vietnam sekitar 0,9 juta ton. Jadi dua negara tersebut telah menghasilkan lebih dari 50 % produksi dunia.
Permintaan kopi dunia sangat dipengaruhi konsumsi. International Trade Centre (2002) memperkirakan laju konsumsi dunia hanya sekitar 1,7 % per tahun. Pertumbuhan konsumsi kopi dunia ini lebih dipengaruhi oleh faktor pertambahan penduduk dunia, walaupun di beberapa negara jugs terjadi peningkat konsumsi per kapita per tahun seperti yang tedadi di Jepang dan Brasil.
Dalam perdagangan kopi, International Coffee Organization (ICO) membagi kopi biji menjadi kelompok Arabike (Colombian Mild, Other Mild, dan Brazilian Natural) don Robusta. Volume dan nilai ekspor kopi dunia selama empat tahun terakhir sebagai tersebut pada Tabel 1. Pasar kopi internasional akhir-akhir ini juga tersegmentasi berdasarkan sifat produknya, yaitu segmen pasar komersial (commercial) dan segmen pasar spesialti (specialty). Kopi komersial akan membanjiri pasar utama yang lebih menekankan pada aspek kuantitas sehingga sering kali disebut dengan istilah main stream (arus utama), sedangkan kopi spesialti hanya mengarah pada pasar-pasar khusus yang lebih mengutamakan mutu citarasa sehingga sering kali disebut dengan niche market (ceruk pasar).
Hasil kajian tentang kecenderungan minum kopi secara nasional, menunjukkan bahwa konsumsi minum kopi gourmet (specialty) orang dewasa Amerika Serikat meningkat sebanyak 3% yaitu menjadi 17% pada tahun 2008 dibanding dengan 14% pada tahun 2007 (NCA, 2008). Kecenderungan peningkatan konsumsi kopi spesialti ini juga terjadi di negara-negara konsumen lainnya. Kopi spesialti dalam sepuluh tahun terakhir telah menjadi salah satu bagian dari gays hidup (life style) masyarakat yang dicirikan dengan menjamumya gerai-gerai kopi bertaraf internasional seperti Starbuck Coffee, Coffee Bean & Tea Leaf, dll.
Kecenderungan peninggkatan konsumsi kopi spesialti ini hart's dimanfaatkan dengan baik oleh kalangan industri kopi nasional, oleh karena itu produksi kopi spesialti dari Indonesia pedu dimantapkan dan dikembangkan. Pemantapan produksi kopi spesialti perlu diprioritaskan pada apek mutu, karena kopi spesialti diperdagangkan dengan tolok ukur citarasa yang unsur subyektivitasnya cukup tinggi.
Konsumen kopi dunia tergolong sangat dinamis. Akhir-akhir ini dalam mengkonsumsi kopi mereka mereka tidak sekedar ingin memenuhi kebutuhan (need) dan kehendak (want) saja, akan tetapi mereka juga memiliki harapan-harapan (expectations) terhadap kopi yang mereka konsumsi. Harapan-harapan konsumen ini terjadi karena adanya proses pencerahan (enlighting) di tingkat konsumen sebagai akibat derasnya arus informasi pasar akhir-akhir ini (Kartajaya, 2001). Sebagai contoh mereka mengharapkan kopi yang dikonsumsi ramah terhadap lingkungan hidup, amen terhadap kesehatan, terjadi perdagangan yang berimbang (fair trade), dll.
Pada tahun 2005 jumlah kopi yang disangrai industri-industri kopi sebanyak 129.880 ton untuk menghasilkan kopi biji sangrai, kopi bubuk, maupun kopi instan. Jumlah tersebut belum termasuk pabrik-pabrik kecil industri rumah tangga yang biasanya tidak memiliki ijin industri dan kopi yang disangrai sendiri di rumah-rumah tangga.Indikator lain adanya peningkatan konsumsi domestik adalah makin meningkatnya impor kopi dari luar negeri seperti yang tertera pada Tabel 3. Impor kopi biasanya dalam bentuk kopi sangrai bermerek terkenal untuk keperluan penyajian di hotel dan restotaran yang banyak dikunjungan orang asing.
Seperti gejala yang muncul di negara-negara konsumen kopi utama, adanya gejala bahwa kopi sebagai salah satu bagian gays hidup juga sudah mulai muncul di Indonesia. Hal ini selain karena makin menjamumya gerai-gerai kopi bertaraf intemasional juga makin tumbuhnya gerai¬gerai kopi domestik seperti Excelso, Caswell's, dll.
Perkembangan konsumsi kopi domestik ini perlu dicermati dengan baik agar dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pemasaran kopi produksi perkebunan rakyat. Tuntuten masyarakat konsumen kopi domestik terhadap mutu akhir-akhir ini juga makin meningkot, sethingga pars petani harus diedukasi agar dapat memproduksi barang yang mutu dan harganya mampu bersaing di pasar.
Peningkatan daya saing pasar kopi rakyat di tingkat intemasional maupun domestik sudah barang tentu harus memperhatikan karakteristik masing-masing pasar, namun ada beberapa hal faktor mendasar yang serupa. Faktor-faktor penetu daya saing tersebut antara lain mutu (fisik dan citarasa), harga, dan jumlah serta keberlanjutan pasok.

2. Membanguan Dayaraing Komoditas Kopi
a. Peningkatan Produktivitas Kebun dan Produksi Nasional
Akhir-akhir ini banyak kalangan pengamatan perdagangan kopi intemasional mulai mengkhawatirkan keberlanjutan pasok kopi dunia pada tahun-tahun yang akan datang. Hal ini diduga karena laju konsumsi kopi dunia relatif tetap (sekitar 1,5% per tahun), akan tetapi laju pertumbuhan ekspor beberapa negara penghasil utama menurun antara lain karena meningkatriya konsumsi domestik.
Bagi Indonesia, kekhawatiran tersebut merupakan peluang untuk meningkatkan produktifitas dan produksi nasional. Produkstivitas kopi nasional sekitar 700 kg/ha diharapkan dapat ditingkankan menjadi sekurang-kurangnya 1.000 kg/ha melalui program intensifikasi. Jika hal tersebut dapat dicapai maka produksi nasional akan mencapai sekurang-kurangnya 1 juta ton atau setara dengan 16,6 juta karung. Intensifikasi perkebunan kopi perlu memperhatikan petani dalam melakukan diversifikasi usaha tani dalarn rangka memperkecil risiko usaha berbasis kopi.Peningkatan produksi nasional akan berdampak pada kemampuan Indonesia dalam menjamin keberlanjutan pasok kopi di pasar dunia.

b. Pemberdayaan Kelembagean Produsen Tani
Petani kopi di Indonesia pada umumnya merupakan petani kecil dengan lugs areal usaha tani rata-rata 1,0–2,0 ha, oleh karena itu pemberdayasn kelompok tani akan menjadi salah satu faktor penting dalam upaya meningkatkan daya saing produk yang . mereka hasilkan. Pemberdayaan kelompok tani selain diharapkan akan menunjang produktivitas kebun juga dapat meningkatkan mutu dan mengurangi masalah keragaman produk yang dihasilkan oleh masing¬masing petani kecil, khususnya dari segi mutu.
Pemberdayaan kelompok tani dalam rangka peningkatan daya saing pasar kopi sekurang¬kurangnya memiliki tiga unsur penting, yaitu: (1) Pembentukan dan penguatan kelompok tani, (2) Penguatan ilmu pengetahuan dan teknologi di tingkat petani, dan (3) membangun prasarana dan sarana produksi yang diperlukan.
Pembentukan kelompok tani merupakan hal yang mendasar dan merupakan tahapan penting. Pada etnik tertentu biasanya kelompok tani telah terbentuk secara tradisonal karena terkait adat, walaupun seringkali perlu adanya penyesuaian dengan kegiatan ekonomi yang akan dilaksanakan. Kelompok tani yang embrionya terbentuk secara adat misainya di Bali ada Subak, di lembah Baliem memiliki "Kepala Suku Kemakmuran" yang mngurus tentang pertanian dan peternakan, dll.
Pembentukan kelompok tani hendaknya dilakukan oleh para petani sendiri agar mereka seder tentang maksud dan tujuan berkelompok. Bantuan pihak lain (Pemerintah, LSM, dll.) dalam pembentukan kelompok tani sebaiknya bersifat fasilitasi dan konsultansi. Kelompok tani diharapkan sebagai wahana bagi para petani untuk meningkatkan kinerja dan menyelesaikan masalah-masalah sosial serta ekonomi yang mereka hadapi.
Dalam proses produksi kopi, kelompok tani diharapkan sebagai serene untuk menyamakan persepsi dalam melakukan budidaya kopi. Hal ini penting agar tingkat produktivitas kebun mereka tidak terlalu beragam, baik dari segi jumlah maupun mutu mutu kopi gelondong sebagai bahan baku pengolahan secara berkelompok. Mutu citarasa kopi sangat ditentukan oleh mutu bahan baku kopi gelondong di kebun.
Dengan adanya kelompok tani diharapkan petani dapat mengolah kopi gelondong secara bersama-sama, sehingga terjadinya keragaman mutu antar petani dapat diporkocil atau bahkan ditiadakan.
Penguatan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) tepat guns di tingkat petani perlu dilakukan agar petani memiliki pemahaman y,)ng baik dalam berproduksi. Petani harus memiliki pengetahuan yang baik terhadap faktor4aktor yang menentukan mutu kopi agar mereka selama proses produksi tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menurunkan mutu kopi.
Penguatan IPTEK dapat dilakukan melalui penyuluhan dan pelatihan, namun yang lebih efektif adalah dengan cars memberikan pengawalan (backstopping) secara langsung di tingkat petani selama mereka berproduksi. Pengawalan teknologi secara langsung oleh tenaga ahli yang kompeten akan memberikan motivasi kepada para petani untuk berproduksi dengan baik, selain itu jika terjadi kesenjangan hasil karena kesalahan teknis akan dapat diatasi secara dini.
Kebun kopi petani banyak yang terdapat di kawasan yang teriosolir dan belum memiliki akses jalan yang baik. Pada kawasan seperti ini pare petani pedu dibantu dengan pembangunan jalan produksi. Kopi gelondong hasil petik petani harus segera diolah untuk mendapatkan mutu citarasa yang baik, jika terjadi keterlambatan dalam pengolahan dapat menimbulkan carat rasa yang pada gilirannya akan sangat menurunkan daya saing di pasar.
Kelompok tani yang belum memiliki sarana untuk berproduksi seperti misalnya tempat pengolahan hasil serta alai dan mesin pertanian, perlu dibantu oleh pihak lain. Dalam hal ini biasanya peran pemerintah cukup dominan, namun seringkali bantuan sarana produksi juga diberikan oleh lembaga swadaya masyarakat. Pemberian bantuan kepada kelompok tani sebaiknya disertai dengan upaya menggali peran serta swadaya masyarakat setempat.

c. Membangun Sistem Produksi yang Kompeddf
Kebanyakan pertani kopi di Indonesia masih melakukan proses produksi secara individual menurut tradisi setempat. Pole produksi mereka sudah terbentuk secara turun temurun, walaupun di enters mereka juga sudah ada mulai memodifikasinya karena telah belajer dari sesama petani atau penyuluh. Produksi kopi dari perikebunan rakyat di Indonesia pada umumnya belum memiliki sistem yang baik, sehingga daya saing produknya rendah.
Mengingat tuntutan konsumen kopi dunia akhir-akhir ini makin meningkat dan terdeferensiasi, make dalam rangka meningkatkan daya saing kopi rakyat perlu dibangun sistem produksi yang efektif dan efisien. Sistem produksi yang dibangun sekurang-kurangnya mampu memhasilkan tiga hal, yaitu: (1) jumlah produksi minimal yang dibutuhkan pasar, (2) memberikan jaminan mutu dan keamanan pangan, serta (3) memberikan jaminan pasok yang berkelanjutan (sustainable supply).
Jumlah minimal produksi dengan mutu yang same sesuai dengan kebutuhan industd pedu ditekankan kepada kelot ipok tani. Biasanya eksportir atau industriawan kopi menghendaki jumlah minimal produksi adalah satu kontainer ukuran 18 feet atau cetera dengan 18 ton kopi biji slap ekspor. Jika satu kelompok tani tidak mampu memproduksi jumlah minimal tersebut, make kelompok tersebut sebaiknya bekerjasama dengan kelompok lain.
Untuk menyeragamkan proses produksi di tingkat kelompok tani maupun enter kelompok tani perlu adanya Standard Operational Procedure (SOP). SOP merupakan panduan kerja bagi kelompok tani. Pengalaman dalam pembinaan perbaikan mutu di tingkat petani menunjukkan bahwa SOP sangat membantu dalam proses produksi dan produk yang dihasilkan lebih seragam.
Selain itu SOP diharapkan akan mengefisienkan beaya produksi di tingkat kelompok tani, sehingga harga dasar produk menjadi lebih murah. Harga yang lebih murah akan meningkatkan daya saing produk di pasar.
Jaminan mutu dan keamanan pangan akan menjadi salah faktor penentu dayasaing pasar kopi domestik maupun intemasional pada waktu yang akan datang, karena kopi tergolong dalam produk pangan dan penyegar (food and beverage). Proses produksi kopi di tingkat kelompok tani juga perlu memperhatikan aspek jaminan mutu dan keamanan pangan. Sistem jaminan mutu biasanya mengacu pada ISO (International Organization for Standardization), sedang sistem jaminan keamanan pangan biasanya mengacu pada HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points). Dari aspek keamanan pangan kopi yang diproduksi terutama harus babas dari kontaminan seperti residu pestisida, toxin (aflatoxin, ochratoxin), dll.
Kelompok tani perlu diberi informasi bahwa mereka merupakan bagian dari sistem industri kopi di pasar global. Oleh karena itu, kelompok tani juga harus memiliki kepeduliaan terhadap keberlanjutan industri kopi global. Salah satu hal penting yang dilakukan kelompok tani adalah memberikan jaminan pasok kepada industri secara berkelanjutan. Industri kopi harus bersaing ketat di pasar konsumen akhir, oleh karena itu mereka biasanya menawarkan produk-produk yang memiliki keunggulan kompetitif seperti citarasa, nilai sejarah, isu lingkungan hidup, dll. Apabila industri telah membuat varian produk tertentu maka perlu adanya dukungan pasok bahan baku yang berkelanjutan.

d. Membangun Sistem Pemasaran yang Eftien
Upaya untuk meningkatkan daya saing kopi rakyat tidak dapat lepas dengan aspek penerapan teknologi inovatif dalam berproduksi. Sebaliknya, untuk memotivasi petani agar mau menerapkan teknologi baru memerlukan insentif yang dapat memotivasi petani. Para petani akan selalu bertanya tentang nilai tambah yang dapat mereka peroleh dari penerepan teknologi baru, dan pengalaman selama ini insentif yang paling efektif adalah insentif harga. Para petani akan termotivasi jika dengan penerapan teknologi baru akan meningkatkan nilai jual produk mereka.
Membangun sistem pemasaran yang efisien untuk kopi rakyat sangat penting untuk dilakukan agar petani dapat memperoleh insentif harga. Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam membangun sistem pemasaran kopi rakyat yang efisien antara lain orientasi pasar, kemitraan bisnis, dan peluang pemasaran langsung.
Untuk membangun daya saing kopi rakyat pedu orientasi pasar yang jelas. Faktor-faktor fundamental seperti bauran pernasaran (produk, harga, promosi, dan distribusi) dan STP (segmentation, targeting, positioning) harus diperhatikan dengan baik. Produk yang dihasilkan harus jelas tentang tipe dan mutunya agak konsumen dapat mengenal dengan baik karakter barang yang mereka konsumsi. Hal ini akan membuat konsumen loyal jika mereka puss dalam rriengkonsumsi dan mengenali barangnya dengan baik. Apabila konsumen telah loyal terhadap suatu produk, maka daya saing produk tersebut akan tinggi. Sebagai contoh banyak konsumen kopi di jepang yang telah loyal mengkonsurnsi kopi Toraja, dan mereka mengenal dengan baik tentang karakter citarasa kopi Toraja.
Efisiensi pemasaran dapat diperoleh dengan care membangun kemitraan antara petani kopi dengan eksportir dan/atau industri pengolah kopi. Somardjo et al. (2004) menyebutkan adanya lima macam pola kemitraan dalam agribisnis, yaitu: (1) inti–plasma, (2) sub kontrak, (3) dagang umum, (4) keagenan, dan (5) kerjasama operasional (KSO). Untuk kasus kopi rakyat yang banyak terjadi adalah kemitraan pola dagang umum, bahkan seringkali aspek. ekploitasi di pihak petani oleh pedagang masih sering ditemukan. Dalam hal ini prinsip sating menguntung dan memperkuat dalam kemitraan sulit diwujudkan.
Untuk membangun kemitraan antara kelompok petani kopi dengan eksportir dan/atau indistriawan kopi, maka Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia telah membuat Model Kemitraan Bermediasi yang disingkat dengan MOTRAMED (Mawardi et al., 2006).

e. Sertifikasi dan Perlindungan Hukum
- Sertifikasi
Pada perdagangan komoditas kopi dunia, akhir-akhir ini terjadi kecenderungan yang meningkat akan produk-produk bersertifikasi. Sertifikasi pada perdagangan kopi sebenamya sudah lama bedangsung, khususnya terhadap mutu fisik barang. Namun, akhir-akhir Ini mark berkembang tentang sertifikasi produk kopi berdasar proses produksi dan sistem pemasarannya.
Sertifikasi produk kopi pada prinsipnya merupakan pernystean oleh pihak katigs yang indenden bahwa suatu jenis kopi telah diproduksi sesuai menurut panduan tindak (code of conduct) atau seringkali disebut "standar" yang disusun oleh suatu lembaga tertentu, yang diharapkan dengan adanya sertifikasi tersebut ke depan akan terwujud sistem produksi kopi yang berkelanjutan. Lembaga penyedia panduan biasanya merupakan LSM independen yang sangat aktif, walaupun demikian ada juga suatu perusahaan dan lembaga pemerintah.
Sertifikasi ini sebenarnya sangat terkait dengan tuntutan masyarakat internasional tentang pentingnya terwujudnya pembangunan pertanian yang bekelanjutan (sustainable agriculture development), Berta selaras dengan deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang termaktub dalam Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals–MDG's). MDG's memiliki tiga pilar utama sebagai penyangga yaitu secara ekonomi layak, secara sosial dapat diterima, dan ramah terhadap lingkungan hidup.
Dengan adanya sertifikasi tersebut konsumen akan yakin bahwa kopi yang mereka konsumsi telah dibudidayakan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelonjuten, sehingga mereka juga bersedia membayar sedikit lebih mahal dalam rangka peduli terhadap aspek-aspek sosial dan lingkungan hidup.Dalam sertifikasi produk kopi ada tiga unsur panting yaitu produsen kopi, lembaga panduan yang menyediakan tindak (code of conduct) dan lembaga independen yang melakukan sertifikasi . Program-program sertifikasi produk pada tanaman kopi pada saat ini sudah cukup banyak seperti: Organic, Fairtrade, Utz Certified, Rainforest Alliance, C.A.F.E Practices, 4C, dan Indikasi Geografis.
Sertifikasi terhadap produk kopi yang pertama kali dilakukan adalah sertifikat organik pada kopi arabika dari Gayo yang diproduksi oleh P.D. Genap Mupakat, yaitu terjadi pada tahun 1992.Pada saat ini kopi dari Indonesia telah banyak yang mendapatkan sertifikasi terhadap proses produksi. Adapun jenis sertifikat yang telah diperoleh adalah organic, fairtrade, C.A.F.E. Practices, dan Utz Certified. Satu produk kopi dapat memperoleh satu macam atau lebih sertifikat, misalnya organik saja atau C.A.F.E. Practices saja atau Utz Certified saja. Namun ada juga produk kopi yang sudah mendapat sertifikat lebih dari satu macam, misalnya organik sekaligus fairtrade.
Permintaan konsumen terhadap produk kopi bersetifikat akhir-akhir ini makin meningkat sejalan dengan kesadaran konsumen global jntuk terlibat dalam menyukseskan pembangunan berkelanjutan. Kopi bersertifikat slap konsumsi pada awalnya hanya dipasarkan di kedai-kedai tertentu dan hanya diproduksi oleh beberapa prabrikan tertentu, namun akhir-akhir ini kopi bersertifikat sudah mulai dipasarkan lebih meluas di negara-negara konsumen utama termasuk di super market. Laju permintaan kopi bersetifikat diperkirakan sekitar 10% per tahun.
Perkembangan preferensi konsumen akan produk kopi bersertifikat ini sudah barang tentu akan berdampak terhadap pemasaran kopi biji dari negara-negara produsen. Para eksportir kopi di Indonesia, khususnya kopi Arabika, akhir-akhir ini telah banyak yang berusaha untuk mendapatkan sertifikat produk kopi biji yang akan diekspor. Akhir-akhir ini beberapa eksportir mulai merasakan mulai terasa sulit untuk mendapatkan harga kopi Arabika yang baik jika produknya tidak sertifikat. Untuk produk kopi Arabika spesialti yang paling banyak diminati konsumen akhir¬akhir ini adalah sertifikasi ganda, yaitu organik sekaligus fairtrade. Para pemangku kepentingan perkopian di Indonesia pedu mengantisipasi kecenderungan pasar ini, khususnya yang bergerak dalam bidang perdagangan dalam rangka meningkatkan Daya saing.
Perlindungan Hukum
Indonesia memiliki banyak macam kopi yang memiliki citarasa khas karena pengaruh faktor geografis dan memiliki reputasi di pasar domestik maupun internasional seperti Toraja coffee, Java coffee, Bali Kintamani coffee, Kalosi coffee, Mandheling coffee, Gayo coffee, dll Kopi-kopi yang memiliki reputasi baik tersebut rawan terhadap pemalsuan, oleh karena itu perlu terhadap produk¬produk tersebut perlu adanya pedindungan hukum.
Di Indonesia perlindungan hukum terhadap produk yang memiliki Indikasi geografis dalam diberikan berdasarkan Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Berdasarkan Undan¬undang tersebut telah terbit Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Dalam era pasar global dan persaingan yang semakin ketat, seperti yang telah terjadi saat ini dan jugs pada tahun-tahun yang akin datang, diferensiasi produk merupakan sarana panting untuk menadk perhatlan konsumen. Sepertl haInys pada merek dagang, Indikesi Geografis (IG) memegang peranan vital dalam memberikan kesan kepada konsumen tentang adanya nilai tambah pada produk yang ditawarkan, baik mengenai kualitas maupun sifat-sifat yang depat meningkatkan dayasaing suatu produk (WIPO, 2003).
Produk dengan perlindungan IG telah terbukti memiliki dayasaing yang cukup kuat dan akhir-akhir ini banyak dikembangkan di berbagai negara. Adapun negara-negara yang telah lama dan maju di dalam, pengembangan dan pernasatan produk yang memiliki perlindungan IG adalah di kawasan benua Eropa, khususnya yang telah tergabung dalam Uni Eropa (European Union, EU). Latar belakang perlindungan IG antara lain karena hal-hal sebagai berikut:
1. Terdapat produk-produk yang memiliki mutu dan reputasi tinggi karena pengaruh tempat asalnya,
2. Produk-produk tersebut berasal dari kawasan spesifik,
3. Para produsen di kawasan produksi senantiasa sating berbagi pengetahuan,
4. Para produsen merasakan adanya peningkatan penjualan,
5. Para produsen menginginkan adanya sistem perlindungan hukum terhadap produk-produk mereka.
Beberapa negara yang telah mulai mengaplikasikan perlindungan IG untuk produk-produk kopi spesifik lokasi seperti di Colombia, Viet Nam, Mexico, dll.

Daftar Pustaka,

AEKI. 2005. Statistik Kopi 2003 – 2005. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia, Jakarta, 75 h.

Boling, R.R. 2008. Anuado brasiliero do cafe 2008. Editoris Gazeta Santa Cruz, Santa Cruz do Sul (Brasil), 128 p.

Direktorat Jendral Perkebunan, 2007. Statistik Perkebunan Indonesia Tahun 2006 – 2008. Kopi. Jakarta, 71 h.

Direktorat Jendral Perkebunan. 2007. Direktori Perkebunan Indonesia 2007 – 2008. Direktorat Jendral Perkebunan, Jakarta, 398.

International Coffee Organization. 2008. Annual review. ICO, London, 36.

International Trade Centre. 2002. Coffee, an exporter's guide. ITC, Geneve, 310 p.

Kartajaya, H. 2001. Marketing Plus 2000, siasat membangun pasar global. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 539 h.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarak.it. 1986. Laporan rampung penelitian serta saran methods promosi dan usaha peningkatan konsumsi kopi di dalam negeri. LPEM Fak. Ekonomi UI, Jakarta, 121 h.

LRPI. 2008. Dad krisis financial global ke resesi global: Langkah-langkah antisipasi yang harus diperbuat untuk penyelematan sektor perkebunan Indonesia. Rumusan Diskusi Terbatas Ahli Ekonomi Pertanian, Lembaga Riset Pencebunan Indonesia, Bogor, 11 Oktober 2008, Tidakditerbitkan.

Surip Mawardi, Cahya Ismayadi, Aris Wibawa, Sulistyowati & Yusianto. 2006. Model kemitraan bermediasi (MOTRAMED) untuk pengembangan agribisnis kopi melalui perbaikan mutu dan sistem pemasaran di tingkat kelompok tani. Simposium Kopi 2006, Surabaya, 2 – 3 Oktober 2006,

NCA. 2008. Americans drinking more gourmet coffee. Coffee and Cocoa Int. 35 (2), 30 – 31.
Sumardjo, J. Sulaksana & W.A. Darmono. Teori dan praktek kemitraan agribisnis. Penebar Swadaya, Jakarta, 88 h.

WIPO. 2003. Introduction to geographical indication and existing means of protection. MPO Asia and the Pacific regional symposium on the protection of geographical indications, New Delhi, 18 – 20 November 2003, 25 p.***

Oleh: Dr. Surip Mawardi Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dan Display Product dalam rangka Dies Natalis Fakultas Pertanian Universitas Jember ke-44, Jember, 23 Desember 2008.

Tidak ada komentar: