Rabu, 10 Agustus 2011

PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN PETANI GUNA MENGHADAPI PERUBAHAN PASAR PANGAN GLOBAL*)

Oleh :
Dr. Ir. Yuli Hariyati, MS**)
Yuli.faperta@ymail.com

1. Pendahuluan
Peningkatan pendapatan petani merupakan kunci utama menuju peningkatan kesejahteraan petani. Peningkatan pendapatan antara lain ditempuh melalui peningkatan produktivitas usahatani dan intensitas tanam disertai dengan peningkatan akses petani ke pasar input dan output yang efisien. Sangat disayangkan dalam 10 tahun terakhir peningkatan produktivitas usahatani di tingkat petani relatif stagnan dan kapasitas produksi pertanian secara nasional semakin terbatas. Terbatasnya kapasitas produksi pertanian ini disebabkan oleh beberapa faktor (Siregar dan Masyitho, 2008; Mulyana, 1998, Yustika, 2006): (1) berlanjutnya konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian dengan laju 5,23% per tahun selama 1995-2005, lahan sawah menyusut dari 8.464.678 ha menjadi 7.696.161 ha atau menurun seluas 768.526 ha; (2)

menurunnya kualitas dan kesuburan lahan akibat kerusakan lingkungan, (3) perubahan iklim yang mengakibatkan fluktuasi dan penurunan produktivitas pertanian, (4) lambatnya penemuan dan pemasyarakatan teknologi, (5) rendahnya insentif finansial untuk menerapkan teknologi secara optimal, dan (6) penguasaan lahan yang sempit. Hasil penelitian Departemen Pertanian tahun 2000 menunjukkan bahwa 88% rumah tangga petani hanya menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 ha dan sulitnya akses terhadap sumber kapital, informasi dan teknologi. Kondisi itu semua menyebabkan masyarakat petani menjadi miskin, tidak berdaya dan tertinggal.
Problem mendasar bagi mayoritas petani Indonesia adalah ketidakberdayaan dalam melakukan negosiasi harga hasil produksinya.


*) Makalah disampaikan dalam acara Temu Teknis Penyuluh Pertanian oleh Dinas Pertanian Kabupaten Bondowoso, tanggal 10-11 Agustus 2011
**) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Jember
Posisi tawar petani pada saat ini umumnya lemah, hal ini merupakan salah satu kendala dalam usaha meningkatkan pendapatan petani. Menurut Branson dan Douglas (1983), lemahnya posisi tawar petani umumnya disebabkan petani kurang mendapatkan/memiliki akses pasar, informasi pasar dan permodalan yang kurang memadai. Petani kesulitan menjual hasil panennya karena tidak punya jalur pemasaran sendiri, akibatnya petani menggunakan sistim tebang jual. Dengan sistim ini sebanyak 40 % dari hasil penjualan panenan menjadi milik tengkulak.
Peningkatan produktivitas pertanian tidak lagi menjadi jaminan akan memberikan keuntungan layak bagi petani tanpa adanya kesetaraan pendapatan antara petani yang bergerak di sub system on farm dengan pelaku agribisnis di sub sektor hulu dan hilir. Dalam dua puluh tahun terakhir telah tersedia berbagai teknologi panen, pasca-panen, dan penggilingan padi yang mampu meningkatkan efisiensi dan kualitas gabah/beras, namun terkendala dalam penerapannya, karena rendahnya insentif yang diperoleh petani dan pelaku usaha. Teknologi padat karya pada umumnya masih diadopsi petani meskipun upah buruh terus meningkat. Unit penggilingan padi skala kecil masih mendominasi industri pengolahan gabah. Indonesia jauh tertinggal dalam penerapan teknologi panen, perontokan, pengeringan, dan penggilingan padi dibandingkan dengan beberapa negara produsen padi di Asia, seperti Vietnam, Thailand, dan Cina.
Fenomena yang menarik adalah, ke depan Indonesia dihadapkan pada kondisi perdagangan antar negara. Di tingkat global, peran produk pertanian dibandingkan dengan total barang (merchandise) yang diperdagangkan adalah relatif kecil. Yang dominan adalah produk manufaktur dan bahan bakar minyak/hasil tambang. Pada 2004 misalnya, produk pertanian mengambil peran hampir 9 persen. Namun di dalam produk pertanian global itu sendiri, pangan mengambil peran yang dominan yaitu sekitar 80 persen. Itu belum termasuk produk perikanan (WTO, 2005). Walaupun peran pangan atau produk pertanian adalah kecil, namun perannya besar buat Negara Berkembang (NB). Itu tidak hanya menyangkut ekspor untuk memperoleh devisa yang amat diperlukan buat pembangunan, tetapi juga keterlibatan banyak petani sempit /peternak kecil serta miskin dan menggantungkan hidup dari sector itu. Pada subsektor itu pula harapan NB dapat mendorong pembangunan desa, mengatasi kemiskinan dan kelaparan, dan serta sebagai filter terhadap urbanisasi. Penelitian di tingkat global, dan Dalam Negeri (DN) jelas menyimpulkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian dan pangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengurangan penduduk miskin dan untuk mengatasi kerawanan pangan (food insecurity).
Secara teoritis, perdagangan bebas antar-negara diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan negara yang ikut serta dalam perdagangan bebas, dengan mengandalkan komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Indonesia sebagai suatu negara terbuka, mempunyai komitmen untuk ikut serta dalam perdagangan bebas di berbagai kawasan. Selain di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) dengan Asean Free Trade Area (AFTA), Indonesia juga menandatangani perjanjian perdagangan bebas Asia Pasifik, yang dikenal dengan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC).
Di antara perundingan tersebut, AFTA adalah perjanjian yang paling cepat diimplementasikan, yaitu tahun 2003. Bahkan untuk beberapa komoditas tertentu, telah dilaksanakan sejak 2002. Kesepakatan AFTA juga bersifat involuntary (mengikat), sehingga AFTA cenderung menjadi blok perdagangan (trading block) di antara negara-negara Asia Tengara. Dengan perjanjian AFTA, perdagangan bebas akan terjadi antara negara ASEAN, sehingga diharapkan aliran perdagangan antar- negara ASEAN semakin cepat.
Melihat tantangan ke depan adanya liberalisasi perdagangan, ditambah lagi tantangan dalam negeri yaitu upaya peningkatan produktivitas komoditas pangan (utamanya beras) menuju konsep kemandirian pangan, maka perlu adanya perhatian khusus ”penyiapan petani” menghadapi era tersebut. Konsep pengembangan ataupun pemberdayaan petani secara individu tidak tepat lagi, akan tetapi konsep yang lebih sesuai adalah pemberdayaan kelembagaan di tingkat petani. Adapun pelaksana lapang yang berkompeten adalah para penyuluh lapangan. Oleh karenanya dalam tulisan ini disajikan beberapa kondisi nyata posisi Indonesia di tengah negara ASEAN dalam perolehan pangan, tantangan pasar global serta strategi pemberdayaan kelembagaan petani.

2. Gambaran Ketersediaan Pangan Indonesia di ASEAN
Isu pangan dalam KTT ASEAN cukup menarik untuk kita diskusikan. Pertumbuhan jumlah penduduk dari 7 miliar sampai 9 miliar di tahun 2045 menjadi ancaman serius bagi ketersedian pangan dunia. PBB merilis bahwa saat ini ada 1 miliar penduduk dunia dalam kondisi kelaparan. Gejolak harga pangan dunia memiliki imbas kepada perdagangan dan pere¬konomian nasional. Khususnya dalam bidang pangan yang mulai menghantui nega¬ra–negara ASEAN. Dalam KTT ke 18 ASEAN bersepakat untuk melakukan kerja sama regional menghadapi ancaman krisis pangan dan energi. Khusus pangan, ASEAN sepakat untuk mening¬katkan produksi pangan dengan membangun cadangan beras, investasi di bidang pertanian, termasuk kerja sama di bidang research dan inovasi. Sepuluh negara ang¬gota ASEAN sepakat untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya produksi be¬ras untuk menjamin ketahanan pangan kawasan. Salah satu langkah cepat yang harus kita ambil adalah pelaksanaan ASEAN Integrated Food Secu¬rity Framework secara komprehensif dengan focus utama bidang penelitian dan investasi pangan. Melihat pembahasan dan rencana ASEAN dalam me¬me¬nuhi kebutuhan pangannya berorientasi kepada swasembada pangan, belum mengarah kepada ketahanan pangan nasional.
Thompson dan Cowan (2000 dalam Lassa, 2006) mencatat perubahan kebijakan dan pendefinisian formal ketahanan pangan dalam kaitannya dengan globalisasi perdagangan yang terjadi di beberapa Negara. Contohnya, Malaysia men¬definisikan ulang ketaha¬nan pangannya sebagai swa¬sembada 60 persen pangan nasional. sisanya, 40 persen didapatkan dari impor pangan. Malaysia kini memiliki tingkat ketahanan pangan yang kokoh. Ini memberikan ilustrasi yang jelas bahwa ketahanan pangan dan swasembada adalah dua hal yang berbeda. Indonesia mendefinisikan kondisi ketersediaan pangan beras dengan program kemandirian pangan. Swasembada pangan umum¬nya merupakan capaian peningkatan ketersediaan pangan dengan wilayah nasional, sedangkan ketahanan pangan lebih mengutamakan akses se¬tiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi un¬tuk sehat dan produktif. De¬finisi ketahanan pangan sangat bervariasi, namun umumnya me¬ngacu definisi dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell dan Frankenberger (1992) yakni “akses semua orang setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat (secure access at all times to sufficient food for a healthy life). Indonesia menerapkannya dalam Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 dimana ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Berikut gambaran ketahanan pangan di Negara anggota ASEAN khususnya dilihat dari aspek ketersediaan.
Tabel 1. Pertumbuhan Produksi, Konsumsi Beras di Negara ASEAN antara Tahun 2006-2008
No. Negara Pertumbuhan selama 3 tahun terakhir (%/tehun)
Produksi Konsumsi Gap Produksi- Konsumsi
1 Brunei -4.74 65.96 -70.70
2 Cambodia 6.19 23.96 -17.77
3 Indonesia 6.15 0.21 5.94
4 Laos 7.72 2.08 5.64
5 Malaysia 2.87 3.85 -0.97
6 Myanmar 1.95 5.11 -3.16
7 Philippines 0.14 4.75 -4.61
8 Singapore na na na
9 Thailand -1.00 1.48 -2.47
10 Viet Nam 4.09 0.68 3.41
11 World + (Total) 2.20 1.38 0.83
12 South-Eastern Asia 3.28 2.60 0.68
13 Rerata Kontribusi ASEAN thd World 28.28 24.57
Sumber : FAOSTAT tahun 2011

Mendasarkan pada temuan data dari FAO ternyata selama tahun 2006 – 2008 negara Brunei Darusalam dan Thailand mempunyai pertumbuhan produksi beras menurun, sedangkan Negara anggota yang lain mempunyai pertubuhan meningkat. Adapun pertumbuhan konsumsi masyarakat terhadap beras semua anggota ASEAN mempunyai kecenderungan yang meningkat. Data menunjukkan pertumbuhan produksi tersebar di Laos sebesar 7.72% sedangkan pertumbuhan konsumsi terkecil di Indonesia sebesar 0.21%. Kecilnya pertumbuhan konsumsi beras di Indonesia dimungkinkan karena keberhasilan program Keluarga Berencana dalam menekan pertumbuhan penduduk atau keberhasilan diversifikasi pangan non beras (asalkan jangan bersubtitusi dengan pangan non local atau impor). Gap produksi konsumsi memberikan informasi apakah suatu Negara mengimpor atau mengekspor. Apabila nilai gap (+) maka Negara tersebut mampu memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, sebaliknya nilai (-) menunjukkan bahwa negara tersebut perlu mengimpor beras dari luar untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Mendasarkan nilai gap tersebut maka Negara anggota ASEAN yang dapat mencukupi kebutuhan dalam negerinya antara lain : Indonesia, Laos dan Vietnam. Adapun Negara ASEAN : Malaysia, Myanmar, Philipina dan Thailand tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negerinya hanya mengandalkan produksi domestic.
Yang menarik dari tabel 1 adalah laju pertumbuhan konsumsi dan produksi Negara ASEAN melebihi laju pertumbuhan dunia. Negara ASEAN secara keseluruhan masih mampu memenuhi kebutuhan beras dari produksi di kelompok ASEAN, hanya saja perlu selalu diwaspadai dikarenakan gap produksi dan konsumsi cukup kecil yaitu sebesar 0.68. Dikawatirkan terjadinya perubahan-perubahan perekonomian dunia akan mempengaruhi kemampun tersebut. ASEAN sampai tahun 2008 mempunyai ratio produksi terhadap produksi dunia sebesar 28.28% dan ratio konsumsi sebesar 24.57%.
Berikut gambaran laju pertumbuhan konsumsi dan produksi komoditas jagung, disajikan pada tabel 2. Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang mempunyai keunikan, dikarenakan issue beberapa tahun ini terjadi guncangan pasar dunia dikarenakan beberapa Negara di dunia mengurangi ekspor jagung ke pasar dunia. Tabel 2 memberikan informasi bahwa Negara Malaysia yang mempunyai laju prtumbuhan konsumsi menurun, sedanhkan Negara ASEAN. lainnya mempunyai laju pertumbuhan konsumsi dan produksi yang meningkat. Diantara 10 negara ASEAN, Brunei, Laos, Philipina dan Vietnam masuk pada kategori belum tercukupinya konsumsi jagung dari produksi domestiknya, sedangkan Cambodia, Indonesai, Malysia dan Thailand telah mampu memenuhi kebutuhan konsumsi jagung dari produksinya.

Tabel 2. Pertumbuhan Produksi, Konsumsi Jagung di Negara ASEAN antara Tahun 2006-2008

No. Negara Pertumbuhan selama 3 tahun terakhir (%/tahun)
Produksi Konsumsi Gap Produksi- Konsumsi
1 Brunei 0.00 1.25 -1.25
2 Cambodia 34.00 7.43 26.57
3 Indonesia 15.43 4.38 11.04
4 Laos 21.11 64.35 -43.24
5 Malaysia 4.76 -2.64 7.40
6 Myanmar 4.26 23.49 -19.23
7 Philippines 2.18 4.62 -2.43
8 Singapore 0.00 na na
9 Thailand 8.93 0.93 8.00
10 Viet Nam 1.00 9.87 -8.87
11 World + (Total) 1.87 1.96 -0.09
12 South-Eastern Asia 9.81 4.58 5.22
13 Kontribusi ASEAN 4.20 4.39
Sumber : FAOSTAT tahun 2011

Yang menarik dari tabel 2 adalah informasi bahwa laju produksi jagung dunia lebih kecil daripada laju pertumbuhan konsumsi jagung dunia. Sebaliknya Negara ASEAN masih memiliki pertumbuhan produksi jagung yang lebih tinggi daripada laju konsumsi jagung. Adapun share jagung ASEAN terhadap produksi dan konsumsi jagung dunia berturut-turut sebesar 4.20% dan 3.39%. Fenomena social di kalangan masyarakat adalah bahwa komoditas jagung menyusul gandum merupakan subtitusi pangan beras. Bagi Indonesia pergeseran beras ke jagung tidak “meresahkan”, dikarenakan pangan jagung masih dapat disediakan oleh produksi dalam negeri. Permasalahannya adalah, andai pergeseran konsumsi beras ke gandum (sebagai bahan baku roti), maka dimungkinkan Indonesia terbebas dari belenggu impor beras tetapi terjebak dalam situasi yang lebih sulit pada importer gandum (yang tidak dapat diproduksi dari dalam negeri). Selanjutnya disajikan laju pertumbuhan produksi dan konsumsi gandum 3 tahun terakhir pada tabel 3.

Tabel 3. Pertumbuhan Produksi, Konsumsi dan Impor Gandum di Negara ASEAN antara Tahun 2006-2008

No. Negara Pertumbuhan selama 3 tahun terakhir (%/tahun)
Produksi Konsumsi Gap Produksi- Konsumsi Impor
1 Brunei 0.00 -1.53 1.53 na
2 Cambodia 0.00 5.90 -5.90 -33.96
3 Indonesia 0.00 3.38 -3.38 -0.93
4 Laos 0.00 1.76 -1.76 na
5 Malaysia 0.00 2.68 -2.68 -26.18
6 Myanmar 7.49 12.15 -4.67 -22.83
7 Philippines 0.00 -4.01 4.01 -11.05
8 Singapore 0.00 na na na
9 Thailand 0.09 3.54 -3.45 -16.87
10 Viet Nam 0.00 12.81 -12.81 -21.36
11 World + (Total) 5.94 0.33 5.61 1.50
12 South-Eastern Asia 7.44 2.52 4.92 -11.54
13 Kontribusi ASEAN 0.03 2.00
Sumber : FAOSTAT tahun 2011

Tabel 3 memberikan informasi bahwa hampir seluruh Negara ASEAN mempunyai laju pertumbuhan konsumsi gandum lebih besar daripada laju pertumbuhan produksi. Hal ini mengindikasikan bahwa Negara ASEAN bergantung pada ketersediaan gandum dari luar ASEAN. Kondisi ini perlu diwaspadai, dimana guncangan pasar gandum dunia akan mengganggu keseimbangan pasar gandum di domestic. Data menunjukkan bahwa Negara anggota ASEAN menjadi importer gandum, dengan angka pertumbuhan impor yang cukup tinggi walaupun rerata impor selama 3 tahun terakhir menunjukkan penurunan. Tidak diproduksinya komoditas gandum di ASEAN dikarenakan ketidaksesuaian karakteristik wilayah untuk budidaya gandum.
Ketahanan pangan berbasis akses pangan menjadi kunci utama penyelesaian masalah pangan di kawasan ASEAN. Ko¬¬nektifitas antar Negara ASEAN dalam masalah pangan menjadi pekerjaan pokok yang harus segera diselesaiakan. Kebijakan penelitian pangan harus kembali diorientasikan kepada empat sasaran pokok ketahanan pangan. Akses, ke¬ter¬sedian, distribusi, dan keamanan pangan. Empat pilar ini bisa disatukan dalam kebijakan ketahanan pangan ASEAN berbasis sumber daya local masing – masing negara. Adanya lumbung pangan ASEAN sangat penting bagi cadangan pangan jika terjadi krisis pangan berkepanjangan. Lumbung pangan sejatinya merupakan penerapan sistem gotong – royong atau konektifitas dalam pemenuhan kebutuhan pangan ASEAN. Lumbung pangan ASEAN dapat merupakan linked antar negara anggota yang berbentuk penelitian, investasi, pendi¬di¬kan atau kerjasama suplay pa¬ngan yang terjadual dan me¬miliki standar yang diakui oleh semua anggota.

3. Agribisnis Pangan Indonesia di Pasar Global
Pada awal Juni 2008, pada waktu delegasi berbagai negara sedang membahas berbagai isu dan menyusun modalitas pertanian di markas besar WTO, sekitar 237 orang yang berasal dari 55 negara menyampaikan berbagai pernyataan dan keprihatinan. Mereka mewakili: NGO terkemuka, seperti Action Aid, Oxfam; Sarikat Perdagangan (Trade Union); Organisasi Petani dan Organisasi Kemasyarakatan. Mereka begitu khawatir Putaran Doha (PD) ini ternyata belum mengarah ke penyelesaian masalah krisis pangan global, masih saja terperangkap untuk terus memperdalam liberalisasi perdagangan. Mereka prihatin atas harga pangan yang terus bergejolak, meningkatnya ketergantungan impor pangan NB, dan semakin menguatkan peran MNCs dalam pasar agribisnis pangan dan pertanian (TWN, 2008b).
Di tingkat global, peran produk pertanian dibandingkan dengan total barang (merchandise) yang diperdagangkan adalah relatif kecil. Yang dominan adalah produk manufaktur dan bahan bakar minyak/hasil tambang. Pada 2004 misalnya, produk pertanian mengambil peran hampir 9 persen. Namun di dalam produk pertanian global itu sendiri, pangan mengambil peran yang dominan yaitu sekitar 80 persen. Itu belum termasuk produk perikanan (WTO, 2005).
Walaupun peran pangan atau produk pertanian adalah kecil, namun perannya besar buat NB. Itu tidak hanya menyangkut ekspor untuk memperoleh devisa yang amat diperlukan buat pembangunan, tetapi juga keterlibatan banyak petani sempit /peternak kecil serta miskin dan menggantungkan hidup dari sektoritu. Pada subsektor itu pula harapan NB dapat mendorong pembangunan desa, mengatasi kemiskinan dan kelaparan, dan serta sebagai filter terhadap urbanisasi. Penelitian di tingkat global, dan dalam negeri jelas menyimpulkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian dan pangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengurangan penduduk miskin dan untuk mengatasi kerawanan pangan ( food insecurity ).
Konsentrasi produksi pangan dan perdagangan pangan berada di NM, bukan di NB. Hasil penelitian Husein Sawit (2007a) memperlihatkan bahwa dalam dua dasa warsa terakhir, terungkap bahwa tren produksi pangan semakin mengerucut ke sejumlah kecil NM yaitu AS, UE, Australia, Selandia Baru dan Kanada. AS menghasilkan pangan terutama jagung, minyak kedelai, gandum, daging unggas, beras, kedelai, buah dan sayur, daging sapi, susu bubuk skim, dan keju. UE memproduksikan buah dan sayur, jagung, gula, gandum, daging sapi, daging unggas, susu bubuk skim, mentega, dan keju. Selandia Baru menghasilkan daging sapi, susu bubuk skim, mentega dan keju. Australia manghasilkan jagung, gula, gandum, daging sapi, susu bubuk skim, mentega dan keju. Kanada memproduksikan mentega, daging sapi, buah dan sayur, minyak kedelai, gandum dan jagung.
Itu karena NM, terutama AS dan UE mensubsidi pertaniannya secara berlebih untuk sejumlah produk pangan, terutama beras, jagung, kedelai, gula, gandum, daging sapi, daging unggas, susu dan sejumlah buah-buahan dan sayur-sayuran. Berbagai ragam bentuk subsidi itu, diantaranya dapat dilihat dari besaran angka PSE ( Producer Support Estimate), meliputi antara lain market price support , payments based on area planted/animal numbers/input use/input constraints . Pendapatan petani beras, gula dan daging sapi di negara OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) yang berasal dari bantuan pemerintah mencapai masing-masing 78 persen, 51 persen, dan 33 persen. Itu artinya, hanya 22 persen pendapatan petani beras di OECD berasal dari usahatani mereka sendiri, selebihnya dari subsidi pemerintah. Petani jagung dan kedelai memperoleh bantuan dari pemerintah masing-masing sebesar 24 persen dari total pendapatan usaha taninya (Husein Sawit, 2007b).
Dalam pemenuhan input pertanian, petani berlahan sempit (kurang dari 2 hektar) bergantung pada perusahaan besar seperti Syngenta, Monsanto, Bayer Crop, BASF AG, Dow Agro. Artinya, petani sempit sedang berhadapan dengan raksasa, yang pasti sebagian petani kecil akan memperoleh manfaat, tetapi tidaklah sebesar manfaat yang diperoleh perusahaan besar tersebut. Ketergantungan petani sempit semakin besar dan ini akan memperlemah daya tawar mereka. Selain itu petani bergantung pada industri olahan dan pedagang pangan. Lima (5) besar itu adalah Nestle, Cargill, ADM, Unilever, dan Kraft Foods. Petani Indonesia masuk dalam cengkraman jaringan mereka
Konsentrasi produksi pangan dan perdagangan pangan sebenarnya berada di NM, bukan di Negara Berkembang (NB). Hasil penelitian Husein Sawit (2007a) memperlihatkan bahwa dalam dua dasa warsa terakhir, terungkap bahwa tren produksi pangan semakin mengerucut ke sejumlah kecil NM yaitu AS, UE, Australia, Selandia Baru dan Kanada. AS menghasilkan pangan terutama jagung, minyak kedelai, gandum, daging unggas, beras, kedelai, buah dan sayur, daging sapi, susu bubuk skim, dan keju. UE memproduksikan buah dan sayur, jagung, gula, gandum, daging sapi, daging unggas, susu bubuk skim, mentega, dan keju. Selandia Baru menghasilkan daging sapi, susu bubuk skim, mentega dan keju. Australia manghasilkan jagung, gula, gandum, daging sapi, susu bubuk skim, mentega dan keju. Kanada memproduksikan mentega, daging sapi, buah dan sayur, minyak kedelai, gandum dan jagung. Itu karena NM, terutama AS dan UE mensubsidi pertaniannya secara berlebih untuk sejumlah produk pangan, terutama beras, jagung, kedelai, gula, gandum, daging sapi, daging unggas, susu dan sejumlah buah-buahan dan sayursayuran. Berbagai ragam bentuk subsidi itu, diantaranya dapat dilihat dari besaran angka PSE (Producer Support Estimate), meliputi antara lain market price support, payments based on area planted/animal numbers/input use/input constraints. Pendapatan petani beras, gula dan daging sapi di negara OECD yang berasal dari bantuan pemerintah mencapai masing-masing 78 persen, 51 persen, dan 33 persen. Itu artinya, hanya 22 persen pendapatan petani beras di OECD berasal dari usahatani mereka sendiri, selebihnya dari subsidi pemerintah. Petani jagung dan kedelai memperoleh bantuan dari pemerintah masing-masing sebesar 24 persen dari total pendapatan usaha taninya (Sawit, 2007b).
Agro Observer (2006) melaporkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, banyak produk agroindustri dan agro pangan yang secara lokal sudah terkenal mereknya, dijual ke perusahaan asing. Saham dari perusahaan lokal diakuisisi oleh perusahaan MNCs, seperti Danone (Perancis), Unilever (Inggeris), Nestle (Swiss), CocaCola (AS), Hj Heinz (AS), Campbels (AS), Numico (Belanda) dan Philip Morris (AS). Perusahaan MNCs ini banyak bergerak di industri hilir pangan/ pertanian. Ada 3 alasan mereka antusias berada di Indonesia: (i) jumlah penduduk dan pendapatan terus meningkat, termasuk urbanisasi, (ii) ada 12 persen penduduk kota yang kaya, membutuhkan makanan berstandar kualitas dan bermerk, (iii) perusahaan DN kesulitan mendapatkan working capital, aset yang dimiliki harganya murah, sementara hutangnya tinggi, terutama terjadi di era krisis ekonomi yang lalu (Agro Observer, 2006).

Gambar 1. Gambaran Agribisnis Pangan di Pasar Global

4. Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Petani
Di Pasar Internasional, globalisasi ekonomi berimplikasi kepada semakin ketatnya persaingan antarpelaku bisnis, antarnegara dan antarmanusia yang tidak hanya pada level keunggulan komparatif tetapi juga pada level politik dan diplomasi yang kesemuanya itu merupakan komponen daya saing global (Arifin, 2000). Barang (dan jasa) dapat secara bebas keluar dan masuk tanpa memperoleh hambatan yang berarti, baik berupa hambatan tarif dan kuota maupun hambatan non-tarif yang berupa kebijakan atau aspek diskriminatif lainnya (Hasyim dan Arifin, 2002). Keputusan Indonesia untuk meratifikasi dan mengikatkan diri dengan ketentuan dan skema perdagangan dunia (WTO) telah membawa konsekuensi tantangan persaingan dunia yang semakin keras.
Konsep perdagangan adil ( fair trade) adalah kondisi ideal yang mungkin tidak begitu saja dapat tercipta dari konsep pedagangan bebas, namun memerlukan upaya non-ekonomi lain, berupa langkah pembenahan institusi di tingkat domestik (termasuk yang utama dan terpenting adalah pemberdayaan kelembagaan ekonomi petani) dan upaya diplomasi di tingkat internasional.
Petani jika berusahatani secara individu akan terus berada di pihak yang lemah karena petani secara individu akan mengelola usaha tani dengan luas garapan kecil dan terpencar serta kepemilikan modal yang rendah. Sehingga, pemerintah perlu memperhatikan penguatan kelembagaan lewat kelompoktani karena dengan berkelompok maka petani tersebut akan lebih kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun permodalannya. Kelembagaan petani di desa umumnya tidak berjalan dengan baik ini disebabkan (Zuraida dan Rizal, 1993; Agustian, dkk, 2003; Syahyuti, 2003; Purwanto, dkk, 2007) :
1. Kelompoktani pada umumnya dibentuk berdasarkan kepentingan teknis untuk memudahkan pengkoordinasian apabila ada kegiatan atau program pemerintah, sehingga lebih bersifat orientasi program, dan kurang menjamin kemandirian kelompok dan keberlanjutan kelompok.
2. Partisipasi dan kekompakan anggota kelompok dalam kegiatan kelompok masih relatif rendah, ini tercermin dari tingkat kehadiran anggota dalam pertemuan kelompok rendah (hanya mencapai 50%)
3. Pengelolaan kegiatan produktif anggota kelompok bersifat individu. Kelompok sebagai forum kegiatan bersama belum mampu menjadi wadah pemersatu kegiatan anggota dan pengikat kebutuhan anggota secara bersama, sehingga kegiatan produktif individu lebih menonjol. Kegiatan atau usaha produktif anggota kelompok dihadapkan pada masalah kesulitan permodalan, ketidakstabilan harga dan jalur pemasaran yang terbatas.
4. Pembentukan dan pengembangan kelembagaan tidak menggunakan basis social capital setempat dengan prinsip kemandirian lokal, yang dicapai melalui prinsip keotonomian dan pemberdayaan.
5. Pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan konsep cetak biru (blue print approach) yang seragam. Introduksi kelembagaan dari luar kurang memperhatikan struktur dan jaringan kelembagaan lokal yang telah ada, serta kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan.
6. Pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan pendekatan yang top down, menyebabkan tidak tumbuhnya partisipasi masyarakat.
7. Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan horizontal, bukan ikatan vertikal. Anggota suatu kelembagaan terdiri atas orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama. Tujuannya agar terjalin kerjasama yang pada tahap selanjutnya diharapkan daya tawar mereka meningkat. Untuk ikatan vertikal diserahkan kepada mekanisme pasar, dimana otoritas pemerintah sulit menjangkaunya.
8. Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus. Pembinaan kepada kontaktani memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak mengajarkan bagaimana meningkatkan kinerja kelompok misalnya, karena tidak ada social learning approach.
9. Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah dari pengembangan aspek kulturalnya. Struktural organisasi dibangun lebih dahulu, namun tidak diikuti oleh pengembangan aspek kulturalnya. Sikap berorganisasi belum tumbuh pada diri pengurus dan anggotanya, meskipun
Hasyim dan Zakaria (2002) menyatakan bahwa masyarakat petani merupakan komponen yang sangat penting mengingat jumlahnya sangat banyak dan umumnya bergerak dibidang usahatani (on farm). Tanpa adanya petani, maka agribisnis tidaklah mungkin berkembang dan tentu saja produk-produk pertanian juga tidak cukup tersedia bagi kita. Untuk meningkatkan taraf hidup petani, mereka harus berperan aktif dan tidak hanya semata-mata menanti uluran tangan pihak lain. Diharapkan masyarakat petani tersebut dapat berperan: Pertama, berusaha dengan penuh kesadaran yang tinggi untuk meningkatkan kualitas pengetahuan dan ketrampilan agar kualitas hidup lebih baik. Di samping itu petani harus berusaha memupuk budaya kewirausahaan (entrepreneur) dan mengedepankan rasionalitas dalam berusahatani Kedua, meningkatkan tindakan bersama secara efisien dalam menangkap manfaat ekonomi dari adanya skala usaha baik dalam proses produksi, pemasaran maupun dalam memperoleh sarana produksi melalui pemberdayaan kelembagaan petani, kelompok tani dan koperasi. Ketiga, menjalin kemitraan usaha dengan pihak swasta yang saling memperkuat, saling membutuhkan, dan saling menguntungkan serta mampu menekan biaya transaksi dan menjamin keberlanjutan usaha. Kemudian agar proses kemitraan itu berjalan dengan baik, petani harus berusaha konsisten memenuhi ketentuan-ketentuan dalam bermitra. Keempat, bersama pihak swasta menciptakan suasana usaha yang harmonis sehingga skala usaha optimal pada masing-masing pihak dapat dicapai. Kelima, meningkatkan penerapan teknologi budidaya dan prosessing secara berkelanjutan, sehingga dapat memanfaatkan nilai tambah untuk meningkatkan pendapatan. Keenam, melakukan diversifikasi usaha guna mengantisipasi adanya gejolak eksternal (pasar luar negeri). Ketujuh, bersama swasta berupaya menguasai informasi pasar dalam rangka memperluas jangkauan pasar dan meningkatkan pangsa pasar. Peran masyarakat petani secara skema disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2: Hubungan Antara Petani dengan Berbagai Stakeholder
Beberapa hal yang menjadi perhatian dalam pemberdayaan kelembagaan petani diantaranya :
1. Kepemimpinan
Kepemimipinan merupakan salah satu celah-masuk (entry-point) penting dalam memberdayakan, menata dan mempertahankan kelangsungan hidup kelembagaan petani. Pemimpin atau ketua kelembagaan berfungsi sebagai mobilisator, penyaring dan penyalur informasi eksternal, penasehat sosial kemasyarakatan, dan berbagai fungsi sosial lainnya sekaligus sebagai enforcer (penegak) pelaksanaan nilai dan norma sosial komunitas petani setempat. Seorang pemimpin pada sebuah kelembagaan juga menentukan apa sanksi sosial yang diberikan terhadap anggota komunitas yang melanggarnya. Dalam kaitannya dengan introduksi nilai-nilai eksternal, seorang pemimpin kelembagaan bahkan mampu menghentikan proses dan progres perubahan sosial di wilayahnya. Dalam kelompok masyarakat yang berada dalam tahap awal evolusi organisasi, lembaga kepemimpinan umumnya berupa seorang individu sebagai kepala suku dengan berbagai nama: keret (Arfak, Papua), ondoafie (Sarmi, Papua), pah-tuaf (Tetun), raja-soa (Maluku) dan lain-lain (Suradisastra, 2006). Para pemuka masyarakat tersebut juga memegang peran penting dalam kaitannya dengan kegiatan bertani dan kehidupan petani di lingkungan etnisnya. Pemimpin atau ketua kelembagaan sering dibantu oleh kelembagaan sesepuh local seperti dewan adat, lembaga ketahanan desa, dan lain-lain.
2. Norma dan Adat-istiadat
Norma, adat istiadat dan tata pengaturan sosial lain memainkan peran penting dalam proses produksi pertanian. Kelembagaan tersebut dimanifestasikan dalam bentuk pranata dan interaksi sosial verbal (terucapkan) dan interaksi nonverbal (tidak terucapkan). Misalnya pada etnis Minang dikenal kelembagaan Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang berbentuk organisasi semi-struktur, berfungsi menata dan mengawasi kehidupan sosial masyarakat, termasuk kehidupan petani dan praktek berusahatani. Etnis Sunda mengenal kelembagaan pengaturan pamali, parancah, dan uga serta manajemen kolektif aktif melalui babasan "silih asih, silih asah, silih asuh" dan gugur gunung (gotong royong) serta manajemen top-down
3. Toleransi Sosial
Kelembagaan petani memiliki ragam toleransi yang disebut daya-lenting sosial (social resilience) dalam menghadapi intervensi dan penetrasi gagasan eksternal. Social resilience mencerminkan upaya kelompok atau kelembagaan masyarakat dalam mempertahankan kelembagaan nilai sosial dan norma lokal dalam proses intervensi atau introduksi nilai dan norma eksternal. Kelenturan sosial dicerminkan oleh proses dan perubahan sikap dan bentuk kelembagaan dalam konteks waktu. Semakin tinggi daya lenting sosial, semakin besar toleransi masyarakat dan kelembagaan sosialnya dalam menghadapi proses perubahan yang disebabkan oleh lembaga eksternal. Hasil akhir proses introduksi gagasan eksternal memiliki 3 kemungkinan: (a) sikap komunitas atau kelembagaan lokal tidak berubah dengan menolak intervensi secara total (social resilience rendah), (b) mengembangkan konsensus nilai dan norma lokal dengan nilai dan norma eksternal (social resilience sedang) yang berakhir pada proses evolusi dan metamorfosis kelembagaan ke bentuk baru, dan (c) menerima seutuhnya norma dan kelembagaan introduksi (social resilience tinggi) dan berakhir pada matinya kelembagaan lama dan digantikan dengan kelembagaan introduksi.
Upaya introduksi kelembagaan baru memerlukan pengkondisian masyarakat dan kelembagaan lokal guna memaksimalkan dayalenting sosial ke posisi yang paling menguntungkan kedua belah pihak serta mengidentifikasi entry-point yang tepat. Kelemahan yang sering dijumpai dalam introduksi gagasan, teknologi atau kelembagaan baru adalah pendekatan yang kaku dan terburu-buru sebagai akibat pola pendekatan top-down yang kurang didasarkan pada pertimbangan yang berakar pada kebutuhan masyarakat lokal. Introduksi gagasan, teknologi atau kelembagaan introduksi umumnya menerapkan strategi pengelompokan petani dalam suatu wadah bersama seperti kelompok tani, gabungan kelompok tani atau koperasi. Tindakan ini seringkali mengabaikan eksistensi dan peran kelembagaan petani yang tengah berjalan. Upaya pengelompokan seringkali mengabaikan fakta bahwa petani pedesaan pada umumnya hanya memiliki pengalaman pada kegiatan produksi atau bahkan hanya pada subsistem produksi. Akibatnya adalah sering terjadi introduksi gagasan, teknologi, atau kelembagaan eksternal ditolak atau program introduksi tersebut tidak berjalan seperti yang diharapkan. Pendekatan yang diterapkan hendaknya terlebih dahulu mempertimbangkan dan mengkaji fakta bahwa suatu norma sosial atau kelembagaan masyarakat umumnya mencerminkan dan bermula dari dinamika masyarakat dan kelembagaan lokal yang beroperasi dalam komunitas mereka.

4. Penutup
Indonesia sebagai Negara sedang berkembang mendapat banyak tantangan dengan perubahan perekonomian pangan di tingkat global, oleh karenanya perlu strategi mengatasinya. Indonesia, di tingkat ASEAN, menjadi salah satu Negara yang mempunyai laju produksi pangan beras dan jagung melebihi laju konsumsi. Adapun utnuk komoditas gandum, Indonesi mempunyai laju konsumsi yang terus menerus meningkat. Hal ini akan mengakibatkan gangguan perekonomian pangan apabila tidak segera diatasi penurunan konsumsinya. Fenomena yang terjadi Indonesia terbebas dari impor beras akan tetapi terjebak dalam impor gandum. Guna pemenuhan ketahanan pangan, maka Indonesia mencanangkan suatu kebijakan kemandirian pangan. Salah satu langkah pencapaian kebijakan tersebut adalah peningkatan produktivitas lahan pertanian.
Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) merupakan agen bagi perubahan perilaku petani dan PPL membantu petani untuk meningkatkan usahatani sehingga meningkat kesejahteraannya. Penyuluh pertanian kedepan menghadapi berbagai tantangan berupa perubahan lingkungan sosial ekonomi yang dinamis baik di tingkat daerah dan nasional maupun global, sehingga petani mampu menjadi mitra sejajar dengan pemerintah dan pengusaha. Terdapat tiga tahap (fase) dalam mewujudkan kesejahteraan petani, tahap pertama: pemberdayaan organisasi petani yakni tahap pemberdayaan kelembagaan petani (pengembangan SDM, pengembangan teknologi dan rekayasa aturan main organisasi), tahap kedua: pengembangan jaringan kemitraan bisnis (network business), dan tahap ketiga: peningkatan daya saing (competitiveness). Daya saing produk pertanian di tingkat lokal (daya saing lokal) yang dihasilkan melalui pemberdayaan kelembagaan/organisasi ekonomi petani.
Sebagai penutup, PPL adalah garda terdepan dalam “mengawal” dan mendampingi petani menuju era perekonomian global. Dengan bekal kompetensi dan kapasitas SDM yang tinggi maka kesejahteraan petani akan terwujud, dan bangsa Indonesia menjadi lebih sejahtera.


Daftar Pustaka

ASEAN (INDONESIA; Harapan dan Tantanagan ASEAN COMMUNITY 2015)
http://pustakaruwa.wordpress.com/2011/02/10/asean-indonesia-harapan-dan-tantangan-asean-community-2015/

Bello, Amelia. 2004. Food Security, Agricultural Efficiency and Regional Integration, DISCUSSION PAPER SERIES NO. 2004-38. Philippine Institute for Development Studies

Broca, Sumiter S. 2002. Food Insecurity, Poverty and Agriculture : A Concept Paper. Agricultural and Development Economics Division. The Food and Agriculture Organization of the United Nations

Bustami, Gusmardi. 2011. Indonesia Harus Menyiapkan Langkah Strategis Melalui Pengamanan Pasar domestik Dan Penguatan Ekspor. Free Trade Agreement (FTA) ASEAN dengan Mitra Wicara, 9 Maret 2011.

Craig, David dan Doug Porter, 2003. Poverty Reduction Strategy Papers: A New Convergence. World Development Vol. 31, No. 1, pp. 53–69, 2003. Elsevier Science Ltd.

Fosu, A Kwasi, 2010. Does inequality constrain poverty reduction programs? Evidence from Africa. Journal of Policy Modeling, 32 (2010) 818–827. Elsevier.

Hasyim, A dan Zakaria, WA (2004). Tinjauan Akademik tentang Kondisi dan Potensi Pemasar Produk Pertanian Lampung menghadapi Pasar Bebas Asean. Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan Ekspor Produk Pertanian Lampung di Hotel Marcopolo. Bandar Lampung pada tanggal September 2004

Tahlim Sudaryanto dan Effendi Pasandaran. 1993. Sistem Agribisnis di Indonesia. Badan Agribisnis, Departemen Pertanian. Jakarta

Hariyati, Y. 2003. Performansi Perdagangan Beras dan Gula Indonesia di Era Liberalisasi Perdagangan. Disertasi.

Hossain, Md. Shanawez , 2009. Regional Integration to Address Poverty and Human Insecurity in South Asia: Problems and Prospects for Mainstreaming Asian Integration.

Husein Sawit, M. 2007a. Liberalisasi Pangan: Ambisi dan Reaksi dalam Putaran Doha WTO, Lembaga Penerbit, Fakultas Ekonomi UI: Jakarta

Husein Sawit, M. 2007b. “Serbuan Impor Pangan dengan Minim Perlindungan di Era Liberalisasi”, makalah yang disampaikan pada Konpernas XV dan Kongres XIV Perhepi, di Surakarta, 3-5 Agustus 2007

Husein Sawit, M. 2008. Perubahan Perdagangan Pangan Global Dan Putaran Doha WTO: Implikasi Buat Indonesia. Makalah yang disampaikan pada pertemuan “Penyusunan Kebijakan dan Strategi Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional”, dalam rangka backgroud study RPJM 2010-2014, diselenggarakan oleh Bappenas, Jakarta tgl 11 Agustus 2008.

Kerjasama Ekonomi ASEAN.
http://www.aseancommunityindonesia.org/agriculture/55-kerjasama-ekonomi-asean.html, diakses tanggal 23 Juni 2011

Swaminathan, M.S. 2010. Achieving food security in times of crisis. New Biotechnology, Volume 27, Number 5, November 2010. Elsevier.



Tidak ada komentar: