harus memiliki cara yang jelas dan logis dalam menilai berbagai pilihan alternatif kebijakan. Idealnya, setiap orang yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan memiliki pendekatan yang sama, sehingga kalaupun ada perbedaan, seyogyanya perbedaan tersebut terbatas pada perbedaan pandangan semata, bukan pada pendekatan dalam memecahkan masalah. Bab ini membahas kerangka umum proses analisis kebijakan pertanian. Uraian yang lebih spesifik tentang PAM-nya sendiri akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.
Pemahaman yang baik tentang kerangka analisis kebijakan pertanian amat dibutuhkan oleh para pembuat kebijakan dan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat, untuk memahami konsekuensi dari berbagai kebijakan. Kejelasan dari berbagai definisi yang digunakan amat penting dalam melakukan analisis kebijakan. Apa yang dimaksud dengan istilah “Kerangka Analisis (framework) Kebijakan Pertanian?”. Sebuah framework adalah pendekatan atau metode yang tersusun baik dan konsisten dalam rangka menghasilkan pemikiran-pemikiran yang jelas. Sebuah framework dirancang sedemikian rupa agar mampu menelaah berbagai hubungan yang terjadi dalam sebuah sistem perekonomian. Meskipun sebuah analisis ekonomi yang baik akan menarik bagi para ekonom, tapi dilain pihak bisa membuat bukan ekonom menjadi frustasi. Namun demikian, tetap relevan bagi semua orang karena hal itu menyangkut berbagai macam hubungan dan keterkaitan yang terjadi dalam sebuah perekonomian misalnya mengapa aktivitas yang dilakukan oleh satu kelompok masyarakat mempengaruhi kelompok lainnya. Masalah pertanian berhubungan dengan masalah produksi dan konsumsi dari berbagai komoditas, sebagai hasil dari sebuah usahatani atau usaha peternakan. Sebuah kebijakan adalah sebuah intervensi pemerintah, dimaksudkan untuk merubah perilaku produsen dan konsumen. Analisis merupakan evaluasi dari berbagai keputusan pemerintah yang merubah perekonomian. Oleh karena itu, sebuah framework analisis kebijakan pertanian dapat diartikan sebagai sebuah sistem untuk menganalisis kebijakan publik yang mempengaruhi produsen, pedagang, dan konsumen dari berbagai produk pertanian baik tanaman maupun ternak.
Empat Komponen Kerangka Kebijakan (Policy Framework)
Empat komponen utama dari framework kebijakan pertanian yang dibahas dalam buku ini adalah tujuan (objectives), kendala (constraints), kebijakan (policies), dan strategi (strategies). Yang dimaksudkan dengan objectives adalah tujuan yang diharapkan akan dicapai oleh sebuah kebijakan ekonomi yang dibuat oleh para pembuat kebijakan. Constraints adalah suatu keadaan (ekonomi) yang membuat apa yang bisa dicapai menjadi terbatas. Bila sebidang lahan digunakan untuk menanam padi, berarti hilangnya kemungkinan untuk menanam komoditas lainnya pada saat yang sama. Kebijakan terdiri atas berbagai instrumen yang bisa digunakan pemerintah untuk merubah outcome perekonomian. Sebuah kebijakan yang efektif akan merubah perilaku produsen, pedagang, dan konsumen dan menciptakan outcome baru dari sebuah perekonomian. Strategy adalah seperangkat instrumen kebijakan yang digunakan oleh pemerintah untuk mencapai objective yang telah ditetapkan. Setiap strategi dilaksanakan melalui penerapan berbagai kebijakan yang terkordinasi dengan baik.
Kerangka kebijakan, seperti disajikan pada Gambar 1.1., digambarkan seperti sebuah alur lingkar (mengikuti arah jarum jam) dari sejumlah hubungan kausal dari keempat komponen tersebut diatas. Strategi para pengambil kebijakan terdiri atas seperangkat kebijakan yang dimaksudkan untuk meningkatkan outcome ekonomi (yang telah ditetapkan oleh para pengambil kebijakan). Berbagai kebijakan tersebut pada pelaksanaannya akan menghadapi berbagai kendala ekonomi baik yang diakibatkan oleh aspek supply, demand, serta harga dunia yang bisa meningkatkan atau menghambat tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Penilaian dampak kebijakan terhadap pencapaian tujuan memungkinkan untuk melakukan penyesuaian strategi yang telah ditetapkan bila memang diperlukan. Singkatnya, pemerintah membuat strategi pembangunan pertanian dengan menentukan seperangkat kebijakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dengan mempertimbangkan berbagai kendala ekonomi pada sektor pertanian. Uraian lebih rinci tentang hubungan antar keempat komponen kerangka kerja tersebut disajikan pada bahasan selanjutnya.
Tujuan Dasar dari Analisis Kebijakan
Secara umum tujuan kebijakan pemerintah dapat dibagi kedalam tiga tujuan utama yaitu efisiensi (efficiency), pemerataan (equity), dan ketahanan (security). Efisiensi tercapai apabila alokasi sumberdaya ekonomi yang langka adanya mampu menghasilkan pendapatan maksimum, serta alokasi barang dan jasa yang menghasilkan tingkat kepuasan konsumen yang paling tinggi. Pemerataan diartikan sebagai distribusi pendapatan diantara kelompok masyarakat atau wilayah yang menjadi target pembuat kebijakan. Biasanya, pemerataan yang lebih baik akan dicapai melalui distribusi pendapatan yang lebih baik atau lebih merata. Namun, karena kebijakan adalah aktivitas pemerintah, maka para penentu kebijakanlah (secara tidak langsung juga voters dalam sebuah sistem demokrasi) yang menentukan definisi pemerataan itu. Ketahanan (pangan) akan meningkat apabila stabilitas politik maupun ekonomi memungkinkan produsen maupun konsumen meminimumkan adjustment costs. Ketahanan pangan diartikan sebagai ketersediaan pangan pada tingkat harga yang stabil dan terjangkau. Di dalam kerangka ini, setiap tujuan yang ingin dicapai oleh intervesi pemerintah akan terkait dengan paling tidak salah satu dari ketika tujuan dasar yang telah disebutkan di atas yaitu efisiensi, pemerataan, dan ketahanan.
Trade-offs akan terjadi ketika salah satu tujuan bisa dicapai hanya dengan mengorbankan tujuan lainnya. Yakni, mencapai tujuan yang satu, mengorbankan tujuan lainnya. Apabila terjadi trade-offs, maka pembuat kebijakan harus memberikan bobot atas setiap tujuan yang saling bertentangan itu, dengan menentukan berapa manfaat yang bisa diraih dari suatu tujuan dibandingkan dengan kerugian yang harus diderita oleh tujuan lainnya. Pembuat kebijakan, yang seringkali bukan seorang ekonom, berkewajiban untuk melakukan penilaian (value judgement) untuk menentukan bobot bagi setiap tujuan. Para pajabat pemerintah (pembuat kebijakan) inilah yang akhirnya akan bertanggungjawab atas akuntabilitas kebijakan yang dibuatnya. Segalanya akan menjadi mudah, baik bagi analis kebijakan maupun pembuat kebijakan, bila tidak terjadi trade-offs. Namun, keadaan ini umumnya jarang terjadi. Hasil yang diharapkan adalah tercapainya keadaan yang lebih baik sesuai dengan keterbatasan sumberdaya. Namun, biasanya trade-offs selalu saja terjadi. Singkatnya, para analis bertugas melakukan evaluasi atas kebijakan, sementara pembuat kebijakan mengambil keputusan dengan menentukan bobot atas setiap tujuan kebijakan. Seluruh bobot yang diberikan kepada setiap tujuan bila dijumlahkan harus sama dengan satu (misalnya, pengambil kebijakan memberikan bobot 0,6 untuk efisiensi, 0,3 untuk pemerataan, dan 0,1 untuk ketahanan).
Kendala-kendala yang Membatasi Kebijakan Pertanian
Ada tiga kendala utama yang membatasi gerak sebuah kebijakan yaitu penawaran, permintaan, dan harga dunia. Penawaran, produksi nasional, dibatasi oleh ketersediaan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, dan modal), teknologi, harga input, dan kemampuan manajemen. Parameter-paremeter ini merupakan komponen dari fungsi produksi sehingga membatasi kemampuan perekonomian dalam menghasilkan komoditas pertanian. Permintaan, konsumsi nasional, dibatasi atau dipengaruhi oleh jumlah penduduk, pendapatan, selera, dan harga output. Parameter-parameter ini merupakan komponen dari fungsi permintaan sehingga membatasi kemampuan perekonomian dalam mengkonsumsi produk-produk pertanian.
Harga dunia, untuk komoditas yang diperdagangkan secara internasional baik input maupun output, menentukan dan membatasi peluang untuk mengimpor dalam rangka meningkatkan supply domestik, dan mengekspor dalam rangka memperluas pasar bagi produk domestik. Ketiga parameter ekonomi ini menentukan pasar bagi sebuah komoditas pertanian dan merupakan kekuatan utama dalam mempengaruhi terbentuknya harga serta alokasi sumberdaya. Kendala-kendala ekonomi bisa mengarah kepada terjadinya trade-offs dalam pembuatan kebijakan.
Kategori Kebijakan yang Mempengaruhi Pertanian
Kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi sektor pertanian dapat digolongkan kepada tiga kategori yaitu kebijakan harga, kebijakan makroekonomi dan kebijakan investasi publik. Kebijakan harga komoditas pertanian merupakan kebijakan yag bersifat sepesifik komoditas. Setiap kebijakan diterapkan untuk satu komoditas (misalnya, beras). Kebijakan harga juga bisa mempengaruhi input pertanian. Kebijakan makroekonomi mencakup seluruh wilayah dalam satu negara, sehingga kebijakan makroekonomi akan mempengaruhi seluruh komoditas. Kebijakan investasi publik mengalokasikan pengeluaran investasi (modal) yang bersumber dari anggaran belanja negara. Kebijakan ini bisa mempengaruhi berbagai kelompok, produsen, pedagang, dan konsumen, dengan dampak yang berbeda karena dampak tersebut bersifat spesifik pada wilayah dimana investasi itu terjadi.
Instrumen Kebijakan Harga Pertanian
Setiap instrumen kebijakan harga pertanian akan menimbulkan transfer baik dari produsen kepada konsumen dari komoditas bersangkutan, maupun anggaran pemerintah, atau sebaliknya. Beberapa kebijakan harga hanya mempengaruhi dua dari ketiga kelompok tersebut, sementara instrumen yang lain mempengaruhi seluruh dari ketiga kelompok tersebut. Secara umum, paling tidak satu kelompok menderita kerugian atau menjadi korban, dan paling tidak satu kelompok lainnya menerima manfaat dari kebijakan. Ada tiga jenis instrumen kebijakan yang umum diterapkan pada sektor perberasan yaitu, pajak dan subsidi, hambatan perdagangan internasional, dan pengendalian langsung (direct controls).
Pajak dan subsidi atas komoditas pertanian menyebabkan terjadinya transfer antara anggaran negara (publik) dengan produsen dan konsumen. Dalam hal pajak, transfer sumberdaya mengalir kepada pemerintah sementara dalam hal subsidi transfer sumberdaya berasal dari pemerintah. Sebagai contoh, subsidi produksi merupakan transfer dari anggaran pemerintah kepada produsen.
Hambatan perdagangan internasional adalah pajak atau kuota yang sifatnya membatasi impor atau ekspor. Dengan melakukan hambatan perdagangan, instrumen kebijakan harga ini merubah tingkat harga dalam negeri. Hambatan impor menaikkan harga dalam negeri diatas rata-rata harga dunia, sementara hambatan ekspor menurunkan harga dalam negeri menjadi lebih rendah dibandingkan dengan harga dunia.
Pengendalian langsung adalah peraturan pemerintah atas harga, marjin pemasaran, atau pilihan tanaman. Biasanya, pengendalian langsung harus disertai dengan hambatan perdagangan atau pajak/subsidi agar kebijakan tersebut bisa efektif. Bila tidak, “pasar gelap” akan menyebabkan kebijakan pengandalian langsung menjadi tidak efektif. Bisa juga terjadi, sebuah pemerintahan mempunyai kemampuan yang cukup untuk melaksanakan pengandalian langsung secara efektif meskipun tanpa dilengkapi dengan hambatan perdagangan. Sebagai contoh, kebijakan pengendalian langsung dalam bentuk penentuan jenis komoditas yang harus ditanam bisa efektif apabila pemerintah menyediakan fasilitas atau kemudahan dalam hal penyediaan air irigasi atau input yang harus dibeli petani.
Kebijakan Makroekonomi yang Mempengaruhi Pertanian.
Produsen dan konsumen komoditas pertanian amat dipengaruhi oleh kebijakan makroekonomi meskipun seringkali mereka tidak terlibat dalam proses pembuatan kebijakan yang bersifat nasional ini. Ada tiga kategori kebijakan makroekonomi yang mempengaruhi sektor pertanian yaitu kebijakan fiskal dan moneter, kebijakan nilai tukar, dan kebijakan harga faktor domestik, sumberdaya alam, dan tataguna lahan.
Kebijakan fiskal dan moneter merupakan inti dari kebijakan makroekonomi, karena secara bersama-sama mereka mempengaruhi tingkat kegiatan ekonomi dan tingkat inflasi dalam perekonomian nasional, yang diukur melalui peningkatan indeks harga konsumen dan indeks harga produsen. Kebijakan moneter diartikan sebagai pengendalian pemerintah dalam pasokan (supply) uang dan kemudian permintaan aggregat. Bila supply uang meningkat lebih tinggi dari pertumbuhan agregat barang dan jasa, maka akan timbul tekanan inflasi. Kebijakan fiskal berhubungan dengan keseimbangan antara kebijakan pajak pemerintah yang meningkatkan pendapatan pemerintah dan kebijakan belanja publik yang menggunakan pendapatan tersebut. Apabila belanja pemerintah lebih besar dari pendapatannya, maka pemerintah mengalami fiskal defisit. Keadaan ini akan menimbulkan inflasi bila defisit tersebut ditutup dengan menambah supply uang.
Kebijakan nilai tukar secara langsung berpengaruh terhadap harga output dan biaya produksi pertanian. Nilai tukar adalah nilai konversi mata uang domestik terhadap mata uang asing. Sebagian besar komoditas pertanian diperdagangkan secara internasional dan sebagian besar negara mengimpor atau mengekspor sebagian dari kebutuhan atau hasil produk komoditas pertanian mereka. Untuk produk-produk yang diperdagangkan secara internasional, harga dunia akan sama dengan harga dalam negeri apabila tidak ada hambatan perdagangan. Dengan sendirinya, nilai tukar secara langsung mempengaruhi harga produk pertanian karena harga domestik (dinilai dalam mata uang dalam negeri) produk yang diperdagangkan sama dengan harga dunia (dinilai dalam mata uang asing) dikalikan dengan nilai tukarnya (rasio antara mata uang dalam negeri dengan mata uang asing).
Kebijakan harga faktor domestik secara langsung mempengaruhi biaya produksi pertanian. Faktor domestik utama terdiri atas lahan, tenaga kerja dan modal. Biaya lahan dan tenaga kerja biasanya merupakan porsi terbesar dari biaya produksi pertanian di negara berkembang. Pemerintah seringkali menerapkan kebijakan makroekonomi yang mempengaruhi nilai sewa lahan, upah tenaga kerja, atau tingkat bunga yang berlaku diseluruh wilayah negara tersebut. Kebijakan faktor dometik lainnya seperti upah minimum atau tingkat bunga maksimum, lebih mempengaruhi salah satu sektor dibanding sektor lainnya. Beberapa negara melaksanakan kebijakan khusus dalam upaya mengendalikan penggunaan lahan atau pengendalian ekploitasi sumberdaya alam, seperti air dan bahan mineral. Kebijakan makro tersebut bisa juga mempengaruhi biaya produksi pertanian.
Kebijakan Investasi Publik yang Mempengaruhi Pertanian
Kategori ketiga dari kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi sektor pertanian adalah investasi publik dalam bentuk barang-barang modal pada infrastruktur, sumberdaya manusia, dan penelitian dan pengembangan teknologi. Investasi publik dalam bentuk infrastruktur bisa meningkatkan pendapatan produsen pertanian atau menurunkan biaya produksi. Yang dimaksud dengan infrastruktur adalah barang modal penting, seperti jalan, pelabuhan, dan jaringan irigasi yang amat sulit dibangun oleh sektor swasta. Barang modal tersebut dikenal sebagai “barang-barang publik”, yang biayanya bersumber dari anggaran pemerintah. Investasi dalam bentuk infrastruktur sifatnya spesifik wilayah serta manfaatnya sebagian besar akan dinikmati oleh produsen dan konsumen diwilayah tersebut. Kebijakan investasi publik amat rumit karena infrastruktur tersebut harus dipelihara dan diperbaharui dari waktu ke waktu.
Investasi publik dalam sumberdaya manusia termasuk didalamnya berbagai jenis pengeluaran pemerintah untuk meningkatkan tingkat keakhlian atau keterampilan serta kondisi kesehatan produsen dan konsumen. Investasi dalam bentuk sekolah-sekolah formal, pusat-pusat pelatihan dan penyuluhan, fasilitas kesehatan masyarakat, pendidikan gizi masyarakat, klinik dan rumah sakit merupakan contoh-contoh investasi publik yang dapat meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia sektor pertanian. Investasi-investasi seperti ini amat menentukan dalam pembangunan jangka panjang, tetapi hasilnya memang baru akan terlihat dalam waktu yang lama.
Investasi publik dalam bentuk penelitian dan pengembangan teknologi merupakan contoh lain dari barang-barang publik yang secara langsung memberikan manfaat bagi produsen dan konsumen pertanian. Negara-negara yang mengalami pertumbuhan sektor pertanian yang tinggi biasanya melakukan investasi yang besar di bidang riset budidaya pertanian untuk mengdopsi teknologi yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga riset internasional, seperti penggunaan benih unggul baik untuk tanaman pangan maupun tanaman tahunan. Benih-benih unggul ini seringkali memerlukan penggunaan teknologi baru, pengaturan air yang lebih baik, dan penggunaan input yang lebih banyak. Untuk beberapa komoditas, terobosan teknologi yang dibiayai oleh dana publik, biasanya lebih pada teknologi pengolahan dibanding teknologi usahatani atau budi daya.
Kerangka Kebijakan Perberasan Indonesia Masa Lalu
Studi yang dilakukan the Food Research Institute, Stanford University pada akhir 1980-an memperjelas gambaran aplikasi kerangka kebijakan yang telah diuraikan di muka. Kerangka tersebut meliputi sasaran strategy perberasan (“strategy”), instrumen kebijakan perberasan (“kebijakan”), peubah-peubah ekonomi utama (“kendala”), dan tujuan utama kebijakan pangan (“tujuan”). Gambar 1.2. disarikan dari studi tersebut.
Sasaran kebijakan perberasan Indonesia, seperti tertera pada gambar diatas, terdiri atas tiga alternatif. Pertama, menjadi pengekspor beras dengan berupaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan produksi beras sebesar 4% per tahun. Kedua, tetap melakukan impor dengan mengupayakan tingkat pertumbuhan produksi sebesar 1% per tahun. Ketiga, pertumbuhan produksi 2,5% per tahun dengan sasaran mempertahankan swasembada on trend (mengimpor beras ketika produksi jelek dan mengekspor ketika produksi bagus). Studi tersebut mengkaji kemungkian dampak dari ketiga strategi tersebut.
Buku RPI menelaah faktor-faktor penyebab keberhasilan Indonesia dalam melakukan Revolusi Hijau (the Green Revolution) pada periode 1970-an dan 1980-an. Selama periode tersebut secara gradual Indonesia berubah, dari yang semula sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi negara yang mampu berswasembada (on trend) beras selama kurang lebih satu dekade, mulai tahun 1984. Diantara lima instrumen kebijakan perberasan yang tertera pada Gambar diatas, empat diantaranya amat berperanan dalam pencapaian keberhasilan tersebut.
Instrumen kebijakan harga merubah tingkat harga beras dalam negeri. Kebijakan stabilisasi harga mengurangi tingkat fluktuasi harga beras dalam negeri. Investasi publik, terutama dalam infrastruktur dan riset, mempengaruhi harga, biaya, dan produktivitas sistem produksi beras. Kebijakan makroekonomi, terutama yang mempengaruhi inflasi dan nilai tukar, mempengaruhi biaya dan nilai produksi padi. Namun, beberapa regulasi pedesaan saat itu menjadi faktor penghambat.
Kebijakan harga beras saat itu merupakan kebijakan yang bersifat netral. Pemerintah saat itu berkeinginan untuk memiliki sistem perberasan yang efisien. Searah dengan itu, pemerintah senantiasa menjaga agar harga beras dalam negeri tidak terlalu jauh dari trend harga beras dunia, sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan itu tidak mem-proteksi petani, tetapi juga tidak men-disproteksi-nya. Namun, untuk merangsang petani agar mampu mengadopsi penggunaan teknologi baru, termasuk di dalamnya pengunaan varitas ungggul, pemerintah memberikan subsidi harga pupuk kimia yang amat besar untuk menurunkan biaya produksi.
Kebijakan stabilisasi harga beras memiliki dampak yang amat positif. Badan Urusan Logistik Nasional (Bulog), menstabilkan harga dalam negeri sehingga fluktuasi harga beras di dalam negeri lebih kecil dibandingkan dengan fluktuasi harga yang terjadi di pasar internasional. Pada saat itu, Bulog memiliki hak monopoli dalam perdagangan beras internasional Indonesia, serta ekspor dan impor beberapa komoditas lainnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri. Badan tersebut memelihara stok penyangga (buffer stock) beras melalui pembelian padi dari petani pada tingkat harga dasar dan melepaskannya ke pasaran, ketika harga beras di pasar dalam negeri mengalami kenaikan sampai pada tingkat harga tertentu. Kebijakan stabilisasi harga ini memang amat mahal, namun secara umum dapat dikatakan berhasil.
Investasi publik di bidang infrastruktur pedesaan, fasilitas kesehatan dan pendidikan, penelitian dan pengembangan serta penyuluhan pertanian merupakan komponen kunci dari keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan produksi dan produktivitas padi sampai tiga kali lipat, dan dengan sendirinya berpengaruh terhadap pencapaian swasembada beras meskipun swasembada tersebut hanya berjalan selama kurang lebih sepuluh tahun. Pemerintah melakukan investasi yang amat besar dalam bentuk jalan di pedesaan, pelabuhan, jaringan irigasi, dan pada periode tertentu investasi untuk infrastruktur pedesaan dan penelitian pertanian mencapai 30 persen dari seluruh investasi.
Kebijakan makroekonomi pada periode 1970-an dan 1980-an secara tepat dirancang untuk bersifat relatif netral. Tingkat inflasi dijaga di bawah 10 persen per tahun, dan nilai tukar di devaluasi secara berkala untuk menghilangkan pengaruh perbedaan antara tingkat inflasi di Indonesia dengan tingkat inflasi di negara patner dagang utama. Dengan kebijakan itu, petani produsen padi secara implisit tidak diproteksi maupun disubsidi, dan dalam kondisi makroekonomi yang stabil mereka dapat melakukan perencanaan investasi dan input produksi.
Diantara lima instrumen kebijakan yang diterapkan pada saat itu, regulasi pemilihan tanaman merupakan satu-satunya kebijakan yang memiliki dampak negatif terhadap produksi padi di era 1970an dan 1980an. Di sebagian Jawa Timur dan Jawa Tengah, para petani “dipaksa” menanam tebu meskipun sebenarnya mereka lebih suka menanam padi. Kebijakan ini menyebabkan produksi menjadi turun, pendapatan yang lebih rendah, dan kesempatan kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan ketika petani diberikan kebebasan untuk memilih pola tanam yang mereka sukai.
Semua instrumen kebijakan diatas mempengaruhi tingkat produksi beras melalui pengaruhnya atas tiga peubah ekonomi, yaitu jumlah beras yang diproduksi di dalam negeri, tingkat pendapatan pedesaan yang secara langsung dihasilkan oleh peningkatan produksi beras ataupun secara tidak langsung melalui invesati ataupun konsumsi dari produk-produk yang ada hubungannya dengan beras, serta tingkat kesempatan kerja pedesaan yang baik secara langsung maupun tidak langsung diciptakan oleh proses produksi padi. Masing-masing dari ketiga peubah ekonomi ini pada gilirannya mempengaruhi ketiga tujuan utama kebijakan pangan. Peningkatan produksi padi dalam negeri berkontribusi terhadap ketahanan pangan dan stabilitas harga, dengan mengurangi dampak fluktuasi harga yang terjadi di pasar dunia. Penciptaan pendapatan dengan cara yang efisien melalui pengembangan usahatani padi mengarah kepada peningkatan pendapatan yang cepat, baik lokal maupun nasional. Penciptaan lapangan kerja di pedesaan, secara langsung dari proses produksi padi, maupun secara tidak langsung dari aktivitas yang berhubungan dengan produksi padi, meningkatkan distribusi pendapatan antara daerah pedesaan dan perkotaan.
Buku RPI menyimpulkan bahwa strategi kebijakan swasembada on trend merupakan kebijakan yang lebih sesuai di awal 1990an. Strategi kebijakan dengan sasaran menjadi negara pengekspor beras akan tidak efisien dan membutuhkan subsidi terus menerus, sementara strategi dengan sasaran menjadi pengimpor seperti diawal 1990-an akan membuat cita-cita menjadi produsen yang efisien tidak tercapai.
Analisis Kebijakan Perberasan Saat Ini
Kebijakan perberasan Indonesia saat ini berupaya menciptakan harga beras dalam negeri 30 persen lebih tinggi dibanding harga yang membebaskan impor. Strategi ini dimaksudkan untuk membantu produsen pada saat harga dunia sedang rendah, yaitu seperempat dari trend harga jangka panjang. Namun, strategi ini sama dengan menghalangi konsumen beras dalam negeri dari manfaat yang mungkin diterima dari rendahnya harga dunia, dan dengan sendirinya bisa berdampak buruk terhadap tingkat gizi serta pengentasan kemiskinan.
Instrumen kebijakan yang digunakan untuk menjalankan strategi ini adalah tarif impor (spesifik) sebesar Rp. 430/kilogram. Bila tarif bea masuk ini dapat diterapkan secara efektif harga beras dalam negeri akan 30 persen lebih tinggi dari tingkat harga tanpa kebijakan tersebut dan ternyata harga beras dalam negeri yang terjadi saat ini sekitar 25-30 persen lebih tinggi. Namun, ini tidak berarti bahwa kebijakan tarif bea masuk ini dapat diterapkan secara efektif, dan penyelundupan tidak terjadi. Tingginya ketidak-pastian, baik ekonomi maupun politik, menyebabkan para importir beras membebankan biaya tambahan sebesar 10-20 persen untuk menanggulangi resiko perubahan nilai tukar dan tambahan biaya perbankan.
Kebijakan memproteksi beras diterapkan dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, searah dengan tujuan pemerataan. Namun, kebijakan ini menimbulkan trade-off karena merugikan penduduk miskin di pedesaan maupun konsumen beras di perkotaan. Tarif bea masuk tidak meningkatkan efisiensi ekonomi karena kebijakan tersebut akan menyebabkan sumberdaya digunakan secara tidak efisien. Pada saat harga dunia sedang stabil pada tingkat harga yang rendah seperti saat ini, tarif impor hampir tidak memberikan kontribusi apapun pada ketahanan pangan. Meningkatkan harga beras juga mempunyai konsekuensi yang serius pada tingkat gizi penduduk miskin, serta akan menambah jumlah penduduk miskin.
Secara teoritis, pemerintah bisa membantu petani padi dengan instrumen kebijakan yang lain – subsidi produksi langsung, dimana petani akan menerima subsidi yang nilainya sesuai dengan jumlah produksi yang dipasarkan. Kebijakan ini tidak akan menyebabkan naiknya harga beras dalam negeri dan dengan sendirinya akan menghilangkan trade-off antara produsen dan konsumen. Namun, kebijakan ini akan sulit diterapkan dan akan memberikan beban yang amat besar kepada anggaran pemerintah, apalagi pada saat pemerintah sedang mengalami kesulitan keuangan seperti saat ini. Beberapa analis berpendapat bahwa anggaran pemerintah yang terbatas ini sebaiknya digunakan untuk membiayai upaya-upaya membantu petani beralih secara gradual kepada komoditas bernilai tinggi (high value commodities).
Dampak Kebijakan Perberasan Saat ini Terhadap Tujuan Kebijakan
Berbeda dengan kebijakan perberasan selama periode Revolusi Hijau di tahun 1970-an dan 1980-an, kebijakan perberasaan saat ini tidak terlalu berhasil. Kebijakan perberasan telah menjadi pembicaraan hangat sejak pertengan 1990an, dan terutama sejak krisis ekonomi terjadi di pertengahan tahun 1997.
Kebijakan untuk menaikkan harga beras telah menundang perdebatan. Tarif bea masuk sebesar Rp. 430/kg beras serta risk premium pedagang telah meningkatkan harga beras dalam negeri 25-30% diatas harga paritas impornya. Banyak pejabat pemerintah yang merasa bahwa manfaat yang diterima produsen lebih besar dari beban atau kerugian yang harus ditanggung oleh konsumen dan masyarakat miskin. Namun kebenaran pendapatan tersebut masih sering dipertanyakan.
Kebijakan stabilitas harga tidak memperlihatkan hasil yang diharapkan. Sejak 1997, Bulog, lembaga yang bertanggungjawab atas stabilitas harga, tidak mampu lagi menstabilkan harga beras dalam negeri. Pada tahun 1998, lembaga ini telah gagal menjaga kenaikan harga beras, dan harga beras dalam negeri meningkat dua kali lipat hanya dalam waktu empat bulan. Pada Desember 1998, pemerintah menetapkan harga dasar gabah yang tinggi dan tidak realistis, dan Bulog tidak pernah bisa mempertahankannya. Sebaliknya, lembaga tersebut hanya membeli beras dalam jumlah yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, dan gagal mempertahankan harga dasar (floor price) maupun harga tertinggi (ceiling price). Dengan pertimbangan bahwa kebijakan stabilisasi harga tidak dapat dijalankan secara efektif, maka pada tahun 1999 pemerintah telah mencabut hak monopoli impor beras yang dipegang oleh Bulog.
Kebijakan investasi publik untuk sektor perberasan masih tetap dijalankan seperti sebelumnya, namun dalam jumlah dan tingkat efektivitas yang jauh lebih rendah. Banyak jaringan irigasi dan sarana transportasi yang harus direhabilitasi dan dipelihara namun membutuhkan biaya yang amat besar. Kesulitan dana karena krisis ekonomi membuat pemerintah menemui kesulitan untuk mengembangkan infrastruktur pedesaan.
Kebijakan makroekonomi menjadi semakin tidak menentu karena krisis makroekonomi. Kecuali untuk 1998 (ketika tingkat inflasi mencapai 80 persen setahun), kebijakan fiskal dan moneter pemerintah telah mampu menjaga tingkat inflasi pada tingkat yang cukup baik (8-12% per tahun). Ketidakpastian perekonomian Indonesia bersumber dari nilai tukar yang amat berfluktuasi, terdepresiasi dari sekitar Rp. 2.500/US$ pada pertengahan 1997 menjadi lebih dari Rp. 16.000/US$ pada awal 1998, sebelum kemudian stabil pada kisaran Rp. 8.000 – Rp. 12,000/US$.
Regulasi pola tanam di pedesaan telah dihapuskan. Petani padi di Jawa Timur dan Jawa Tengah tidak lagi diharuskan menanam tebu untuk kemudian digiling oleh pabrik-pabrik milik pemerintah. Namun, beberapa petani di Jawa mengeluh bahwa beberapa pejabat pemerintah daerah masih mencoba untuk tetap meregulasi pilihan petani dalam menentukan pola tanamnya.
Kebijakan Perberasan Dalam Kerangka Analisis Kebijakan Pertanian
Pada prinsipnya, pemerintah membuat strategi pembangunan pertanian dengan memilih seperangkat kebijakan untuk mencapai berbagai tujuan yang ditetapkan, dengan memperhitungkan kendala-kendala ekonomi yang ada. Kerangka konseptual ini telah diuraikan dengan membandingkan dua periode kebijakan perberasan Indonesia, yaitu periode Revolusi Hijau 1970an dan 1980an dengan periode krisis ekonomi 1997 sampai sekarang. Kebijakan pada periode pertama telah dianalisis pada buku RPI, sementara kebijakan pada periode terakhir ini telah dikaji dalam berbabagai artikel yang ditulis oleh tim the Food Policy Support Activity (FPSA). Semua analisis tersebut disajikan pada bagian “Food Policy Agenda” pada situs (www.macrofoodpolicy.com).
Strategi pembangunan perberasan pada masa Revolusi Hijau adalah memperkenalkan teknologi baru dalam bentuk varitas unggul, perbaikan pengelolaan sistem pengairan, penggunaan pupuk kimia, sistem pemasaran yang lebih baik, serta pembangunan irigasi.
Subsidi pupuk, harga beras yang stabil, air irigasi tanpa bayar, jalan yang lebih baik, dan kondisi makroekonomi yang stabil melengkapi pengenalan teknologi baru, dan merangsang penyebaran teknologi tersebut secara cepat. Kebijakan-kebijakan tersebut telah memecahkan kendala-kendala ekonomi yang ada, dan memungkinkan terjadinya peningkatan produksi dan pendapatan dari sektor perberasan menjadi tiga kali lipat.
Kondisi diatas telah memungkinkan tercapainya ketiga tujuan kebijakan yaitu effisiensi, equity dan security. Peningkatan produksi beras ini terjadi berkat perbaikan teknologi, bukan policy transfer. Harga beras dijaga untuk tetap berada disekitar harga dunia, dan efisiensi telah meningkat. Manfaat dari teknologi telah memungkinkan terjadinya peningkatan keuntungan petani, sementara konsumen diuntungkan dengan menurunnya harga beras dunia dan dalam negeri secara gradual. Oleh karena itu trade-off dalam aspek pemerataan menjadi kecil. Ketahanan pangan meningkat sejalan dengan menurunnya impor, bahkan tidak ada lagi, melalui peningkatan produksi secara efisien dalam situasi harga beras dalam negeri yang relatif stabil. Dengan kata lain, strategi untuk meningkatkan penyebaran teknologi varitas unggul telah berhasil pada hampir segala segi.
Selama periode setelah krisis ekonomi baru-baru ini, strategi perberasan tidak lagi tersusun dengan baik. Strategi perberasan ditujukan untuk membantu meningkatkan pendapatan petani dalam situasi harga dunia yang luar biasa rendahnya. Berbeda dengan masa sebelumnya, strategi kali ini tidak ada teknologi baru yang disebarkan. Saat ini hampir seluruh petani padi Indonesia telah menggunakan varitas unggul. Beban berat yang dialami anggaran negara, yang berkibat pada ketatnya belanja negara, telah menghambat kemampuan pemerintah untuk meningkatkan kemampuan pembangunan sarana irigasi dan transportasi. Terganjal oleh keterbatasan fiskal, kebijakan yang kontradiktif, serta beban yang timbul dari korupsi dan “salah-urus”, Bulog tidak mampu menstabilkan harga beras. Turunnya nilai tukar rupiah yang besar dan dalam waktu yang singkat telah meningkatkan ketidakpastian produksi dan pemasaran beras.
Kebijakan perberasan saat ini mengahadapi trade-off yang amat sulit. Instrumen kebijakan utama yang dilakukan saat ini adalah bea masuk impor, yang telah meningkatkan harga beras dalam negeri sebesar 25-30 persen, serta subsidi konsumsi beras terbatas bagi kelompok miskin di pedesaan dan perkotaan melalui program “raskin” (beras untuk orang miskin). Kelompok miskin di pedesaan dan perkotaan hanya menerima kompensasi sebagian saja dari peningkatan harga beras yang diakibatkan oleh kebijakan perberasan tersebut.
Opini publik yang berpihak kepada petani beras berargumen untuk mempertahankan, atau bahkan meningkatkan, tarif bea masuk terutama untuk menghilangkan pengaruh dari menurunnya harga beras dunia yang amat luar biasa tersebut. Pendapat publik yang bersebrangan, berpihak kepada konsumen miskin, berargumentasi bahwa pemerintah harus mengambil manfaat dari menurunnya harga beras dunia tersebut demi perbaikan gizi masyarakat miskin dan pengentasan kemiskinan. Ke arah mana para pengambil kebijakan akan berpihak dalam tujuan yang amat bersebrangan ini telah menjadi perdebatan hangat dalam rangka Indonesia memilih strategi yang konsisten dan berhasil.
Refference: Scott Pearson, Carl Gotsch, Sjaiful Bahri dalam www.macrofoodpolicy.com
Read more.....
Pemahaman yang baik tentang kerangka analisis kebijakan pertanian amat dibutuhkan oleh para pembuat kebijakan dan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat, untuk memahami konsekuensi dari berbagai kebijakan. Kejelasan dari berbagai definisi yang digunakan amat penting dalam melakukan analisis kebijakan. Apa yang dimaksud dengan istilah “Kerangka Analisis (framework) Kebijakan Pertanian?”. Sebuah framework adalah pendekatan atau metode yang tersusun baik dan konsisten dalam rangka menghasilkan pemikiran-pemikiran yang jelas. Sebuah framework dirancang sedemikian rupa agar mampu menelaah berbagai hubungan yang terjadi dalam sebuah sistem perekonomian. Meskipun sebuah analisis ekonomi yang baik akan menarik bagi para ekonom, tapi dilain pihak bisa membuat bukan ekonom menjadi frustasi. Namun demikian, tetap relevan bagi semua orang karena hal itu menyangkut berbagai macam hubungan dan keterkaitan yang terjadi dalam sebuah perekonomian misalnya mengapa aktivitas yang dilakukan oleh satu kelompok masyarakat mempengaruhi kelompok lainnya. Masalah pertanian berhubungan dengan masalah produksi dan konsumsi dari berbagai komoditas, sebagai hasil dari sebuah usahatani atau usaha peternakan. Sebuah kebijakan adalah sebuah intervensi pemerintah, dimaksudkan untuk merubah perilaku produsen dan konsumen. Analisis merupakan evaluasi dari berbagai keputusan pemerintah yang merubah perekonomian. Oleh karena itu, sebuah framework analisis kebijakan pertanian dapat diartikan sebagai sebuah sistem untuk menganalisis kebijakan publik yang mempengaruhi produsen, pedagang, dan konsumen dari berbagai produk pertanian baik tanaman maupun ternak.
Empat Komponen Kerangka Kebijakan (Policy Framework)
Empat komponen utama dari framework kebijakan pertanian yang dibahas dalam buku ini adalah tujuan (objectives), kendala (constraints), kebijakan (policies), dan strategi (strategies). Yang dimaksudkan dengan objectives adalah tujuan yang diharapkan akan dicapai oleh sebuah kebijakan ekonomi yang dibuat oleh para pembuat kebijakan. Constraints adalah suatu keadaan (ekonomi) yang membuat apa yang bisa dicapai menjadi terbatas. Bila sebidang lahan digunakan untuk menanam padi, berarti hilangnya kemungkinan untuk menanam komoditas lainnya pada saat yang sama. Kebijakan terdiri atas berbagai instrumen yang bisa digunakan pemerintah untuk merubah outcome perekonomian. Sebuah kebijakan yang efektif akan merubah perilaku produsen, pedagang, dan konsumen dan menciptakan outcome baru dari sebuah perekonomian. Strategy adalah seperangkat instrumen kebijakan yang digunakan oleh pemerintah untuk mencapai objective yang telah ditetapkan. Setiap strategi dilaksanakan melalui penerapan berbagai kebijakan yang terkordinasi dengan baik.
Kerangka kebijakan, seperti disajikan pada Gambar 1.1., digambarkan seperti sebuah alur lingkar (mengikuti arah jarum jam) dari sejumlah hubungan kausal dari keempat komponen tersebut diatas. Strategi para pengambil kebijakan terdiri atas seperangkat kebijakan yang dimaksudkan untuk meningkatkan outcome ekonomi (yang telah ditetapkan oleh para pengambil kebijakan). Berbagai kebijakan tersebut pada pelaksanaannya akan menghadapi berbagai kendala ekonomi baik yang diakibatkan oleh aspek supply, demand, serta harga dunia yang bisa meningkatkan atau menghambat tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Penilaian dampak kebijakan terhadap pencapaian tujuan memungkinkan untuk melakukan penyesuaian strategi yang telah ditetapkan bila memang diperlukan. Singkatnya, pemerintah membuat strategi pembangunan pertanian dengan menentukan seperangkat kebijakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dengan mempertimbangkan berbagai kendala ekonomi pada sektor pertanian. Uraian lebih rinci tentang hubungan antar keempat komponen kerangka kerja tersebut disajikan pada bahasan selanjutnya.
Tujuan Dasar dari Analisis Kebijakan
Secara umum tujuan kebijakan pemerintah dapat dibagi kedalam tiga tujuan utama yaitu efisiensi (efficiency), pemerataan (equity), dan ketahanan (security). Efisiensi tercapai apabila alokasi sumberdaya ekonomi yang langka adanya mampu menghasilkan pendapatan maksimum, serta alokasi barang dan jasa yang menghasilkan tingkat kepuasan konsumen yang paling tinggi. Pemerataan diartikan sebagai distribusi pendapatan diantara kelompok masyarakat atau wilayah yang menjadi target pembuat kebijakan. Biasanya, pemerataan yang lebih baik akan dicapai melalui distribusi pendapatan yang lebih baik atau lebih merata. Namun, karena kebijakan adalah aktivitas pemerintah, maka para penentu kebijakanlah (secara tidak langsung juga voters dalam sebuah sistem demokrasi) yang menentukan definisi pemerataan itu. Ketahanan (pangan) akan meningkat apabila stabilitas politik maupun ekonomi memungkinkan produsen maupun konsumen meminimumkan adjustment costs. Ketahanan pangan diartikan sebagai ketersediaan pangan pada tingkat harga yang stabil dan terjangkau. Di dalam kerangka ini, setiap tujuan yang ingin dicapai oleh intervesi pemerintah akan terkait dengan paling tidak salah satu dari ketika tujuan dasar yang telah disebutkan di atas yaitu efisiensi, pemerataan, dan ketahanan.
Trade-offs akan terjadi ketika salah satu tujuan bisa dicapai hanya dengan mengorbankan tujuan lainnya. Yakni, mencapai tujuan yang satu, mengorbankan tujuan lainnya. Apabila terjadi trade-offs, maka pembuat kebijakan harus memberikan bobot atas setiap tujuan yang saling bertentangan itu, dengan menentukan berapa manfaat yang bisa diraih dari suatu tujuan dibandingkan dengan kerugian yang harus diderita oleh tujuan lainnya. Pembuat kebijakan, yang seringkali bukan seorang ekonom, berkewajiban untuk melakukan penilaian (value judgement) untuk menentukan bobot bagi setiap tujuan. Para pajabat pemerintah (pembuat kebijakan) inilah yang akhirnya akan bertanggungjawab atas akuntabilitas kebijakan yang dibuatnya. Segalanya akan menjadi mudah, baik bagi analis kebijakan maupun pembuat kebijakan, bila tidak terjadi trade-offs. Namun, keadaan ini umumnya jarang terjadi. Hasil yang diharapkan adalah tercapainya keadaan yang lebih baik sesuai dengan keterbatasan sumberdaya. Namun, biasanya trade-offs selalu saja terjadi. Singkatnya, para analis bertugas melakukan evaluasi atas kebijakan, sementara pembuat kebijakan mengambil keputusan dengan menentukan bobot atas setiap tujuan kebijakan. Seluruh bobot yang diberikan kepada setiap tujuan bila dijumlahkan harus sama dengan satu (misalnya, pengambil kebijakan memberikan bobot 0,6 untuk efisiensi, 0,3 untuk pemerataan, dan 0,1 untuk ketahanan).
Kendala-kendala yang Membatasi Kebijakan Pertanian
Ada tiga kendala utama yang membatasi gerak sebuah kebijakan yaitu penawaran, permintaan, dan harga dunia. Penawaran, produksi nasional, dibatasi oleh ketersediaan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, dan modal), teknologi, harga input, dan kemampuan manajemen. Parameter-paremeter ini merupakan komponen dari fungsi produksi sehingga membatasi kemampuan perekonomian dalam menghasilkan komoditas pertanian. Permintaan, konsumsi nasional, dibatasi atau dipengaruhi oleh jumlah penduduk, pendapatan, selera, dan harga output. Parameter-parameter ini merupakan komponen dari fungsi permintaan sehingga membatasi kemampuan perekonomian dalam mengkonsumsi produk-produk pertanian.
Harga dunia, untuk komoditas yang diperdagangkan secara internasional baik input maupun output, menentukan dan membatasi peluang untuk mengimpor dalam rangka meningkatkan supply domestik, dan mengekspor dalam rangka memperluas pasar bagi produk domestik. Ketiga parameter ekonomi ini menentukan pasar bagi sebuah komoditas pertanian dan merupakan kekuatan utama dalam mempengaruhi terbentuknya harga serta alokasi sumberdaya. Kendala-kendala ekonomi bisa mengarah kepada terjadinya trade-offs dalam pembuatan kebijakan.
Kategori Kebijakan yang Mempengaruhi Pertanian
Kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi sektor pertanian dapat digolongkan kepada tiga kategori yaitu kebijakan harga, kebijakan makroekonomi dan kebijakan investasi publik. Kebijakan harga komoditas pertanian merupakan kebijakan yag bersifat sepesifik komoditas. Setiap kebijakan diterapkan untuk satu komoditas (misalnya, beras). Kebijakan harga juga bisa mempengaruhi input pertanian. Kebijakan makroekonomi mencakup seluruh wilayah dalam satu negara, sehingga kebijakan makroekonomi akan mempengaruhi seluruh komoditas. Kebijakan investasi publik mengalokasikan pengeluaran investasi (modal) yang bersumber dari anggaran belanja negara. Kebijakan ini bisa mempengaruhi berbagai kelompok, produsen, pedagang, dan konsumen, dengan dampak yang berbeda karena dampak tersebut bersifat spesifik pada wilayah dimana investasi itu terjadi.
Instrumen Kebijakan Harga Pertanian
Setiap instrumen kebijakan harga pertanian akan menimbulkan transfer baik dari produsen kepada konsumen dari komoditas bersangkutan, maupun anggaran pemerintah, atau sebaliknya. Beberapa kebijakan harga hanya mempengaruhi dua dari ketiga kelompok tersebut, sementara instrumen yang lain mempengaruhi seluruh dari ketiga kelompok tersebut. Secara umum, paling tidak satu kelompok menderita kerugian atau menjadi korban, dan paling tidak satu kelompok lainnya menerima manfaat dari kebijakan. Ada tiga jenis instrumen kebijakan yang umum diterapkan pada sektor perberasan yaitu, pajak dan subsidi, hambatan perdagangan internasional, dan pengendalian langsung (direct controls).
Pajak dan subsidi atas komoditas pertanian menyebabkan terjadinya transfer antara anggaran negara (publik) dengan produsen dan konsumen. Dalam hal pajak, transfer sumberdaya mengalir kepada pemerintah sementara dalam hal subsidi transfer sumberdaya berasal dari pemerintah. Sebagai contoh, subsidi produksi merupakan transfer dari anggaran pemerintah kepada produsen.
Hambatan perdagangan internasional adalah pajak atau kuota yang sifatnya membatasi impor atau ekspor. Dengan melakukan hambatan perdagangan, instrumen kebijakan harga ini merubah tingkat harga dalam negeri. Hambatan impor menaikkan harga dalam negeri diatas rata-rata harga dunia, sementara hambatan ekspor menurunkan harga dalam negeri menjadi lebih rendah dibandingkan dengan harga dunia.
Pengendalian langsung adalah peraturan pemerintah atas harga, marjin pemasaran, atau pilihan tanaman. Biasanya, pengendalian langsung harus disertai dengan hambatan perdagangan atau pajak/subsidi agar kebijakan tersebut bisa efektif. Bila tidak, “pasar gelap” akan menyebabkan kebijakan pengandalian langsung menjadi tidak efektif. Bisa juga terjadi, sebuah pemerintahan mempunyai kemampuan yang cukup untuk melaksanakan pengandalian langsung secara efektif meskipun tanpa dilengkapi dengan hambatan perdagangan. Sebagai contoh, kebijakan pengendalian langsung dalam bentuk penentuan jenis komoditas yang harus ditanam bisa efektif apabila pemerintah menyediakan fasilitas atau kemudahan dalam hal penyediaan air irigasi atau input yang harus dibeli petani.
Kebijakan Makroekonomi yang Mempengaruhi Pertanian.
Produsen dan konsumen komoditas pertanian amat dipengaruhi oleh kebijakan makroekonomi meskipun seringkali mereka tidak terlibat dalam proses pembuatan kebijakan yang bersifat nasional ini. Ada tiga kategori kebijakan makroekonomi yang mempengaruhi sektor pertanian yaitu kebijakan fiskal dan moneter, kebijakan nilai tukar, dan kebijakan harga faktor domestik, sumberdaya alam, dan tataguna lahan.
Kebijakan fiskal dan moneter merupakan inti dari kebijakan makroekonomi, karena secara bersama-sama mereka mempengaruhi tingkat kegiatan ekonomi dan tingkat inflasi dalam perekonomian nasional, yang diukur melalui peningkatan indeks harga konsumen dan indeks harga produsen. Kebijakan moneter diartikan sebagai pengendalian pemerintah dalam pasokan (supply) uang dan kemudian permintaan aggregat. Bila supply uang meningkat lebih tinggi dari pertumbuhan agregat barang dan jasa, maka akan timbul tekanan inflasi. Kebijakan fiskal berhubungan dengan keseimbangan antara kebijakan pajak pemerintah yang meningkatkan pendapatan pemerintah dan kebijakan belanja publik yang menggunakan pendapatan tersebut. Apabila belanja pemerintah lebih besar dari pendapatannya, maka pemerintah mengalami fiskal defisit. Keadaan ini akan menimbulkan inflasi bila defisit tersebut ditutup dengan menambah supply uang.
Kebijakan nilai tukar secara langsung berpengaruh terhadap harga output dan biaya produksi pertanian. Nilai tukar adalah nilai konversi mata uang domestik terhadap mata uang asing. Sebagian besar komoditas pertanian diperdagangkan secara internasional dan sebagian besar negara mengimpor atau mengekspor sebagian dari kebutuhan atau hasil produk komoditas pertanian mereka. Untuk produk-produk yang diperdagangkan secara internasional, harga dunia akan sama dengan harga dalam negeri apabila tidak ada hambatan perdagangan. Dengan sendirinya, nilai tukar secara langsung mempengaruhi harga produk pertanian karena harga domestik (dinilai dalam mata uang dalam negeri) produk yang diperdagangkan sama dengan harga dunia (dinilai dalam mata uang asing) dikalikan dengan nilai tukarnya (rasio antara mata uang dalam negeri dengan mata uang asing).
Kebijakan harga faktor domestik secara langsung mempengaruhi biaya produksi pertanian. Faktor domestik utama terdiri atas lahan, tenaga kerja dan modal. Biaya lahan dan tenaga kerja biasanya merupakan porsi terbesar dari biaya produksi pertanian di negara berkembang. Pemerintah seringkali menerapkan kebijakan makroekonomi yang mempengaruhi nilai sewa lahan, upah tenaga kerja, atau tingkat bunga yang berlaku diseluruh wilayah negara tersebut. Kebijakan faktor dometik lainnya seperti upah minimum atau tingkat bunga maksimum, lebih mempengaruhi salah satu sektor dibanding sektor lainnya. Beberapa negara melaksanakan kebijakan khusus dalam upaya mengendalikan penggunaan lahan atau pengendalian ekploitasi sumberdaya alam, seperti air dan bahan mineral. Kebijakan makro tersebut bisa juga mempengaruhi biaya produksi pertanian.
Kebijakan Investasi Publik yang Mempengaruhi Pertanian
Kategori ketiga dari kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi sektor pertanian adalah investasi publik dalam bentuk barang-barang modal pada infrastruktur, sumberdaya manusia, dan penelitian dan pengembangan teknologi. Investasi publik dalam bentuk infrastruktur bisa meningkatkan pendapatan produsen pertanian atau menurunkan biaya produksi. Yang dimaksud dengan infrastruktur adalah barang modal penting, seperti jalan, pelabuhan, dan jaringan irigasi yang amat sulit dibangun oleh sektor swasta. Barang modal tersebut dikenal sebagai “barang-barang publik”, yang biayanya bersumber dari anggaran pemerintah. Investasi dalam bentuk infrastruktur sifatnya spesifik wilayah serta manfaatnya sebagian besar akan dinikmati oleh produsen dan konsumen diwilayah tersebut. Kebijakan investasi publik amat rumit karena infrastruktur tersebut harus dipelihara dan diperbaharui dari waktu ke waktu.
Investasi publik dalam sumberdaya manusia termasuk didalamnya berbagai jenis pengeluaran pemerintah untuk meningkatkan tingkat keakhlian atau keterampilan serta kondisi kesehatan produsen dan konsumen. Investasi dalam bentuk sekolah-sekolah formal, pusat-pusat pelatihan dan penyuluhan, fasilitas kesehatan masyarakat, pendidikan gizi masyarakat, klinik dan rumah sakit merupakan contoh-contoh investasi publik yang dapat meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia sektor pertanian. Investasi-investasi seperti ini amat menentukan dalam pembangunan jangka panjang, tetapi hasilnya memang baru akan terlihat dalam waktu yang lama.
Investasi publik dalam bentuk penelitian dan pengembangan teknologi merupakan contoh lain dari barang-barang publik yang secara langsung memberikan manfaat bagi produsen dan konsumen pertanian. Negara-negara yang mengalami pertumbuhan sektor pertanian yang tinggi biasanya melakukan investasi yang besar di bidang riset budidaya pertanian untuk mengdopsi teknologi yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga riset internasional, seperti penggunaan benih unggul baik untuk tanaman pangan maupun tanaman tahunan. Benih-benih unggul ini seringkali memerlukan penggunaan teknologi baru, pengaturan air yang lebih baik, dan penggunaan input yang lebih banyak. Untuk beberapa komoditas, terobosan teknologi yang dibiayai oleh dana publik, biasanya lebih pada teknologi pengolahan dibanding teknologi usahatani atau budi daya.
Kerangka Kebijakan Perberasan Indonesia Masa Lalu
Studi yang dilakukan the Food Research Institute, Stanford University pada akhir 1980-an memperjelas gambaran aplikasi kerangka kebijakan yang telah diuraikan di muka. Kerangka tersebut meliputi sasaran strategy perberasan (“strategy”), instrumen kebijakan perberasan (“kebijakan”), peubah-peubah ekonomi utama (“kendala”), dan tujuan utama kebijakan pangan (“tujuan”). Gambar 1.2. disarikan dari studi tersebut.
Sasaran kebijakan perberasan Indonesia, seperti tertera pada gambar diatas, terdiri atas tiga alternatif. Pertama, menjadi pengekspor beras dengan berupaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan produksi beras sebesar 4% per tahun. Kedua, tetap melakukan impor dengan mengupayakan tingkat pertumbuhan produksi sebesar 1% per tahun. Ketiga, pertumbuhan produksi 2,5% per tahun dengan sasaran mempertahankan swasembada on trend (mengimpor beras ketika produksi jelek dan mengekspor ketika produksi bagus). Studi tersebut mengkaji kemungkian dampak dari ketiga strategi tersebut.
Buku RPI menelaah faktor-faktor penyebab keberhasilan Indonesia dalam melakukan Revolusi Hijau (the Green Revolution) pada periode 1970-an dan 1980-an. Selama periode tersebut secara gradual Indonesia berubah, dari yang semula sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi negara yang mampu berswasembada (on trend) beras selama kurang lebih satu dekade, mulai tahun 1984. Diantara lima instrumen kebijakan perberasan yang tertera pada Gambar diatas, empat diantaranya amat berperanan dalam pencapaian keberhasilan tersebut.
Instrumen kebijakan harga merubah tingkat harga beras dalam negeri. Kebijakan stabilisasi harga mengurangi tingkat fluktuasi harga beras dalam negeri. Investasi publik, terutama dalam infrastruktur dan riset, mempengaruhi harga, biaya, dan produktivitas sistem produksi beras. Kebijakan makroekonomi, terutama yang mempengaruhi inflasi dan nilai tukar, mempengaruhi biaya dan nilai produksi padi. Namun, beberapa regulasi pedesaan saat itu menjadi faktor penghambat.
Kebijakan harga beras saat itu merupakan kebijakan yang bersifat netral. Pemerintah saat itu berkeinginan untuk memiliki sistem perberasan yang efisien. Searah dengan itu, pemerintah senantiasa menjaga agar harga beras dalam negeri tidak terlalu jauh dari trend harga beras dunia, sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan itu tidak mem-proteksi petani, tetapi juga tidak men-disproteksi-nya. Namun, untuk merangsang petani agar mampu mengadopsi penggunaan teknologi baru, termasuk di dalamnya pengunaan varitas ungggul, pemerintah memberikan subsidi harga pupuk kimia yang amat besar untuk menurunkan biaya produksi.
Kebijakan stabilisasi harga beras memiliki dampak yang amat positif. Badan Urusan Logistik Nasional (Bulog), menstabilkan harga dalam negeri sehingga fluktuasi harga beras di dalam negeri lebih kecil dibandingkan dengan fluktuasi harga yang terjadi di pasar internasional. Pada saat itu, Bulog memiliki hak monopoli dalam perdagangan beras internasional Indonesia, serta ekspor dan impor beberapa komoditas lainnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri. Badan tersebut memelihara stok penyangga (buffer stock) beras melalui pembelian padi dari petani pada tingkat harga dasar dan melepaskannya ke pasaran, ketika harga beras di pasar dalam negeri mengalami kenaikan sampai pada tingkat harga tertentu. Kebijakan stabilisasi harga ini memang amat mahal, namun secara umum dapat dikatakan berhasil.
Investasi publik di bidang infrastruktur pedesaan, fasilitas kesehatan dan pendidikan, penelitian dan pengembangan serta penyuluhan pertanian merupakan komponen kunci dari keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan produksi dan produktivitas padi sampai tiga kali lipat, dan dengan sendirinya berpengaruh terhadap pencapaian swasembada beras meskipun swasembada tersebut hanya berjalan selama kurang lebih sepuluh tahun. Pemerintah melakukan investasi yang amat besar dalam bentuk jalan di pedesaan, pelabuhan, jaringan irigasi, dan pada periode tertentu investasi untuk infrastruktur pedesaan dan penelitian pertanian mencapai 30 persen dari seluruh investasi.
Kebijakan makroekonomi pada periode 1970-an dan 1980-an secara tepat dirancang untuk bersifat relatif netral. Tingkat inflasi dijaga di bawah 10 persen per tahun, dan nilai tukar di devaluasi secara berkala untuk menghilangkan pengaruh perbedaan antara tingkat inflasi di Indonesia dengan tingkat inflasi di negara patner dagang utama. Dengan kebijakan itu, petani produsen padi secara implisit tidak diproteksi maupun disubsidi, dan dalam kondisi makroekonomi yang stabil mereka dapat melakukan perencanaan investasi dan input produksi.
Diantara lima instrumen kebijakan yang diterapkan pada saat itu, regulasi pemilihan tanaman merupakan satu-satunya kebijakan yang memiliki dampak negatif terhadap produksi padi di era 1970an dan 1980an. Di sebagian Jawa Timur dan Jawa Tengah, para petani “dipaksa” menanam tebu meskipun sebenarnya mereka lebih suka menanam padi. Kebijakan ini menyebabkan produksi menjadi turun, pendapatan yang lebih rendah, dan kesempatan kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan ketika petani diberikan kebebasan untuk memilih pola tanam yang mereka sukai.
Semua instrumen kebijakan diatas mempengaruhi tingkat produksi beras melalui pengaruhnya atas tiga peubah ekonomi, yaitu jumlah beras yang diproduksi di dalam negeri, tingkat pendapatan pedesaan yang secara langsung dihasilkan oleh peningkatan produksi beras ataupun secara tidak langsung melalui invesati ataupun konsumsi dari produk-produk yang ada hubungannya dengan beras, serta tingkat kesempatan kerja pedesaan yang baik secara langsung maupun tidak langsung diciptakan oleh proses produksi padi. Masing-masing dari ketiga peubah ekonomi ini pada gilirannya mempengaruhi ketiga tujuan utama kebijakan pangan. Peningkatan produksi padi dalam negeri berkontribusi terhadap ketahanan pangan dan stabilitas harga, dengan mengurangi dampak fluktuasi harga yang terjadi di pasar dunia. Penciptaan pendapatan dengan cara yang efisien melalui pengembangan usahatani padi mengarah kepada peningkatan pendapatan yang cepat, baik lokal maupun nasional. Penciptaan lapangan kerja di pedesaan, secara langsung dari proses produksi padi, maupun secara tidak langsung dari aktivitas yang berhubungan dengan produksi padi, meningkatkan distribusi pendapatan antara daerah pedesaan dan perkotaan.
Buku RPI menyimpulkan bahwa strategi kebijakan swasembada on trend merupakan kebijakan yang lebih sesuai di awal 1990an. Strategi kebijakan dengan sasaran menjadi negara pengekspor beras akan tidak efisien dan membutuhkan subsidi terus menerus, sementara strategi dengan sasaran menjadi pengimpor seperti diawal 1990-an akan membuat cita-cita menjadi produsen yang efisien tidak tercapai.
Analisis Kebijakan Perberasan Saat Ini
Kebijakan perberasan Indonesia saat ini berupaya menciptakan harga beras dalam negeri 30 persen lebih tinggi dibanding harga yang membebaskan impor. Strategi ini dimaksudkan untuk membantu produsen pada saat harga dunia sedang rendah, yaitu seperempat dari trend harga jangka panjang. Namun, strategi ini sama dengan menghalangi konsumen beras dalam negeri dari manfaat yang mungkin diterima dari rendahnya harga dunia, dan dengan sendirinya bisa berdampak buruk terhadap tingkat gizi serta pengentasan kemiskinan.
Instrumen kebijakan yang digunakan untuk menjalankan strategi ini adalah tarif impor (spesifik) sebesar Rp. 430/kilogram. Bila tarif bea masuk ini dapat diterapkan secara efektif harga beras dalam negeri akan 30 persen lebih tinggi dari tingkat harga tanpa kebijakan tersebut dan ternyata harga beras dalam negeri yang terjadi saat ini sekitar 25-30 persen lebih tinggi. Namun, ini tidak berarti bahwa kebijakan tarif bea masuk ini dapat diterapkan secara efektif, dan penyelundupan tidak terjadi. Tingginya ketidak-pastian, baik ekonomi maupun politik, menyebabkan para importir beras membebankan biaya tambahan sebesar 10-20 persen untuk menanggulangi resiko perubahan nilai tukar dan tambahan biaya perbankan.
Kebijakan memproteksi beras diterapkan dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, searah dengan tujuan pemerataan. Namun, kebijakan ini menimbulkan trade-off karena merugikan penduduk miskin di pedesaan maupun konsumen beras di perkotaan. Tarif bea masuk tidak meningkatkan efisiensi ekonomi karena kebijakan tersebut akan menyebabkan sumberdaya digunakan secara tidak efisien. Pada saat harga dunia sedang stabil pada tingkat harga yang rendah seperti saat ini, tarif impor hampir tidak memberikan kontribusi apapun pada ketahanan pangan. Meningkatkan harga beras juga mempunyai konsekuensi yang serius pada tingkat gizi penduduk miskin, serta akan menambah jumlah penduduk miskin.
Secara teoritis, pemerintah bisa membantu petani padi dengan instrumen kebijakan yang lain – subsidi produksi langsung, dimana petani akan menerima subsidi yang nilainya sesuai dengan jumlah produksi yang dipasarkan. Kebijakan ini tidak akan menyebabkan naiknya harga beras dalam negeri dan dengan sendirinya akan menghilangkan trade-off antara produsen dan konsumen. Namun, kebijakan ini akan sulit diterapkan dan akan memberikan beban yang amat besar kepada anggaran pemerintah, apalagi pada saat pemerintah sedang mengalami kesulitan keuangan seperti saat ini. Beberapa analis berpendapat bahwa anggaran pemerintah yang terbatas ini sebaiknya digunakan untuk membiayai upaya-upaya membantu petani beralih secara gradual kepada komoditas bernilai tinggi (high value commodities).
Dampak Kebijakan Perberasan Saat ini Terhadap Tujuan Kebijakan
Berbeda dengan kebijakan perberasan selama periode Revolusi Hijau di tahun 1970-an dan 1980-an, kebijakan perberasaan saat ini tidak terlalu berhasil. Kebijakan perberasan telah menjadi pembicaraan hangat sejak pertengan 1990an, dan terutama sejak krisis ekonomi terjadi di pertengahan tahun 1997.
Kebijakan untuk menaikkan harga beras telah menundang perdebatan. Tarif bea masuk sebesar Rp. 430/kg beras serta risk premium pedagang telah meningkatkan harga beras dalam negeri 25-30% diatas harga paritas impornya. Banyak pejabat pemerintah yang merasa bahwa manfaat yang diterima produsen lebih besar dari beban atau kerugian yang harus ditanggung oleh konsumen dan masyarakat miskin. Namun kebenaran pendapatan tersebut masih sering dipertanyakan.
Kebijakan stabilitas harga tidak memperlihatkan hasil yang diharapkan. Sejak 1997, Bulog, lembaga yang bertanggungjawab atas stabilitas harga, tidak mampu lagi menstabilkan harga beras dalam negeri. Pada tahun 1998, lembaga ini telah gagal menjaga kenaikan harga beras, dan harga beras dalam negeri meningkat dua kali lipat hanya dalam waktu empat bulan. Pada Desember 1998, pemerintah menetapkan harga dasar gabah yang tinggi dan tidak realistis, dan Bulog tidak pernah bisa mempertahankannya. Sebaliknya, lembaga tersebut hanya membeli beras dalam jumlah yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, dan gagal mempertahankan harga dasar (floor price) maupun harga tertinggi (ceiling price). Dengan pertimbangan bahwa kebijakan stabilisasi harga tidak dapat dijalankan secara efektif, maka pada tahun 1999 pemerintah telah mencabut hak monopoli impor beras yang dipegang oleh Bulog.
Kebijakan investasi publik untuk sektor perberasan masih tetap dijalankan seperti sebelumnya, namun dalam jumlah dan tingkat efektivitas yang jauh lebih rendah. Banyak jaringan irigasi dan sarana transportasi yang harus direhabilitasi dan dipelihara namun membutuhkan biaya yang amat besar. Kesulitan dana karena krisis ekonomi membuat pemerintah menemui kesulitan untuk mengembangkan infrastruktur pedesaan.
Kebijakan makroekonomi menjadi semakin tidak menentu karena krisis makroekonomi. Kecuali untuk 1998 (ketika tingkat inflasi mencapai 80 persen setahun), kebijakan fiskal dan moneter pemerintah telah mampu menjaga tingkat inflasi pada tingkat yang cukup baik (8-12% per tahun). Ketidakpastian perekonomian Indonesia bersumber dari nilai tukar yang amat berfluktuasi, terdepresiasi dari sekitar Rp. 2.500/US$ pada pertengahan 1997 menjadi lebih dari Rp. 16.000/US$ pada awal 1998, sebelum kemudian stabil pada kisaran Rp. 8.000 – Rp. 12,000/US$.
Regulasi pola tanam di pedesaan telah dihapuskan. Petani padi di Jawa Timur dan Jawa Tengah tidak lagi diharuskan menanam tebu untuk kemudian digiling oleh pabrik-pabrik milik pemerintah. Namun, beberapa petani di Jawa mengeluh bahwa beberapa pejabat pemerintah daerah masih mencoba untuk tetap meregulasi pilihan petani dalam menentukan pola tanamnya.
Kebijakan Perberasan Dalam Kerangka Analisis Kebijakan Pertanian
Pada prinsipnya, pemerintah membuat strategi pembangunan pertanian dengan memilih seperangkat kebijakan untuk mencapai berbagai tujuan yang ditetapkan, dengan memperhitungkan kendala-kendala ekonomi yang ada. Kerangka konseptual ini telah diuraikan dengan membandingkan dua periode kebijakan perberasan Indonesia, yaitu periode Revolusi Hijau 1970an dan 1980an dengan periode krisis ekonomi 1997 sampai sekarang. Kebijakan pada periode pertama telah dianalisis pada buku RPI, sementara kebijakan pada periode terakhir ini telah dikaji dalam berbabagai artikel yang ditulis oleh tim the Food Policy Support Activity (FPSA). Semua analisis tersebut disajikan pada bagian “Food Policy Agenda” pada situs (www.macrofoodpolicy.com).
Strategi pembangunan perberasan pada masa Revolusi Hijau adalah memperkenalkan teknologi baru dalam bentuk varitas unggul, perbaikan pengelolaan sistem pengairan, penggunaan pupuk kimia, sistem pemasaran yang lebih baik, serta pembangunan irigasi.
Subsidi pupuk, harga beras yang stabil, air irigasi tanpa bayar, jalan yang lebih baik, dan kondisi makroekonomi yang stabil melengkapi pengenalan teknologi baru, dan merangsang penyebaran teknologi tersebut secara cepat. Kebijakan-kebijakan tersebut telah memecahkan kendala-kendala ekonomi yang ada, dan memungkinkan terjadinya peningkatan produksi dan pendapatan dari sektor perberasan menjadi tiga kali lipat.
Kondisi diatas telah memungkinkan tercapainya ketiga tujuan kebijakan yaitu effisiensi, equity dan security. Peningkatan produksi beras ini terjadi berkat perbaikan teknologi, bukan policy transfer. Harga beras dijaga untuk tetap berada disekitar harga dunia, dan efisiensi telah meningkat. Manfaat dari teknologi telah memungkinkan terjadinya peningkatan keuntungan petani, sementara konsumen diuntungkan dengan menurunnya harga beras dunia dan dalam negeri secara gradual. Oleh karena itu trade-off dalam aspek pemerataan menjadi kecil. Ketahanan pangan meningkat sejalan dengan menurunnya impor, bahkan tidak ada lagi, melalui peningkatan produksi secara efisien dalam situasi harga beras dalam negeri yang relatif stabil. Dengan kata lain, strategi untuk meningkatkan penyebaran teknologi varitas unggul telah berhasil pada hampir segala segi.
Selama periode setelah krisis ekonomi baru-baru ini, strategi perberasan tidak lagi tersusun dengan baik. Strategi perberasan ditujukan untuk membantu meningkatkan pendapatan petani dalam situasi harga dunia yang luar biasa rendahnya. Berbeda dengan masa sebelumnya, strategi kali ini tidak ada teknologi baru yang disebarkan. Saat ini hampir seluruh petani padi Indonesia telah menggunakan varitas unggul. Beban berat yang dialami anggaran negara, yang berkibat pada ketatnya belanja negara, telah menghambat kemampuan pemerintah untuk meningkatkan kemampuan pembangunan sarana irigasi dan transportasi. Terganjal oleh keterbatasan fiskal, kebijakan yang kontradiktif, serta beban yang timbul dari korupsi dan “salah-urus”, Bulog tidak mampu menstabilkan harga beras. Turunnya nilai tukar rupiah yang besar dan dalam waktu yang singkat telah meningkatkan ketidakpastian produksi dan pemasaran beras.
Kebijakan perberasan saat ini mengahadapi trade-off yang amat sulit. Instrumen kebijakan utama yang dilakukan saat ini adalah bea masuk impor, yang telah meningkatkan harga beras dalam negeri sebesar 25-30 persen, serta subsidi konsumsi beras terbatas bagi kelompok miskin di pedesaan dan perkotaan melalui program “raskin” (beras untuk orang miskin). Kelompok miskin di pedesaan dan perkotaan hanya menerima kompensasi sebagian saja dari peningkatan harga beras yang diakibatkan oleh kebijakan perberasan tersebut.
Opini publik yang berpihak kepada petani beras berargumen untuk mempertahankan, atau bahkan meningkatkan, tarif bea masuk terutama untuk menghilangkan pengaruh dari menurunnya harga beras dunia yang amat luar biasa tersebut. Pendapat publik yang bersebrangan, berpihak kepada konsumen miskin, berargumentasi bahwa pemerintah harus mengambil manfaat dari menurunnya harga beras dunia tersebut demi perbaikan gizi masyarakat miskin dan pengentasan kemiskinan. Ke arah mana para pengambil kebijakan akan berpihak dalam tujuan yang amat bersebrangan ini telah menjadi perdebatan hangat dalam rangka Indonesia memilih strategi yang konsisten dan berhasil.
Refference: Scott Pearson, Carl Gotsch, Sjaiful Bahri dalam www.macrofoodpolicy.com