Minggu, 01 Juni 2014

SELAYANG PANDANG KOPI ARABIKA JAVA IJEN RAUNG

A. SEJARAH KOPI BONDOWOSO Informasi yang tepat tentang kapan kopi Arabika mulai ditanam di kawasan dataran tinggi Ijen dan Raung sangat berkaitan dengan sejarah masuknya bibit kopi pertama kali ke Indonesia atau Hindia Belanda kala itu. Pada abad ke-16 tepatnya pada kisaran waktu antara 1686-1696 Mayor of Amsterdam, Nicholas Witsen meminta Komandan Belanda yang bertugas di Selat Malabar untuk mendatangkan bahan tanam kopi dari Malabar di India untuk membawanya ke Hindia Belanda. Bibit kopi pertama yang didatangkan saat itu ditanam di Kadawoeng dekat Batavia. Gempa bumi dan banjir yang terjadi saat itu menggagalkan usaha introduksi bahan tanam kopi pertama tersebut. Pada tahun 1699, Henricus Zwaardecroon kembali membawa bahan tanam kopi Arabika yang kedua dari Malabar. (download file) Bahan tanam inilah yang kemudian menjadi cikal bakal seluruh perkebunan kopi Arabika di Hindia Belanda.
Dua belas tahun kemudian tepatnya tahun 1711, dilakukanlah ekspor pertama kopi dari Jawa ke Eropa melalui perusahaan perdagangan milik pemerintah Hindia Belanda atau Dutch East Indies Trading Company atau yang lebih terkenal dengan istilah Vereninging Oogst Indies Company (VOC). Ekspor tercatat 116,687 pounds di tahun 1720 dan 1396,486 pounds di tahun 1724. Ekspor tersebut menjadikan Indonesia sebagai daerah pertama di luar Ethiopia dan Arabia yang mengusahakan kopi dalam jumlah yang cukup banyak. Pada tahun 1725 pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan eksploitasi pada profit bisnis komoditas perkebunan seperti kopi, gula, teh dan karet. Raja Wilem I di Belanda kemudian memperkenalkan Cultivation system dan terkenal dengan Cultuur stelsel atau tanam paksa, eksploitasi terhadap lahan dan manusia mulai dilakukan pada tahun 1830-1870 setelah krisis ekonomi yang melanda Belanda kala itu
Gambar 1. Gunung Raung dan Ijen (1874) digambar oleh Emil Stohr, ahli sketsa dari Frankfurt, Jerman. “Die Vulkangruppe Idjen-Raun van Banjuwangi aus gesehen”, “Jajaran gunung berapi Ijen-Raung dilihat dari kawasan Banyuwangi. (Sumber : Wikipedia, Jerman). Sejak saat itulah kopi mulai ditanam di seluruh wilayah Hindia Belanda. Para pedagang di Amerika dan Eropa saat itu, bahkan mengenali daerah Besoeki dan Pasoeroean sebagai penghasil kopi Arabika di Jawa, karena kopi dari daerah tersebut mendominasi 85% dari produksi kopi Jawa. Beberapa daerah lain yang juga dikenal sebagai penghasil kopi saat itu adalah Preanger, Cheribon, Kadoe, Semarang, Soerabaya dan Tegal. Penanaman pertama di daerah Besoekih atau kawasan dataran tinggi Ijen-Raung saat ini, dimulai dari Mount Blau sekarang Blawan, tercatat rumah administratur di Blawan dibangun pada tahun 1895 seiring dengan pembangunan pabrik disebelahnya. Tercatat setelah Blawan, kebun Jampit juga mulai didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1927.
Sampai dengan abad 18, Java Coffee dipercaya sebagai salah satu kopi terbaik dan menjadi bagian coffee-blend klasik Mocha-Java. Mocha-Java merupakan kopi hasil blending antara kopi yang berasal dari kota Al-Mukha di Yaman dengan kopi Jawa (Java coffee). Pada tahun 1880 hanya jenis Arabika yang tumbuh di dataran Hindia Belanda, sampai 1878 penyakit karat daun, Hemiliea vastatrix menyeleksi secara alami dan hanya tanaman Arabika yang tumbuh didataran tinggi yang mampu bertahan hidup. Kopi Arabika yang tumbuh di dataran rendah mati akibat serangan penyakit tersebut. Pemerintah Hindia Belanda selanjutnya mulai menanam kopi Jenis Robusta dan Liberika untuk mengganti tanaman kopi Arabika yang mati di dataran rendah tersebut. Kopi Arabika yang dikelola perkebunan-perkebunan Hindia Belanda tersebut merupakan cikal bakal bagi perkebunan rakyat di kawasan Ijen-Raung. Sekitar tahun 1920, penanaman terbatas dipekarangan dilakukan pertama kali oleh rakyat di daerah Kayumas, Sukorejo dan Darungan. Buruh-buruh tani yang saat itu juga bekerja di perkebunan-perkebunan milik pemerintah Hindia Belanda membawa biji-biji kopi untuk ditanam di pekarangan. Varietas-varietas baru kopi Arabika mulai diperkenalkan setelah revitalisasi dan nasionalisasi perkebunan-perkebunan besar milik Hindia Belanda tersebut pada tahun 1950. Pada awalnya istilah kopi Arabika kurang dikenal masyarakat di kawasan Ijen dan Raung. Mereka lebih mengenal “kopi Padang”, dinamakan demikian karena setelah meminum kopi ini, maka pandangan menjadi terang atau “padang” dalam bahasa Jawa. Proyek PRPTE tahun anggaran 1978/1979 melalui Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur mulai berusaha untuk membangkitkan kembali budidaya kopi di Bondowoso melalui Proyek Rehabilitasi dan Pengembangan Tanaman Ekspor (PRPTE). Kegiatan tersebut secara tidak langsung meningkatkan motivasi untuk mengembangkan varietas kopi Arabika di kawasan Ijen-raung. Pertimbangan pengembangan Kopi Arabika Java Ijen-Raung bukan hanya didasarkan pada kepentingan ekspor, akan tetapi perkebunan kopi di dataran tinggi juga dipandang mempunyai peran strategis dalam melestarikan fungsi hidrologis. PRPTE di Bondowoso telah mampu mengembalikan dan menambah luas areal perkebunan.
Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) untuk membangun agribisnis kopi Arabika di kawasan Ijen-Raung dengan pendekatan pemberdayaan kelembagaan di tingkat petani. Dalam kerjasama ini fungsi Dinas Perkebunan lebih ditekankan pada penggarapan di sektor petani, sedangkan fungsi PPKKI lebih ditekankan pada penggarapan masalah pasar, pengawalan teknologi, perbaikan mutu, dan pembangunan sistem agribisnis. Teknologi hilir mulai diintroduksikan dengan memberikan fasilitas mesin pengelupasan kulit merah (pulper) dan mesin cuci (washer). Pada awal tahun 2009 mulai dilakukan sosialisasi pentingnya mutu terhadap harga jual kopi Arabika kepada para petani. Selain itu juga dimulai penyelenggaraan pelatihan yang dikemas dalam bentuk sekolah lapang mengenai prosedur pengolahan basah pada kopi Arabika untuk memperoleh mutu citarasa yang baik dengan menggunakan mesin yang tersedia. Pada tahun 2010 Dinas Perkebunan Provinsi Jatim memfasilitasi para-para untuk penjemuran kopi berkulit tanduk (kopi HS) dan memberikan bantuan bibit sambungan sekitar 15 ribu bibit kopi Arabika dengan batang bawah yang tahan terhadap nematoda parasit. Sejak tahun 2010 situasi ini telah berubah. Semakin banyak konsumen yang ingin membeli kopi Arabika basah, dan permintaan ini bisa dipenuhi oleh UPH-UPH yang difasilitasi oleh Dinas Perkebunan yang terus menyediakan peralatan-peralatan kepada Kelompoktani, dan oleh beberapa pembeli yang juga menyediakan beberapa peralatan selama tahun-tahun terakhir ini. Beberapa Kelompoktani juga ada yang membeli peralatan sendiri. Sampai saat ini terdapat 37 UPH yang mampu untuk memproduksi kopi olah basah. Keadaan ini mendorong seluruh petani yang telah mengembangkan petik gelondong merah sebagai upaya peningkatan mutu citarasa kopi. Selain konsumen dari domestik dan manca negara, konsumen Kopi Arabika Java Ijen-Raung sekarang ini juga mencakup para pecinta kopi yang menganggap kopi jenis ini sebagai “origin coffee”, yang bersedia membayar kopi ini dengan harga tinggi. Para konsumen ini bisa ditemukan di Bondowoso atau di seluruh Indonesia, bahkan di Amerika, Australia dan beberapa negara Eropa, dimana kopi ini telah diekspor selama kurang lebih lima tahun sampai sekarang. B. AREAL Luas areal tanaman kopi tahun 2013 di Kabupaten Bondowoso, baik yang terdapat dalam dan luar kawasan hutan disajikan sebagaimana tabel 1. berikut:

Tidak ada komentar: