Berikut ini pemaparan Pearson, Scott dkk. 2003 tentang konsep dasar kerangka : (Distorsi Kebijakan dan Kegagalan Pasar) Jenis-jenis hasil analisis yang mungkin terjadi telah diuraikan pada tiga bab terdahulu. Tingkat keuntungan dihitung dengan menerapkan identitas keuntungan, sementara efek divergensi dihitung dengan menerapkan identitas divergensi. Keuntungan privat, yang didefinisikan sebagai D = A – (B + C), mengukur daya saing pada tingkat harga privat (harga aktual). Keuntungan sosial, yang didefinisikan sebagai H = E – (F + G), mengukur efisiensi download file selengkapnya click here (atau keunggulan komparatif) pada tingkat harga sosial (harga efisiensi).
Bab ini memfokuskan diri pada identifikasi dan interpretasi efek divergensi. Suatu divergensi akan menyebabkan harga aktual berbeda dengan harga efisiensi. Divergensi timbul karena salah satu dari dua sebab, yaitu kegagalan pasar atau distorsi kebijakan.
Kegagalan pasar terjadi apabila pasar gagal menciptakan suatu competitive outcome dan harga efisiensi. Jenis kegagalan pasar yang umum adalah monopoli, externality, dan pasar faktor produksi yang tidak sempurna. Kebijakan yang distortif adalah intervensi pemerintah yang menyebabkan harga pasar berbeda dengan harga efisiensinya. Pajak/subsidi, hambatan perdagangan, atau regulasi harga bisa menimbulkan divergensi. Kebijakan yang distortif umumnya dilakukan dalam rangka mencapai tujuan non-efisiensi (pemerataan atau ketahanan (pangan)).
Output Transfer Dalam Policy Analysis Matrik
Divergensi pada harga output, menyebabkan pendapatan privat (A) berbeda dengan pendapatan sosial (E),serta terjadinya output transfer (I = (A – E)). Output transfer diilustrasikan pada Gambar 5.1. Divergensi bisa positif (menyebabkan timbulnya implisit subsidi atau transfer sumberdaya yang menambah keuntungan sistem) atau negatif (menyebabkan implisit pajak atau transfer sumberdaya yang mengurangi keuntungan sistem).
Gambar 5.1. Output Transfer dalam Policy Analysis Matrix
Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Privat A
Sosial I
Efek Divergensi I
Sebagai contoh, pada saat ini Indonesia menerapkan tarif impor beras, yang menyebabkan harga beras domestik 25 persen lebih tinggi dari harga dunia (harga efisiensi). Kebijakan yang distortif ini menyebabkan positif divergensi (I), dan efek divergensinya adalah selisih antara harga domestik (A) dan harga sosial yaitu harga impor (E). Dengan kata lain, tarif impor menyebabkan implisit subsidi kepada produksen padi/beras karena hal ini menyebabkan harga beras domestik lebih tinggi dibandingkan dengan harga tanpa kebijakan tersebut. Dalam contoh ini, sebagian dari divergensi disebabkan oleh risk premuim yang harus dihadapi oleh pedagang dan sisanya disebabkan oleh tarif impor (seperti telah didiskusikan pada Bab 1).
Interpretasi Output Transfers
PAM entry untuk output transfer adalah I = (A – E). Satuan atau unit yang digunakan untuk setiap entry pada Tabel PAM disebut numeraire. Semua entry dalam PAM, termasuk besaran untuk output transfer, dibuat dalam satuan mata uang dalam negeri (Rupiah) per kilogram (atau per ton) komoditas utama yang dihasilkan (atau di jual). Misalnya, untuk membandingkan sistem produksi padi di Indonesia satuan yang digunakan adalah Rupiah per kilogram beras pada tingkat penggilingan, atau Rupiah per kilogram Gabah Kering Panen (atau Gabah Kering Giling) di tingkat petani.
Rasio, suatu ukuran yang bebas nilai mata uang ataupun jenis komoditas, digunakan untuk membandingkan output atau produk yang berbeda (misalnya, padi dengan tebu). Rasio yang dibuat untuk mengukur output transfer disebut Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO), sebuah istilah yang diambil dari literatur perdagangan internasional. NPCO = A/E. Rasio ini menunjukkan seberapa besar harga domestik (harga privat) berbeda dengan harga sosial. Bila NPCO lebih besar dari satu, berarti harga domestik lebih tinggi dari harga impor (atau ekspor) dan berarti sistem usahatani yang sedang diteliti menerima proteksi. Bila NPCO lebih kecil dari satu, harga domestik lebih rendah dari harga dunia berarti harga domestik di disproteksi. Dalam situasi tidak ada policy transfer (yakni, bila I sama dengan nol), harga domestik tidak akan berbeda dengan harga dunia, dan NPCO akan sama dengan satu.
Analis PAM harus meneliti secara hati-hati dalam menentukan ada atau tidaknya kegagalan pasar – monopoli atau externality – yang mempengaruhi pasar output. Studi-studi tentang sistem pertanian di negara berkembang yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa kegagalan pasar yang signifikan yang mempengaruhi pasar output jarang terjadi. Monopoli yang ditemukan di lapangan umumnya diciptakan oleh kebijakan pemerintah.
Sebaliknya, sebagian besar output transfer terjadi karena kebijakan yang distortif. Salah satu sumber distorsi adalah kebijakan harga – hambatan perdagangan atau pajak/subsidi – yang diterapkan untuk mencapai tujuan non-efisiensi. Penyebab kedua dari output transfer adalah disequilibrium nilai tukar yang terjadi sebagai akibat dari kebijakan makroekonomi. Harga efisiensi dari output adalah harga dunia untuk barang yang sejenis. Kebijakan yang distortif menyebabkan harga domestik berbeda dengan harga efisiensinya, dan penetapan nilai tukar yang salah akan menyebabkan konversi harga dunia kedalam harga domestik menjadi salah pula.
Contoh Output Transfers
Ilustrasi tentang output transfer untuk sistem usahatani padi varitas unggul di Indonesia disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Contoh Output Transfer
Pendapatan (rupiahs per ha)
Privat 7,230,000 A
Sosial 5,784,000 E
Divergensi 1,446,000 I
I A-E 1,446,000
NPCO A/E 1.25
Pada contoh diatas, sistem usahatani hanya menghasilkan satu jenis output yaitu beras. Nilai beras yang dihitung pada harga privat (Rp. 7.230.000 per hektar) sekitar 25 persen lebih tinggi dari nilai sosialnya (Rp. 5.784.000 per hektar). Output transfer (Rp. 1.446.000 per hektar) disebabkan oleh specific import tariff sebesar Rp. 430/kilogram beras, atau setara dengan tarif sebesar 25 persen.
Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) atau A/E adalah 1,25. Artinya, karena tarif impor beras maka nilai total output 25 persen lebih tinggi dari yang seharusnya, yakni apabila tidak ada kebijakan tarif impor tersebut.
Tradabel Input Transfer dalam Policy Analysis Matrix
Divergensi pada harga input tradabel menyebabkan biaya input tradabel privat (B) berbeda dengan biaya sosialnya (F), serta terjadinya transfer input tradabel (J = (B – F)), seperti disajikan pada Gambar 5.2. Divergensi ini bisa positif (menyebabkan suatu implisit pajak atau transfer sumberdaya keluar dari sistem) atau negatif (menyebabkan implisit subsidi atau transfer sumberdaya kedalam sistem).
Gambar 5.2. Transfer Input Tradabel dalam Policy Analisis Matrix
Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Privat B
Sosial F
Efek Divergensi J
Subsidi atas pestisida, misalnya, berarti petani hanya akan membayar sebesar (B), sebagian dari biaya yang seharusnya (F). Pemerintah harus membayar sisanya (J) sebagai subsidi pestisida. J = (B – F) akan negatif karena B lebih kecil dari F sebesar subsidi yang diberikan. Suatu subsidi yang mengurangi biaya input dengan sendirinya akan dimasukkan kedalam Tabel PAM sebagai negative entry dalam baris efek divergensi (baris ketiga).
Hal sebaliknya akan terjadi dalam kasus pajak atas input tradabel. Pajak atas bahan bakar, misalnya, akan menyebabkan biaya bahan bakar yang harus dibayar petani (B) akan melebihi opportunity costnya yaitu harga dunia (F) sebesar pajak yang dibebankan (J), dan J = (B – F) akan positif.
Interpretasi Tradable Input Transfers
PAM entry untuk tradable input transfers adalah J = (B – F). Interpretasi tradabel input transfers adalah sama seperti tradable output transfer karena keduanya didasarkan pada perbandingan antara harga privat (harga aktual) dengan harga sosial (harga dunia).
Rasio, yang bebas dari satuan mata uang atau jenis komoditas, digunakan untuk membandingkan jenis input tradabel yang berbeda (misalnya pupuk dengan bahan bakar). Rasio untuk mengukur transfer input tradabel adalah Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI), istilah ini juga diambil dari literatur perdagangan internasional. NPCI = B/F. Rasio ini menunjukkan seberapa besar harga domestik dari input tradabel berbeda dengan harga sosialnya. Bila NPCI lebih besar dari satu, biaya input domestik lebih mahal dari biaya input pada tingkat harga dunia. Dengan kata lain, sistem seolah-olah dibebani pajak oleh kebijakan yang ada. Bila NPCI lebih kecil dari satu, harga domestik lebih rendah dari harga dunia, dan sistem seolah-olah disubsidi oleh kebijakan yang ada. Apabila tidak ada transfer (yakni, bila J sama dengan nol), harga input domestik dan harga dunia tidak akan berbeda, dan NPCI akan sama dengan satu.
Rasio yang kedua, Effective Protection Coefficient (EPC), bisa dihitung langsung dari nilai-nilai yang ada di Tabel PAM. Rasio ini membandingkan nilai tambah pada tingkat harga domestik (A – B) dengan nilai tambah pada tingkat harga dunia (E – F). EPC = (A – B)/(E – F). Tujuan dari EPC adalah menunjukkan efek transfer gabungan yang disebabkan oleh sebuah kebijakan (policy transfer), baik transfer output tradabel maupun maupun transfer input tradabel. EPC merupakan bentuk lain dari Effective Rate of Protection (ERP), sebuah ukuran distorsi perdagangan yang umum dipakai. ERP = (EPC – 1) x 100%.
Analis PAM harus menelaah secara hati-hati atas ada atau tidaknya kegagalan pasar – monopoli atau externatlity – yang mempengaruhi pasar input tradabel. Studi yang telah dilakukan di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa kegagalan pasar yang cukup signifikan yang mempengaruhi input tradabel jarang terjadi. Seperti halnya pada output tradabel, kebanyakan monopoli terjadi karena kebijakan pemerintah, bukan cartel yang dibentuk oleh kalangan swasta.
Dengan kata lain, sebagian besar transfer input tradabel disebabkan oleh kebijakan yang distortif. Sama halnya dengan output tradabel, dua sumber divergensi yang mempengaruhi harga input tradabel adalah kebijakan harga (hambatan perdagangan atau pajak/subsidi) dan disequilibrium nilai tukar.
Contoh Tradable Input Transfers
Sebuah ilustrasi berkenaan dengan transfer input tradabel pada usahatani padi di indonesia disajikan pada Tabel 5.4. Pada contoh tersebut, sistem usahatani padi menggunakan tiga jenis input tradabel yaitu pupuk, obat-obatan (chemicals) dan lainnya (benih dan bahan bakar).
Tabel 5.4. Contoh Transfer Input Tradabel
Biaya Input Tradabel (Rp/ha)
Pupuk Obat-obatan Lainnya Total
Privat 586,000 195,000 185,000 966,000 B
Sosial 586,000 250,000 185,000 1,021,000 F
Divergensi - (55,000) - (55,000) J
I B-F (55,000)
NPCI B/F 0.95
Biaya obat-obatan (insektisida dan herbisida) pada tingkat harga privat (Rp. 195.000 per hektar) jauh lebih kecil dari biaya obat-obatan pada tingkat harga sosial (Rp. 250.000 per hektar). Seluruh transfer negatif input tradabel (-Rp. 55.500 per hektar) disebabkan oleh subsidi atas obat-obatan sekitar 28 persen.
Untuk seluruh input tradabel, total policy transfer dari input tradabel (J) adalah Rp. 55.500 per hektar. Nominal Protection Coefficient on Inputs (NPCI) adalah B/F atau 195.000/250.000 = 0,78. Karena subsidi yang diberikan atas obat-obatan, total biaya input tradabel hanya 78 persen dari biaya seharusnya, seandainya tidak ada kebijakan.
Factor Transfer dalam Policy Analysis Matrix
Divergensi bisa mempengaruhi harga faktor domestik (tenaga kerja terampil, tenaga tidak terampil, modal, dan lahan). Divergensi pada pasar faktor domestik menyebabkan harga privat faktor domestik (C) berbeda dengan harga sosialnya (G) dan dengan sendirinya menimbulkan transfer faktor domestik (K = (C – G)). Transfer faktor domestik diilustrasikan pada Gambar 5.3. Sama halnya dengan divergensi yang mempengaruhi biaya input tradabel, divergensi faktor domestik juga bisa positif (menyebabkan terjadinya implisit pajak atau transfer sumberdaya keluar sistem) atau negatif (menyebabkan terjadinya implisit subsidi atau transfer sumberdaya kedalam sistem).
Gambar 5.3. Transfer Faktor Domestik dalam Policy Analisis Matrix
Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Privat C
Sosial G
Efek Divergensi K
Interpretasi Factor Transfers
PAM entry untuk transfer faktor domestik adalah K = (C – G). Divergensi di pasar faktor domestik timbul sebagai akibat kegagalan pasar maupun distorsi kebijakan.
Studi-studi sistem pertanian di negara-negara berkembang yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa kegagalan pasar yang signifikan pada pasar faktor domestik amat umum terjadi. Oleh karena itu, peneliti harus berasumsi bahwa pasar faktor domestik adalah tidak sempurna kecuali pengujian yang seksama menunjukkan hal sebaliknya, sehingga harga privat faktor merupakan penduga yang dapat dipertanggung-jawabkan bagi harga sosial faktor. Pendekatan untuk mengidentifikasi ketidaksempurnaan pasar faktor diuraikan pada bab 4.
Transfer faktor domestik juga bisa timbul sebagai akibat kebijakan yang distortif. Distorsi yang terjadi di pasar tenaga kerja dan modal timbul karena adanya pajak atau subsidi (misalnya pajak tunjangan pensiun yang dibebankan kepada upah atau subsidi kredit), regulasi harga (misal, upah minimum atau tingkat bunga tertinggi), atau kebijakan ekonomi makro yang distortif (misal, kebijakan moneter yang bersifat inflationary). Cara untuk mengidentifikasi distorsi kebijakan pasar faktor domestik juga telah dibahas pada bab 4.
Contoh Faktor Transfer
Sebuah ilustrasi tentang transfer faktor domestik dalam sistem usahatani padi di Indonesia disajikan pada tabel 5.3. Pada contoh tersebut, usahatani padi menggunakan dua jenis input faktor domestik yaitu tenaga kerja dan modal. Divergensi yang terjadi pada pasar tenaga kerja tidak terampil di pedesaan Indonesia tidak signifikan seperti dijelaskan pada bab 4. Oleh karena itu, tingkat upah privat tenaga tidak terampil dianggap sebagai penduga yang baik untuk tingkat upah sosial nya.
Tabel 5.3. Contoh Transfer Faktor Domestik
Biaya Faktor Domestik (Rp/ha)
Tenaga Kerja Modal Total
Privat 1,680,000 402,500 2,082,500 C
Sosial 1,680,000 462,500 2,142,500 G
Divergensi - (60,000) (60,000) K
Subsidi atas biaya modal lebih bersifat implisit. Implisit subsidi timbul karena social opportunity cost dari modal kerja pada contoh diatas adalah sebesar 24 persen per tahun (8 persen per musim) sementara tingkat bunga modal kerja privat per tahun hanya 15 persen (5 persen per musim). Transfer faktor domestik atas modal merupakan subsidi sebesar 15 persen dari total biaya modal, atau Rp. 60.000 per hektar. Faktor transfer bersih merupakan subsidi sebesar 3 persen dari total biaya faktor. Subsidi kredit tersebut tidaklah terlalu besar dibandingkan dengan total biaya.
Transfer Bersih (Net Transfer) dalam Policy Analysis Matrix
Positif transfer output (I) menciptakan subsidi pada sebuah sistem usahatani (karena akan menyebabkan pendapatan yang lebih tinggi), sementara negatif transfer input tradabel (J) dan transfer faktor domestik (K) mencerminkan adanya subsidi (karena merendahkan biaya produksi). Sama halnya dengan itu, negatif output transfer sama dengan membebankan pajak kepada sistem, sementara positif input tradabel dan faktor transfer sama dengan pajak. Transfer bersih (L), seperti terlihat pada Tabel PAM dalam Gambar 5.4., adalah penjumlahan dari semua efek transfer, baik positif maupun negatif, atas pendapatan maupun biaya.
Gambar 5.4. Net Transfer dalam Policy Analisis Matrix
Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Faktor
Privat A B C D
Sosial E F G H
Efek Divergensi I J K L
Interpretasi dari Transfer Bersih
Transfer bersih (L) diperoleh dengan menerapkan salah satu dari dua PAM indentitas. Dilihat dari identitas keuntungan, L = (I – I – K). Transfer bersih adalah penjumlahan dari transfer output, transfer input tradabel, dan transfer faktor domestik. Dilihat dari identitas divergensi, L = (D – H). Transfer bersih menunjukkan selisih antara keuntungan privat dan keuntungan sosial. Apabila sebuah kebijakan mampu menghilangkan kegagalan pasar, dan apabila seluruh kebijakan yang distortif dicabut, maka divergensi akan hilang dan transfer bersih akan nol. Transfer bersih juga akan bernilai nol apabila distorsi dalam harga output terhapus oleh distorsi pada harga input dengan nilai yang sama namun dengan tanda yang berbeda.
Perhitungan dua rasio akan berguna ketika kita ingin membandingkan dua hasil PAM yang memproduksi komoditas yang berbeda. Profitability coefficient (PC) mengukur dampak dari seluruh transfer atas keuntungan privat. PC sama dengan rasio antara keuntungan privat dan keuntungan sosial, atau PC = D/H = (A – B – C)/(E – F – G). PC dihitung dengan menggunakan data yang sama dengan ketika menghitung tranfer bersih (L = (D – H)) sehingga memungkinkan kita untuk membandingkan transfer bersih diantara sistem yang berbeda. PC juga merupakan perluasan dari EPC dengan memasukkan biaya faktor (bersama-sama dengan pendapatan dan biaya input tradabel).
Subsidy Ratio to Producers (SRP) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seluruh efek transfer. SRP adalah ukuran proteksi yang disetarakan dengan tarif atas output (output tarif equivalent). Dengan kata lain SRP adalah ukuran seluruh transfer efek bila seluruh transfer dilakukan melalui tarif impor atas output. Rasio ini merupakan perbandingan antara transfer bersih dengan nilai output pada tingkat harga dunia, atau SRP = L/E. SRP menunjukkan sejauh mana pendapatan dari sistem meningkat atau menurun karena pengaruh transfer. Bila kegagalan pasar tidak terlalu berarti, maka SRP memperlihatkan dampak bersih dari kebijakan yang distortif atas sistem usahatani.
Contoh dari Transfer Bersih
Sebuah ilustrasi tentang transfer bersih dari usahatani padi di indonesia disajikan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4. Net Transfer, Koefisien Keuntungan, dan Subsidi Ratio to Producer dalam Sistem Perberasan Indonesia
Pendapatan Biaya Keuntungan
Input Tradabel Faktor Domesik
Privat 7,230,000 966,000 2,082,500 4,181,500
Sosial 5,784,000 1,021,000 2,142,500 2,620,500
Divergensi 1,446,000 (55,000) (60,000) 1,561,000 -
EPC (A-B)/(E-F) 1.32
NPCI B/F .95
NPCO A/E 1.25
PC D/H 1.60
SRP L/E 0.27
Dihitung pada tingkat harga sosial, sistem usahatani padi di Indonesia menguntungkan meski tanpa ada kebijakan apapun (H = Rp. 2.620.500 per hektar). Transfer bersih adalah penjumlahan seluruh divergensi (L = (I – J – K)) juga merupakan selisih antara keuntungan privat dan keuntungan sosial (L = (D – H)). Transfer bersih dari sistem usahatani padi pada contoh diatas, Rp. 1.561.000 per hektar, adalah penjumlahan dari transfer output (Rp. 1.446.000 per hektar) yang disebabkan oleh tarif impor beras, transfer input tradabel (Rp. 55.000 per hektar) sebagai akibat dari subsidi obat-obatan, dan transfer faktor domestik (Rp. 60.000 per hektar) yang timbul sebagai akibat ketidaksempurnaan pasar modal kerja. Transfer bersih juga merupakan selisih antara keuntungan privat dan keuntungan sosial, atau Rp. 4.181.500 – Rp. 2.620.500 = Rp. 1.561.000.
Profitability Coefficient (PC) yaitu rasio antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial, atau PC = D/H, adalah Rp. 4.181.500/Rp.2.620.000 = 1,6. Transfer bersih sebesar Rp. 1.561.000 menyebabkan keuntungan profit satu setengah kali lebih besar dari yang seharusnya, seandainya tidak ada policy transfer. Maka menjadi pertanyaan, mengapa pengambil kebijakan di Indonesia masih harus melaksanakan kebijakan yang membantu sistem pertanian meski tanpa bantuan policy transfer apapun sistem tersebut telah sangat menguntungkan.
Subsidi Ratio to Producers (SRP), rasio antara transfer bersih terhadap pendapatan pada tingkat harga sosial, atau L/E, adalah Rp. 1.561.000/Rp. 5.784.000 = 0.27. Artinya, transfer bersih sebesar itu akan terjadi dengan tarif impor beras sebesar 27 persen bila tidak ada divergensi lain. Seandainya tidak ada divergensi yang mempengaruhi input tradabel maupun faktor domestik, maka untuk memelihara tingkat transfer bersih sebesar Rp. 1.625.500 per hektar NPCO cukup meningkat dari 1,25 menjadi 1,27. Hasil ini menunjukkan bahwa hampir seluruh subsidi untuk produsen beras bersumber dari kebijakan tarif impor, dan sangat kecil yang bersumber dari subsidi obat-obatan maupun implist subsidi untuk biaya modal.
Bab 6
Analisis Benefit-Cost
Budget usahatani dan analisis PAM yang diuraikan pada bab-bab sebelumnya digunakan untuk menentukan tingkat profitabilitas dan efisiensi sistem usahatani padi di Indonesia. Dengan sedikit tambahan data pada data yang digunakan pada bab 3 dan 4, metode PAM yang sama juga dapat digunakan untuk mengevaluasi feasibilitas ekonomi dari sebuah investasi. Dua informasi tambahan diperlukan untuk melakukan analisis ini, yaitu dampak investasi terhadap hubungan input-output usahatani, dan biaya investasi.
Analisis Benefit-Cost dalam PAM
Empat langkah untuk menghitung benefit-cost (B-C) rasio sebuah investasi dalam sistem usahatani padi di Indonesia:
1. Kumpulkan data untuk membuat tabel input-output yang baru. Dengan menggunakan harga privat dan harga sosial yang telah ada, buat tabel PAM yang baru.
2. Estimasi setiap komponen biaya dan total biaya investasi pada tingkat harga privat dan harga sosial.
3. Kurangkan tingkat profitabilitas (privat dan sosial) PAM yang lama dari tingkat profitabilitas PAM yang baru untuk menentukan pertambahan benefit sebagai akibat investasi tersebut.
4. Bagikan pertambahan benefit kepada biaya (keduanya harus di diskonto (discount) terlebih dahulu) untuk memperoleh benefit-cost rasio, baik privat maupun sosial. Benefit-cost rasio yang lebih besar dari satu berarti bahwa pelaksanaan proyek (investasi) tersebut menguntungkan.
Pertama-tama, lakukan keempat langkah diatas untuk rentang waktu satu periode, dimana benefit dan biaya terjadi pada tahun yang sama, kemudian baru dilakukan pada rentang waktu yang lebih lama (multi-period) dimana baik benefit maupun biaya terjadi selama rentang waktu tersebut. Untuk menghitung nilai kedalam waktu saat ini (present value) maka setiap elemen dari analisis (baik benefit maupun cost) harus di diskonto sebagai cerminan bahwa nilai rupiah yang diperoleh saat ini mempunyai nilai lebih besar dibandingkan dengan jumlah rupiah yang sama yang akan diterima atau dibayarkan di kemudian hari. (Rupiah yang diperoleh saat ini bisa disimpan di bank dan memperoleh bunga, oleh karena itu rupiah yang diperoleh saat ini lebih besar nilainya dengan yang diperoleh di kemudian hari, yang tidak akan mendapatkan bunga).
Rumus yang digunakan untuk mendiskonto adalah ∆D/(1+i)t, dimana ∆D adalah selisih profitabilitas dari kedua PAM, i adalah tingkat diskonto (discount rate), dan t adalah waktu, dihitung sejak proyek dimulai. Nilai yang terjadi pada saat t masih kecil (tahap awal dari proyek) akan mengalami diskonto yang tidak terlalu besar dibandingkan dengan ketika t besar (akhir proyek). Umumnya, biaya yang muncul di awal proyek akan mengalami diskonto yang tidak terlalu besar dibandingkan dengan benefit, karena benefit akan diterima bertahun-tahun kemudian. Artinya, seandainya proyek tidak dapat diselesaikan pada waktunya, maka benefit-cost yang terjadi akan jauh lebih rendah dari apa yang ditetapkan oleh perencana proyek.
Analisis Benefit-Cost Periode Tunggal (Single Period Benefit-Cost Analysis)
PAM yang lama dikenal dalam literatur project appraisal sebagai kasus “tanpa proyek”, yang menunjukkan apa yang akan terjadi bila tidak ada intervensi atas sistem usahatani. Yang kedua, PAM “dengan proyek” yang ditunjukkan dengan tanda aksen (‘) pada Tabel 6.1 memperhitungkan efek dari perubahan produktivitas yang timbul sebagai akibat tambahan penggunaan pupuk dan pestisida. Gambar 6.1 menjelaskan cara penghitungan single-period benefit-cost rasio atas penggunaan input seperti pupuk dan obat-obatan. Pada contoh single-period, baik biaya investasi maupun pendapatan dihasilkan dalam tahun yang sama.
Incremental benefit dari investasi diperoleh dengan mengurangkan keuntungan privat maupun sosial PAM “tanpa proyek” dari PAM “dengan proyek”, menghasilkan ∆D sebagai perubahan dari keuntungan privat, dan ∆H sebagai perubahan dari keuntungan sosial. Kedua incremental benefit tersebut merupakan pembilang (numerator) pada rasio benefit-cost. Biaya pupuk dan obat-obatan, dinilai dalam harga privat dan sosial, merupakan penyebut (denominator) pada rasio. Oleh karena itu, privat benefit-cost rasio adalah ∆D/IP dan sosial benefit-cost rasio adalah ∆H/IS.
Gambar 6.1. Analisis Benefit-Cost Periode Tunggal
Privat
Pendapatan Biaya Keuntungan Biaya
Input Faktor Investasi B-C Ratio
Dengan Project A' B' C' D'
Tanpa Project A B C D
ΔD IP ΔD/IP
Sosial
Dengan Project E' F' G' H'
Tanpa Project E F G H
ΔH IS ΔH/IS
Contoh perhitungan single-period benefit cost rasio, menggunakan hasil PAM yang diuraikan pada Bab 5, disajikan pada Tabel 6.1. Suatu investasi dengan nilai Rp. 500.000 dalam bentuk investasi jangka pendek seperti penggunaan pupuk, bahan bakar, benih, obat-obatan, akan menghasilkan kenaikan output sebesar 1.000 kilogram per hektar. Tambahan pendapatan bersih privat adalah Rp. 1.205.000, dan benefit-cost rasionya adalah 2.41. Dinilai pada tingkat harga sosial, tambahan pendapatan bersih adalah sebesar Rp. 964.000 dan benefit-cost rasionya adalah 1.93. Perbedaan kedua benefit-cost rasio tersebut diakibatkan oleh kebijakan perdagangan dan subsidi yang telah diuraikan pada Bab 5.
Tabel 6.1. Analisis Benefit-Cost Periode Tunggal
Privat
Pendapatan Biaya Keuntungan Biaya
Input Faktor Investasi B-C Ratio
Dengan Proyek 7,230,000 966,000 2,082,500 4,181,500
Tanpa Proyek 6,025,000 966,000 2,082,500 2,976,500
1,205,000 500,000 2.41
Sosial
Dengan Proyek 5,784,000 1,021,000 2,142,500 2,620,500
Tanpa Proyek 4,820,000 1,021,000 2,142,500 1,656,500
964,000 500,000 1.93
Analisis Benefit-cost Multi Periode (Multi-period Benefit-Cost Analysis)
Sebagian besar proyek melibatkan investasi dengan rentang waktu yang panjang. Biasanya, investasi di sektor pertanian, misalnya irigasi pompa, fasilitas pemasaran, atau kandang ternak, memberikan hasil yang kecil atau bahkan tidak sama sekali pada awal periode. Aliran benefit berlangsung untuk waktu yang panjang di masa yang akan datang. Gambar 6.2. menggambarkan aliran biaya dan benefit dari proyek. Pada awalnya, aliran benefit bersih (tambahan benefit plus biaya investasi) negatif, karena biaya investasi mendominasi aliran dana. Ketika biaya menurun dan benefit meningkat, keadaan berbalik, dan aliran dana (cash flow) menjadi positif. Cash-flow harus di diskonto dan kemudian dijumlahkan untuk menghitung benefit-cost rasio dari proyek tersebut.
Gambar 6.2. Aliran Biaya dan Pendapatan (Benefit and Cost)
Selama Masa Proyek
Menghitung Benefit-Cost Rasio Terdiskonto (Discounted Benefit-Cost Ratio)
Contoh PAM multi periode pada Tabel 6.2. memperlihatkan dampak penerapan diskonto atas private benefit-cost ratio. Bila sebuah investasi senilai Rp. 5.000.000 dilakukan dalam model periode tunggal (single-period), dengan keuntungan yang sama seperti pada contoh sebelumnya, akan menghasilkan B-C rasio sebesar 0.24. Dengan B-C rasio sebesar itu, sudah jelas proyek tidak layak (feasible) untuk dilaksanakan. Namun, seperti apa yang disajikan pada tabel 6.2. kegiatan investasi tersebut ternyata meningkatkan kualitas pengelolaan air dengan tanah yang semakin rata, galengan yang semakin kokoh, dan drainase yang semakin baik. Diasumsikan bahwa lahan dapat ditanami tiga kali setahun. Pada musim ketika investasi sedang dilakukan, tidak ada produksi yang dihasilkan. Namun, dalam 20 musim berikutnya (kurang lebih selama 7 tahun), peningkatan keuntungan akan diperoleh tanpa harus melakukan tambahan investasi. Dengan cara evaluasi periode tunggal yang sederhana keuntungan dan biaya investasi seperti yang digambarkan pada tabel 6.2. akan menghasilkan angka benefit-cost rasio sekitar 4.8 (Rp. 24.100.000/Rp. 5.000.000).
Dengan mendiskonto baik pendapatan maupun biaya dengan tingkat diskonto sebesar 15 persen (atau 5 persen per periode atau musim) seperti disajikan pada tabel 6.2. kegiatan investasi akan menghasilkan benefit-cost rasio sebesar 3.0. Biaya, karena timbul pada tahun pertama proyek, di diskonto dengan nilai potongan yang kecil. Faktor diskonto pada tahun tersebut hanya 0.9523. Sebalikna, benefit pada periode ke 21 di diskonto dengan nilai potongan yang besar karena timbul lama di kemudian hari. Faktor diskonto pada saat itu adalah 0.3589. Hasilnya adalah nilai B-C rasio yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan perhitungan tanpa diskonto.
Manfaat yang diperoleh karena perbaikan sistem pengairan mungkin akan berlangsung selama satu dekade atau lebih. Namun, proses diskonto membuat nilai manfaat menjadi amat kecil dan akan memberikan dampak yang amat kecil pada jumlah benefit keseluruhan. Sebagai contoh, dengan periode 10 tahun (30 periode), dengan menggunakan tingkat 5 persen per musim, nilai faktor diskonto akan menjadi 0.2313. Lima belas tahun dengan tiga kali tanam setahun akan menghasilkan faktor diskonto sebesar 0.1113. Pelajaran yang dapat diambil dari proses diskonto adalah bahwa sebagian besar benefit dari proyek harus dihasilkan pada periode 10 tahun pertama (30 periode) agar dampak benefitnya masih ada nilainya.
Tabel 6.2. Analisis Benefit-Cost Multi Periode (Harga Privat)
Pendapatan Biaya Keuntungan Biaya Cash
Input Faktor Investasi B-C Ratio Flow
Dengan Proyek 7,230,000 966,000 2,082,500 4,181,500 (IRR)
Tanpa Proyek 6,025,000 966,000 2,082,500 2,976,500
1,205,000 5,000,000 0.24
Tdk terdiskonto Terdiskonto
Periode 1 - - 4,761,905 (5,000,000)
2 1,205,000 1,092,971 1,205,000
Tingkat Diskonto 5% 3 1,205,000 1,040,924 1,205,000
4 1,205,000 991,356 1,205,000
5 1,205,000 944,149 1,205,000
6 1,205,000 899,190 1,205,000
7 1,205,000 856,371 1,205,000
8 1,205,000 815,591 1,205,000
9 1,205,000 776,754 1,205,000
10 1,205,000 739,765 1,205,000
11 1,205,000 704,539 1,205,000
12 1,205,000 670,989 1,205,000
13 1,205,000 639,037 1,205,000
14 1,205,000 608,607 1,205,000
15 1,205,000 579,626 1,205,000
16 1,205,000 552,024 1,205,000
17 1,205,000 525,738 1,205,000
18 1,205,000 500,702 1,205,000
19 1,205,000 476,859 1,205,000
20 1,205,000 454,152 1,205,000
21 1,205,000 432,526 1,205,000
24,100,000 14,301,870 4,761,905 3.0 23.8%
Data urut waktu (time series) seperti disajikan pada Tabel 6.2. memperlihatkan aliran dana yang di diskonto. Algoritma yang tersedia pada software spreadsheet akan mempermudah perhitungan dan langsung bisa mengahsilkan nilai Net Present Value untuk rentang waktu dan tingkat bunga tertentu. Rumus berikut akan menghasilkan B-C rasio yang diperlukan untuk melakukan evaluasi kelayakan (feasibility) proyek.
Pembilang (numerator) dari rumus diatas menjumlahkan seluruh benefit yang telah didiskonto sedangkan penyebut (denominator) adalah penjumlahan dari biaya yang juga telah didiskonto.
Data pada Tabel 6.3. adalah data Tabel PAM “dengan” dan “tanpa” proyek yang dihitung pada tingkat harga sosial. Sosial B-C rasio terdiskonto, yang dihitung dengan menggunakan rumus NPV untuk benefit dan biaya, adalah 1.89, lebih besar dari 1.0. Internal rate of return (IRR) sebesar 19%, juga lebih besar dari tingkat bunga sosial per musim sebesar 8% (periode yang digunakan dalam perhitungan adalah musim, bukan tahun sehingga tingkat bunga yang digunakan adalah tingkat bunga per musim).
Penyebab utama lebih rendahnya sosial B-C (dibandingkan dengan privat B-C) adalah kebijakan tarif impor beras yang menyebabkan harga privat beras 25 persen lebih tinggi dari harga dunia. Subsidi atas input tradabel dan modal memiliki dampak yang kecil, seperti dijelaskan pada Bab 5.
Tabel 6.3. Analisis Benefit-Cost Multi Periode (Harga Sosial)
Pendapatan Biaya Keuntungan Biaya Cash
Input Factors Investasi B-C Ratio Flow
Dengan Proyek 5,784,000 1,021,000 2,142,500 2,620,500 (IRR)
Tanpa Proyek 4,820,000 1,021,000 2,142,500 1,656,500
964,000 5,000,000 0.19
Periode 1 - 5,000,000 (5,000,000)
2 964,000 964,000
Tingkat Diskonto 8% 3 964,000 964,000
4 964,000 964,000
5 964,000 964,000
6 964,000 964,000
7 964,000 964,000
8 964,000 964,000
9 964,000 964,000
10 964,000 964,000
11 964,000 964,000
12 964,000 964,000
13 964,000 964,000
14 964,000 964,000
15 964,000 964,000
16 964,000 964,000
17 964,000 964,000
18 964,000 964,000
19 964,000 964,000
20 964,000 964,000
21 964,000 964,000
NPV 8,763,606 4,629,630 1.89 19%
Menghitung Internal Rate of Return (IRR)
Rumus yang digunakan untuk menghitung benefit-cost rasio yang didiskonto pada Tabel 6.2. memerlukan angka tingkat diskonto. Analisis sensitivitas atas faktor diskonto dilakukan dengan merubah-rubah tingkat bunga. Pendekatan yang lebih fleksibel, digunakan oleh Bank Dunia dan lembaga internasional lainnya, dilakukan untuk menentukan tingkat diskonto yang menghasilkan benefit terdiskonto sama dengan biaya terdiskonto. Tingkat diskonto ini kemudian dibandingkan dengan biaya modal, baik privat maupun sosial. Bila biaya modal privat dan sosial, yakni tingkat bunga, lebih kecil dari tingkat diskonto, maka proyek dikatakan feasible.
Rumus untuk menghitung IRR adalah seperti di bawah ini:
Bagian pertama dari persamaan diatas adalah penjumlahan benefit terdiskonto sedang bagian keduanya adalah penjumlahan biaya terdiskonto. Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat bunga yang menghasilkan benefit terdiskonto sama dengan biaya terdiskonto. Elemen pertama data urut waktu pada Tabel 6.2. negatif karena pada saat itu benefitnya adalah nol. Setelah itu, benefit adalah keuntungan yang terus bertambah yang dihasilkan dari pengurangan PAM lama (tanpa proyek) atas PAM baru (dengan proyek) dengan hasil yang telah meningkat.
Algoritma yang sama bila diterapkan kepada data benefit dan biaya pada tabel 6.2. (keuntungan privat) akan menghasilkan IRR sebesar 23.8 persen sedang perhitungan untuk data yang ditampilkan pada tabel 6.3. (keuntungan sosial) menghasilakn IRR sebesar 19 persen. Alasan mengapa sosial IRR lebih kecil dari privat IRR adalah sama dengan alasan mengapa sosial B-C rasio lebih kecil dibandingakn dengan privat B-C rasio.
Kedua angka IRR diatas lebih besar dari biaya modal privat dan sosial. Namun, tidak jarang pula sebuah proyek menghasilkan angka yang berbeda untuk kedua ukuran tersebut, yakni privat B-C rasio lebih besar dari satu sedangkan sosial B-C rasio lebih kecil dari satu, atau sebaliknya. Para perencana akan lebih suka menggunakan rasio sosial karena angka tersebut mencerminkan biaya modal ril bagi ekonomi secara keseluruhan. Namun, evaluasi proyek yang didasarkan pada penilaian keuntungan sosial (efisiensi) harus dilakukan secara hati hati. Bila incremantal private profit negatif, maka insentif privat yang dibutuhkan untuk implementasi proyek (meskipun efisien) tersebut tidak memadai. Perbedaan antara private dan social rate of return dari proyek akan menghasilkan perubahan kebijakan yang sama dengan perubahan yang timbul dari hasil analisis PAM sebelumnya yang digunakan sebagai basis perhitungan ini.
Sebagai contoh, seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa perbaikan pengelolaan air meningkatkan produksi sebesar 1.000 kilogram per hektar. Perhitungan harga sosial menghasilkan B-C rasio sebesar 1.9. Karena sistem usahatani padi diproteksi, maka keuntungan privat akan lebih besar dari keuntungan sosial sehingga menghasilkan B-C rasio sebesar 3.0. Dalam contoh ini, privat dan sosial B-C rasio menunjukkan arah yang sama. Para perencana bisa terus melaksanakan proyek ini dengan pertimbangan insentif privat konsisten dengan kelayakan (feasibility) sosial. Namun adakalanya petani dikenakan pajak atas output yang dihasilkannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini bisa menghasilkan sosial B-C rasio yang lebih besar dari satu, sementara privat B-C rasio lebih kecil dari satu. Dalam kasus seperti ini, petani akan memiliki minat yang kecil untuk membelanjakan sumberdaya yang dimilikinya kepada kegiatan proyek tersebut. Tanpa ada perubahan kebijakan yang menghapuskan pajak atas output tersebut maka kegiatan proyek tersebut akan sulit untuk berhasil.
Bab 7
Kegagalan Pasar dan Eksternalitas Lingkungan
(Environmental Externalities)
Pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM) mengidentifikasi divergensi sebagai akibat kegagalan pasar dan distorsi kebijakan yang menyebabkan harga privat (harga aktual) berbeda dengan harga sosial (harga efisiensi). Metode PAM dapat dikembangkan untuk menganalisis isu lingkungan yang menjadi perhatian utama studi tentang alokasi sumberdaya alam. Tujuan dari bab ini adalah menjelaskan analisis PAM berkenaan dengan kegagalan pasar, terutama yang disebabkan oleh eksternalitas lingkungan. Ilustrasi tentang bagaimana menganalisis environmental market failures ini juga disajikan pada bagian komputer tutorial.
Kegagalan Pasar Lingkungan (Environmental Market Failures)
Yang disebut sebagai lingkungan disini adalah penggunaan sumberdaya fisik, seperti tanah, air, dan udara. Kebanyakan kegagalan pasar lingkungan pada sektor pertanian terjadi ketika produsen menggunakan sumberdaya secara tidak tepat karena mereka merasa tidak harus membayar keseluruhan (termasuk biaya sebagai akibat ekternalitas) biaya penggunaan sumberdaya tersebut. Ada dua jenis kegagalan pasar lingkungan – eksternalitas lingkungan dan degradasi lingkungan.
Eksternalitas Lingkungan (Environmental Externalities)
Eksternalitas adalah sebuah bentuk kegagalan pasar. Secara umum, ekternalitas negatif timbul ketika produsen atau konsumen menyebabkan timbulnya biaya bagi orang lain, namun tidak bisa dibebani biaya tersebut. Eksternalitas positif timbul ketika produsen atau konsumen menciptakan manfaat bagi orang lain namun mereka tidak mungkin memperoleh kompensasi atas manfaat yang diciptakannya. Eksternalitas lingkungan memenuhi kriteria atau pengertian umum untuk disebut sebagai kegagalan pasar eksternal. Eksternalitas lingkungan merupakan hal penting berkenaan dengan penggunaan sumberdaya fisik, terutama tanah dan air untuk pertanian.
Sebuah contoh eksternalitas negatif adalah penggunaan pestisida pada usahatani padi di lahan beririgasi. Pestisida digunakan pada tanaman padi, yang pada masa tertentu harus digenangi air. Sisa-sisa bahan kimia dari pestisida tersebut tetap berada dalam air ketika air tersebut dibuang. Orang lain, yang berlokasi di bagian hilir kemudian menggunakan air tersebut untuk minum, irigasi, usaha peternakan, atau beternak ikan di kolam. Para pengguna air yang telah tercemar tersebut akan menanggung biaya bila air tersebut berakibat buruk bagi kesehatan, baik bagi manusia maupun bagi produksi hewan peliharaan. Namun, orang-orang yang terkena dampak negatif dari eksternalitas ini tidak mungkin menagih beban biaya kepada pengguna pestisida di bagian hulu yang telah mencemari air. Dalam kasus ini, pasar telah gagal memasukkan biaya ekternalitas negatif dari pestisida pada biaya produksi padi para petani di bagian hulu. Sehubungan dengan itu diperlukan peranan pemerintah untuk melakukan intervensi guna memperbaiki ekternalitas negatif tersebut.
Degradasi Lingkungan (Environmental Degradation)
Kategori kedua dari kegagalan pasar lingkungan (environmental market failures) adalah degradasi lingkungan (environmental degradation). Degradasi lingkungan berhubungan dengan penggunaan sumberdaya – tanah, air, udara, dan hutan – yang melebihi batas, baik oleh produsen maupun konsumen. Penggunaan yang melebihi batas ini terjadi karena produsen atau konsumen mendapat insentif yang kecil atau bahkan tidak ada sama sekali untuk membatasi ekploitasi sumberdaya alam. Seringkali, dampak negatif aktivitas pertanian akibat ekploitasi berlebihan atas hutan, tanah, dan sumberdaya air atau dampak negatif rumah tangga berkenaan dengan penebangan liar, baru dirasakan di masa yang akan datang. Meskipun mereka mengerti bahwa kegiatan ekploitasi sumberdaya alam ini akan berakibat buruk, mereka menunda kegiatan konservasi bila akibat kerusakan lingkungan ini tidak terasa segera setelah mereka melakukannya selama bertahun-tahun. Eksternalitas lingkungan dampak negatifnya langsung dirasakan sementara degradasi lingkungan dampak negatifnya akan merupakan beban biaya bagi pengguna sumberdaya alam di kemudian hari, termasuk bagi mereka yang terkena beban untuk pemulihan atau pelestarian lingkungan hidup mereka.
Para ekonom yang melakukan analisis atas penggunaan sumberdaya alam menggunakan istilah khusus dalam studi degradasi lingkungan, yaitu apa yang disebut sebagai “user cost”. Dalam istilah ekonomi lingkungan, user cost diartikan sebagai discounted present value dari pendapatan dari penggunaan sumberdaya alam (seperti tanah, air, hutan, dan bahan tambang atau kandungan mineral) yang hilang. Tujuannya adalah untuk mengukur aliran benefit sepanjang waktu dari penggunan sumberdaya alam, bukan hanya benefit yang akan diterima saat ini atau beberapa tahun kemudian. Bila pengguna sumberdaya alam tersebut tahu akan dampak yang akan timbul dari penggunaan sumberdaya saat ini, maka mereka bisa dirangsang melalui kebijakan pemerintah untuk melakukan investasi, seperti melakukan terasering, drainase, atau penghijauan, yang dapat memelihara (konservasi) sumberdaya alam untuk masa datang.
Sebuah contoh yang menggambarkan degradasi lingkungan disajikan pada bagian kedua dari komputer manual tentang environmental PAM. Petani yang mengusahakan padi di lahan irigasi seringkali mengunakan pompa untuk memompa air tanah. Setelah sekian lama, ketersediaan air tanah akan habis dan kemampuan tanah untuk menghilangkan kadar garam akan berkurang. Di masa yang akan datang, ketersediaan air yang berkurang dan salinasi lahan akan berakibat menurunnya produktivitas. Bila dampak negatif ini tidak terjadi dalam waktu yang cukup lama maka petani akan memiliki insentif yang kecil untuk berinvestasi dalam bentuk perbaikan drainase dan konservasi sumberdaya air. Kedaan ini memberikan ruang bagi pemerintah untuk berperan dalam membuat kebijakan untuk memperbaiki kegagalan pasar ini. Kemudian pemerintah bisa memilih untuk melakukan investasi publik dalam bentuk pembangunan irigasi atau drainase atau mungkin pemerintah memutuskan untuk memberikan subsidi kepada petani yang melakukan investasi dalam bentuk drainase.
Sistem Produksi Yang “Unsustainable” Versus “Sustainable”
Kegagalan pasar lingkungan (environmental market failures) menimbulkan sistem produksi pertanian yang tidak berkesinambungan (unsustainable). Sebuah sistem produksi dikatakan unsustainable bila kegiatan usahatani menimbulkan ekternalitas lingkungan negatif (seperti polusi daerah hilir sebagai akibat penggunaan bahan kimia), menimbulkan degradasi lingkungan (salisasi air tanah) atau kekedua-duanya. Biaya produksi sistem usahatani yang unsustainable dinilai terlalu rendah karena sistem ini mengabaikan dampak negatif eksternal (atas pengguna air yang sudah tercemar di bagian hilir) atau degradasi sumberdaya alam jangka panjang (seperti salinasi sumber air).
Dengan dihilangkannya kegagalan pasar lingkungan maka terciptalah sistem produksi pertanian yang berkesinambungan (sustainable). Sebuah sistem produksi dikatakan sustainable apabila kegiatan usahatani sedikit, atau bahkan tidak sama sekali, menimbulkan eksternalitas lingkungan negatif atau degradasi lingkungan. Sebuah sistem produksi bisa menjadi sebuah sistem yang sustainable apabila pemerintah menerapkan kebijakan yang bisa mengoreksi eksternalitas negatif dan degradasi sumberdaya. Suatu sistem produksi yang sustainable memperhitungkan biaya secara penuh karena sistem tersebut memperhitungkan biaya dampak negatif eksternal, serta pengeluaran untuk menghindari terjadinya degradasi sumberdaya alam jangka panjang.
Sebuah contoh sistem pertanian yang unsustainable adalah usahatani padi di lahan irigasi yang menggunakan pestisida yang berlebihan, dan terlibat dalam kegiatan yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan dengan tidak mau melakukan investasi dalam bentuk pembuatan drainase. Sebaliknya, contoh sebuah sistem produksi yang sustainable adalah sistem usahatani padi di lahan irigasi dimana petani menghentikan penggunaan pestisida atau mengurangi tingkat penggunaan pestisida sampai pada tingkat yang tidak membahayakan, serta usahatani yang menyediakan fasilitas drainase yang baik untuk melindungi sumberdaya air agar tetap dapat digunakan di masa yang akan datang. Berapa tingkat penggunaan pestisida yang dapat ditolelir, dan berapa jumlah investasi yang harus dilakukan untuk melakukan konservasi air merupakan isu yang sulit.
Kebijakan Publik Untuk Menghilangkan Eksternalitas Lingkungan (Environmental Externalities)
Terjadinya kegagalan pasar lingkungan (environmental market failures) atau hilangnya pasar (missing market) memberi alasan kepada pemerintah untuk melakukan intervensi dalam upaya mengkoreksi divergensi. Kebijakan yang efisien akan memperbaiki kegagalan pasar atau menghilangkan (atau mengurangi) divergensi yang terjadi antara harga privat dengan harga sosial, sementara kebijakan yang distortif menimbulkan divergensi tersebut, seperti telah diuraikan pada bab 4 dan 5.
Pada dasarnya, pemerintah bisa melaksanakan kebijakan pajak atau subsidi untuk mengkoreksi eksternalitas lingkungan. Biaya yang timbul karena eksternalitas lingkungan, seperti dampak polusi di daerah hilir sebagai akibat penggunaan pestisida di daerah hulu, harus dimasukkan dalam perhitungan biaya dan pendapatan suatu sistem pertanian. Pajak atas penggunaan pestisida harus diterapkan sehingga biaya marjinal privat harus termasuk biaya external, dan sama dengan marjinal benefit sosial (yakni, biaya keseluruhan untuk memproduksi unit terakhir dari sebuah produk harus sama dengan benefit yang diterima dari proses produksi tersebut).
Pada kenyataannya, amatlah sulit menggunakan kebijakan pajak/subsidi untuk mengkoreksi eksternalitas lingkungan. Amatlah sulit untuk mengukur biaya external dengan akurat. Contoh berikut akan menjelaskan mengapa hal tersebut sulit dilakukan. Biaya eksternal penggunaan pestisida adalah resiko atas kesehatan dan hilangnya produksi di daerah hilir sebagai akibat air yang tercemar. Dua jenis biaya tersebut jelas tidak mungkin dihitung. Tanpa estimasi biaya external yang baik, pemerintah akan sulit menentukan dengan tepat besar pajak yang harus dibebankan kepada pengguna pestisida.
Oleh karena itu, pemerintah memilih untuk menerapkan kebijakan alternatif terbaik (the second-best policy) – penetapan standar kuantitatif – untuk membatasi penggunaan input sumber pencemaran lingkungan. Bila biaya kesehatan dan biaya lainnya dianggap sangat mahal, pemerintah harus melarang penggunaan bahan kimia tertentu dalam proses produksi pertanian. Salah satu cara untuk mengatasi masalah dampak negatif penggunaan pestisida adalah melarang penggunaan input tersebut di lahan sawah beririgasi.`Namun, melarang penggunaan input bukan merupakan cara yang efisien kecuali biaya marjinal (termasuk biaya external) sangat mahal dan pendapatan marjinal penggunaan input tersebut amatlah kecilnya. Karena biasanya biaya marjinal sulit diketahui, penentuan tingkat standar kuantitatif untuk mengatur penggunaan input dilakukan secara sembarang (arbitrary). Dalam situasi seperti ini, hal terbaik yang dapat dilakukan adalah mengukur dampak dari berbagai tingkat penggunaan input dan kemudian menduga (berdasarkan pengalaman) berapa besar dampak yang akan terjadi.
Eksternalitas Lingkungan (Environmental Externalities) dalam PAM
Analisis tentang eksternalitas lingkungan dalam kerangka PAM dapat diilustrasikan dalam empat langkah berikut:
1. Langkah pertama adalah membuat tabel PAM untuk sistem usahatani yang unsustainable. Proses produksi dalam sistem ini menimbulkan dampak eksternalitas negatif kepada orang lain, namun produsen mengabaikan biaya external ini.
2. Langkah kedua adalah membuat sustainable PAM untuk sistem usahatani yang sama. Pemerintah memberlakukan kebijakan untuk menghilangkan dampak eksternalitas negatif, entah itu melalui penerapan pajak kepada produsen atas penggunaan input penyebab eksternalitas negatif, memberlakukan standar kuantitaif (kuota) atau bahkan pelarangan penggunaan input tersebut.
3. Langkah ketiga adalah membuat tabel environmental PAM. Environmental PAM memungkinkan kita untuk mengukur divergensi yang disebabkan oleh kebijakan untuk menghapuskan negatif externalities. Tabel ini berisikan perbandingan antara privat entry dari unsustainable PAM dengan sosial entry dari sustainable PAM.
4. Langkah terakhir adalah menghitung biaya “kepatuhan” (cost of compliance). Cost of compliance adalah biaya privat dan sosial untuk menghilangkan eksternalitas negatif, dan menciptakan sistem usahatani yang sustainable. Cost of compliance privat adalah keuntungan produsen yang berkurang, dan cost of compliance sosial adalah pendapatan nasional yang hilang.
Membuat Unsustainable PAM
Usahatani padi menggunakan pestisida untuk mengatasi serangan hama dan penyakit. Namun pestisida ini meninggalkan residu dalam air yang mengalir dan digunakan di daerah hilir. Air yang telah tercemar digunakan untuk minum dan sumber air untuk kolam ikan. Biaya yang harus ditanggung oleh penggunaan air di daerah hilir sebagai akibat air yang sudah tercemar ini tidak diperhitungkan dalam biaya petani padi. Dampak eksternal negatif penggunaan pestisida ini menciptakan sistem produksi padi yang unsustainable.
Pembuatan unsustainable PAM mengikuti enam langkah yang sama seperti langkah yang dilakukan untuk pembuat tabel PAM yang umum:
1. Langkah pertama adalah membuat tabel input-output usahatani (membuat data synthetic atau data langsung dari lapangan). Koefisien teknis dari tabel input-output ini digunakan baik untuk melakukan analisis privat maupun sosial. Entry penggunaan pestisida dan herbsida termasuk dalam tabel input-output koefisien untuk sistem usahatani padi yang unsustainable. Pestisida sebagai obat hama penyakit dan herbisida sebagai sarana penanggulangan gulma mempunyai kontribusi terhadap tingginya hasil produksi. Namun, penggunaan bahan kimia ini menimbulkan eksternalitas negatif di bagian hilir.
2. Langkah kedua adalah membuat tabel harga privat (harga aktual) untuk input dan output. Tabel privat ini berisikan harga untuk setiap input produksi dan output yang ada dalam tabel koefisien input-output (yang dibuat pada langkah pertama). Semua entry ini dinilai dalam mata uang domestik (Rupiah).
3. Langkah ketiga adalah menghitung budget privat (dengan mengalikan koefisien input-output dengan harga privat) dan budget budget sosial (dengan mengalikan koefisien input-output dengan harga sosial)
4. Langkah keempat adalah membuat tabel harga sosial (harga efisiensi) baik untuk input maupun output. Tabel harga sosial berisikan harga dari setiap input maupun output yang tercantum pada tabel koefisien input-output.
5. Langkah kelima adalah menghitung budget sosial. Budget sosial untuk usahatani padi yang unsustainable diperoleh dengan mengalikan koefisien input-output dengan harga sosialnya.
6. Langkah terakhir adalah memasukkan nilai-nilai yang diperlukan dari budget privat dan budget sosial kedalam Matrik PAM untuk menghitung divergensi (baris terakhir dari PAM) sebagai selisih antara harga privat dan harga sosial. Dua baris pertama dari Matrik PAM usahatani padi yang unsustainable diambil dari tabel budget privat dan budget sosial. Baris terkahir, berisikan efek divergensi, diperoleh dengan mengunakan divergensi identitas yaitu baris pertama dikurangi baris kedua, seperti telah dijelaskan pada Bab 2.
Contoh untuk sistem usahatani yang unsustainable disajikan pada Tabel 7.1. Tabel tersebut telah dianalisis secara rinci di Bab 5. Terlihat bahwa divergensi yang besar terjadi karena tarif impor beras yang meningkatkan harga 25 persen diatas harga sosialnya. Divergensi lain yang mempengaruhi biaya produksi adalah subsidi pemerintah atas obat-obatan (chemicals) dan kredit. Namun, divergensi ini nilainya relatif kecil. Dalam unsustainable PAM, subsidi atas obat-obatan mengurangi biaya privat untuk input tradabel sebesar RRp. 55.000 (dari seluruh biaya sosial sebesar Rp. 1.021.000). Biaya kredit yang dibayar petani adalah sebesar Rp. 402.500 per hektar sementara opportunity costnya, secara keseluruhan adalah Rp. 462.500 per hektar. Artinya, telah terjadi implisit subsidi sebesar Rp. 60.000.
Tabel 7.1. Unsustainable PAM (Rp/ha)
Pendapatan Biaya Keuntungan
Input tradabel Tenaga Kerja Modal
Privat 7,230,000 966,000 1,680,000 402,500 4,181,500
Sosial 5,784,000 1,021,000 1,680,000 462,500 2,620,500
Divergensi 1,446,000 (55,000) - (60,000) 1,561,000
Total subsidi sebesar Rp. 1.561,000 yaitu kelebihan keuntungan privat diatas keuntungan sosial sebesar 59 persen. Namun, seandainyapun policy transfer tersebut tidak terjadi, petani telah memperoleh keuntungan yang lebih dari separuh pendapatannya. Pemerintah mungkin tidak mengetahui tingginya keuntungan sosial yang diperoleh oleh sistem ini. Mungkin biaya lahan, yang termasuk kedalam keuntungan (return to land and management) pada tabel PAM ini, akan mengurangi keuntungan dengan nilai yang cukup besar. Semua kemungkinan tersebut memerlukan telaahan yang lebih teliti untuk dapat menginterpretasikan alasan dibuatnya sebuah kebijakan.
Yang juga perlu ditelaah adalah keputusan pemerintah untuk mensubsidi obat-obatan (chemicals). Subsidi yang besar akan merangsang petani menggunakan pestisida secara berlebihan dan akan memperburuk dampak external. Kebijakan yang lebih “masuk akal” seharusnya akan membatasi, paling tidak, tidak merangsang, penggunaan pestisida dalam sistem unsustainable ini.
Membuat Sustainable PAM
Dalam contoh usahatani padi di lahan beririgasi, pemerintah memutuskan untuk melarang penggunaan pestisida dan petani beralih untuk menggunakan sistem tradisional untuk mengontrol gulma dengan menggunakan bahan alami serta menunda waktu tanam. Sistem produksi ini menghasilkan produksi yang lebih rendah serta penggunaan tenaga kerja yang berbeda – lebih tinggi untuk pengelolaan hama dan penyakit, dan lebih rendah untuk panen dan merontok. Namun, pengguna air di daerah hilir tidak lagi harus menanggung biaya external karena penggunaan pestisida dihentikan, dan dengan sendirinya sistem usahatani padi ini merupakan sistem usahatani yang sustainable.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pembuatan sustainable PAM sama seperti unsustainable PAM. Data input-output dan harga privat serta sosial digunakan untuk menghitung budget privat dan budget sosial, dan data yang relevan pada kedua tabel budget tersebut dimasukkan kedalam dua baris pertama dari tabel PAM.
Beberapa koefisien input-output pada tabel ini berbeda dengan data untuk unsustainable PAM (Tabel 7.1.). Lebih penting lagi, penggunaan pestisida dihapuskan sehingga biaya input untuk pestisida menjadi nol. Produksi menurun 9 persen, dari 6.000 kilogram per hektar menjadi 5.000 kilogram per hektar.
Ketika pemerintah melarang penggunaan pestisida dan menghilangkan eksternalitas negatif, tidak ada perubahan dalam harga, baik harga sosial mapun harga privat, dan baik harga input maupun harga output. Perbedaan budget privat dan budget sosial semata-mata disebabkan oleh perubahan koefisien input-output pada sistem sustainable. Karena produksi menurun, pendapatan privat per hektar menurun dari Rp. 7.230.000 menjadi Rp. 6.627.500, dan pendapatan sosial per hektar menurun dari Rp. 5.784.000 menjadi Rp. 5.302.000. Setelah penggunaan pestisida dilarang, biaya input tradabel baik privat maupun sosial menurun menjadi Rp. 771.000 per hektar.
Hasil untuk sustainable PAM disajikan pada Tabel 7.2. Hasil ini berbeda dengan unsustainable PAM pada dua hal penting. Larangan penggunaan pestisida menghilangkan divergensi yang terjadi pada input. Pemerintah semula memberikan subsidi atas pestisida dengan jumlah yang cukup besar. Tujuan utama dari kebijakan pelarangan penggunaan pestisida sebenarnya adalah menghilangkan biaya external, namun ternyata kebijakan ini juga melakukan penghematan pada anggaran pemerintah yang semula dikeluarkan untuk subsidi.
Tabel 7.2. Sustainable PAM (Rp/ha)
Pendapatan Biaya Keuntungan
Input tradabel Tenaga Kerja Modal
Privat 6,627,500 771,000 1,680,000 402,500 3,774,000
Sosial 5,302,000 771,000 1,680,000 462,500 2,388,500
Divergensi 1,325,500 - - (60,000) 1,385,500
Pemerintah tidak mengubah kebijakan proteksi 25 persen atas produsen beras dan dengan sendirinya menyebabkan terjadinya transfer sumberdaya kepada produsen beras. Oleh karena itu output transfer tetap terjadi (Rp. 1.325.500 diatas pendapatan sosial). Namun jumlah subsidi atas produksi ini menjadi berkurang karena jumlah produksi yang berkurang sebagai akibat dilarangnya penggunaan pestisida.
Namun, meskipun tanpa pestisida ternyata sistem usahatani ini tetap amat menguntungkan. Tanpa proteksi pun, petani padi masih akan menerima keuntungan hampir setengah dari pendapatan sosial, seperti terlihat pada baris sosial dari sustainable PAM.
Membuat Environmental PAM
Environmental PAM memperhitungkan dampak keputusan pemerintah untuk melarang penggunaan pestisida dan oleh karena itu menciptakan sistem yang sustainable. Divergensi dalam environmental PAM mengukur perbedaan antara pendapatan, biaya dan keuntungan privat pada kondisi awal, yaitu sistem yang unsustainable (baris pertama pada unsustainable PAM) dan pendapatan, biaya dan keuntungan sosial pada kondisi setelah ada kebijakan, yaitu sustainable PAM (baris kedua pada sustainable PAM).
Divergensi yang terjadi pada environmental PAM lebih besar, baik dari unsustainable maupun sustainable PAM, sebegai akibat dari hambatan (atau pelarangan) penggunaan input penyebab pencemaran. Perbedaan itu tidak hanya memperhitungkan transfer yang terjadi sebagai akibat proteksi atas beras dan subsidi input, tetapi juga dampak terhadap produksi sebagai akibat perubahan penggunaan pestisida. Ketika pemerintah memutuskan untuk melarang penggunaan pestisida dan membuat sistem menjadi sustainable, keputusan itu akan mengakibatkan produksi beras berkurang karena produktivitas yang menurun. Dengan kata lain, divergensi pada environmental PAM sekaligus menujukkan dampak gabungan dari policy transfer dan produktivitas yang menurun.
Hasil environmantal PAM disajikan pada Tabel 7.3. Ketika pemerintah mengijinkan, bahkan mensubsidi, penggunaan pestisida, produksi mencapai 6.000 kilogram padi per hektar dengan nilai sebesar Rp. 7.230.000 yang 73 persen diantaranya merupakan return to land and management (keuntungan privat).
Tabel 7.3. Environmental PAM (Rp/ha)
Pendapatan Biaya
Input tradabel Tenaga Kerja Modal Keuntungan
Privat (unsustainable) 7,230,000 966,000 1,680,000 402,500 4,181,500
Sosial (sustainable) 5,302,000 771,000 1,680,000 462,500 2,388,500
Divergensi 1,928,000 195,000 - (60,000) 1,793,000
Pemerintah kemudian memutuskan untuk melarang penggunaan pestisida dan menghapuskan eksternalitas negatif yang merugikan pengguna air di bagian hilir, namum pemerintah tidak memutuskan untuk menghentikan proteksi atas produsen beras (output). Pelarangan penggunaan pestisida dan penggunaan sistem produksi yang baru menyebabkan produktivitas padi menurun sebesar 9 persen, dari 6 menjadi 5.5 ton per hektar. Namun, baik keuntungan privat maupun sosial tetap tinggi. Artinya, sistem usahatani yang amat efisien ini tanpa menggunakan pestisidapun tetap layak, meskipun baik keuntungan privat maupun keuntungan sosial menurun dengan tidak digunakannya pestisida.
Perhitungan Biaya Kepatuhan (Cost of Compliance)
Cost of compliance (biaya kepatuhan) berkaitan dengan biaya privat dan biaya sosial untuk menghapuskan eksternalitas negatif dan penciptaan sistem pertanian yang sustainable. Cost of compliance diperoleh dengan membandingkan tingkat keuntungan unsustainable PAM (menggunakan pestisida) dengan sustainable PAM (tanpa pestisida). Cost of compliance privat adalah penurunan keuntungan privat – keuntungan produsen yang berkurang – sebagai akibat dilarangnya penggunaan pestisida. Cost of compliance sosial adalah penurunan keuntungan sosial – pendapatan nasional yang hilang – karena pelarangan pestisida. Tabel Cost of compliance disajikan pada Tabel 7.4.
Tabel 7.4. Biaya Kepatuhan (Cost of Compliance) (Rp/ha)
Unsustainable Sustainable Compliance
Costs
Privat 4,181,500 3,774,000 407,500
Sosial 2,620,500 2,388,500 232,000
Cost of compliance privat adalah dampak pelarangan pestisida atas produsen beras. Apabila petani bisa menggunakan pestisida, mereka memperoleh return to management and land sebesar Rp. 4.181.500 per hektar. Setelah penggunaan pestisida dilarang, return to management and land turun menjadi Rp. 3.774.000 per hektar, sehingga petani menderita kerugian dalam arti berkurangnya keuntungan privat sebesar Rp. 407.500 per hektar. Meskipun petani sudah pasti kecewa dengan hasil ini, namun keuntungan privat yang lebih rendah ini merupakan hasil yang “lebih sehat”, dan kebijakan proteksi pemerintah tetap menimbulkan transfer dari konsumen kepada produsen yang cukup besar.
Cost of compliance sosial adalah menurunnya pendapatan nasional sebagai akibat dari keputusan untuk menghilangkan eksternalitas negatif sehubungan dengan penggunaan pestisida. Pendapatan nasional diukur dengan tingkat keuntungan sosial. Ketika penggunaan pestisida masih diijinkan, produktivitas 6 ton per hektar. Sistem produksi dengan pestisida menghasilkan keuntungan sosial sebesar Rp. 2.620.500 per hektar. Ketika pestisida dilarang, produktivitas menurun menjadi 5,5 ton per hektar. Sistem produksi yang kurang produktif ini menghasilkan keuntungan sosial sebesar Rp. 2.388.500 per hektar. Kerugian pendapatan nasional sebagai akibat dilarangnya pestisida sebesar Rp. 232.000 per hektar atau 10 persen dari keuntungan sosial sebelumnya.
Interpretasi Hasil Environmental PAM
Pemerintah harus menghitung apakah penurunan pendapatan nasional dapat dijustifikasi oleh manfaat yang diterima oleh pengguna air di daerah hilir sebagai akibat hilangnya eksternalitas negatif. Keputusan ini merupakan suatu hal yang tidak mudah. Mengestimasi dampak negatif atas kesehatan dan menurunnya produktivitas orang-orang di derah hilir sebagai akibat menggunakan air yang tercemar merupakan hal yang rumit. Yang paling mungkin dilakukan adalah menduga, meskipun amat kasar, biaya external dan juga benefit yang diterima sebagai akibat hilangnya eksternalitas negatif.
Karena sulitnya menduga benefit yang diterima oleh penduduk di daerah hilir sebagai akibat hilangnya eksternalitas negatif, peneliti biasanya melakukan analisis sensitivitas atas standar kuantitatif penggunaan input yang menyebabkan pencemaran. Pelarangan penggunaan input yang menyebabkan polusi dapat dibenarkan apabila dampak externalnya amat besar sedangkan peningkatan produksi sebagai akibat penggunaan input tersebut kecil. Oleh karena itu, para analis melakukan estimasi empiris dampak yang mungkin terjadi atas produktivitas, dan keuntungan sosial pada berbagai tingkat penggunaan input penyebab polusi tersebut.
Hasil-hasil estimasi divergensi pada environmental PAM serta perhitungan cost of compliance privat dan sosial akan membantu pelaksanaan analisis seperti ini. Cost of compliance sosial menunjukkan penurunan pendapatan nasional pada berbagai tingkat penggunaan input penyebab polusi ini. Disagregasi divergensi output pada environmental PAM menunjukkan berapa besar transfer yang terjadi sebagai akibat penurunan produktivitas karena berkurangnya penggunaan input penyebab polusi, dan berapa besar transfer yang diakibatkan oleh kebijakan proteksi dan subsidi. Sama seperti pada seluruh analisis PAM, kunci untuk interpretasi hasil adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan kuantifikasi berbagai macam divergensi – environmental externalities, kegagalan pasar lainnya, dan policy transfer.
Bab 8:
Mengkomunikasikan Hasil Analisis PAM Kepada Pembuat Kebijakan
Tugas analis kebijakan baru selesai sebagian ketika analisis PAM selesai dikerjakan. Hasil-hasil analisis tersebut selanjutnya harus dikomunikasikan dengan jelas dan efektif kepada pembuat kebijakan. Bila tidak, betapapun baiknya hasil analisis tersebut tidak akan ada dampaknya pada proses pembuatan kebijakan. Tujuan dari bab ini adalah memberikan panduan dalam cara mengkomunikasikan hasil-hasil PAM yang efektif kepada pembuat kebijakan, baik tertulis maupun lisan.
Pentingnya Komunikasi
Analis kebijakan yang baik memerlukan empat hal. Tujuh bab pertama dari buku ini memfokuskan diri pada tiga hal pertama – memilih cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan kebijakan, menggali informasi yang relevan dengan baik, dan interpretasi hasil yang benar. Hal ke empat yang amat penting adalah mengkomunikasikan hasil-hasil analisis dengan tepat dan meyakinkan.
Dalam melakukan analisis kebijakan, mengkomunikasikan hasil, baik tulisan maupun lisan, sama pentingnya dengan proses menghasilkan analisis yang baik itu sendiri. Apabila para analis tidak mampu mengkomunikasikan hasil analisisnya dengan baik, pekerjaan mereka tidak akan mempunyai dampak dalam mempengaruhi kebijakan. Penasihat kebijakan yang efektif dengan sendirinya harus mampu melakukan analisis yang baik, sekaligus meyakinkan orang.
Ada keterkaitan yang erat antara komunikasi yang efektif dengan pemilihan research design. Semakin rumit metoda riset yang digunakan semakin sulit pula tugas mengkomunikan hasil-hasilnya, serta menyakinkan pembuat kebijakan. Pendekatan PAM dirancang untuk tidak hanya efektif dalam mengidentifikasi dampak kebijakan dan proyek tetapi juga menjelaskannya kepada pembuat kebijakan. Setiap pembuat kebijakan, termasuk yang bukan ekonom, akan dengan mudah memahami pentingnya tingkat keuntungan (profit) dan policy transfer – yang merupakan hasil utama dari analisis PAM.
Kunci untuk dapat mengkomunikasikan hasil analisis dengan efektif adalah “jelas” dan “singkat”. Penggunaan jargon-jargon ekonomi dan istilah istilah teknis tidak akan difahami dengan baik oleh pembuat kebijakan maupun stafnya. Mereka adalah orang-orang yang amat sibuk, dan mereke lebih menghargai sistem komunikasi yang singkat, padat dan akurat. Orang-orang sibuk akan lebih memberi perhatian kepada policy memo serta presentasi yang menarik, jelas, dan singkat.
Para analis kebijakan harus mempersiapkan diri untuk berkomunikasi dengan audience yang bukan ekonom, yang tidak jarang “curiga” terhadap hasil analisis ekonomi dan khawatir malah akan membuat para ekonom lebih “berkuasa”. Bahkan, para ekonom sekalipun (misalnya staf ahli dari pembuat kebijakan) biasanya akan lebih suka berkomunikasi yang lebih terfokus pada dampak baik dan buruknya suatu kebijakan (policy trade-off) daripada berbicara hal-hal yang bersifat teknis. Analis kebijakan yang jeli dengan sendirinya akan menulis dan berbicara dengan cerdik, mengunakan istilah-istilah yang mudah dimengerti oleh para pengambil kebijakan dengan berbagai latar belakang pendidikan.
Jenis Komunikasi Tertulis Dalam Analisis Kebijakan
Dalam analisis kebijakan, komunikasi tertulis biasanya dilakukan melalui salah satu dari tiga kategori berikut – policy papers, policy briefs, dan policy summaries. Analis harus membuat ketiga jenis komunikasi tertulis tersebut untuk mengkomunikasikan hasil analisisnya. Pembuat kebijakan dan stafnya akan mengunakan masing-masing jenis tulisan tersebut untuk keperluan yang berbeda, dan kadang-kadang sulit diduga jenis mana yang mereka sukai, tergantung kepada situasi dan kondisi yang sedang mereka hadapi. Pada saat mereka sedang memberikan perhatian pasa suatu analisis kebijakan, mungkin saja mereka meminta sebuah paper yang lengkap, bisa juga sebuah memo yang rinci, sebuah ringkasan (summary), atau bahkan mereka meminta ketiga-tiganya. Lebih dari itu, umumnya mereka menginginkan komunikasi yang singkat. Oleh karena itu, analis kebijakan harus mempersiapkan diri untuk menyampaikan hasil analisisnya dengan tingkat detil yang berbeda, dan tepat waktu.
Policy papers merupakan bentuk komunikasi tertulis yang terpanjang. Meskipun umumnya lebih mudah menulis makalah yang panjang dibandingkan yang pendek, komunikasi yang efektif membutuhkan sesuatu yang singkat (brevity). Oleh karena itu policy paper sebaiknya tidak lebih dari 15 – 20 halaman. Tabel, grafik, dan lampiran merupakan tambahan. Seringkali para analis pertama-tama menulis sebuah laporan yang panjang dan memasukkan semua hasil-hasil analisisnya. Kemudian, mereka memangkasnya menjadi tidak lebih dari 20 halaman, berisikan hasil-hasil analisis yang penting sebelum menyerahkannya kepada pembuat kebijakan.
Policy brief merupakan media yang paling umum, dan biasanya merupakan alat komunikasi tertulis analisis kebijakan yang paling efektif. Para pengambil kebijakan dan stafnya yang amat sibuk tidak akan sempat membaca makalah setebal 20 halaman. Tapi mereka tertarik pada policy brief yang lebih singkat, dirancang secara baik, dan dengan kata-kata yang jelas. Sebuah policy brief berkisar antara 6 – 8 halaman (dobel spasi, normal font, standar marjin). Para analis memang akan merasa berat untuk menulis sesuatu yang penting tetapi singkat. Namun demikian, manfaat yang akan diperolehpun, karena mampu “mempengaruhi” pembuat kebijakan, tidak ternilai harganya.
Policy summaries, kadang-kadang disebut sebagai executive summaries, merupakan bentuk alat komunikasi tertulis yang paling singkat – hanya 1-2 halaman saja. Cakupan policy summaries sama dengan policy papers dan policy brief, hanya saja policy summary merupakan highlight dari metoda, data, hasil, dan implikasi kebijakan. Sebuah policy summary dimaksudkan sebagai “promosi” dari hasil-hasil analisis dan merangsang pembuat kebijakan serta stafnya untuk membaca makalah yang lebih panjang. Oleh karena singkatnya, policy summaries merupakan makalah yang paling sulit.
Menulis Policy Papers
Tujuan dari policy paper adalah menyajikan informasi yang rinci kepada staf dari pengambil kebijakan. Sangat jarang pengambil kebijakan punya waktu untuk membaca policy paper. Policy paper umumnya dipersiapkan sebagai “back-up” dokumen utama, yaitu policy brief, untuk memberikan penjelasan atas hal-hal yang teknis berkaitan dengan masalah kebijakan.
Aturan utama yang penting diikuti dalam menulis policy paper adalah yakinkan bahwa peneliti lain dapat mereplikasi hasil-hasil analisis kita. Argumentasi pada proses pembuatan kebijakan terjadi pada berbagai tingkat. Salah satu diataranya adalah pada tingkatan teknis. Analis lain harus bisa mereproduksi hasil-hasil analisis yang disajikan pada policy paper agar akurasi dari hasil analisis ini dapat meyakinkan orang. Bila tidak, mereka akan mengabaikan hasil analisis dan rekomendasi kebijakan, dan akhirnya studi yang dilakukan menjadi tidak relevan lagi untuk menghasilkan suatu kebijakan.
Pentingnya kejelasan (clarity) dan kesingkatan (brevity) tidak hanya berlaku dalam menulis policy paper tetapi untuk semua jenis komunikasi analisis kebijakan, baik lisan maupun tulisan. Ketika analis dibatasi untuk tidak lebih dari 15-20 halaman, maka akan ada keinginan untuk menampilkan hasil dalam bentuk lain. Untuk mengekang keinginan ini jumlah tabel atau grafik jangan lebih dari 6 sampai 10 buah. Lampiran juga jangan dimanfaatkan untuk memenuhi keinginan memperpanjang tulisan. Lampiran hanya digunakan untuk masalah teknis yang amat penting berkaitan dengan latar belakang, metoda, dan data.
Komponen dari Policy Paper
Policy paper biasanya terdiri atas 5 bagian dengan urutan sebagai berikut – metoda analisis, asumsi penting berkenaan dengan metoda dan data, data utama dan sumber data, hasil analisis empiris, dan interpretasi serta implikasi kebijakan. Kunci keberhasilan menulis policy paper adalah menyusun outline yang mengintegrasikan kelima komponen tersebut.
Bahasan mengenai metodologi harus fokus pada metode analisis apa yang akan digunakan, dan mengapa penggunaan alat analisis ini sesuai dengan isu kebijakan yang ingin dibahas. Bagian ini harus singkat dan “to the point” karena biasanya pengambil kebijakan tidak terlalu tertarik pada masalah metoda ekonomi.
Semua metoda analisis ekonomi mempunyai keterbatasan dan kelemahan, serta memerlukan asumsi-asumsi. Pada sebagian besar analisis empiris, beberapa data penting tidak bisa diperoleh atau akurasinya dipertanyakan. Bagian metodologi dan asumsi yang digunakan harus mengemukakan kelebihan dan kekurangan alat analisis yang digunakan.
Data bukan semata-mata angka yang digunakan dalam analisis empiris. Pembuat kebijakan perlu diyakinkan bahwa hasil analisis kita memang penting. Oleh karena itu, bagian data dan sumberdata harus memuat informasi yang relevan serta menerangkan kualitas data dan informasi, serta prosedur pengumpulan data yang digunakan.
Memang, komputer memungkinkan kita untuk melakukan analisis data yang besar. Namun, pengambil kebijakan memiliki waktu yang terbatas dan tidak sabar bila kita harus memberikan keterangan yang panjang, serta melakukan berbagai analisis sensitivitas atas berbagai kemungkinan perubahan asumsi. Hanya hasil-hasil penting serta alternatif kebijakan saja yang perlu dilaporkan. Makin singkat, makin baik.
Hal yang paling membantu pengambil kebijakan adalah bila analis melakukan interpretasi hasil dengan cara yang mudah dimengerti dan relevan. Implikasi kebijakan harus fokus pada dampak kebijakan yang akan terjadi, siapa yang akan menjadi “pemenang”, dan siapa yang akan menjadi “korban” dari berbagai kebijakan. Pengambilan keputusan merupakan masalah politik. Pembuat kebijakan harus menentukan siapa yang harus “ditolong” siapa yang harus “dikorbankan”. Oleh karena itu, umumnya pengambil kebijakan akan menaruh perhatian yang besar pada bagian terakhir dari policy paper ini.
Menulis Policy Briefs
Saran-saran yang disampaikan pada bagian ini amat singkat, karena buku PAM telah memuat penjelasan lengkap disertai dengan contoh sebuah policy brief (dalam kasus usahatani gandum di Portugal). Bahan-bahan tersebut bisa digunakan untuk Bab ini. Setiap policy brief harus berisikan tujuh bagian – isu, metoda, informasi, interpretasi, hasil-hasil analisis, ramifikasi, dan ringkasan. Struktur dan komponen policy brief adalah seperti pada Gambar 8.1. dibawah ini.
Gambar 8.1. Menulis Policy Brief
Isu (kurang dari 1 halaman)
• Kebijakan yang akan dibahas
• Aspek yang ingin dicakup
• Konteks kebijakan
Metoda (1 halaman)
• Logic dan kesesuaian
• Penggunaan alat analisis pada waktu yang lalu, termasuk kekuatan dan kelemahannya
• Kualifikasi
Informasi (2 halaman)
• Data empiris dan informasi tambahan
• Asumsi
• Data historis
Interpretasi (2 halaman lebih)
• Hasil empiris
• Analisis sensitivitas
• Arti (interpretasi) dan kualifikasi
Implikasi (1 halaman)
• Pilihan-pilihan kebijakan
• Siapa yang “menang” dan siapa yang “jadi korban”
• Nilai keuntungan dan kerugian (yang diterima oleh yang menang dan yang diderita oleh yang kalah)
• Trade-off dari berbagai tujuan yang ingin dicapai
Ramifikasi Internasional (< 1 halaman)
• Dampak perdagangan internasional
• Aliran faktor produksi
• Diplomasi dan kewajiban internasional (WTO, IMF)
Ringkasan (< 1 halaman)
• Pro dan kontra
• Pengalaman empiris
• Kontribusi analisis
• Konsekuensi terhadap kelompok masyarakat yang berkepentingan
Isu dan Metoda
Analis kebijakan baru meyelesaikan separuh dari tugasnya ketika dia telah mengidentifikasi dengan jelas masalah kebijakan apa yang akan ditelaah. Bagian pertama dari policy brief adalah menentukan isu kebijakan yang akan menjadi topik bahasan, ditulis dalam kurang dari satu halaman. Bagian ini mencakup isu kebijakan, aspek spesifik yang akan dibahas dalam analisis, dan konteks kebijakan yang lebih luas.
Metoda merupakan darah daging dari analisis, namun tidak banyak pembuat kebijakan yang tertarik untuk membahas masalah metode secara rinci. Bagian yang 1 halaman ini menjelaskan secara intuitif logic dan kesesuaian dari pendekatan yang digunakan, justifikasi metoda yang digunakan, dengan menjelaskan bahwa analisis ini telah digunakan pada berbagai analisis kebijakan, serta menjelaskan kekuatan dan kelemahan metode yang digunakan.
Informasi dan Interpretasi
Sebagian besar pembuat kebijakan senang membicarakan masalah penelitian lapang, dan mereka tertarik kepada cerita tentang kebijakan. Dua halaman tentang informasi ini dengan sendirinya merupakan bagian yang paling mudah. Bagian ini berisi diskusi tentang historis data yang memberikan konteks kebijakan, data empiris dan data tambahan lainnya yang digunakan dalam studi, serta asumsi-asumsi penting.
Bagi analis kebijakan yang belum berpengalaman, bagian interpretasi merupakan bagian tersulit. Apa arti semua ini? Interpretasi hasil yang baik memerlukan kemampuan analis dalam memilih dan memfokuskan diri pada temuan-temuan penting dari sekian banyak hasil analisis yang ada. Dalam dua halaman (atau lebih sedikit), analis harus memaparkan hasil utama dari analisis, hasil dari analisis sensitivitas (dengan merubah data kunci, paramater, dan asumsi), arti hasil dan analisis sensitivitas tersebut bagi kebijakan, dan kualifikasi karena keterbatasan dari metodologi dan data yang missing dan kurang akurat.
Hasil dan Ramifikasi
Analis yang baik akan menerapkan kerangka tujuan-strategi-kebijakan-kendala (seperti yang telah dijelaskan pada Bab 1) dalam kerangka berfikir dan menulis. Dengan hanya satu halaman, dengan menggunakan framework itu, peneliti yang baik harus mampu menjelaskan implikasi kebijakan dari hasil analisisnya. Analis harus mengkaji berbagai pilihan kebijakan, menjelaskan siapa yang akan diuntungkan dan dirugikan oleh kebijakan (the gainers and the lossers), identifikasi dampak dari kebijakan atas tujuan yang ingin dicapai pemerintah (efisiensi, distribusi pendapatan, dan ketahanan (pangan)), dan perkiraan besarnya trade-off atas masing-masing tujuan tersebut.
Meskipun sebagai negara berdaulat, kebijakan diambil untuk kepentingan nasional, namun pembuat kebijakan juga harus memperhatikan dampak dan hubungannya dengan dunia internasional. Negara-negara berkembang jarang sekali mempunyai kekuatan yang cukup di pasar internasional baik pasar komoditas, maupun tenaga kerja. Namun, dalam satu alinea, analis perlu menyebutkan dampak kebijakan tersebut terhadap perdagangan internasional, dampak terhadap harga dunia, juga implikasinya terhadap aliran faktor (investasi asing dan migrasi tenaga kerja). Analis juga harus melakukan telaahan apakah kebijakan yang dipilih konsisten dengan kesepakatan-kesepakatan World Trade Organization, the International Monetary Fund, serta negara dan lembaga-lembaga donor lainnya.
Ringkasan Eksekutif (Policy Summary)
Peranan analis kebijakan adalah memperkirakan konsekuensi yang akan terjadi atas setiap pilihan kebijakan, dan sebaiknya tidak melakukan penilaian pribadi (personal value judgement) atas pilihan kebijakan tersebut. Meskipun memang sulit untuk menjaga obyektivitas dan netralitas, analis harus menyerahkan sepenuhnya kepada pembuat kebijakan untuk memberikan bobot kepada masing-masing tujuan dan menentukan kebijakan apa yang akan dipilih (seperti dijelaskan pada Bab 1). Dalam satu alinea, analis harus mampu menyarikan pesan – pro dan kontra atas pilihan kebijakan, pengetahuan empiris dari studi yang dilakukan, kontribusi analitik dari studi terhadap isu yang sedang diteliti, dan dugaan kosekuensi yang mungkin terjadi terhadap kelompok masyarakat yang berkepentingan dan terkena dampak kebijakan ini. Alenia ini merupakan alinea tersulit – dan terpenting – dalam mengkomunikasikan hasil analisis kebijakan.
Menulis Policy Summaries
Sebuah policy summary bisa dikatakan sebagai versi singkat dari policy brief. Outline kedua jenis tulisan ini dengan sendirinya persis sama – isu, metoda, informasi, interpretasi, implikasi, internasional ramifikasi, dan ringkasan – seperti disajikan pada Gambar 8.1.
Tujuan penulisan policy summary adalah memberikan kompilasi singkat atas hasil-hasil analisis untuk pengambil kebijakan, para staf akhli, dan staff analis, yang amat sibuk. Intinya adalah menyarikan hasil-hasil analisis dalam tulisan yang singkat yang meng-highlight temuan-temuan penting, relevansi dari temuan tersebut dan pentingnya analisis yang dilakukan dalam proses pembuatan kebijakan.
“Singkat” dan “jelas” lagi-lagi merupakan kunci dari berhasilnya sebuah policy summary. Bila memungkinkan, policy summary sebaiknya dibatasi hanya satu halaman sehingga menarik minat pembaca yang lebih luas. Paling banyak, policy summary tidak lebih dari 2 halaman. Policy summary tidak usah berisi tabel atau grafik, kecuali sebuah gambar yang begitu dramatisnya sehingga mampu menarik perhatian pembuat kebijakan.
Kejelasan merupakan hal penting untuk menarik perhatian pembaca. Pembuat kebijakan yang amat sibuk akan menghargai tulisan yang jelas. Policy summary merupakan “iklan” bagi policy brief (mungkin juga policy paper). Pembuat kebijakan akan menganggap bahwa policy summary yang ditulis dengan baik merupakan indikasi bahwa tulisan yang lebih panjang dan lengkap pun akan sama jelas dan menariknya.
Komunikasi Verbal Untuk Analisis Kebijakan
Pada saat tulisan – policy paper, policy brief, dan policy summary – selesai dilakukan, bahan-bahan tersebut perlu dikomunikasikan sevara verbal (lisan). Tidak diperlukan tambahan analsis untuk melakukan hal ini. Isu utamanya adalah hasil-hasil yang mana yang harus ditampilkan dan bagaimana cara terbaik untuk menyampaikannya.
Presentasi PowerPoint
Bila alat-alat yang diperlukan tersedia, presentasi menggunakan software PowerPoint merupakan cara yang efektif untuk melakukan komunikasi lisan. Bila tidak, analis akan mengandalkan diri kepada makalah atau “hand-out” yang disediakan. Hand-out berisi slide-slide yang juga menjadi bahan untuk PowerPoint. Akan sangat bermanfaat bila hand-out tetap dibuat, terlepas apakah presentasi akan dilakukan dengan menggunakan PowerPoint atau tidak.
Slide PowerPoint harus sejalan dengan isi policy brief dan fokus pada tujuh topik – isu, metoda, informasi, interpretasi, implikasi, internasional ramifikasi, dan ringkasan (seperti pada Gambar 8.1.). Bila waktu yang tersedia amat singkat, cakupan bisa dibatasi pada metoda, ringkasan hasil penting, dan implikasi penting dari studi.
Karena formatnya sama dengan policy brief, analis hanya perlu mempersiapkan slide PowerPoint sesuai dengan tujuh topik diatas. Tabel-tabel dan grafik yang penting bisa ditransfer langsung kedalam format PowerPoint. Akan amat bermanfat mempersiapkan hand-out dari seluruh slide PowerPoint – slide dengan teks dalam format outline serta format multiple-slide dan grafik serta tabel sebaiknya dipisahkan.
Fokus dan Kepiawaian (versatility)
Seorang analis kebijakan yang baik harus mampu “menyentuh” audience dengan efektif. Pembuat kebijakan akan amat tertarik pada topik yang berkaitan dengan implikasi kebijakan atas kelompok masyarakat yang menjadi target atau berkepentingan (interest group) dan lembaga pemerintah. Terlalu banyak memberikan porsi kepada metode, data, dan hasil analisis mungkin akan membuat komunikasi menjadi tidak efektif. Namun, kadang-kadang audience tertarik dengan hal-hal teknis dan suatu ketika mengajak diskusi tentang hal-hal yang bersifat teknis tersebut. Oleh karena itu, akan lebih baik jika dipersiapkan slide tambahan – tidak harus ditampilkan pada slide standar.
Keberhasilan komunikasi verbal juga ditentukan oleh kepiawaian presenter. Bukan tidak mungkin, seorang pengambil kebijakan tingkat tinggi hanya menyediakan waktu yang amat singkat, misalnya 15 – 20 menit. Bila presentasi berjalan dengan baik dan mampu mengikat perhatian pembuat kebijakan, presentasi tersebut bukan tindak mungkin minta diperpanjang. Untuk menjaga fleksibilitas, seorang analis dengan persiapan yang baik paling tidak akan membuat tiga versi presentasi PowerPoint yang berbeda – pertama untuk presentasi amat singkat, 15-20 menit, kedua untuk presentasi sekitar 45 menit sampai satu jam, dan yang ketiga untuk presentasi 2 jam. Untuk setiap presentasi, amat penting menyediakan separuh dari waktu tersebut untuk diskusi.
Kunci Sukses dalam Presentasi Analisis kebijakan
Pengalaman menunjukkan bahwa ada tujuh kunci sukses dalam mempresentasikan hasil analisis kebijakan. Panduan ini berlaku baik untuk komunikasi bersifat lisan maupun tulisan. Semuanya berkaitan dengan perilaku, cara bersikap, dan gaya seorang presenter.
Ketujuh kunci sukses tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kejelasan merupakan hal penting bagi pembuat kebijakan yang belum terbiasa dengan hasil analisis atau yang tidak suka dengan hal-hal teknis.
2. Presentasi yang singkat akan menghemat waktu, dan memperlihatkan pemahaman yang baik atas isu kebijakan.
3. Akurasi dalam melaksanakan studi dan interpretasi hasil akan meyakinkan para analis lain.
4. Kejujuran dalam mengidentifikasi asumsi atau kelemahan data yang dimiliki dalam menginterpretasikan hasil akan menghasilkan kredibilitas.
5. Gaya presentasi yang langsung dan tidak berbelit-belit dan menghidari jargon-jargon yang tidak perlu akan membantu memperjelas hasil analisis.
6. Percaya diri dan yakin dalam mengidentifikasi dan menganalisis policy trade-off akan memperkuat presentasi.
7. Kerendahan hati dalam mengakui keterbatasan analisis ekonomi akan menambah validitas pandangan orang lain dan akan membuat orang lain akan lebih terbuka kepada kita.
Bila para analis kebijakan berusaha untuk menerapkan pengetahuan ini dalam berkomunikasi, maka mereka akan berhasil meyakinkan pembuat kebijakan serta para staf akhli akan validitas dan pentingnya hasil analisis yang mereka buat bagi proses pembuatan kebijakan. Panduan ini cocok untuk mengkomunikasikan hasil analisis PAM khususnya dan, umumnya, bagi seluruh analisis kebijakan.
2 komentar:
terima kasih bahannya pak..berguna sekali..
terima kasih bahannya Pak..sangat membantu sekali...
Posting Komentar